
Deskripsi
Teratai Kedua. part 1-3 gratis.
Kisah ketulusan yang indah
Part 1 (Diusir)
Tera membuka matanya, tetapi kembali memejam disebabkan sakit yang mendera di sekujur tubuh. Sayangnya, haus dan sakit tenggorokan yang mencekik membuatnya terpaksa menyeret kaki ke dapur dengan mata setengah terbuka.
Tenggorokannya sedikit nyaman setelah menghabiskan segelas air putih. Setelah itu, ia berbalik ke kamar. Tiba-tiba dari pintu kamar sebelah muncul adik iparnya dengan tatapan mencurigakan....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Teratai Kedua Part 4-6
0
0
Teratai Kedua Part 4-6Part 4 (Menggali Informasi)Sebelum pulang, Evan naik ke atas kursi. Tera terkesiap. Tanpa ia duga, Evan mencium pipinya. Matanya terbelalak, mengarah kepada Hayati yang melihatnya dengan tatapan tidak suka.
*** “Bu, bagaimana dengan biaya rumah sakit ini?” todong Tera begitu Sanad dan keluarga kecilnya menghilang di balik pintu.Fatima duduk di kursi samping ranjang Tera. Kursi yang diduduki Evam sebelumnya. “Biaya perawatanmu kami yang tanggung. Kami minta maaf atas kejadian itu. Beruntung kamu masih bisa diselamatkan.”Tera menghela napas lega. “Syukurlah. Kamar seluas ini, saya tidak sanggup membayarnya.”
“Nak, kamu tinggal di mana?”Seketika Tera terdiam. Wajahnya mendadak datar. “Supaya kami bisa memberi tahu keluargamu. Keluargamu pasti sangat mengkhawatirkanmu. Atau kamu bisa menelpon mereka dulu.”Tera menggeleng. “Tidak perlu.Terima kasih banyak atas perawatannya. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan ibu.”Fatima mengerutkan kening. Ia mencium ada yang disembunyikan Tera, tetapi tidak pantas orang asing sepertinya mengorek lebih dalam lagi.“Kalau boleh tau, pekerjaanmu apa, Nak?”
“Nelayan, Bu,” jawab Tera singkat.Fatima mengangguk. “Evan sangat imut ya, Bu.” Tera mengalihkan pembicaraan. Ia tahu, Fatima merasa tidak puas dengan jawabannya. Fatima menghela napas. “Cucuku yang baik. Di usianya yang kecil, dia telah kehilangan ibu kandungnya.”Tera tersentak. “Jadi Hayati …? Ibunya meninggal kenapa?”
“Karena kecelakaan. Mereka pergi bertiga. Ibu Evan meninggal di tempat, sedang Sanad mengalami luka-luka yang cukup serius. Hanya Evan yang terlihat baik-baik saja, tapi sampai sekarang dia tidak bisa berbicara.” Fatima tersenyum haru. “Hari ini, pertama kalinya kami mendengar suaranya. Memanggilmu Mama.” Fatima terkekeh. Tera tersenyum canggung.
“Evan sepertinya menyukaimu. Kami telah menyewakan banyak pengasuh, tapi tidak ada yang tahan dengan sikap penolakan Evan. Bahkan Hayati, ibu sambungnya, Evan juga tidak menyukai. Tiba-tiba hari ini dia menyukaimu. Ini sebuah keberkahan buat kami. Terima kasih ya, Nak.”
Tera tersenyum ragu. Lengkungan bibirnya hanyalah berupa ukiran patah. “Saya merasa tidak layak menerima ucapan terima kasih Ibu, karena saya tidak melakukan apa-apa. Saya tidak mengerti mengapa Evan menyukai saya.”Fatima tersenyum lebar, menatap haru. “Andai boleh meminta, jadilah pengasuh buat Evan.”
Tera tersentak. “Bu, saya orang asing.”
“Saya sadar itu. Tapi saya kenal cucu saya. Dia lebih peka dengan perilaku orang lain.Tera termangu. Skenario apa yang dijalaninya? Di saat ibu kandungnya tidak percaya dengannya, di belahan lainnya ada orang yang begitu percaya padanya?“Saya sadar, pasti kamu juga mempunyai pekerjaan. Jika kamu mau menjadi pengasuh Evan, saya akan menggaji dua kali lipat dari penghasilanmu.”
Tera meneguk salivanya. Ia menerka-nerka berapa Fatima sanggup membayarnya? Padahal dia memiliki Teratai produksi yang menghasilkan puluhan juta perbulan, sudah menggaji puluhan karyawan. Belum lagi penghasilan dari budidaya teratai dan mungkur peninggalan bapaknya. Namun, tidak mungkin ia membicarakan itu pada Fatima, yang dikenalnya hanya beberapa jam yang lalu. Selain itu, ia tidak ingin Fatima tahu kalau dirinya orang yang terusir dari keluarga.“Baiklah!”
Fatima tersentak. “Maksudmu?”“Saya terima tawaran Ibu. Menjadi pengasuh Evan.”Fatima mengerutkan kening.
“Saya ngerti jika Ibu heran dengan penerimaan saya yang begitu mudahnya. Saya tidak akan meminta Ibu mempercayai saya. Silakan Ibu pikirkan lagi, jika memang ingin mempekerjakan saya. Saya tidak masalah, jika Ibu menarik tawaran itu.”“Saya tidak mencurigaimu. Namun … ini … Tidakkah kamu memikirkan pekerjaanmu dulu, atau mengabari keluargamu dulu. Ingat, menjadi pengasuh Evan berarti kamu harus tinggal bersama kami.”
“Saya tidak mempunyai keluarga. Mulai sekarang, Evan keluarga saya.” ***
Tok-tok. Sanad yang baru saja terlelap, terlonjak mendengar bunyi ketukan di pintu kamarnya. Hayati yang tidur di sampingnya ikut terbangun karena gerakannya. Sanad turun dari ranjangnya. Hayati mengikuti, karena ia tahu siapa yang mengetuk pintu.Evan langsung menarik tangan Sanad begitu pintu terbuka.
“Evan, Papa capek sekali. Kamu tidak tidur di sini saja, ya. Tidur sama Papa Mama.”Evan menggeleng. Hayati berjongkok. Ia hendak memegang bahu Evan, tapi anak itu segera mundur. “Evan, tidur bareng Papa Mama di sini, ya,” bujuk Hayati lembut. Evan menggeleng. Ia kembali menarik tangan Sanad, kali ini lebih keras, sehingga badan Sanad bergerak. “Iya iya!” Sanad akhirnya mengikuti kemauan putranya. Hayati menatap pasrah punggung suami dan anak sambungnya yang menjauh. Sudah hampir dua tahun, ia menikah dengan Sanad, tetapi sampai sekarang belum berhasil meraih hati kedua laki-laki itu.
***
Masuk! titah Sanad tanpa mengalihkan perhatiannya dari sebuah dokumen.
Tuan!
Sanad langsung berdiri begitu melihat seseorang di belakang Hayati.
Gimana sudah kau dapatkan informasinya? Sanad mempersilakan duduk dengan isyarat tangan begitu informan itu mengangguk. Ia juga memerintahkan Hayati keluar. Informan duduk sambil meletakkan sebuah amplop coklat dan plastik kecil ke atas meja.
Sanad mengambil dan membukanya. Benar dia asli Bangkau. Dia sulung dari empat orang bersaudara. Satu orang adiknya perempuannya sudah menikah, satu kuliah, dan satu lagi masih mondok. Tera bukan perempuan biasa. Dia pemilik Teratai Produksi yang memproduksi kerupuk dari ikan gabus. informan itu membuka plastik, ia mengeluarkan sebungkus kerupuk dan menyerahkan kepada Sanad.
Ini kerupuk favorit ibu, gumam Sanad setelah memperhatikan kemasan transparan. Kemasannya jelek banget.
Tapi hasil penjualannya lumayan tinggi. Teratai Produksi sudah memiliki puluhan karyawan. Masalah kualitas, mungkin mereka menyesuaikan standar pangsa pasar mereka yang hanya beredar di sekitar Hulu sungai sini. Informan itu mengambil sebungkus lainnya yang masih mentah. Kalau ini sudah bagus. Ini sudah mereka jual secara online dan lumayan laris.
Sanad menganggukan kepala ketika menyentuh kerupuk mentah kemasan standing pouch tertulis merk Teratai, sedang sebelahnya transparan.
Jika kamu bilang benar, kenapa dia mau menjadi pengasuh Evan tanpa meminta tarif gaji?
Dia diusir ibunya.Sanad tersentak.
Dia tertangkap basah, berbuat mesum dengan iparnya. Dan iparnya ….Lagi-lagi Sanad dikejutkan dengan informasi baru.“Iparnya ini mantan Tera. Dan menurut sumber yang didapatkan, Tera banyak membantu biaya pendidikan mantan sampai lulus kuliah. Tetapi mantannya menikahi Kembang Ilung, adiknya Tera.”
“Ada laki-laki tidak tau diri begitu?”Informan mengeluarkan sebungkus kerupuk lagi dan meletakkan di depan Sanad, setelah menggeser kerupuk lainnya. “Ini produk baru. Produk ini baru diedarkan dua hari yang lalu.”
Kening Sanad mengerut tajam. “Berarti sudah ada yang mengelola Teratai Produksi?”Informan mengangguk. “Adiknya dengan suami.”
Sanad mengambil kerupuk itu dan mencermatinya. “Kemasannya lebih bagus daripada keluaran Tera.”“Benar. Tapi menurut penjual itu.” Informan menunjuk kerupuk itu dengan dagu. “Pejualan menurun drastis, karena rasa dan harga yang berbeda. Harga naik, tapi kualitas rasa menurun.”
Sanad termangu. Ia kembali mengambil kerupuk keluaran dari Tera dan membandingkan dengan keluaran baru. “Itu artinya, resepnya hanya dipegang oleh Tera?”Informan mengangguk. “Dan seorang perempuan yang bekerja di bagian dapur, Acil Nurul. Acil Nurul resmi mengundurkan diri, sehari setelah hilangnya Tera.
Sanad tersenyum miring. “Menarik. Sepertinya Acil Nurul pekerja setia.”Informan mengiyakan. “Bukannya hanya Acil Nurul, melainkan putranya juga beberapa orang keluar dari Teratai Produksi.”
“WOW.”“Bapak akan lebih kaget lagi, kalau tau siapa mantan yang sekarang jadi ipar dan pengelola Teratai Produksi.”
Sanad menghadap lurus. Mantan dia, Arbain, manajer pusat minimarket Bapak dan sekarang dia telah memasukkan produk barunya ke seluruh minimarket Bapak.” ***
Evan langsung berlari ke arah Tera begitu masuk ke ruang inap Tera. Mama. Ia menengadahkan kepalanya, menatap Tera yang duduk di atas ranjang. Tera menatap haru. Jatuh butiran bening di kelopak matanya. Mulai sekarang, kamu keluargaku. Aku akan menjagamu dengan sepenuh hati, meski mempertaruhkan nyawaku. Sanad dan ibunya saling bersitatap.Tera terkekeh, melihat Evan yang memamerkan gigi putihnya. Ia mencubit pelan pipi Evan yang bening. Imut sekali.Kalau sudah, kita pulang sekarang, ucap Hayati.
Evan mengulurkan tangannya. Tera tertawa kecil. Ia menyambut uluran tangan itu, lalu turun dari ranjang.
***
Part 5 (Penyesalan)Kalau sudah, kita pulang sekarang, ucap Hayati. Evan mengulurkan tangannya. Tera tertawa kecil. Ia menyambut uluran tangan kecil itu, lalu turun dari ranjang. ***Tera ternganga, rumah mewah modern kini di depan matanya. Halaman luas, hamparan rumput dengan potongan sangat rapi, tanaman di sana sini, dan tersedia kursi taman. Tidak pernah terbayangkan, kalau suatu saat ia akan menginjakkan kaki ke rumah semewah ini. Terlihat orang berlalu-lalang. Dari pakaiannya, Tera menerka mereka itu pembantu di rumah ini.“Inilah, rumah sederhana kami. Buatlah dirimu nyaman. Anggaplah rumah sendiri,” ujar Fatima. Rumah sederhana? Ternyata setiap orang berbeda nilai standar. Baginya ini terlalu mewah, seperti mimpi. Namun bagi Fatima dibilang sederhana?Tera mengangguk sedikit. “Iya, terima kasih, Bu.”“Setiap kerjaan sudah ada petugasnya, jadi kamu jangan sibukkan dirimu. Tugasmu hanya menjaga Evan,” intruski Fatima.“Inggih, Bu,” sahut Tera dengan wajah menunduk. “Kalau begitu, aku antar ke kamarmu.” Belum melangkah, Evan menariknya. “Evan, biarkan Mama ke kamarnya dulu,” seru Fatima. Evan menggeleng. Ia menarik lengan Tera. Tera menurut saja, hingga sampai ke sebuah kamar dengan dominan merah. Dari dekorasi di dinding mobil merah, rak gantung, lemari, kursi dan meja belajar, rak buku, nakas, bahkan ranjang sprei dengan motif si mobil merah, Mcqueen.“Ini kamar Evan?” tanya Tera, meski ia tahu, itu pasti milik Evan.Evan mengangguk. Ia mengambil pulpen dan note warna warni yang selalu tersedia dalam tas selempangnya. Ia menulis sesuatu, lalu menyerahkan pada Tera. “Mama tidur di sini?” baca Tera.Fatima yang sejak tadi mengikuti mereka terkejut. “Ranjangmu terlalu kecil untuk berdua, Evan.” Evan menggeleng. Ia menarik Tera hingga terduduk di ujung ranjang. Tera bertanya ke Fatima dengan isyarat.“Kalau kamu tidak keberatan, saya sih tidak masalah,” jawab Fatima. Evan tersenyum cerah. Deretan gigi halusnya, selalu menggoda Tera hendak mencubit.“Baiklah kalau begitu. Saya tidur di sini.” Evan meloncat kegirangan. Ia berdiri lalu memeluk Tera. Tidak peduli dengan wajah Tera yang selalu kebingungan. Fatima menatapnya haru. “Kalau begitu, kita ke pasar sekarang saja. Beli buat keperluanmu,” ucap Fatima.“Tapi saya tidak mempunyai uang, Bu,” sahut Tera, “Jangan pikirkan itu. Kamu bersiap-siaplah!”Evan turun dari ranjang, lalu menarik tangan Tera. *** Ini semua bukumu, Van? tanya Tera. Tera berbalik karena tidak mendapat respon Evan. Van?Evan masih bergeming. Tera mengerutkan kening. Ooh, pekik Tera sambil menepuk dahinya. Ia mendekati Evan yang di ujung ranjang. Jadi kamu biasa dipanggil Evan ya?Evan mengangguk. Tera berdecak. Ia menatap rak buku milik Evan yang hanya membaca beberapa sampul buku sudah membuatnya pening. Kaku sekali, batinnya.Ia menjongkok di depan Evan. Mulai sekarang Mama akan memanggil nama singkatanmu Van.Evan bergeming. Tera naik, duduk di sisi Evan. Dengar, ini khusus Mama. Tidak ada yang boleh memanggil Van selain Mama! Iya?Evan tersenyum, lalu mengangguk.Pinter. Tera segera menghadiahinya dengan ciuman. Sebuah ketukan, lalu muncul Asih dari balik pintu. “Saatnya makan.”***Sudah ada Fatima, Sanad dan Hayati saat Tera membawa Evan ke meja makan. Tera menarik sebuah kursi yang didekati Evan.“Evan bisa makan sendiri 'kan? Mama mau dengan ke dapur dulu,” ucap Tera sambil memasangkan celemek untuk Evan yang sudah tersedia di meja. Evan menarik lengan Tera. Sesaat Tera menatap Fatima yang juga menatapnya. Fatima mengangguk. Hampir saja ia duduk, andai saja tidak melihat wajah datar Sanad. Ia mengelus rambut Evan.“Van, dengarlah. Setiap orang sudah punya tempatnya masing-masing. Evan di sini, Mama bersama-sama Tante Asih dan lainnya,” ucapnya lembut. Evan menggeleng. “Evan, anak patuh. Patuhlah sama Mama,” bujuk Tera. Ia menjauh tanpa menunggu reaksi Evan.“MA!” panggil Evan dengan setengah menangis. Tera berbalik. Hunjaman mata Sanad membuatnya kembali berpaling. “Ma!” Evan kali ini mendekat, lalu memegang kain baju Tera.“Tera!” panggil Sanad, lalu menyuruhnya duduk dengan gerakan dagu.Tera mencebik. “Apa susahnya ngomong,” gerutu Tera, tetapi seketika mengatupkan bibirnya begitu melihat tatapan tajam Sanad. Tiba-tiba di meja, Tera kebingungan caranya makan? Ia bisa menebak bagaimana cara makan mereka, dari sinetron yang ia lihat di televisi. Masalahnya ia tidak pernah latihan. “Buatlah dirimu nyaman, Tera,” seru Fatima setelah melihatnya kebingungan. Tera hanya mengangguk dengan wajah meringis. “Oh, iya. Aku punya sesuatu buat Mama.” Sanad meletakkan sendok garpunya ke atas piring. Ia mengeluarkan dua bungkus kerupuk dari kantong kertas. Sebungkus dalam kemasan plastik biasa, sedang satunya kemasan standing pouch. “Ini kesukaan Mama kan?” Tera tersentak melihat warna putih dengan merah di tepinya pada kemasan itu. Sanad tersenyum sinus. Ujung retinanya menangkap keterkejutan Tera. “Sepertinya iya. Namanya juga sama. Tapi, beda kemasan ya?” Fatima membanding dua kemasan di tangannya.“Iya. Dari nama dan produksinya sama, hanya beda kemasan. Produk ini sudah masuk ke minimarket kita beberapa hari yang lalu.”Mata Tera membulat. Ia mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak bereaksi.“Woah, bagus tuh, kalau sudah masuk ke minimarket. Dijamin laris. Rasanya enak, gurih dan renyah,” ucap Fatima sambil membuka kemasan standing pouch.“Dicoba dulu, baru berkomentar,” sergah Sanad. “Mama sering memakan ini,” sahut Fatima sambil menyuap sepotong kerupuk. Tiba-tiba keningnya mengerut. “Kok seperti beda, ya? Sanad mengangguk. “Orang bilang juga gitu. Coba Mama coba yang satunya itu.”Fatima menyobek kemasan yang satunya lagi, lalu menyuapnya. “Nah kalau ini, memang iya,” ujar Fatima sambil mengangguk-ngangguk. Ia kembali menyuap kerupuk itu. “Mama suka banget kerupuk ini.” Tera termangu. Tiba-tiba ia rindu dengan Teratai Produksi beserta karyawannya.“Tapi kenapa beda rasanya ya? Padahal kemasannya sudah bagus.” Suara Hayati menembus lamunan Tera.Sesaat Sanad memperhatikan air muka Tera yang berubah mendung. “Entahlah! Karyawan bilang, Supplier ke minimarket memang beda dengan orang-orang yang mengedarkan ke pasaran,” sahut Sanad. “Maksudmu ini tiruan?” tanya Fatima.Sanad hanya menjawab dengan kedikkan bahu, lalu menyuap makanannya. “Sudah,” seru Evan. Tera sedikit linglung. “Oh, iya.” Ia mengambil teko berisi air. Sesaat semua mata di sana menatapnya, karena gelas milik Evan masih penuh.Maaf,” ucapnya dengan wajah menunduk Sanad mengeluarkan selembar kartu, lalu meletakkan ke arah Tera. “Ini untuk keperluan Evan.” Tera memerhatikan kartu itu. Tiba-tiba ia teringat barang-barang yang ingin dibeli untuk Evan. “Untuk Evan? Selama untuk Evan, saya bebas menggunakannya?” tanya Tera.Sanad mengangguk. “Tapi itu memengaruhi penilaian kinerjamu. Jangan sampai belum genap seminggu kamu sudah dipecat.” Tera terkesiap. Fatima menggelengkan kepalanya.“Kalau begitu kami permisi dulu.”Fatima mengangguk lembut. “Haruskah kamu berkata begitu?!” Pertanyaan Fatima masih terdengar di telinga Tera. Tidak ada suara Sanad. “Pembantu memang harus begitu, Ma. Kadang mereka bisa melonjak, jika dibiarkan.” Hayati bersuara. “Pembantu?!” protes Fatima. “Iya, terus apa dong? Dia kan memang pembantu. Sama saja dengan Asih dan lainnya,” sahut Hayati. “Tapi, dia merawat Evan. Aku tidak suka orang yang merawat cucuku disebut pembantu,” tukas Fatima. “Pengasuh, baby sister.”“Tetap saja kan orang upahan?”Sanad berdiri. “Aku sudah.”*** Di Bangkau.Bastiah bersandar di dinding dengan menjulurkan kaki. Kembang memijat kaki ibunya. Sudah berapa hari Bastiah sakit-sakitan. “Kembang, apa tidak ada kabar dari Tera?” Kedua matanya kembali mengalir. “Ibu masih mau cari dia? Suami adiknya masih mau diembat? Itu kurang ajar banget, Bu!” debat Kembang. “Sejahat-jahatnya dia, dia masih kakakmu. Ingatlah, kita hidup sampai sekarang karena dia.”“Tetap saja. Apa ibu mau, aku menderita gara-gara dia.” Spontan Kembang berdiri karena emosi. “Siapa yang ingin membuatmu menderita? Kita bisa mengingatkan dia? Kembang, dia tulang punggung kita. Kita masih memerlukan biaya untuk Elang dan Lilac. Kamu mau membiayai mereka? Dari mana? Gajimu? Kamu pasti ingat, sampai sekarang kita belum mendapatkan resep aslinya.”“Ibu tidak percaya pada kemampuanku?! Bu, aku dan Mas Arbain sarjana, Ibu masih tidak percaya pada kami? Oke, aku memang belum bisa membuat kerupuk seenak punya Tera, tapi dengan masuknya produk kita ke minimarket dan tersebar-sebar di mana, apa Ibu masih meragukannya?"Kembang!“Mas, MAS,” teriak Kembang.Arbain keluar dengan tergopoh-gopoh dari kamarnya. “Iya, Dek?”“Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”
***** Part 6 (Anak Yang Dibanggakan)“Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”
*** Sanad melepaskan kaca matanya, lalu meletakkan buku yang dibacanya ke atas nakas, ketika Hayati baru keluar dari kamar mandi. “Mau ke mana?” tanya Hayati.“Mau bacakan dongeng buat Evan.”“Bukannya sekarang ada Tera?! Jika Evan mau dibacakan dongeng, dia akan minta bacakan pada Tera,” sahut Hayati sambil mengusap rambutnya yang basah. “Aku tak percaya perempuan itu,” tukas Sanad, lalu hilang di balik pintu.Hayati hanya bisa menghela napas. Ia menoleh ke arah ponsel yang menyala. Bibirnya langsung tersungging senyum begitu melihat pemilik pesan itu.
***
Tera tersentak dengan kemunculan Sanad di kamar. Ia mengelus dadanya yang terasa ingin meledak akibat debarannya.“Ke depannya, kamu harus mengetuk pintu jika mau masuk ke kamar sini!” ketus Tera, sambil memasang kancing piyama Evan.“Ini kamar anakku, kenapa harus mengetuk pintu?!” “Sekarang ada aku di sini. Kamu mau melihatku dengan pakaian seadanya?!”Sanad menatap Tera dari atas sampai bawah. Ia menggeleng kepala dengan wajah mengejek. “Apa bedanya jika aku melihat. Dengan badanmu seperti itu, orang lapar pun nggak minat.”“Kau …!” Ucapan Tera tertahan. Tangannya mengepal. Andai tidak ada Evan, mungkin wajah yang Tera yakini hasil salon itu akan memar. “Setidaknya hargai aku sebagai perempuan!” “Kenapa harus aku? Kalau kamu ingin dihargai, seharusnya kamu jaga diri.” Tera kembali tersentak. Ucapan itu benar-benar mengoyak perasaannya. Geraham menggertak. Ia berdoa, sekali saja menghatam wajah sombong itu. “Ini sekarang juga kamarku. Tempat privasi, tempat di mana aku bisa istirahat meski sebentar. Masa aku harus siaga di tempat privasiku?!”Sanad mengibas tangannya. “Terserahmu!” Ia mendekati Evan yang masih duduk di ranjang. “Bagaimana anak Papa? Baikan?”Evan mengambil kertas lalu menoleh beberapa kata. “Hari ini aku bahagia.” Tiba-tiba Sanad menghentikan bacaanya, mengingat ada Tera di dekat mereka. ‘Mama baik sekali.’ Sesaat ia mendelik ke arah Tera yang masih memasang wajah kesal.Ia membalas dengan tulisan.[Bagaimana bisa dibilang baik? Galak gitu]Evan kembali membalas.[Papa yang jahat.]Sanad mendesis. Evan makin tersenyum ceria. “Sudah waktunya tidur. Papa mau bacakan dongeng,” ucap Sanad sambil mengambil salah satu buku di rak. Tera melongo ketika melihat The Lord of the Rings. Tera merampas itu buku. Ia membuka buku itu, matanya membesar ketika melihat bahasa di dalam buku. “Kau mau membacakan dia ini?”Sanad mengangguk, dengan kening menukik.Tera menggeleng. Ia menoleh ke arah Evan yang menatap mereka. “Gila kamu, San!”“Apa? Kamu memanggilku nama?! Aku bosmu," tegur Sanad.“Bodo amat. Seharusnya kamu membacakan buku untuk seusia dia.”“Kenapa? Tuh dia ngerti. Perlu kamu tahu, meski tidak bisa bicara, secara tertulis dia sudah mengerti bahasa Inggris. Kamu tau apa?”“Setidaknya aku tau berapa usianya. Aku hanya ingin membiarkan tumbuh sesuai usianya,” sahut Tera tak sengit. “Setidaknya aku mendidiknya tidak terlalu banyak berharap padanya. Tidak seperti kamu, mungkin dia baru buka mata di dunia ini, kamu sudah menaruh banyak harapan padanya.”“KAU!!” Susah payah Sanad me-rem emosinya. Wajahnya tinggal beberapa sinte dengan Tera, tetapi gadis itu tidak sedikit pun memundurkan wajahnya, malah menatap nyalang. Sesaat ia menoleh putranya yang masih menatapnya. Ia menarik diri, lalu keluar dari ruangan. Sepeninggalan Sanad, Tera menghempaskan napasnya. Sesaat kemudian ia baru tersadar, masih ada Evan yang tak seharusnya melihat adegan barusan. Ia segera merengkuh tubuh mungil Evan. “Maafkan Mama. Tidak seharusnya kamu melihat tadi.”Evan melepaskan pelukannya. Ia tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Tera mengerutkan kening. “Kamu tidak masalah Papa dimarahi?”Evan menggeleng. Ia mengambil kertas dan pulpen, lalu menulis.[seru] Tera tidak percaya dengan yang dibacanya. Evan mengangguk. Ia kembali menulis. [tidak ada yang berani marahin Papa, selain Mama.]Tera ingin tertawa, tetapi ia keburu menahan diri. Ia memencet pipi Evan.“Jahatnya. Tidak boleh begitu! Kamu harus membela Papamu.”Evan terkekeh. Lalu menggeleng. “Kenapa?”Evan hanya menjawab dengan gelengan.“Ish. Mama harus menghukummu.” Ia meletakkan jarinya ke pingging Evan, sehingga bocah itu menggeliat dan tertawa kegelian.
*** Hayati terperanjat ketika Sanad masuk ke kamar. Dentuman pintu membahana di kamar mereka. Spontan ia meletakkan ponselnya.“Kenapa?”Sanad tak menjawab. Ia duduk di sisi ranjang lainnya sambil mengatur napasnya.“Tadi katanya mau masuk ke kamar Evan, terus datang marah-marah. Siapa yang bikin kamu begini? Tera?”“Sudahlah. Malas ngomongin perempuan itu.” Sanad naik ke atas ranjang, lalu memasukkan kakinya ke dalam selimut dan berbaring.Hayati merebahkan kepalanya di bahu Sanad. Laki-laki itu langsung menyambutnya tanpa suara. Hayati ikut terdiam. Sanad memang selalu menyambut sikapnya, tetapi ia tahu hanyalah sentuhan kosong. Hati laki-laki itu tidak pernah untuknya.
*** Sambil membelai rambut Hayati, Sanad memejamkan mata. Namun, pikirannya masih tertinggal di kamar Evan. Mata nyalang, tetapi berair masih melekat di benaknya. Ia memang sengaja mengucapkan hal itu untuk melihat reaksi Tera. Namun, mengapa reaksi itu di luar dugaannya.'Kenapa harus marah? Bukankah ia pernah melakukan itu?'***
“Mama tidak mengerti, kenapa kamu selalu bersikap kasar pada Tera? Apa salah dia?” tanya Fatima ketika di dalam mobil yang mengantar ke pekerjaan mereka. “Bukannya dari dulu saya begini?!” jawab Sanad tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar tablet. “Tapi pada Tera kamu lebih kasar padanya?” bantah Fatima.“Dia itu ….” Ucapannya terhenti mengingat ada Hayati bersama mereka. Info buruk yang ia dapatkan tentang Tera cukup hanya dirinya yang tahu, tidak perlu disebar luaskan.Hayati mengerutkan kening. “Dia kenapa?!” cecar Fatima.“Tidak apa.” Ia kembali pada layar tabletnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. “Ya?” ucapnya setelah memasang earphone. “Iya, dia ke sekolah Evan. Kau terus awasi dia. Jangan sampai ada yang terlewatkan. Mengerti?!” “Kamu memata-matai Tera?” tanya Fatima setelah Sanad melepaskan earphonenya.Sanad mengangguk. “Sampai sejauh itu?! Kamu keterlaluan, San!” hardik Fatima. Hayati yang duduk di samping Fatima terkejut. Sangat jarang Fatima meninggikan suaranya. Sanad berpaling. “Ma, dia masih orang asing dan kita menyerahkan Evan padanya, wajarlah jika aku ekstra hati-hati.”Fatima menggelengkan kepala. “Sekian tahun berkecimpung di pertarungan bisnis, aku kira kamu sudah bisa mengenali orang.” Sanad membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Hayati meneguk salivanya. Sekian lama membersamai keluarga Sanad, baru kali ini ia melihat perdebatan. Entah mengapa ia iri pada Tera. Meski dengan kecurigaan, setidaknya Tera telah mendapatkan perhatian seorang Sanad.
***Setelah mengantar Evan ke sekolah, Tera mencari minimarket terdekat. Ia mengambil kerupuk merk Teratai, tetapi pada saat mau ke kasir, tiba-tiba ia berpaling, bersembunyi pada sebuah rak. “Rasid?” gumamnya. Ia melihat salah satu anak buahnya sedang berbicara dengan karyawan minimarket. Tera menaruh kerupuk, lalu mengikuti Rasid keluar, hingga sampai pada sebuah motor, ia menyeret lengan Rasid.“Apa-apaan ini?” pekik Rasid, tetapi seketika ia terdiam begitu mengenali orang yang menyeretnya.Tanpa suara, ia terus menyeret Rasid hingga sampai ke samping bangunan. “Ceritakan apa saja yang terjadi di Teratai?” Rasid menghela napas. “Banyak yang terjadi, Kak. Teratai sekarang dikelola oleh oleh Kak Kembang dan suaminya.”“Maju?”“Secara jumlah produksi maju, tapi secara kesejahteraan karyawan ….” Ia menggeleng pasrah. “Memang Arbain dan Kembang ….” Ia tak sanggup mengucapkan, jika adiknya berbuat buruk kepada karyawannya. Rasid mengangguk. “Mereka marah karena tidak berhasil mendapatkan resep. Padahal kami sendiri memang tidak tahu 'kan.”Tera tersenyum miring. Selama proses pembuatan, tidak pernah ia melakukan secara sembunyi-sembunyi dari keluarganya. Salahnya Kembang tidak pernah mau menyentuh adonan ataupun ikut handil dalam produksi Teratai. “Lalu Acil Nurul?” “Acil Nurul dan Rudi mengundurkan diri, juga beberapa orang. Maafkan aku, Kak. Aku tidak berdaya. Padahal Kakak sudah banyak membantu keluargaku,” ucap Rasid menunduk.“Jangan salahkan dirimu. Tetaplah bekerja padanya, selama dia menggajimu secara adil. Oh iya, jangan beritahu aku ada di sini!”Rasid mengangkat wajah. “Ibu Kakak sakit-sakitan.”Mata Tera mengembun. “Keberadaan Kembang sudah cukup baginya. Anak sarjana yang selalu dibanggakannya.”“Tapi ….”“Aku mohon jangan beritahu mereka. Khawatir mereka tidak puas mengusirku hanya sampai di sini.”“Tapi bagaimana keadaan Kakak sekarang?”Tera hanya membalas dengan senyuman. “Kak, aku yakin Rudi masih mencintai Kakak. Dia akan melindungimu. Kembalilah.”Kembali Tera hanya tersenyum. Lalu menjauh, sambil menengokkan kepala ke kiri dan ke kanan.
*** Di kantor Sanad memperhatikan video yang dikirim informannya. “Rudi?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan