
Deskripsi
Cari Judul yang Teman ingin dengan mengklik judul-judul di bawah ini.
Teratai Kedua
Kisah seorang gadis yang terusir karena dituduh merayu iparnya. Siapa sangka, akhirnya ia bertemu dengan cinta sejatinya, meski banyak lika-liku yang harus dihadapinya.
Di aplikasi sebelah sudah ribuan kali diunlock
Part 1-3
part 4-6
Part 7- 9
Part 10-12
Part 13-16
Part 17-20
Part 21-24
Part 25-28
Part 29-31
Part 32-34
Part 35-37
Part 38-40(Tamat)
Rumah Asa (Setelah Kau Pergi)
Kisah seorang perempuan yang suaminya...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Mendadak Talak Part 1- End
3
0
Naskah Mendadak Talak
Part 1. Mendadak Talak
Seorang perempuan muda menyusuri selasar rumah sakit dengan senyum semringah dan hati yang berbunga-bunga. Kabar gembira yang ingin disampaikan pada sang suami telah membuatnya lupa kalau ia sedang menyusuri lorong remang.Aktifitas pelayanan masyarakat sudah ditutup setengah jam yang lalu. Beberapa orang karyawan dan nakes yang ia lewati bersiap-siap pulang ke rumah. Bahkan beberapa lampu telah dimatikan. Sambil bertegur sapa, ia terus melangkah hingga sampai di muka pintu kantor suaminya yang menjabat sebagai direktur di satu rumah sakit itu. Sebelum memegang gagang pintu, terlebih dahulu ia menghirup oksigen kuat-kuat, berharap bisa membuat suaminya terkejut dengan kedatangannya. “Surprise!!” teriaknya. Namun siapa sangka, sebuah pemandangan yang telah membuatnya seperti mendadak kehilangan roh. Matanya membelalak selebar mungkin, seakan bola di dalamnya ingin keluar. Sepasang manusia tersentak, lalu saling salah tingkah sambil merapikan pakaian mereka. Sang laki-laki berdiri mendekatinya.Wahda, kenapa ke sini? Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya? Ingin memberi kejutan ya? Wah aku benar-benar terkejut, seru Bagus panik sambil meraih tangan istrinya. Mata Wahda mengejap, matanya masih tak beralih dari seorang perempuan yang ia kenal sebelumnya. Wahda menarik tangannya. Seketika matanya memerah nanar. Apa yang kalian lakukan di sini?Bukan begitu, Wahda. Kami cuma membicarakan tentang pekerjaan, jawab Bagus terbata-bata. Iya kan, Angel?Iya, Wahda. Kami cuma membicarakan pekerjaan. Jangan salah paham, jawab Angel sedikit gugup.Wahda menatap wajah perempuan cantik yang tidak memperlihatkan rasa berdosa. Meski hanya tangkapannya beberapa detik, ia yakin dengan penglihatannya.Jangan salah paham? Siapa yang salah paham? Aku belum bilang apa-apa. Kalian saja yang menuduhku begitu.Bagus bernapas lega. Ia kembali berusaha menarik tangan Wahda, tetapi kembali gagal. Perkataan dan sikap kalian semakin menjelaskan bahwa apa yang kulihat tadi tidak salah, tukas Wahda. Bagus tersentak, tetapi ia berusaha tenang. Wahda, aku tidak mengerti apa maksudmu?Jangan mengelak lagi. Penglihatanku tidak salah, ucapan kalian menguatkannya. Kalian telah tertangkap basah. Jujur saja, kalian telah berbuat khianat di belakangku, iya kan? tuding Wahda dengan diusahakan datar, padahal dalam dadanya bergemuruh hebat. Emosi Bagus mulai terpantik. Jadi kamu ke sini tanpa pemberitahuan hanya untuk memata-mataiku? Oke, memang benar. Apa yang kamu lihat itu benar. Sekarang puas?!Wahda tertawa ngilu. Bukannya merasa bersalah, kamu malah menuduhku. Asal kamu tahu, aku ke sini untuk kasih kejutan, tapi apa yang kudapatkan?! ucap Wahda mulai bergetar. Pertahanan dirinya hampir roboh. Sekilas Bagus terlihat rasa bersalah, tetapi egonya terlanjur tinggi. Wahda menghela napasnya. Ini pertama kalinya kamu membentakku. Jadi inilah wajah aslimu?” Ia menundukkan pandangannya, sambil menghalau cairan yang mau tumpah di kelopak matanya. “Jadi selama ini kamu menyembunyikan wajah aslimu dariku?” Bagus tergagap. “Tapi bukankah selama ini aku telah bersikap baik padamu? Apakah itu tidak cukup?”“Cukup, andai sekarang aku tidak melihat kenyataan pahit ini,” sahut Wahda dengan sekuat tenaga menahan gejolak yang hampir meledak.“Wahda, aku ….” Bagus merasakan mulutnya bungkam. Apapun perkataannya, pasti terlihat buruk akibat kelengahan sesaat. “Semua telah terjadi. Kamu tidak mungkin menggabungkan kami keduanya 'kan?” Angel merangsek maju. “Wahda, ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Aku tidak bermaksud untuk menghancurkan rumah tanggamu.”“Lalu kamu mau seumur hidup tanpa status?” telak Wahda. Angel membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. “Gus, sekarang ambillah keputusan. Kamu pilih aku atau dia?”Bagus meraih tangan Wahda. “Wahda, mari kita pulang. Kita bicarakan baik-baik, dengan kepala dingin.” Wahda menarik tangannnya. “Kepala dingin bagaimana? Hasilnya tetap sama kan? Kamu tidak sanggup melepaskannya. Meski sekadar membohongiku saja di depannya kamu tidak sanggup, karena itu akan menyakitinya. Iya kan?”“Wahda? Oke, aku salah. Beri kesempatan satu kali lagi, ya,” bujuk Bagus.Wahda menyungging sebelah bibirnya. “Lima tahun kita bersama, kamu masih tidak sanggup berpaling darinya. Lalu aku harus memberimu waktu berapa tahun lagi? Enam, tujuh atau sepuluh tahun?” Wahda tertawa. “Tidak mungkin aku menyiakan-nyiakan waktuku untuk sesuatu yang tidak pasti. Kalau begitu, bebaskan saja aku.”“Wahda, please, kita harus pikirkan ini baik-baik, oke.”Angel mendeham. “Kalau begitu aku keluar dulu. Kuharap kalian bisa baikan lagi.”“Tunggu, jangan beranjak sedikitpun dari sini!” titah Wahda dengan tatapan tajam. Angel terdiam. Wahda beralih ke arah Bagus. “Pikirkan bagaimana lagi? Begini saja, sekarang aku minta, tinggalkan dia, berhenti dari pekerjaan ini. Kamu cukup praktek di rumah saja. Gimana?” tawar Wahda.“Bagaimana mungkin. Wahda, kuharap kamu mengerti keadaanku. Aku baru saja menaiki jabatan ini. Jabatan impian banyak dokter, bagaimana mungkin kamu menyuruhku berhenti begitu saja?!”“Kalau begitu, ceraikan saja aku!” tukas Wahda. Bagus tersentak. Seketika darahnya kembali mendidih. “Mengapa? Mengapa kamu seperti tidak memahamiku? Kamu tahu bagaimana perjuanganku sampai di titik ini, dan sekarang menyuruhku berhenti begitu saja. Mengapa kamu memojokkanku seperti ini?“Jadi aku harus bagaimana? Membiarkan kalian terus berhubungan di sini?’“Kalau begitu, aku yang pergi sejauh mungkin. Aku janji tidak akan mengganggu kalian lagi,” sela Angel.“Kamu pikir aku sebodoh itu? Lagi pula, untuk apa aku mempertahankan laki-laki yang lebih mementingkan jabatan dan mantan daripada perkawinannya.” Wahda beralih ke Bagus. “Gus, sekarang juga ceraikan!” “Oke!” teriak Bagus. Untuk apa aku mempertaruhkan jabatan dan Angel untuk perempuan manja dan mandul seperti kamu. Kamu tidak apa-apanya dibandingkan Angel. Hanya seorang dokter, sombongnya minta ampun. Dibanding Angel kamu tidak apa-apanya. Puas?!”Wahda tersentak. Ekor matanya melihat senyum miring Angel.“Puas! Puas sekali. Terima kasih telah menyadarkanku. Hari ini, aku seorang Wahda, lima tahun mengabdi suami, telah dihina di depan mantan. Sekarang ceraikan saja aku. Jangan ditunda lagi. Besok atau lusa sama saja.”“Baik. Dokter Wahdatul Aisya, detik ini aku juga menceraikanmu,” ucap Bagus terdengar lugas dan tanpa paksaan.Pecah sudah kaca yang sejak tadi membentuk di matanya. Ia menundukkan pandangan ke bawah. Terasa ada cairan yang merembes dari selangkangannya. Wahda mengangkat kepalanya, menatap wajah laki-laki yang ia cintai setengah mati. Ingin sekali, ia mencari perhatian dengan merengek seperti apa yang telah dilakukannya dulu pada Bagus. Tapi untuk apa? Bagus bukan lagi suaminya.Wahda, itu apa? tanya Bagus mulai panik. Wahda kembali menundukkan pandangan. Ternyata cairan merah pekat itu telah menggenangi lantai. Tiba-tiba ia menyadari satu hal buruk akan terjadi lagi padanya. Karena ini, ia tidak akan bisa lagi memaafkan laki-laki di depannya. Perlahan pandangannya mulai kabur dan kesadarannya pun mulai menurun. Tubuhnya ambruk. Sesaat ia sempat mendengar panggilan dari seorang laki-laki yang baru saja mengucapkan kata cerai untuknya.
***Part 2 Mendadak Asing
Kamu sudah sadar? Sebuah pertanyaan nada khawatir keluar dari seorang laki-laki yang sangat ia cintai selama lima tahun ini. Laki-laki yang telah ia beri segenap perasaan dan perhatian. Menyadari itu, membuat sakit yang masih membekas kembali nyeri menyiksa. Kenapa kamu tidak pernah cerita kalau kamu hamil? tanya Bagus penuh sesal. Wahda masih belum bersuara. Ruang rawat inap yang seharusnya tempat seorang dokter bertugas, kini malah sebagai pasien. Memori beberapa jam yang lalu kembali mengulang. Menyaksikan suaminya bercumbu mesra dengan mantan.Ia memejamkan mata. Berharap bayangan itu mau beranjak pergi. Kenyataannya gambaran semakin terlihat nyata saat mata terpejam. Perlahan air matanya mengalir. Ia telah kehilangan segalanya. Suami, bahkan janin yang telah lama dinantikan. Aliran darah ke lantai kembali mengulang dalam benaknya. Meski belum mendapatkan kabar dari dokter yang menanganinya, dengan darah sebanyak itu, ia tahu janin dalam kandungannya tidak akan terselamatkan lagi. Tadinya aku ingin memberitahumu, tapi ternyata aku disuguhi perbuatan gila yang merenggut janinku. Pergilah. Setelah calon jabang anak kita keluar, iddahku telah berakhir. Sekarang kita tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kita sekarang menjadi orang asing, ucapnya dingin dengan mata masih terpejam. Bagus tersentak. Ia menggeleng. Wahda, aku menyesali perbuatanku. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki. Wahda menggeleng. Tinggalkan aku! pintanya. Wahda!"Keluar!! Kali ini nadanya sedikit meninggi, meski kentara dengan penekanan. Wahda membuka matanya. Dengan tertatih ia berusaha duduk. Wahda, kamu jangan terlalu mengeluarkan tenaga, cegah Bagus sambil memegang pundaknya. Wahda langsung memencet tombol yang tak jauh dari kepalanya dengan membabi buta. Sehingga beberapa orang perawat berlarian mendatanginya. Kenapa, Dok? Kak, kumohon suruh dia pergi! Aku ingin istirahat. Wahda?! Bagus membelalak tidak percaya. Para perawat kebingungan. Bagaimana mungkin berani mengusir direktur rumah sakit tempat mereka bekerja? Mereka juga tahu Wahdatul Aisyah istri Bagus Jayasari yang bekerja di rumah sakit daerah. CEPAT! Bawa dia keluar! teriak Wahda. Seketika ia meringis sambil memegang perutnya.Wahda?! Bagus ingin mendekat, tetapi langsung dicegah salah seorang perawat laki-laki. Maaf, Dok!Bagus masih menatap Wahda tidak percaya. Tanpa menoleh Wahda berbaring, lalu menutup dirinya dengan selimut. Wahda! Wahda masih bersembunyi di selimutnya. Akhirnya Bagus pasrah, memutuskan keluar ruangan. Wahda keluar dari persembunyiannya setelah Bagus hilang dari pandangannya. Seketika tangisnya pecah. Merutuki nasib yang tiba-tiba berubah hanya beberapa jam. Mengapa secepat kilat semuanya terenggut darinya? Siapapun tidak akan menyangka kalau Bagus selingkuh darinya. Pagi-pagi Bagus masih sempat mencumbu yang membuatnya terlambat bekerja. Ia menyadari ada yang berubah pada dirinya saat jam makan siang di kantin. Tiba-tiba ia sangat tidak suka aroma masakan hati dan ampela yang di etelasi kantin. Perut mual membuatnya urung memesan makanan, lalu berlari ke toilet terdekat. Saat itulah ia baru menyadari kalau siklus mensnya telah terlambat entah berapa Minggu. Itulah salah satu kebiasaan buruknya, tidak mengingat kapan mens dan berakhir. Tidak. Awalnya ia memang sengaja berusaha tidak peduli dengan siklus menstruasi karena mengingat dirinya yang sering kecewa akibat mens terlambat. Hanya Allah yang tahu, bagaimana perasaannya saat melihat garis dua biru di testpack miliknya. Ingin rasanya ia berteriak di dalam toilet, andai tidak mengingat kalau dia tidak sedang berada di rumah sakit. Namun, ia memutuskan memberi tahu Bagus malam hari saja sekalian menjemput pulang. Nahasnya, tanpa diketahui dirinya sebenarnya menuju jalan kehancuran. Secepat kilat ia ditalak, dan hanya beberapa menit kemudian masa iddahnya habis. Seketika mereka menjadi orang asing. Seorang perawat laki-laki urung masuk melihat dirinya yang menangis tersedu dalam selimut.
***Bagus melangkah gontai memasuki rumah minimalis mereka yang sangat terawat. Tiba-tiba perasaannya dicekam hampa. Biasanya, saat datang ke rumah, selalu ada senyum untuknya. Mengambil alih barang bawaannya, juga menyediakan air hangat dalam bathtub, tak lupa mencampur dengan sabun aroma terapi. Kamarnya kini benar-benar sepi. Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang ukuran king size. Mata menatap langit-langit, pikirannya entah ke mana.Hatinya hancur, semenjak Angel memilih karir daripada dia. Angel memilih beasiswa kuliah di Amsterdam daripada lamarannya. Ia sadar, dirinya memang egois saat itu. Namun, ia melakukan itu karena sangat mencintai Angel. Sayangnya Angel tidak memahami dan menuduhnya laki-laki egois. Hubungan mereka berakhir sampai di situ. Sejak itu, hatinya membeku. Lalu, Wahda sebagai junior saat itu selalu ada untuknya. Menghibur dan membantu segala keperluannya. Karena itu, ia mencoba membuka diri untuk Wahda, meski hatinya telah pergi bersama Angel. Rumah tangganya berjalan harmonis, meski ia rasakan hanya sebagai simbiosis mutualisme. Wahda baik, ia pun baik. Siapa sangka Angel kembali datang dengan tampilan lebih matang dan memesona dari sebelumnya. Kemandirian Angel membuatnya tak pernah bisa berpaling dari wanita itu. Semua pengabdian Wahda seketika mengecil. Perhatian di matanya menjadi posesif yang melelahkan. Cinta yang teramat dalam berwujud manja yang membosankan. Angel semakin sempurna di matanya. Di antara bosan dan lelah, Angel menawarkan ide brilian dan kehangatan. Siapa yang kuasa menolak kesempurnaan Angel? Nahasnya, mengapa tiba-tiba Wahda datang ke rumah sakitnya. Ironisnya, seketika pula telah kehilangan anaknya. Bagus mengangkat kepalanya. Bukankah kamu bisa mendapatkan anak dari Angel?! Wanita cantik dan mandiri yang selama ini kamu rindukan. Bagus tersenyum dengan kalimat yang bisikkan untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba Bagus tersentak. Mengapa ia melupakan ibunya? Wahda mantu yang paling disayangi ibunya. Ia tidak bisa membayangkan, jika ibunya mengetahui hal ini. Bagus mengocok kasar rambutnya. Gus, mengapa kamu sebodoh ini?!
***Saat ibunya datang, Wahda sudah mulai bisa menguasai dirinya. Hatinya semakin teriris, membayangkan bagaimana jika ibunya mengetahui hal yang dialaminya, pasti akan membuat perempuan yang telah melewati paruh baya itu akan sedih. Wahda tidak tahu, harus bagaimana nanti untuk mengabari ibunya mengenai rumah tangganya. Lima tahun ia berusaha memperlihatkan semuanya baik-baik saja, kini akhirnya kandas.Telah lama ia merasakan ketimpangan dalam rumah tangganya. Ia sadar, dirinya bukan prioritas utama Bagus. Mungkin hanya beberapa persen dirinya di mata suaminya, ia selalu berusaha puas dan bersyukur. Ternyata syukur saja tidak cukup. Cinta perlu dipertahankan oleh kedua belah pihak. Atau memang dari dulu, di hati suaminya tidak ada dirinya. Bagai burung hanya bisa terbang dengan sebelah sayap. Suatu saat akan jatuh juga. Sayangnya, ia jatuh bukan karena kelelahan mengepak, melainkan dihempaskan setelah melayang jauh.Mungkin sebuah kemustahilan burung bisa mencapai tujuan dengan satu sayap. Dirinya saja yang terlalu naif dari awal.Cintanya pada Bagus luar biasa, mengalahkan segalanya. Menutupi cela, sayangnya Bagus tidak pernah peduli dengan hal itu. Di mata Bagus, dirinya hanyalah sebongkah batu yang menutupi lubang kecil di dunianya. Sekarang hati Bagus telah kembali peraduannya, rumah impian yang dibangun selama lima tahun dihempas begitu saja. Ironis. Perutnya kembali nyeri, membuatnya kembali meringis. ***
Bu, bisakah Ibu keluar sebentar?! Aku ingin bicara dengan mereka, ucap Wahda pada ibunya saat Teratai dan Sanad datang.Perempuan lanjut usia sesaat menatap Sanad, Mauriyah. Sanad membalasnya dengan anggukan. Mauriyah berdiri mengambil dua gelas air mineral lalu menyerahkan pada Sanad. Bibi keluar dulu. Nasihatilah, jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Keguguran itu biasa, setelah sehat kita bisa mencoba lagi.Sanad mengangguk. Sesaat Mauriyah dan Teratai saling mengangguk. Pandangan Wahda terus mengiringi langkah ibunya, hingga perempuan itu hilang dari pandangannya. Sanad menyerahkan air mineral pada Teratai, lalu mendekatinya. Tiba-tiba ia tersentak Wahda memeluknya pinggangnya. Teratai lebih tersentak lagi. Ia tahu Wahda sepupu dekat Sanad, tapi tak menyangka perempuan itu akan memeluk Sanad di depan matanya. Tangis Wahda pecah. Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung, menatapnya. Part 3 Yang Bernama Rasa MENDADAK TALAK Part 3Cinta di Ambang Batas
🌸🌸🌸 Tangis Wahda pecah. Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung. Menangislah jika itu membuat lebih nyaman, saran Sanad setelah menurunkan tangannya. Wahda melepaskan pelukannya. Wajahnya sembab memerah. Aku nggak tau harus gimana ngomong pada ibu! Teratai bergegas mengambilkan tisu dan meletakkan di dekat Wahda. Terima kasih, ucap Wahda sambil mengambil beberapa lembar tisu, lalu membersihkan wajah dan hidungnya. Namun, yang terjadi air matanya tak kunjung berhenti. Bukannya ibumu sudah tahu kamu keguguran? Lagi pula, besok kamu masih bisa mencoba lagi? Ibumu pasti ngerti kok. Wahda menggeleng. Sesaat ia menarik napasnya dalam-dalam. Aku dan Bagus … kami … sudah bercerai. Sanad dan Teratai tersentak, lalu saling bersitatap. Bagaimana bisa? tanya Teratai spontan. Beberapa detik kemudian ia merapatkan bibirnya. *** Dalam perjalanan Teratai hanya terdiam. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat inap Wahda. Kenapa? tanya Sanad. Kita hanya sebagai orang luar, rasa aneh saja, tiba-tiba mereka bercerai. Di perkumpulan keluarga besarmu, aku pernah dengar mereka sangat iri dengan pasutri itu. Suami memiliki karir cemerlang, Wahda juga seorang dokter dan terlihat harmonis. Begitulah manusia. Hanya melihat luaran saja. Kita tidak tahu mungkin di dalamnya mereka sedang menyimpan banyak masalah. Teratai merapatkan badannya. Kamu tahu sejarah percintaan Wahda dengan Bagus? Sanad memajukan wajahnya, sehingga Teratai termundur. Kamu mulai belajar ngerumpi?Teratai memasang wajah manyun. Ia menyandarkan punggungnya. Kamu tau, pekerjaanku dari kecil harus sering menganalisis arah mata angin, mencoba mereka cuaca esok hari dengan melihat bintang dan setiap perubahan. Kalau hanya mengandalkan sumberdayanya, mungkin sampai sekarang aku masih diam di danau. Repotnya, kebiasaan itu terbawa ke suatu yang bukan urusanku. Namun, apa salahnya aku belajar dari pengalaman mereka. Sanad tersenyum. Aku tidak begitu tahu. Kamu sendiri tau, aku bukan tipe peduli pada orang lain. Kalaupun aku sedikit akrab dengan Wahda, itu karena dia memang agresif. Dari sifat dia, aku mengira dia yang mengejar-ngejar Bagus. Jadi mungkin Bagus menerima dia karena putus asa dengan mantan. Lalu ketika kembali bertemu mantan …. Terlebih lagi jika melihat mantan yang …. Entahlah. Sanad menyudahi spekulasinya. Menurutmu? Beberapa saat Teratai terdiam. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Sanad. Dibanding agresif, menurut aku Wahda itu memiliki hati yang hangat, periang dan penuh perhatian. Dapat dibayangkan bagaimana perhatiannya kepada orang yang dia sayanginya. Aku menduga, dia tidak melanjutkan studi spesialis juga karena cintanya yang luar biasa kepada Bagus. Hanya saja, aku tak menyangka, kalau dari sudut laki-laki itu disebut agresif. Sanad menatap tangannya yang diremas Teratai. Kenapa? Ada yang kau takutkan? Enggak. Aku hanya teringat masa laluku. Cinta memang mendorong kita untuk berbuat sesuatu yang kadang sangat luar biasa. Namun, tidak semua yang kita lakukan itu mendapatkan apresiasi yang bagus. Teratai menghela napasnya. Untung cinta segalanya bagiku itu Evan. Sanad mengernyit protes. Evan?! Teratai mengangguk, lalu berpaling, menyembunyikan bibirnya yang hampir melengkung. Melihat laki-laki itu cemburu menyenangkan juga. Sanad menghempaskan napasnya. Ia menyandarkan punggungnya, dan menoleh keluar. Rupanya aku masih belum bisa mendapatkanmu seutuhnya. Cup. Sebuah kecupan mampir di pipinya. Keane yang sejak tadi fokus pada jalan, kini mengintip lewat kaca spion. Sanad menatap wajah Teratai. Jangan khawatir. Selama Evan bersama kita, kamu akan mendapatkan diriku sepenuhnya, goda Teratai. Sanad berdecak mengejek. Bilang saja, kamu juga tidak bisa menolak dari pesonaku! Teratai mencebik. Narsis. Sanad Tertawa. Ia merengkuh bahu Teratai. Bagaimana dengan kafenya? Teratai menghela napasnya. Ia menyandarkan punggungnya ke bahu Sanad. Masih sepi.” Awalnya Tera membangun kafe itu hanya untuk minat. Di mana ia bisa santai bekerja dan belajar sambil menghabiskan hari, menunggu Evan. “Kamu tahu alasan mendirikan kafe itu, tetapi kenapa ketika sepi, jadi masuk kepikiran?” Sanad kembali terkekeh. Itu manusiawi, memikirkan untung rugi. Jangan terlalu dipikirkan. Selama tempat itu membuatmu nyaman, jalani saja. Anggap saja itu sebagai kantor kerjamu, kamu tetap memerlukannya, meski mengeluarkan biaya. Bagaimana dengan proses uyah wadinya?* Masih proses uji coba. Alhamdulillah, Acil Nurul sudah menemukan formula rasa yang pas dan bisa kering. Hanya saja untuk sementara, menunggu berapa lama uyah itu bertahan. Uyah wadi adalah garam untuk rujak. Khusus olahan dari Bangkau, uyah wadi diolah dari air garam rendaman ikan yang diasinkan. Setelah direndam semalaman, ikan diangkat, dibersihkan dan siap dijemur. Airnya diolah menjadi uyah wadi yang dicampuri air asam sebagai penghilang amis, kunyit untuk mempercantik warna dan serai untuk memberikan khas rasa. Biasanya berapa lama bertahan? Mungkin tahunan. Hanya saja, karena biasanya untuk konsumsi pribadi jadi tidak pernah menghitung berapa lama dan tidak memerhatikan perubahannya warna dan struktur. Biasanya ada endapan putih yang muncul. Kalau dikonsumsi pribadi, endapan itu tidak masalah, karena putih itu seperti garam yang mengkristal. Tapi kalau untuk dijual … Semoga saja kali ini berhasil. Santai saja. Tuh akhirnya juga sambil dijual 'kan? Iya, tapi masih dalam bentuk basah. Itupun hanya bisa dititip pada Acil Imai yang pulang pergi ke Kal Teng. Dijual secara curah. Belum bisa dijual dengan kemasan produk dan melalang buana ke mana saja. Santai saja. Anggap itu rencana jarak panjang dan kafe itu sebagai pelepas lelahmu. Teratai mengangguk. Oh iya, Wahda jago bikin es krim. Coba kau ajak dia. Siapa tau bisa kalian cocok. Kalian bisa saling menguntungkan. Kamu bisa menambah menu, dia bisa reliks Teratai meluruskan badannya. Matanya menyipit Boleh dicoba. Nanti aku coba telpon Arsa. *** Sanad mengundangmu ke kafe Teratai. Barangkali kamu menyukai. Aku sering santai ke sana. Gerakan Wahda terhenti mendengar cerita Arsa. Ia kembali memasukkan pakaiannya ke dalam box pakaian yang telah disiapkan Arsa. Masih sepi, tapi lumayan untuk santai. Tempatnya juga nyaman. Wahda meluruskan badannya ke arah Arsa. Arsa, kamu sering ke kafe Teratai? Arsa mengangguk. Ia mengambil alih box yang dipegang Wahda. “Kamu masih menyimpan rasa pada Teratai?” tanya Wahda. Gerakan Arsa terhenti. Ia kembali meletakkan box itu ke atas ranjang, lalu menjentikkan jarinya ke jidat Wahda. “Aku masih normal. Aku memang playboy. Tapi tidak akan mengembat punya saudaraku sendiri.” “Aku tanya apa yang kau masih punya rasa sama Teratai,” sungut Wahda sambil mengusap dahinya yang sakit. “Sudahlah. Kalau sudah kita pergi sekarang. Wahda meraih tangan Arsa. Sa, aku serius. Kalau memang kamu masih menyukainya, lebih baik berhenti sekarang. Jangan lagi ke tempatnya. Arsa mengembuskan napasnya. Aku tau kamu masih trauma dengan sesuatu yang bernama rasa. Tapi jangan samakan aku dengan suamimu yang tidak tahu terima kasih itu. Kuakui, aku tidak bisa mengenyahkan perasaanku padanya begitu saja, tapi aku mempunyai cara untuk membentengi diri. Adapun aku sering ke sana, karena tempat itu memang cocok untuk santai. Aku juga sering ajak cewek-cewek aku ke sana. Cewek-cewek?! ejek Wahda. Arsa memasang wajah cengir. Bukan salahku kalau aku ganteng, ucap Arsa sambil membetulkan kerah bajunya. Mata Wahda membelalak, lalu menjulurkan lidahnya. Sudahlah. Kita balik sekarang. Wahda mengangguk, lalu mengedarkan pandangannya sejenak, memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal. *** Wahda dan Arsa memelankan langkahnya. Di luar terlihat orang berkerumun, dan beberapa orang perawat menatap sekilas pada mereka lalu saling berbisik. Hingga sampai di teras rumah sakit, keduanya saling bersitatap. Di depan mereka, Bagus dengan mengenakan setelan jas biru malam berdiri sambil memegang buket besar berisi mawar merah. Wahda menduga mawar di dalam buket itu ada ratusan. Di belakang Bagus ada Angel yang terus memberikan senyuman. Bagus mendekat, lalu berjongkok, meletakkan sebelah lututnya ke lantai, dengan tengadah ia menyerahkan buket besar itu kepada Wahda. “Apa ini?” tanya Wahda. “Terimalah. Ini sebagai permohonan maafku. Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi, ya.” Angel mendekat. “Wahda, percayalah kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Aku akan resign dan pergi dari sini. Wahda terdiam, menatap mawar merah yang masih terarah padanya, meminta disambut. Perlahan tangannya terangkat menyentuh buket itu. ***Part 4 Sebutkan Satu Saja“Apa ini?” tanya Wahda.“Ini sebagai permohonan maafku. Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi ya.” Angel mendekat. “Wahda, percayalah kami tidak memiliki hubungan apa-apa.”Wahda terdiam, menatap lekat mawar merah yang masih terarah padanya, meminta disambut. Perlahan tangannya terangkat menyentuh buket itu. Arsa menatapnya dengan dengusan ejek. “Dasar, bucin,” omelnya. Mata Bagus berbinar cerah. Namun, siapa sangka, tangan Wahda mendorong buket itu ke arahnya. “Kita sudah menjadi orang asing. Tidak mungkin lagi kita bersatu.”Bagus berdiri. “Jika memang demikian, aku akan kembali menikahimu. Aku tak bisa hidup tanpamu.”Wahda tersenyum sinis. “Sebagai apa? Istri yang terus melayanimu, tanpa kamu peduli dia mau apa?! Apa bedanya dengan pembantu?!”“Bukan begitu. Jangan samakan seorang istri dengan pembantu! Aku tidak pernah memandangmu seperti itu,” sanggah Bagus.“Oke, aku tanya padamu. Sebutkan satu saja makanan favoritku. Jika benar, aku akan mempertimbangkannya.”Bagus tergagap. Ia membuka mulut, tetapi tidak ada huruf yang keluar darinya. Tiba-tiba ia menyadari, mungkin inilah yang paling tolol dalam seumur hidupnya.“Tidak tahu kan?!” sela Wahda. “Gus, aku melayanimu lima tahun, masa kamu tidak tahu satupun makanan kesukaanku?!“Oke, aku salah. Tapi, apa yang kulakukan ini bukankah sudah berusaha menyenangkanmu? Beri aku satu kesempatan lagi, pinta Bagus.“Jadi ini bukan permintaan maaf yang tulus? Menyenangkan?” ejek Wahda. “Kau pikir ini apa? Drama? Ini memalukan! Apa kamu tidak lihat, kita jadi perhatian orang-orang?!”Bagus tergagap. Ia memutar pandangannya. Puluhan mata tertuju padanya. Kemudian ia menatap Angel. Angel memperlihatkan wajah bersalah. Wahda tersenyum sumbang. “Jadi kamu melakukan ini juga atas saran Angel?”Bagus tidak menjawab. Namun dari kilatan matanya, Wahda sudah tahu jawabannya. “Gus, rupanya kamu benar-benar buta tentangku. Kemana saja selama lima tahun ini?!” Wahda berpaling ke arah Arsa. “Sa, yuk!” Arsa mengangguk. Ia melangkah maju sambil masih mendekap box berisi peralatan Wahda.Bagus termangu. Menatap Wahda yang menjauh dan memasuki mobil Arsa.Angel menepuk bahunya. “Nanti kita bisa coba lagi.” Bagus mengangguk lesu. Ia menyerahkan buket itu kepada Angel, lalu melangkah ke dalam. Beberapa orang di selasar menatapnya dengan berbagi rupa. Ada yang menatap dengan iba, ejek, juga mengolok. Hilang semua wibawa yang ia bangun selama ini. Di belakang Angel menciumi mawar merah yang kini beralih ke tangannya. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Sebagai wanita mandiri hingga sampai ke titik ini, telah banyak mengecap asam garam kehidupan tentu sangat kenal dengan karakter manusia umumnya.Tatapan seperti itu hanyalah lalat yang akan pergi cukup dengan dikibas. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, lalu membagikannya satu persatu kepada beberapa perempuan di sana. Seketika mereka menatapnya dengan penuh terima kasih.
***Sekarang kita mau ke mana? tanya Arsa saat mereka menunggu plang parkir belum terbuka. Ke rumah ibuku."Apa kamu sudah siap? tanya Arsa melajukan mobilnya. Ada kamu, jawab Arsa berdecak. Dasar, sepupu ngerepotin! Apa gunanya punya sepupu kalau tidak direpotkan?!Arsa menghempaskan napasnya. Nasib-nasib sebagai jomlo, bukan ngurusin cewek, malah urusin anak orang, gerutu Arsa. Wahda tertawa. Putus lagi? Arsa terdiam. Wahda masih terkekeh. Makanya yang serius. Giliran serius, eh menyukai istri orang. Kayak hidupnya sudah benar saja, sahut Arsa. Jadi nggak kita ke kafe Teratai? Kalau jadi, nanti sore aku jemput.Iya. Tapi hari ini kamu harus stay temani aku. Aku mau mengurus izin cuti, mengambil beberapa barang ke rumah dan ....Tapi hari ini aku kerja. Kau mau aku dipecat? potong Arsa.Wahda mengangkat alisnya. Beberapa detik kemudian, ia mengambil ponselnya dari dalam tas. Assalamualaikum. Hallo, Sayang! Bagaimana kabarmu? Katanya kamu masuk rumah sakit? Maaf ya, Tante belum sempat jenguk kamu. Kening Arsa mengerut begitu mendengar sahutan di seberang sana. Waalaikum salam. Tidak apa, Tante. Ini sudah mau pulang. Kabarku kurang baik, Tante. Karena itu, aku minjam Arsa ya, Tante. Arsa libur hari ini ya, buat nemani aku.Arsa di situ? tanya Fatima, bibi sekaligus bosnya Arsa. Iya, Tante. Dia yang jemput aku dari rumah sakit. Aku minjam dia dulu, Tante. Ada yang mau mau aku urus. Boleh ya, Tante, bujuk Wahda. Jangan, Tante. Begini saja, aku sudah nggak betah dengan kebawelan dia, seru Arsa setengah berteriak. Arsa, kamu temani dia. Dia baru dari rumah sakit. Pasti belum pulih total. Kamu temani dia, kecuali kamu ingin berhenti kerja. Tante?!Wahda tertawa. Terima kasih, Tante. Tante baik deh. Ummaah.***
Angel mengetuk pintu kantor Bagus yang terbuka. Laki-laki yang termangu itu seketika terkesiap. Angel?!Tanpa disuruh Angel memasuki ruangan kantor itu. Ia berdiri di samping Bagus. Aku mengerti perasaanmu. Sesal pasti ada. Tapi menurutku dia benar, kamu tidak mencintainya. Sekadar makanan favoritnya saja kamu tidak tahu. Kamu ingat saat kita pacaran dulu, kamu selalu berusaha mencari tahu apa saja kesukaanku.Aku akui salah dalam hal itu. Mungkin dia benar, cintaku tidak seberapa kepadanya. Tapi sekarang aku membutuhkannya. Semalam saja tanpa dia, hidupku benar-benar kacau. Apakah itu tidak cukup dikatakan sebuah cinta? Angel tertawa mengejek. Gus, Gus, aku tidak menyangka laki-laki pintar di akademik ternyata sebodoh ini. Cinta sama butuh itu beda. Angel mendekatkan wajahnya. Dari dulu kamu hanya mencintaiku, sedang dia hanya kau jadikan serep. Sadarilah itu!Angel memajukan wajahnya. Bagus mengerjap. Spontan ia menjauhkan wajahnya dan berdiri. Aku capek. Aku pulang dulu.
***Sesampai di rumah, Mauriyah sedikit terkejut dengan kedatangannya dan Arsa yang membawa box berisi peralatannya.“Badanku masih lemas, Bu. Boleh aku tidur dulu di sini beberapa hari?” ucap Wahda sedikit gamang. Andai bukan karena beralasan sakit, ibunya pasti tidak mengizinkannya. Ibunya pernah berpesan suami itu raja, harus dilayani sepenuh perhatian supaya dia tidak ke lain hati. Jangan pernah membiarkan suami tidur sendirian di rumah, kecuali keadaan tertentu. Karena itulah, ia tidak terlalu berambisi lagi melanjutkan studi. Namun, setelah semua terjadi, ternyata berakhir dengan kehancuran. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan ibunya jika mengetahui keadaan rumah tangganya. “Jika suamimu mengizinkan, boleh. Nanti ibu bikin sop babat, semoga kamu bersemangat makan dan badan cepat bertenaga.”Wahda memeluk ibunya dari belakang. “Aku selalu suka dengan masakan ibu. Masakan ibu semuanya enak. Aku pasti akan memakannya.”Mauriyah mendengus. “Kalau ada maunya, baru memuji.”Wahda tergelak. Tiba-tiba ia takkuasa, menahan diri, ia memeluk erat badan yang mulai ringkih itu.“Apa yang terjadi?” tanya Mauriyah pelan. “Tidak, Bu. Tiba-tiba saja kangen seperti ini.”Mauriyah tersenyum. Ia menepuk punggung tangan Wahda yang melingkar di pinggangnya. ***Dengan melangkah pelan Wahda memasuki rumahnya. Perasaannya remuk redam saat memasuki rumah itu. Mengurai kenangan yang terlanjur tercetak selama lima tahun. Andai bukan karena sesuatu yang penting, ia tidak akan memasuki rumah ini dalam waktu dekat.Tubuhnya terhenyak di ujung ranjang. Tangisnya kembali menderu. Sulit dipercaya keadaan berubah secepat kilat. Masih segar dalam ingatan, pagi-pagi memadu asmara, malamnya sudah menjadi janda. Di luar Arsa menatap pintu kamar yang terbuka. Terdengar deru tangis teman kecilnya. Ia tahu tak pantas seorang laki-laki memasuki kamar wanita yang bukan mahramnya, hanya saja deru tangis itu membuatnya tak kuasa menahan diri. Ia memasuki kamar itu dan menyandarkan kepala Wahda ke pinggangnya. Tangis Wahda semakin menderu. Memenuhi kamarnya yang sebenarnya cukup luas. Menangislah. Kuharap setelah ini, tidak ada lagi air mata yang tumpah. Air matamu sangat berarti. Tak layak kau tumpahkan untuk seorang Bagus. Songsonglah masa depan, kamu berhak bahagia. Entah sendiri atau dengan siapapun.Wahda mengangkat wajahnya. Menatap wajah sepupu yang selama ini suka membuatnya kesel. Pada saat tertentu, sepupunya yang satu ini memang dapat diandalkan. Arsa mengusap lembut wajahnya. Kamu tidak sendiri. Ada ibumu dan aku yang siap ada untukmu. Perlu kamu ingat, kamu memiliki banyak sepupu laki-laki. Meski sepupu, percayalah kami akan selalu membelamu.Wahda mengangguk. Kembali ia membenamkan wajahnya di pinggang Arsa. *** Terlihat mobil Arsa memarkir, saat Bagus memasuki halaman rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil, Wahda dan Arsa muncul dari balik pintu rumahnya. Hatinya terasa diremas melihat wajah bengkak Wahda dan langkah yang terlihat lemah. “Wahda, ini rumah kita, rumahmu,” ucap Bagus setelah melihat koper besar yang ditarik Arsa. Arsa terus menarik koper itu hingga ke mobilnya. Wahda menggeleng. “Rumah ini tidak lagi menawarkan senyuman dan mimpi. Berapa menit saja aku di sini, rasanya tubuh ini tak kuat lagi menahan sakit yang ditorehkan kenangan. Jadi aku tidak mungkin lagi tinggal di sini.”Bagus meraih tangannya, tetapi Wahda segera mundur. “Wahda, aku memang salah, tapi aku tau kau masih mencintaiku, berilah aku kesempatan sekali lagi, ya,” bujuk Bagus. Wahda menengadahkan wajahnya. Menatap wajah tampan yang kelihatan kusut itu. Wajah yang selalu ingin ia lihat saat sebelum menutup dan membuka mata. Satu-satunya Wajah dalam mimpinya selama lima tahun ini. Benar aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan