
Deskripsi
Novel Teratai Kedua Part 38-40 (Ending)
***
Part 38 (Orang Kota dan Orang Kampug)
Part 39 (Menuju Ending)
Part 40 (Ending)
1 file untuk di-download
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
Rumah Asa (Bahagia Setelah Kau Pergi) Part 1-42
0
0
Novel Romance inspirasiPart 1 Kenapa Ayah Memeluknya Ayah, kenapa merangkul Tante Rana? tanya Izza, bocah sembilan tahun sambil memegang boneka. Izza, sudah datang? Sini peluk ayah. Ayah rindu sekali. Ridwan mendekat dan menjongkok, tetapi Izza menjauh.Ayah belum jawab pertanyaan Izza. Ayah bilang, tidak boleh laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram bersentuhan, tetapi, kenapa ayah tadi merangkulnya? Dia 'kan bukan mahram Ayah? Izza menatap sahabat ibunya polos. Matanya beralih ke perut Rana. Ia tahu Rana dan ibunya bersahabat, tetapi baru kali ini melihat ayahnya menyentuh perempuan itu.Sedang Anita tak kuasa lagi menahan air mata. Sesuatu yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Sebelumnya ia telah meminta Ridwan agar jangan membawa perempuan itu ke rumah mereka. Ternyata di belakangnya Ridwan ingkar janji dan siapa sangka bertepatan dengan Izza pulang ke rumah. Dari awal kepercayaannya sudah hilang kepada Ridwan. Sebelum Izza pulang, Anita sudah berusaha menghubungi laki-laki itu, tapi tak kunjung diangkat. Pesan teks yang dikirimnya, tak kunjung dibaca. Dari perjalanan, ia dengan Bayu sudah berusaha mengalihkan perhatian Izza agar tidak ke rumah, dengan mengajaknya ke rumah nenek bahkan mengajak ke mall.Namun, anak itu sudah sangat merindukan ayahnya. Berbagai rayuan dicoba sudah tidak mempan lagi.Dengarkan Ayah. Kita masuk dulu, ya. Nanti ayah jelaskan. Suara Ridwan menembus lamunan Anita. Ridwan kembali mendekati Izza. Izza hendak menjauh, tapi Ridwan sigap menangkap lengannya.Izza menoleh ke arah Anita. Ia lihat wajah ibunya basah. Pandangan Izza beralih ke ayah yang ada di depannya. Kenapa ibu menangis? Pasti karena Ayah nakal, selama ibu tidak ada.Ridwan mendesah. Ia memegang kedua tangan putrinya. Tidak. Ayah tidak nakal. Lalu kenapa Ayah deketan sama Tante Rana? Ayah bilang la--Izza, potong Ridwan. Izza suka adik bayi, kan?Izza mengangguk. Mata Izza berbinar cerah. Ridwan merasa sedikit bernapas lega.Sebentar lagi Izza akan punya adik bayi. Mata Izza semakin membesar.Bayi yang di perut Tante Rana itu ... adik Izza.Izza terkesiap. Ia masih belum mengerti, mengapa ayahnya bilang, bayi di perut Rana itu adiknya? Namun, insting membuatnya menarik tangan, lalu mundur beberapa langkah. Ia menggeleng. Izza hanya ingin adik bayi dari ibu.Izza. Ridwan mendekat. Tetapi Izza berlari ke arah seorang laki-laki yang sedari tadi berdiri mematung di samping mobil, Bayu. Izza menarik tangan Bayu. Om, bolehkan Izza jadi penghuni tetap Rumah Bahagia? Izza ingin tinggal di sana.Bayu bungkam. Situasinya sebagai orang lain benar-benar tidak bagus. Ia tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Andai bukan karena mengkhawatirkan Izza, sedari tadi ia sudah menjauh.Bayu berjongkok. Boleh, Izza. Rumah Bahagia selalu terbuka untuk Izza. Hanya saja, masuklah dulu ke rumah. Ayah sangat merindukan Izza.Izza menggeleng. Seketika ia menangis. Ayah tidak pernah merindukan Izza. Selama di rumah sakit, ayah cuma sesekali jengok Izza. Ayah sudah punya adik bayi. Tangisan Izza semakin menderu. Ia menggoyang tangan Bayu. Om, kita balik ke Banjar, yuk. Ridwan mendekat, lalu mendekap Izza. Jangan ngomong begitu. Ayah sangat rindu Izza. Biarkan Ayah memeluk Izza.Bayu berdiri menjauh. Tanpa sadar ia juga meneteskan air matanya. Tangisan pilu Izza telah membuat lukanya kembali menganga.Engga mau. Izza meronta-ronta. Ridwan makin mendekap erat. Melihat itu Anita berlari mendekati mereka.Engga mau.Mas, lepaskan. Anita berusaha melepaskan tangan suaminya. Ridwan mendekap erat. Ia pun menangis. Sesal telah memenuhi ruang hatinya. Hatinya sangat hancur dengan penolakan putri kesayangannya.Engga mau. Izza semakin berontak.Ayah sayang Izza. Ayah bohong, lirih Izza. Sepertinya tenaga Izza sudah habis akibat memberontak. Izza! Izza terkulai lemas dalam dekapan Ridwan. Izza, teriak Anita. Ridwan melonggarkan pelukannya. Izza, kau tidak apa-apa, Nak? Anita mengguncang tubuh Izza. Izza bergeming. Bayu merangsek. Ia menyentuh lengan Izza. Terlihat bintik-bintik merah telah muncul di kulit putih Izza. Gawat. Cepat kita bawa ke rumah sakit. *** Flashback. Hemoglobin 10.0L, Trombosit 21 L, Leukosit 20. L Anita merasakan tungkai kakinya melemah setelah membaca hasil laboratorium cek darah putrinya. Terapi sudah berjalan enam bulan, membaca hasil laboratorium seperti itu bukan pertama kali baginya sebagai seorang ibu yang memiliki putri penyintas leukemia. Tidak. Ia tidak akan terbiasa menerima keadaan ini. Hanya saja, ia harus selalu kelihatan tegar di depan putrinya. Ia tidak boleh kelihatan lemah, karena nantinya akan mempengaruhi psikologi anaknya. Transfusi darah lagi, keluh Anita, sambil menyusuri selasar ruang Hemato-Onkologi. Sudah dua pekan Izza di ruang Hemato-Onkologi, ruangan khusus penyintas kanker dan kelainan darah. Dua pekan ini, Izza sudah menyedot lebih dari lima puluh kantong TC (thrombocyte) dan dua PRC (Packed Red Cell)Sebelum membuka pintu ruang inap putrinya, sejenak ia melepaskan napas beratnya, lalu mengisi oksigen baru yang diimbangi dengan dzikir. Berharap memberinya sedikit kelapangan. Assalamu 'alaikum, ucapnya lirih. Di rumah ia selalu terbiasa mengucapkan salam ketika membuka pintu rumah atau pintu di kamar. Ketika di rumah sakit ia merasa tidak nyaman melakukan hal itu. Karena tiap orang tentu memiliki karakter yang berbeda. Bahkan sekarang, kadang ucapan salam sudah dianggap aneh atau peminta-minta. Bagaimana hasilnya, Ma? tanya Izza, ketika ia telah mendekati nakas di samping ranjang putrinya. Terlebih dulu ia menatap putrinya. Terlihat Izza sedang menunggu laporan dari mamanya. Anita menyerahkan lembaran hasil laboratorium. Izza yang bermimpi menjadi dokter anak mencermati nama-nama beserta angka-angkanya. Tambah darah lagi ya?Anita mengangguk lambat. Izza menarik napas, lalu melepaskannya. Ia menarik tangan mamanya Jangan khawatir, Ma. Izza kuat. Anita tersenyum haru. Matanya berkaca-kaca. Sesaat ia menatap tangan Izza yang masih terpasang jarum infus. Ia duduk di ranjang Izza. Tangan sebelahnya mengelus kepala Izza yang sudah mulai rontok. Mama bangga pada Izza. Izza pasti bisa melewati semua ini.Izza mengangguk pasti.Anita menghela napas. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ruangan diisi enam pasien yang ditemani salah satu keluarganya. Kak Rizky asik banget nonton. Nonton apa? tanya Anita, pada pasien anak di samping bangsal Izza. Nonton yutub. Rizky tersenyum sebentar, lalu balik lagi ke ponselnya.Dari tadi meyutub terus, kasihan matanya, gerutu ibunya Rizky, Asih. Yang duduk di samping ranjang Rizky. Anita tertawa kecil. Menatap Rizky penderita Anemia Aplastik. Beberapa memar kebiruan terlihat di kakinya yang putih. Sering bertemu Rizky di rumah sakit, membuat Anita penasaran dan browsing di internet. Kesimpulan yang ia pahami, Anemia Aplastik merupakan penyakit langka akibat kelainan pada tulang sumsum. Tulang sumsum tidak dapat menghasilkan cukup sel darah merah, sel darah putih, trombosit, atau sekaligus ketiganya. Gejala yang dialami Rizky tidak jauh beda dengan putrinya. Di antaranya lemah, kulit pucat, memar atau lebam, luka sulit sembuh, pendarahan gusi, sesak napas, nyeri dada, dada berdebar, atau sakit kepala. Gejala serupa, tetapi pengobatan yang berbeda. Izza harus menjalani kemoterapi. Namun, dibanding pasien lain, Rizky termasuk orang yang kuat. Selama merawat Rizky, Asih telah banyak melihat pasien yang telah meninggal. Memainkan ponsel sudah merupakan bagian dari kehidupan anak-anak Hemato-onkologi dalam mengisi hari-harinya. Anita memahami kebosanan anak-anak yang terus baringan di atas ranjang, tetapi memainkan ponsel dalam waktu yang cukup lama akan berdampak buruk pada kesehatan anak-anak. Terlebih lagi bagi mereka yang memang sudah mempunyai imun yang sangat rendah.Untuk mengusir kejenuhan harus ada edukasi dari orang tua, misalnya menggambar, menulis atau membaca. Sepertinya yang dilakukannya pada Izza. Ia memberi Izza sebuah buku gambar, pensil, dan crayon.Anita sudah membiasakan supaya Izza rajin menulis. Anita tau, meski Izza terlihat baik-baik saja, masih ada yang disembunyikan anak itu dari dirinya. Izza hanyalah anak berusia tujuh tahun, tetapi enam bulan sebagai penyintas kanker telah membuatnya terlihat lebih tua dari usianya.Hallooo .… Selamat siaaang .… Apa kabar?
Part 2 Ujung Spuit Hallooo .… Selamat siaaang .… Apa kabar?Ciri khas sapaan Dokter Yolanda ketika masuk ruangan. Izza selalu bersemangat ketika melihat dokter perempuan paruh baya yang selalu ramah itu. Anita segera turun dari ranjang, sedang Izza langsung berbaring.Izza bercita-cita menjadi dokter spesialis anak, juga spesialis kanker dari Dokter Yolanda. Izza berjanji akan bersungguh-sungguh belajar, tabah menjalani pengobatan demi cita-cita itu. Ia akan menyelamatkan anak-anak dari penyakit kanker dan kelainan darah. Hallo … Izza gimana kabarnya? tanya Dokter Yolanda ketika sudah mendekati Izza.Perawat bertugas segera membacakan hasil laporannya, termasuk hasil laboratorium. Dokter Yolanda meringis. Izza kenapa darahnya ga naik-naik? tanya Dokter Yolanda dengan gaya berbicara kepada anak-anak. Izza hanya cengengesan. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dokter Yolanda meraba-raba perut Izza. Makannya normal 'kan? tanya Dokter Yolanda kepada Anita. Iya, Dok.BAB-nya?Normal, Dok. Iya, sudah. Kita tambah trombosit lagi ya. Sehat ya, Izza. Anita mengangguk. Terima kasih, Dok.Dokter Yolanda mengangguk, lalu beralih ke pasien di seberang Izza. Selama Dokter Yolanda menyelesaikan visitnya, Anita menunggu di luar. Duduk di bangku panjang selasar ruangan Hemato-onkologi bersama Zubaidah, seorang wanita yang juga orang tua pasien penderita leukimia dengan sebutan Acute lymphoblastic leukemia. Atau biasa disebut ALL. Zubaidah, berasal dari Kalimantan Timur. Zubaidah bercerita banyak hal selama merawat anaknya. Banyak yang dikorbankan demi kesembuhan buah hatinya, termasuk bayinya yang harus ditinggalkan bersama neneknya. Belum lagi biaya hidup selama pengobatan. Zubaidah mengakui kalau kehidupan mereka sekarang ditopang hutang.Napas Anita tertahan mendengar cerita Zubaidah. Ia bertanya-tanya, 'Inikah yang namanya sudah jatuh, tertimpa tangga?'Biaya hidup sebagai orang tua yang memiliki anak penyintas kanker memang sangat besar. Biaya pengobatan memang ditanggung BPJS atau ASKES, tetapi ada beberapa obat yang harus ditanggung sendiri.Selain itu, penderita memerlukan asupan nutrisi lain yang tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi biaya tempat tinggal sebagai pasien di luar daerah. Demi privasi, terkadang mereka harus menyewa rumah atau penginapan. Sedang sang kepala keluarga kadang tidak konsentrasi lagi bekerja. Maka tak jarang, mereka harus menjual apa saja yang dimiliki, jika tak cukup, akhirnya mereka akan berhutang.Apa yang dialaminya masih lebih ringan dibanding Zubaidah. Suaminya masih bekerja dan rutin mengirimkan uang untuk selama di Banjarmasin. Yang merawat cuma dirinya, sehingga cukup menumpang di Rumah Bahagia. Rumah singgah khusus anak-anak penyintas kanker yang disediakan oleh seorang dermawan.Kenapa harus ke sini. Bukankah di Kal-Tim termasuk daerah maju? tanya Anita.Perkembangan Samarinda lebih pesat dari sini. Rumah sakitnya juga lebih besar daripada rumah sakit sini. Tapi, dokter spesialisnya hanya ada di sini yang paling dekat dengan Kal-Tim. Kami dirujuk hanya di dua tempat, Surabaya sama Banjarmasin.Darah Anita berdesir. Perjalanan dari rumahnya di Barabai hanya perjalan sekitar empat jam. Itupun sudah terasa berat baginya. Bagaimana lagi dengan Zubaidah yang jaraknya sudah ratusan kilometer? Anita mengingat betapa beratnya waktu awal-awal setelah Izza divonis Acute myeloid leukemia (AML). Sampai sekarang sudah enam bulan ia dan putrinya tidak pulang kampung. Ternyata masih ada yang lebih berat ujiannya daripada dirinya. Anita segera berdiri ketika Dokter Yolanda keluar dari ruangan yang diiringi dua orang perawat dan beberapa orang dokter muda. Dokter.Dokter Yolanda menghentikan langkahnya. Anita mendekat. Izza sudah dua minggu di sini. Dan tidak ada perubahan yang signifikan dengan darahnya. Saya cuma berpikir, bagaimana kalau kami keluar sebentar, pulang ke Rumah Bahagia. Barangkali dengan menghirup udara luar, dia agak baikan. Kebetulan lusa dia ulang tahun. Dokter Yolanda mengangguk, tanda setuju dengan pendapat Anita. Dokter Yolanda berpaling ke arah perawat.Jadwal masuk obat kemo kapan? Jumat ini, Dok, sahut seorang perawat. Berarti tiga hari lagi ya?Perawat mengangguk. Baiklah, setelah Izza transfusi, beri dia surat izin pulang. Dokter Yolanda berpaling ke Anita, Jika ada gejala muncul, segera bawa ke sini. Tak apa ulang tahun di rumah sakit, ya.Anita segera mengangguk, dengan sedikit membungkukkan badan. Terima kasih, Dokter. ***Jam sembilan malam Izza dibawa ke ruang tindakan untuk mengganti jarum infus di pergelangannya yang sudah hampir kadaluarsa.Izza meringis. Anita ikut meringis. Auu … , jerit Izza. Meluncur air matanya setetes. Sekuat tenaga ia menahan air mata, karena tidak ingin membuat ibunya sedih. Yah, pecah lagi, keluh perawat, yang biasa dipanggil Abang Haris. Anita mendekati Izza, lalu mengelus pundaknya. Berharap memberi sedikit semangat dan menghilangkan ketegangan pada putrinya. Kesulitan mencari pembuluh darah untuk memasukkan ujung spuit, salah satu kesulitan bagi perawat juga penderitaan bagi pasien anak.Tak jarak anak-anak jadi menangis disebabkan pergeseran jarum atau vena pecah. Pembuluh darah tangan mengecil, bekas tusukan sebelumnya yang belum sembuh di sana-sini, ditambah ketegangan yang dirasakan pasien, membuat perawat semakin kesulitan mencari pembuluh darah baru. Izza kembali meringis. Jarum telah dimasukkan ke pergelangannya, tetapi darah belum juga keluar. Akhirnya Haris menarik jarum, lalu kembali meraba-raba punggung tangan Izza. Ke tangan yang sebelahnya, ya. Izza, mau enggak? tanya Haris lembut. Telah banyak bercak kebiruan di kulit tangan kiri Izza, tanda bekas tusukan jarum infus. Izza menganggukHaris melepaskan turniket[1], lalu memasang kembali ke tangan Izza yang satunya. Kepalkan tangan, minta Haris. Izza segera mengepalkan tangannya. Perlahan Haris mulai meraba punggung tangan Izza untuk mencari vena baru. Meski kadang menyakitkan, Izza tidak mengalihkan pandangannya. Ia ingin selalu merekam dalam memorinya. Ia bersungguh-sungguh dengan cita-citanya. Alhamdulillaaah, seru Haris, setelah melihat darah keluar di needle.[2]Alhamdulillah … . Sontak Izza dan Anita juga mengucap hamdalah dengan perasaan lega. *** Paginya Anita mengemas barang-barangnya ke dalam tas besar. Biasanya ia hanya mengemas pakaian, alat-alat makan dan mandi. Sedang makanan langsung dibagikan ke pasien lain. Di Rumah Bahagia tidak akan kekurangan makanan. Izza, mau pulang ya? tanya Rizky, masih baringan di atas ranjang. Iya, sahut Izza, sambil memasang kerudung warna pink ke kepalanya. Anita sedang mengirim pesan di gawainya. (Mas, besok Izza ulang tahun. Datanglah! Kondisi Izza sedang tidak baik)Anita langsung menghapus pesannya setelah tanda terkirim muncul. Izza tak boleh membaca pesan itu. Assalamu 'alaikum. Muncul seorang laki-laki yang biasa dipanggil Amang Udin. Rumah Bahagia menyediakan sebuah sarana transportasi beserta sopirnya. Sekaligus merangkap mencarikan darah untuk pasien sampai mengambilkan darah ke PMI. Assalamu 'alaikum. Selamat Siang. Sontak Izza berpaling ke arah pintu. Muncul sosok tampan, jangkung yang memakai setelan jas warna biru malam. Melihatnya, seketika mata Izza bersinar cerah. Ia merentangkan tangannya. Laki-laki itu langsung menyambut tangan Izza dengan mendekapnya.
Part 3 Singa dan Kelinci (Yah, besok Izza ulang tahun. Datanglah! Kondisi Izza sedang tidak baik)Anita langsung menghapus pesannya setelah tanda terkirim muncul. Izza tak boleh membaca pesan itu. Assalamu 'alaikum. Selamat siang.Sontak Izza berpaling ke arah pintu. Muncul sosok tampan, jangkung yang masih memakai setelan jas warna biru malam. Om Bayuuu ....Seketika mata Izza bersinar cerah. Ia merentangkan tangannya. Laki-laki itu langsung menyambut tangan Izza dengan mendekapnya. Om rindu sekali sama Izza. Benar, Izza. Om Bayu baru saja datang dari bandara. Dia langsung ke sini mendengar Izza mau pulang, sela Amang UdingBenarkah?Bayu mengangguk. Ia menyentil hidung Izza yang mungil. Sekarang gimana keadaan Izza? Baik, kan?Tidak, Om. Darahnya tidak naik-naik, beber Anita. Yah … kenapa, Izza? Izza bandel, ya?Izza menggeleng. Terus apa? Sini bisik sama Om? Bayu mendekatkan telinganya ke wajah Izza. Mama galak, ya? bisik Bayu. Anita tersenyum. Izza menggeleng, lalu menunduk malu. Anita dapat menangkap sekilas kilatan mata putrinya. Izza merindukan ayahnya. Ya sudah. Kalau Izza belum mau cerita. Tetap semangat, ya. Tos dulu. Bayu mengangkat sebelah tangannya yang langsung disambut Izza. Anak pintar.Bentar, aku ambilkan kursi roda dulu, ucap Anita. Tak perlu. Biar aku gendong Izza.Mata Izza membesar. Bayu mengangguk.Izza berat lo, Om. Dari sini ke parkiran mobil jauh. Anita mengingatkan. Tak apa. Ayo. Bayu merentangkan tangannya yang langsung disambut Izza. Sini, Mbak. Amang Udin mengambil tas besar yang dipegang Anita. Kita pamit dulu, seru Bayu sambil mendekatkan Izza ke arah Rizky.Kak Rizky, cepat sehat, ya, ucap Bayu yang langsung diulang Izza. Rizky mengangguk, lalu menyambut uluran tangan Izza. Setelah Izza salaman ke semua pasien di ruangan itu, mereka keluar ruangan. Anita berjalan di belakang. Hatinya terenyuh melihat kebaikan Bayu, owner Rumah Bahagia. Setelah divonis leukemia, seiring waktu, kaki Izza semakin melemah. Sekarang Izza hanya bisa berjalan beberapa langkah. Mungkin efek samping kemoterapi. Tak hanya di situ, rambut Izza juga mulai botak dan kulitnya mulai menghitam. Sedang badan Izza semakin gempal. Selera makan Izza naik berkali-kali lipat.Anita membuka ponsel ke sekian kalinya. Masih tidak ada balasan dari suaminya. Anita mendesah lesu. *** Ketika sampai di Rumah Bahagia, Izza langsung mencari Huda. Teman seperjuangannya di Rumah Bahagia juga rumah sakit. Bayu langsung mengantar Izza ke kamar Huda. Kak Huda, seru Bayu, setelah mengetuk pintu. Izza? Huda langsung duduk melihat kedatangan Izza. Sini. Izza om antar ke taman saja ya. Nanti om balik lagi ke sini jemput Huda. Ya?Tak perlu, Om. Huda sudah jalan sendiri. Bayu mengangguk. Ia membawa Izza ke taman depan rumah, dan mendudukkannya di atas bangku panjang. Di bawah pohon pohon mangga yang rindang.Sini, Kak, seru Izza ketika melihat Huda muncul dengan menggunakan kruk tongkat. Di ketiaknya juga terjepit selembar kertas. Kakak melukis apa?Huda duduk di bangku yang berseberangan dengan Izza, lalu memperlihatkan tulisannya. Seekor kancil yang tengah menanam bunga, sedang di sampingnya ada seekor serigala.Woah … seru Izza dan Bayu bersamaan. Serigalanya berteman dengan kancil, Kak? tanya Bayu.Huda mengangguk malu. Aneh ya, Om?Bayu tersenyum, menatap bocah penderita kanker tulang tersebut. Sudah sebulan lebih kaki kanan Huda diamputasi. Tidak. Ini sangat inspiratif.Apa artinya, Om? tanya Izza semangat. Huda yang lebih tahu.Huda menggeleng. Saya cuma lihat di Instagram, Om. Saya kira kelinci itu kaya Izza. Lucu dan baik.Bayu tertawa. Kelinci menanam bunga, benar kelinci ini baik sekali. Ia merawat bunga, juga alam ini. Cocok jika diibaratkan dengan Izza. Izza anak baik. Tapi serigalanya siapa? Huda?Izza tergelak. Huda menunduk. Bayu mengacak rambut Huda. Serigala bagus juga. Pemberani. Asal jangan jadi pemangsa. Lihatlah gambar serigala ini. Bayu menunjuk gambar serigala. Dia berteman dengan kelinci. Dia pasti akan melindungi kelinci. Huda mau 'kan melindungi Izza?Huda menyatakan kesediaannya dengan anggukan. Bagus. Om mau masuk. Jaga adik Izza, ya. Ajarin Adik menggambar biar gambarnya sebagus ini.Huda mengangguk cepat. Pujian Bayu menambah amunisi semangat hidupnya. *** Bayu meluncur ke dapur. Di jalan ia sempit melirik pintu kamar yang terbuka. Terlihat Anita mondar-mandir dengan ponsel di telinga.Masak apa, Cil? Sesaat Acil Imah tersentak. Bapak bikin kaget saja. Tak lama muncul Karin, sekretaris pribadi Bayu dengan wajah segar. Rambut Karin masih terlihat basah. Bayu sempat melihat sekilas, lalu beralih ke tempe di dapur dan mencomotnya. Duduk, Pak! Tidak malu, ditegur Izza lagi? Acil Imah mengingatkan. Bayu tertawa, lalu duduk di kursi meja makan. Karin duduk di kursi berseberangan dengan Bayu.Assalamu 'alaikum. Anita muncul, lalu mendekati Acil Imah. Rame sekali. Ada apa?Itu Pak Bayu, makan berdiri. Aku bilang, ga malu ditegur Izza? ucap Acil Imah, sambil mengambil tempe dari penggorengan, lalu menaruh ke piring. Anita tersenyum Maaf ya, Pak. Izza memang lemes orangnya.Bayu tertawa. Tidak. Seharusnya aku berterima kasih pada Izza. Karin tercenung melihat tingkah Bayu. Bosnya sangat jarang tertawa. Kalau pun tersenyum kadang dipaksakan. Sebatas formalitas. Bayu hanya bisa tersenyum di depan anak-anak. Namun, kali ini Karin melihat Bayu tersenyum sangat lebar. Izza memang anak cerdas, pancing Karin. Matanya tak lepas dari wajah Bayu. Bayu tersenyum lagi. Benar. Izza sangat cerdas dan selalu ceria. Padahal banyak cobaan yang dihadapinya. Bu Anita berhasil mendidiknya.Kening Anita mengernyit. Ia berpaling, menyandarkan bokongnya ke ayang. Dia memang anak ceria. Melihat dia menghadapi kondisi sekarang ini, aku cukup bangga padanya. Tapi, jika itu dihitung sebuah usaha, itu karena ayahnya.Ayahnya? tanya Bayu. Karin melihat mata Bayu berbinar-binar jika membicarakan Izza.Anita mengangguk. Lalu berpaling, kembali ke kompor. Aku dan suami mempunyai cara yang berbeda dalam mendidik. Jika Izza meminta sesuatu, aku akan membiasakan kemandirian. Sedang ayahnya lebih mengajarkan keimanan.Keimanan? ulang Karin. Maksudnya, Izza sudah diajarkan dzikir dengan jumlah tertentu, gitu?Anita tertawa mendengar pertanyaan Karin.Tidak. Jika Izza meminta sesuatu, aku sering bilang, 'kita bikin bersama yuk, atau kita nabung dulu, ya.' Kalau ayahnya, simpel banget, 'doa sama Allah.'"Terus ga dikasih? cecar Karin. Ya dikasih. Maksud ayahnya cuma ingin membiasakan selalu meminta dan ingat Allah. Kalau sudah dikasih, ayahnya akan bertanya, 'siapa yang kasih?' Izza akan menjawab, 'Allah.’”Anita terkekeh mengingat momen-momen lucu, tetapi indat. Tiba-tiba rindu menyeruak relung hatinya. Sudah lama ia dan Izza tidak bertemu secara fisik laki-laki pujaan mereka.Bayu semakin memasang wajah perhatian. Kombinasi yang luar biasa. Pertama kali aku jatuh cinta pada Izza, saat melihatnya salat di atas ranjang rumah sakit. Speechless aku melihatnya. Baru kali itu, aku melihat pasien anak salat. Padahal umur Izza belum balig."Mungkin karena itulah, dia begitu tegar melihat takdirnya. Di hatinya sudah terpatri nama Allah.Subhanallah. Aku jadi ingin sekali bertemu ayahnya, ucap Bayu.Mau ngapain bertemu dengan ayahnya Izza? Belajar jadi ayah? Menikah saja belum, tukas Acil Imah, sambil meletakkan piring berisi tempe ke atas meja. Di depan Bayu.Karin tertawa cekikikan. ***Setelah Izza tidur, Anita kembali membuka ponselnya. Iya membaca yang kedua kalinya balasan suaminya. (Kebetulan ada janji. Aku akan segera ke sana, jika urusannya sudah selesai)Anita geram membaca pesan itu. Bisa-bisanya suaminya masih beralasan, padahal kondisi putrinya sudah diberitahu. Ia memencet kontak panggilan. Tak lama terdengar pesan suara bahwa pulsanya tidak mencukupi.Yah. Anita mendengus kesal. Ia keluar kamar. Mencari kamar Acil Imah. Rumah Bahagia terdiri dari empat kamar. Tiga kamar di muka untuk tamu Rumah Bahagia. Jika sedang tidak banyak tamu seperti sekarang ini, ia dan Izza bisa menempati satu kamar. Namun, jika banyak yang singgah, mereka harus memakai kamar bersama. Tidak jarang mereka sampai tidur di ruang tengah.Sedang satu kamar di belakang khusus untuk Acil Imah dan Karin, anaknya. Cil, seru Anita setelah mengetuk pintu. Masuk, Nit. Tidak dikunci.Anita membuka pintu, terlihat Acil Imah sudah duduk di atas ranjang. Cil, ponsel Acil punya pulsa. Aku mau nelpon ayah Izza. Anita mendekati Acil Imah.Acil Imah mengangguk, ia menyerahkan ponsel jadul yang tadinya tergeletak di samping bantal. Terima kasih, Cil.Jangan sungkan. Anita langsung mengetik keyword nomor suaminya yang sudah hafal di luar kepala. Sekali panggilan tidak terangkat. Panggilan kedua baru terdengar ada sahutan. Hallo...Sahutan suara di seberang membuat Anita tersentak. Maaf, ini siapa, ya? Anita mengerutkan kening. Saya istrinya Ridwan. Ini siapa? Pak Ridwannya ada?Hening. Hallo?Oh … iya. Saya pegawainya. Pak Ridwan … lagi di kamar kecil.Sahutan di seberang terdengar gagap, membuat perasaan semakin tidak nyaman. Mbak siapa? Kenapa ponselnya sama mbak?Saya karyawan tokonya. Pak Ridwan sudah keluar. Ponselnya tertinggal, jadi saya angkat. Permisi ya, mbak. Ada langganan.Tit. Panggilan terputus. 'Bukankah tadi katanya Ridwan ke kamar kecil? Lalu keluar? Mana yang benar?' tanya Anita dalam hati. Sesaat menatap layar ponsel. Angka di layar tertulis 10.30. Seketika alarm kewanitaannya berdering nyaring.
Part 4 Alarm Wanita 'Bukankah tadi katanya Ridwan ke kamar kecil? Lalu keluar? Mana yang benar?' tanya Anita dalam hati.Sesaat menatap layar ponsel. Angka di layar tertulis 10.30. Tiba-tiba alarm kewanitaannya berdering nyaring. *** Mama kita mau ke mana? tanya Izza heran. Izza, tenang saja.Anita mendorong kursi roda Izza ke sebuah rumah besar di samping Rumah Bahagia. Sebelumnya, Bayu hanya bisa menyewa untuk Rumah Bahagia. Seiring waktu, akhirnya mampu membeli rumah mewah dengan denah tanah sangat luas. Tak lama ia dapat membangun sebuah rumah di samping rumahnya dengan warna yang sama, itulah Rumah Bahagia. Selama ini rumah besar tersebut hanya Acil Imah yang bisa masuk untuk bersih-bersih, dan Karin sebagai asisten pribadi. Izza juga anak-anak Rumah Bahagia lainnya hanya bisa memandang rumah mewah itu dari luar. Ini pertama kalinya, Bayu membuka rumah pribadinya.Surprise …. Izza menahan napasnya. Matanya membulat sempurna. Di dalam rumah mewah itu ternyata sudah ada Bayu dan beberapa teman-teman Izza di rumah sakit bersama orang tuanya masing-masing. Ia memutar kepala, menatap ibunya yang memegang kursi roda. Mama yang undang teman-teman Izza?Anita menggeleng. Mama juga tidak tahu. Ini semuanya, ide Om Bayu.Mulut Izza membulat. Setelah mengunci kursi roda yang ditumpangi Izza, Anita berjongkok di depan Izza. Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga usia Izza berkah, menjadi kebanggaan Allah, ayah dan mama.Aamiin, ucap Izza, lalu menyambut rentangan kedua tangan mamanya. Anita menciumi pipi Izza dengan linangan air mata. Masih teringat di benaknya saat Izza sempat kolaps. Ia sangat bersyukur, sampai sekarang putrinya masih bertahan.Ko, Mama nangis? Anita menghapus air matanya. Mama terharu, Sayang. Mama bangga punya Izza.Izza juga bangga punya ibu kaya Mama. Anita tersenyum. Maaf, ya Sayang. Mama belum sempat beli hadiah.Tak apa. Asal Mama selalu di sisi Izza, Izza sudah senang.Anita mengangguk, lalu berdiri. Memberi kesempatan pada yang lain. Selamat ulang tahun, Anak Manis. Semoga panjang umur, dan menjadi kebanggaan orang tua. Bayu menyerahkan boneka panda besar yang sedari tadi di pegangnya. Terima kasih, Om. Suka enggak? tanya Bayu.Suka. Izza memeluk boneka yang ukurannya menutupi tubuhnya. Bayu tertawa melihat itu. Sini, Om pegangin dulu. Teman-teman yang lain juga mau menyapa Izza. Izza menurut. Menyerahkan bonekanya kepada Bayu. Dik, kakak cuma bisa kasih ini. Huda dengan kursi roda yang didorong ibunya. Ia menyerahkan lukisan kelinci dengan serigala buatannya. Bayu memperhatikan lukisan itu. Ada yang baru dari yang ia lihat sebelumnya di taman. Ada matahari terbit. Mata Bayu berkaca-kaca. Terharu atas semangat Huda.Izza suka. Terima kasih, Kak. Setelah itu, teman-teman satu persatu mengucap selamat kepada Izza. Izza semakin terlihat ceria. Namun, Anita melihat, sesekali Izza mengedarkan pandangannya ke tempat orang dewasa. *** Setelah shalat Ashar, terlihat Karin yang selalu setia menemani Bayu mengenakan mengenakan blazer warna krim. Melihat hal itu, membuat Anita tiba-tiba mempunyai ide. Karin, Pak Bayu mau ke mana? Mau ke Rantau. Mau apa? Kira-kira aku bisa ikut ga?Bu Anita mau ke Barabai? Belum sempat Karin menjawab, tiba-tiba Bayu dengan mengenakan kemeja putih, di lengannya tersampir jas hitam warna yang sama dengan celana yang dipakainya. Bu Anita mau numpang. Dia mau ke Barabai. Sampai di Rantau saja. Nanti ke Barabai, saya pakai taksi.Bayu menoleh ke arah Izza yang asik menggambar di lantai ruang tamu bersama Huda. Bagaimana dengan Izza? tanya Bayu. Anita mendekati Acil Imah yang lagi mengupas bawang. Cil, titip Izza, mau kan? Saya mau pulang sebentar, ada yang mau diurus. Jika sempat, malam ini saya langsung balik ke sini.Saya tidak masalah. Izza anak yang pintar. Tapi bagaimana dengan Izza-nya? Dia mau enggak?Sebentar. Anita beralih ke Bayu. Sebenarnya ya, Pak.Bayu mengangguk. Anita segera meluncur ke ruang tengah.Izza. Izza menghentikan gerakan tangannya. Menatap ibunya. Izza, Mama mau ke Barabai sebentar. Ada yang mau diurus. Penting. Izza mau 'kan tinggal sebentar, bersama Acil Imah? Mama usahakan pulang malam ini juga.Anita memerhatikan mata Izza yang mengerjap berkali-kali, bahkan mata itu mulai berkaca-kaca. Dari rautnya, Anita tau Izza belum siap ditinggalkan. Lebih tepatnya, Izza pun ingin pulang, bertemu ayahnya. Mama janji akan bujuk ayah ke sini.Benarkah? seketika mata Izza mengkilat. Anita mengangguk. Jika ayah tidak mau, ibu seret ayah ke sini.Izza tergelak. Dosa, Ma.Anita tersenyum. Iya. In sya Allah, Ayah mau koq. Jadi ga akan diseret. Ya, mau ya? Izza ini tinggal sebentar?Izza mengangguk ragu. Pinter anak Mama. Anita memeluk Izza, lalu mencium kedua pipinya. Yang pinter, ya. Jangan merepotkan Acil Imah. Kalau mau ke kamar kecil, ngomong ya sama Acil Imah atau Kakak Huda.Izza mengangguk patuh.Huda, jaga adik, ya. Tenang saja, Tante, sahut Huda dengan percaya diri.Selama sebulan diamputasi, Huda sudah mulai lincah bergerak menggunakan kruk tongkat. ***Rumah Bu Anita di mana? tanya Bayu, ketika mobil mereka mulai memasuki daerah dekat Rantau. Di Barabai, Pak. Saya singgah di Rantau saja, Pak. Nanti ke sana saya naik taksi, jawab Anita, yang duduk di samping Karin. Sedang Bayu duduk di muka, di samping sopir pribadi, Amang Yuni. Akan kami antar sampai ke rumah. Jangan. Saya tidak ingin merepotkan Bapak.Bayu mendeham. Bisa gak, jangan panggil saya Bapak! Panggil saja saya Bayu.Mana bisa, Pak. Bapak adalah orang yang kami segani.Tapi saya yang tidak nyaman. Seakan ada sekat di antara orang tua anak-anak Rumah Bahagia. Saya sangat suka seperti anak-anak memanggil saya, lebih akrab.Baiklah, kalau begitu saya juga memanggil Om.Refleks Bayu berpaling. Karin terkekeh. Bagaimana Anda yang sudah menikah, memanggil saya Om yang masih single?Karin tergelak.Begini saja, saya panggil Anda kamu, jadi kamu manggil saya Bayu. Gimana? Impas kan?Baiklah, Pak, eh … Ba--yu, eja Anita kaku. Baiklah. Sekarang katakan di mana rumahmu? ultimatum Bayu. *** Mobil Toyota Alphard meluncur ke alamat yang disebutkan Anita. Mereka sampai di sana sekitar jam delapan, setelah sekali mampir di jalan untuk shalat Maghrib dijamak shalat Isya. Terima kasih, Pak, ucap Anita setelah keluar dari mobil, di muka rumahnya. Pak?!Eh, maaf …. Bayu.Baiklah. Kami pergi dulu.Anita mengangguk. Hati-hati di jalan. Setelah mobil mewah hitam itu meluncur, Anita berpaling, memasuki halaman rumah. 'Ada tamu, ya?' batin Anita, setelah memperhatikan mobil yang parkir di halamannya. Suasana sepi. Tetangga kiri kanan juga sepi. Assalamu 'alaikum. Anita mengetuk pintu. Hening. Setelah berkali-kali salam tidak ada jawaban, Anita memutuskan membuka dengan kunci cadangan yang dipegangnya. Yah … Ayah! panggil Anita. Ia terus berjalan hingga memasuki kamar. Klik. Astaghfirullaaah …. pekik Anita
[1] Tali pembendung[2] Ujung spuit/jarum yang biasa digunakan untuk pengambilan darah
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan