Rasa Bersalah : PART 5 - FULL STORY - ANICRAFT SERIES - Chapter = Selamatkan Tuan Putri

4
2
Deskripsi

NOTE PENTING : Cerita Pendek Anicraft ini adalah “Filler”, dimana tidak offcial masuk ke cerita “Anicraft Series”
Tapi karakter2 dan berbagai Cerita penting disini akan tetap terhubung di “Anicraft Series”

Timeline Cerita : Sesudah Anicraft Movie. Sebelum Anicraft Series

Baca Part 1 Disini
Baca Part 2 Disini
Baca Part 3 Disini
Baca Part 4 Disini

Mata Azuya perlahan terbuka, penglihatannya semakin lama semakin jelas. Dia berada di sebuah tempat yang dipenuhi kobaran api. Beberapa orang dengan tampilan prajurit,...

FULL STORY – ANICRAFT SERIES
PART 5 : Rasa Bersalah
Character by Romansyah, Azuya Surya, Blanemist, Hudacho, dkk.
Story : Amalia Farissa Devy

“AAH!” Azuya bangun dari mimpi buruknya itu. Nafasnya terengah-engah ketika pikirannya berulang-ulang mengingat kejadian buruk di mimpinya tersebut. Ketika dia mencoba bergerak, tiba-tiba dada kirinya terasa sakit, merasa bahwa serangan di mimpinya seperti nyata. Dia kembali mengingat sosok yang menyerangnya itu. Nampak raut ketakutan terpampang terpampang di wajahnya.

“Tadi itu… siapa?”

“Azuya!” 

Azuya terkejut sesaat dipanggil oleh seseorang dari arah lain. Ternyata Blane, Huda dan Eben yang memanggilnya. Mereka berdua menghampiri Azuya untuk mengecek kondisinya saat ini. “Akhirnya kamu sadar juga,” gumam Blane pelan. Huda mengangguk setuju mendengarnya.

“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Huda.

“Ya… aku baik-baik saja…” katanya canggung. Dia tidak mau memberitahu mimpi yang dialaminya kepada yang lain. Kemudian, dia menoleh ke sekitar.

Tidak ada Pride, Humba, maupun Lydia disana.

“Eh? Kemana yang lainnya?” tanya Azuya bingung. Blane dan Huda terdiam, tidak menjawab pertanyaannya. Eben pun angkat bicara, “Soal itu… mereka sudah pergi beberapa saat yang lalu,” Azuya heran mendengar hal itu. “Ke-kenapa terburu-buru sekali?” Huda hanya mengangkat kedua bahunya, “Kami juga tidak tahu. Mereka bersihkeras untuk tetap mencari tuan putri.”

Azuya termenung sejenak, lalu dia mencoba bangun perlahan. “Kemana arah mereka pergi?” Semua heran karena pertanyaannya itu. “Mereka ke arah sana,” Blane menunjuk ke hutan yang begitu lebat dan lumayan gelap. Azuya mengambil pedang miliknya dan langsung berlari ke hutan tersebut.

“Eh? Azuya, kamu mau kemana—“

“Kita harus menyusul mereka!” Seru Azuya dengan wajah seriusnya.

“Tapi Azuya! Roman—“ Eben mencoba mencegahnya, namun Blane dan Huda memberi tanda untuk tetap tinggal di tempat kemah mereka. Lalu, Blane dan Huda pergi mengejar Azuya. 

“Hah… hah… kenapa mereka meninggalkanku begitu saja? Aku baru saja bertemu dengan mereka,” Terlihat Azuya sudah berlari jauh dari mereka berdua. Dia melewati pohon demi pohon di hutan itu. Air mukanya begitu kecewa setelah mendengar tiga prajurit itu meninggalkannya. Tiba-tiba, muncul sebuah zombie dari semak-semak belukar dan berjalan menuju Azuya.

“Jangan menghalangi jalan!” Azuya menebas zombie itu dan akhirnya mati. Namun serangan belum berhenti, sebuah panah melesat ke arahnya. Azuya menunduk untuk menghindar, lalu kembali tegak dan menatap kesal skeleton yang memanahnya dari arah lain. Azuya pun mengangkat pedangnya untuk mengeluarkan kekuatan anginnya. Namun…

“Aaah!” dia merasa kesakitan, sehingga dia tidak jadi mengeluarkan kekuatannya. Dia masih tidak mengerti, bahwa ini efek dari pertarungan sebelumnya. Tanpa disadari, satu panah kembali melesat ke arahnya.

Dengan cepat, dia menghindar dengan bantuan kakinya. Berhasil menghindar, bukan berarti masalahnya selesai. Skeleton yang lain mulai berdatangan dan mulai menghampiri Azuya. Mereka mengelilinginya, lalu menembak Azuya bersama-sama. Azuya yang tahu serangan itu akan terjadi, akhirnya menancapkan pedangnya ke tanah untuk membuat pelindung anginnya. Namun, pelindung itu hanya muncul sebentar karena hembusan anginnya yang begitu kecil. Azuya malah semakin kesakitan dibuatnya.

Set! Set! Dua panah berhasil menembak lengan dan kaki Azuya. Anak itu semakin kesakitan dan terjatuh. Azuya mengangkat pedangnya kembali untuk mengeluarkan kekuatannya, namun tidak ada sedikitpun angin yang keluar dari pedang tersebut. Sementara, muncul sebuah creeper yang berjalan ke arahnya dengan cepat.

“Argh! Kenapa tidak mau keluaar?!” Ketus Azuya kesal. Creeper tersebut sudah berada dihadapannya, semakin lama semakin mendekat.

“Sebelah sana!!”

Azuya menoleh ke belakang ketika Blane dan Huda ternyata mengejar dia sebelumnya. Blane mengeluarkan clone miliknya untuk mendorongnya jauh lebih cepat, lalu sesampai di hadapan Azuya dia mendorong creeper itu cukup jauh. Creeper itu meledak tidak jauh dari mereka berdua. “Azuya, kamu tidak apa-apa?” Blane yang baru saja bertanya, tidak menyadari bahwa beberapa skeleton melesatkan panah-panahnya kepada Blane. Tentu saja dia terkejut ketika ia berbalik, panah tersebut sudah tepat berada dihadapannya.

Bwosh! Panah-panah tersebut berhenti dihadapannya karena terkena sesuatu, sehingga beberapa saat kemudian terjatuh ke tanah. Huda datang membelakangi Blane dan Azuya. Dia bersiap dengan lima bola shulker ditangannya untuk dilontarkan kepada para skeleton tersebut. “Tidak akan kubiarkan kalian menyentuh mereka berdua! Hiyaa!”

Huda melempar bola-bola shulker tersebut, dan para skeleton itu melayang di udara. Dengan cepat Huda memperingati Blane di belakangnya, “Blane! Bawa Azuya pergi dari sini!” Blane merangkul Azuya yang kesusahan untuk bergerak. Huda yang tidak ingin membuang waktu, menonaktifkan kekuatan levitation yang ditimbulkan dari bola shulker sebelumnya. Para skeleton tersebut terjatuh dan hancur di tanah. Setelah itu, Huda pergi menyusul Blane dan Azuya.

“Kita harus kembali!” ujar Huda yang tengah menyusul Blane di depannya.

“Tapi kenapa? Bagaimana dengan mereka—“

“Sudahlah, Azuya. Biarkan saja,” Blane mencoba mencegah Azuya, namun anak itu menggeleng dan melepas rangkulannya. “Pride!!” Dia mengayunkan pedangnya, namun kekuatan angin yang dihasilkan olehnya tidak terlalu kuat seperti sebelumnya. Blane mencoba menahan tangan Azuya yang masih mengayunkan pedangnya itu. Azuya kembali merintih kesakitan. 

“Aaah…” Azuya sedikit lemas karena rasa sakitnya itu. Blane merangkulnya kembali.

“Kamu masih belum sembuh, Azuya. Jangan paksakan dirimu!” Huda ikut membantu merangkul Azuya dari posisi yang berbeda. Namun Azuya melepas kembali rangkulan mereka. Dia mencoba berlari kembali, tapi dicegah oleh mereka berdua. Mau tidak mau, Azuya menyerah untuk membela dirinya, lalu membiarkan kedua temannya itu untuk membawanya kembali ke tempat kemah mereka.

Pride!

“… hah?” 

Langkah Pride terhenti ketika dia merasa seseorang seperti memanggilnya dari kejauhan. Dia menoleh ke belakang, tidak ada siapapun disana. Humba dan Lydia yang berada di depannya merasa heran dengan itu. “Ada apa, Pride?” Humba bertanya, namun tidak digubris oleh Pride. Seketika seperti ada hembusan angin sepoi-sepoi dari belakang mereka, Pride semakin heran dibuatnya.

“Pride? Apakah ada yang salah?” Lydia kebingungan.

“Emm… tidak apa-apa. Kita lanjutkan saja perjalanan kita, hari sudah mau gelap…” kata Pride sambil menggeleng. Menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi, Humba dan Lydia kembali berbalik dan melanjutkan perjalanan mereka. Pride termenung sejenak, lalu berbalik menyusul kedua temannya itu. Wajahnya nampak murung.

… maaf Azuya, aku tidak memberitahumu terlebih dahulu soal ini…

“Akhirnya…” Blane dan Huda membantu Azuya duduk di depan kemah. Mereka terlihat kelelahan setelah menggendong Azuya karena langkah mereka yang cukup jauh dari tempat kemah tersebut. Blane dan Huda mencoba mengatur nafas mereka yang sedikit terengah-engah.

“Hah… hah… kamu berat juga,” celetuk Huda pelan.

“Dengarkan kami dulu, Azuya.” Blane yang kelelahan mencoba membuat Azuya mengerti dengan keadaannya saat ini. Perlahan, dia mencabut dua panah yang menancap di tangan dan kaki Azuya. Anak itu mengeluh setelah menahan rasa sakitnya, lalu kembali tenang ketika Blane menutup lukanya dengan perban.

“Ada apa denganku? Kenapa tiba-tiba aku tidak bisa menggunakan kekuatanku tadi?” Azuya menatap pedangnya dengan ragu.

“Itu karena kamu memaksakan diri, Azuya.” Eben datang dari arah tenda, sambil membawa botol berisi cairan merah muda yang sama persis seperti yang diberikan Lydia sebelumnya. “Ini, minum dulu. Mungkin dengan ini kamu bisa sedikit pulih lebih cepat,”

 “Te-terima kasih,” Azuya menerimanya, lalu meminumnya hingga habis. Blane pun setuju dengan apa yang dikatakan Eben. “Iya, kata Roman, itu karena efek samping dari pedangmu.” Azuya pun semakin lama semakin mengerti setelah mendapat penjelasan dari mereka berempat. Namun ia dibuat heran karena sedari tadi ia tidak menemukan Roman disana. “Ah, ya. Roman mana?” 

“Emm… soal itu…” Huda menoleh ke tenda yang mereka tinggali. Azuya yang punya firasat tidak enak, langsung bangun dari posisi duduknya. Tapi kakinya yang terluka membuatnya kesulitan untuk berjalan. Blane membantu memegang tangannya lagi.

“Hati-hati,” kata Blane pelan.

Azuya pun masuk ke tenda, lalu melihat Roman yang terbaring tidak sadarkan diri dengan tangan kirinya diperban. Dia semakin terkejut ketika mendekati Roman yang tubuhnya masih penuh luka dimana-mana. “A-ada apa dengan Roman?”

“Lydia bilang tangan kirinya cedera cukup parah, akibat serangan kemarin.” Jelas Eben dibelakangnya. Azuya tidak percaya dengan apa yang dikatakan olehnya. “Dia melindungimu dari serangan Alta dan Brice. Namun karena ketidakstabilan program cannon-nya, dia sulit mengendalikan serangannya sehingga terdorong cukup kuat.” Lanjutnya pelan.

Azuya begitu sedih mendengarnya. Botol yang ia pegang lepas dari genggamannya, menyentuh halus tanah dibawah kaki Azuya. Dia begitu menyesal setelah memaksa dirinya untuk ikut bertarung, tanpa mengetahui efek samping setelah menggunakan pedang itu. Azuya terjatuh, tangannya menapakki tanah dibawahnya. Dia sedikit menangis karena pertarungan sebelumnya. “Ini semua salahku… dia berusaha melindungiku dengan seluruh kemampuannya.” Ucapnya pelan.

“Akulah penyebab kita kalah. Kalau saja dua penjahat itu tidak datang—“ Huda menunduk, dia terlihat kesal dengan itu.

“Aku pun juga salah. Aku malah membuatmu jauh lebih marah ketika bertengkar dengan Pride waktu itu.” Eben juga menyalahkan dirinya sendiri. Azuya menggeleng, tidak setuju dengan apa yang dikatakan mereka berdua. “Tidak, ini semua salahku…”

“Aku yang terlalu egois, aku menyerang kalian semua. Padahal, kalian tidak punya masalah denganku, tapi aku yang terbawa emosi,” Azuya mengepalkan tangan, lalu memukul tanah dibawahnya. Lalu, dia sedikit menitikkan air matanya. Blane hanya terdiam sedih melihat semua ini terjadi.

“Jangan salahkan diri kalian…”

Semua terkejut ketika mendengar suara yang jelas mereka kenali. Roman menatap mereka dengan iba.

“Roman!” Semua terkejut melihatnya.

“Aku melakukan itu karena kemauanku sendiri. Aku tidak akan ragu untuk melindungi teman-temanku, walaupun tubuhku harus cedera sedikitpun.” Jelas Roman. Mereka terperangah setelah mendengar perkataan si ahli redstone itu. Roman yang mencoba berdiri, merasa kesulitan sehingga Blane membantunya untuk duduk ditempatnya.

Azuya masih tertunduk menyesal mengingat pertarungannya yang membuat banyak korban berjatuhan. Roman mencoba mencairkan suasana, dia memegang pundak Azuya dan tersenyum ramah kepadanya. “Semua orang pasti pernah salah, Azuya. Jangan menganggap cuma kamu yang bersalah,” katanya pelan.

“Tapi—“

“Kami tahu kamu cuma terbawa emosi. Lagipula kami sudah memaafkanmu, Azuya.” Semua mengangguk setuju. Tapi, Azuya masih tidak yakin dengan itu. “Jangan dipikirkan soal itu. Yang penting kita masih tetap bersama, bukan?” Roman mencoba menyemangati Azuya didepannya. Anak itu pun mulai tersenyum karenanya. “Terima ‘kasih Roman.”

“Aku janji, aku akan membalas kebaikanmu. Aku akan sentiasa melindungimu, Roman!” Azuya tersenyum lima jari. Roman mengangguk setuju, berharap suatu saat ucapannya itu akan terjadi.

“Aku juga tidak akan kalah darimu! Aku pun juga ingin melindungi Roman!” Huda mengelak sambil tertawa kepadanya. Azuya terkejut mendengarnya. “Apaaa?!” 

“Aku juga berhutang budi kepadanya! Jadi aku juga harus melindungi Roman, lah!” Katanya lantang. Tapi Azuya merasa tersaingi, lalu menghadapnya. “Heh! Jangan mengikuti perkataanku! Aku yang akan duluan melindungi Roman!”

“Kamu harusnya melindungiku! Kamu juga sudah berhutang padaku satu kali, tadi!”

“Apaa?! Untuk apa kamu melindungi aku barusan?!’

“Haduh, mulai lagi, kan…” Blane menepuk jidatnya. Sedangkan Roman dan Eben terhibur dengan adu mulut dan candaan kedua temannya itu. Mereka kembali tertawa ceria, merasa bahwa masalahnya kini selesai.

Malam terasa sunyi, terlihat sebuah api unggun menyala ditengah kegelapan malam. Nampak ada dua orang yang tengah menghangatkan diri dari hembusan angin yang dingin ketika malam hari. Ya, mereka adalah Alta dan Brice. Keduanya termenung sambil menatap api unggun yang berkobar dihadapan mereka. Alta bangun dari posisi duduknya, lalu berjalan ke sekitar api unggun. Dia mengingat kejadian kemarin…

.

.

.

“Tusukan Pedang Angin!!” 

Bwooshh!! Alta kembali terhempas ke belakang. Dia terjatuh ke tanah, lalu mencoba bangun kembali. Namun, dia terlihat kesakitan ketika memegang armor kirinya yang terlihat berlubang. Beberapa tetes darah berjatuhan ke tanah.

.

.

.

“Ergh! Tidak dapat ku ampuni!” 

Alta mengepalkan tangannya, lalu bersiap meninju pohon di depannya. Brice hanya meliriknya sebentar, lalu kembali termenung. Alta memukul pohon tersebut hingga tumbang. Namun dia tidak sadar bahwa pohon tersebut hampir mengenai Brice. Dalam sekejap, pohon itu terbelah dua dan tidak mengenai Brice sama sekali. Api unggun yang tertimpa pohon tumbang itu padam seketika. Sedangkan Brice sedari tadi sudah mengangkat pedangnya. Ya, dia yang memotong pohon tersebut.

Brice hanya terdiam di tempat. Dia melihat api unggun tersebut masih sedikit menyala dengan percikan api dibawahnya. “Kamu tidak perlu sampai kesal begitu, Alta.” Ucapnya dingin.

“KENAPA?! Selama ini kita tidak terkalahkan! Tapi, karena mereka… KITA KALAH BEGITU SAJA?!” Bentak Alta kesal. Brice tersenyum tipis kepadanya.

“Aku tahu kamu orangnya tidak sabaran,”

“Hah?” Alta heran dengan perkataannya. Brice kembali menatap api unggun yang masih sedikit menyala dihadapannya. Dia kembali termenung.

“Berkat sifatmu itu, aku bisa selamat dan bisa duduk disini sekarang…”

Flashback On 

“Ayah… Ibu… Kakak…” 

Uhuk! Uhuk! 

Terlihat Brice yang masih berumur enam tahun itu terbatuk-batuk karena kebakaran yang berada di dalam rumahnya. Dia terjebak disudut sebuah ruangan, sedangkan sekelilingnya dipenuhi kobaran api yang semakin membesar. Dia terduduk diam, menangis karena kini dia sendirian di dalam sana.

“Kalian dimana? Jangan tinggalkan aku sendiri… hiks! Hiks!” Brice semakin sedih dibuatnya, namun tiba-tiba kakinya menyenggol sesuatu. Dia membuka matanya. Terlihat sebuah pedang tergeletak di depan kakinya, sehingga Brice terkejut melihat hal itu. “Ini kan… pedang ayah?” 

“Kenapa bisa ada disini?” Dia menatap pedang itu secara seksama. Dia semakin yakin karena dia ingat bentuk dari pedang milik ayahnya itu. Dia menoleh ke sebuah ruangan didepannya yang telah tertutup oleh kayu besar. “Apa mereka masih berada di dalam sana?” Brice mencoba memegang pedang tersebut, namun dia kesakitan setelah menyentuh gagangnya secara perlahan. “Auww…” dia meniup tangannya yang kepanasan, menyadari bahwa pedang ayahnya yang terbuat dari besi terlalu panas karena suhu yang ditimbulkan dari kobaran api.

BLAAR! Tiba-tiba dinding yang berada disampingnya hancur berkeping-keping. Terlihat dibalik asap debu yang beterbangan, ada sosok anak kecil yang sebaya dengannya, namun tubuhnya lebih besar. “Ayo kita keluar dari sini!!” serunya.

“Tapi, bagaimana dengan orangtuaku?“ Brice semakin panik.

“Tidak ada waktu lagi! Ayo cepat kesini—HAH?!” Anak itu mencoba mengajaknya, tapi ia dibuat terkejut karena langit-langit diatas Brice mulai retak dan siap jatuh diatasnya. Dia pun berlari menerobos kobaran api yang siap membakarnya kapan saja. Ketika langit-langit mulai runtuh, dia meninju dengan kedua tangannya. Akhirnya reruntuhan itu tidak jadi mengenai Brice.

“Akh… sebelum mereka tahu kita ada disini, kita harus keluar dari sini. Kamu mau kita mati terbakar?” Ucap anak itu sambil memegang tangannya yang terkena luka bakar. Brice menggeleng. Tanpa disadari, sebuah batang kayu yang terbakar jatuh mengarah ke anak itu. Brice dengan sigap melompat, dan menendang kayu tersebut untuk jatuh jauh dari posisinya.

“… kamu bisa bertarung juga?” Anak itu terkejut melihat itu setelah Brice mendarat ke tanah. Dia mencari kain yang masih ada disekitarnya.

"Mencari apa kau?". Anak itu Bertanya kebrice

"Kain..." Brice Sambil melihat sekelilingnya yang di penuhi api

"Tentu saja sudah terbakar semua, pakai ini saja" Jelasnya

Anak itu langsung Merobek Baju Lengan Kaos nya lalu membalut itu dengan gagang pedang yang panas itu. Lalu, Brice pegang dengan kuat untuk dia bawa kemanapun ia pergi.

“Hah?! Mereka disini! Ayo kita pergi!” Bocah itu  menarik tangannya tiba-tiba. Brice sedikit terdiam sambil menoleh ke ruangan yang sebelumnya ingin dia hampiri. Namun dia berbalik, lalu pergi dari rumah yang terbakar itu bersama teman barunya. Nafasnya terengah-engah, sambil melihat rumah-rumah yang terbakar tak jauh dari mereka. Tiba-tiba muncul beberapa bola api besar yang siap menimpa apapun yang berada di depannya, termasuk rumah Brice.

Dan… BLAARR!! Rumah Brice hancur terkena serangan itu. Brice dan temannya yang tengah berlari terdorong keras setelah mendapat hentakan dari ledakan yang begitu kuat. Mereka mencoba bangun, lalu berbalik melihat keadaan rumah-rumah tersebut yang telah habis dikerumuni oleh ribuan kobaran api. Brice yang ingat bahwa orangtua beserta kakaknya masih disana, tiba-tiba harapannya hancur. Dia menangis menatap rumahnya yang kini sudah hancur berkeping-keping.

“Kamu tidak apa-apa?” Teman barunya mencoba mengecek keadaannya, namun Brice hanya menangis dihadapannya. Anak itu terdiam, tidak tahu apa yang harus diucapkan karena kejadian ini.

Terlihat beberapa prajurit tengah bergerak menuju mereka, namun belum menyadari bahwa Brice dan temannya masih hidup disana. Anak itu yang sedikit panik karena takut diketahui oleh para prajurit tersebut, dia mencoba menenangkan Brice. “Hei, kita harus pergi dari sini. Mereka semakin dekat dengan kita,” ujarnya demikian.

Brice melihat ke bawah kakinya. Pedang ayahnya yang masih terbalut kain tepat berada di depannya. Brice mengangkat pedang itu, lalu melepas kainnya.

“Kamu yakin mau memegang itu?” Temannya tahu bahwa pedang milik Brice masih panas setelah terkena kobaran api sebelumnya. Brice tidak mengubris ucapannya, lalu memegang pedang tersebut. Dia sedikit kesakitan karena pedang dari besi tersebut begitu panas ketika ia genggam.

“Itu mereka! Kejar!”

“Hah?!” Keduanya terkejut setelah para prajurit datang menghampiri mereka. Brice dan teman barunya kembali berlari menjauh dari mereka. Benda-benda disekitarnya menjadi objek sasaran untuk dilempar. Namun sosok misterius berhasil membelah benda-benda yang dilempar oleh teman Brice. Untuk mempercepat perjalanan mereka, mau tidak mau dia menggendong Brice, lalu berlari lebih cepat untuk menghindari kejaran dari prajurit-prajurit yang mengincar mereka. Beberapa saat kemudian, mereka sudah cukup jauh dari kawasan desa yang termakan kobaran api itu. Temannya yang habis menggendong Brice, menurunkannya secara perlahan.

“Hah… hah…” Mereka berdua benar-benar kelelahan setelah kejadian tadi. Teman baru Brice kembali memegang luka yang berada ditangannya itu. Brice menunduk karena merasa sedikit bersalah atas kejadian dirumahnya.

“Umm… maafkan aku, sekarang tanganmu jadi terluka.” Brice tak enak hati dihadapannya. Namun anak itu hanya menggeleng kepadanya. “Tidak masalah, luka seperti ini tidak akan membuatku goyah!” katanya sambil tersenyum kepadanya. Brice antusias dengan perkataannya.

“Eh, ngomong-ngomong, siapa namamu?”

“Namaku Brice.” Kata Brice singkat.

“Oh, Brice. Kalau begitu, namaku Alta.” Katanya dengan lantang. Brice tersenyum setelah berkenalan dengan Alta. “Senang bertemu denganmu,” ucapnya pelan. Malam yang sunyi itu kembali menjaga mereka untuk tetap bangun, sampai tiba waktunya bahwa mereka sudah aman dari prajurit-prajurit tersebut.

Flashback Off 

“Karena kejadian itulah, kita bisa bertemu, dan sampai disini sekarang.” 

Brice yang habis bercerita itu, langsung bangun dari tempat duduknya. Dia mengangkat belahan pohon yang sebelumnya menimpa api unggun mereka berdua. Setelah disingkirkan, Brice mencoba menyalakan api unggun itu kembali. Alta yang mendengar ceritanya pun terdiam.

“Katamu, luka apapun yang menyakitimu tidak akan membuatmu goyah, bukan?” Brice sedikit melirik kepadanya.

“… ya. Ini masih belum seberapa!” Alta kembali bersemangat.

“Hehe, baguslah.” Brice tersenyum kepadanya. Dia menatap api unggun yang berada di depannya kembali berkobar.

“Kita sudah sejauh ini. Kita hidup bersama, bertarung bersama, latihan bersama, sampai sekarang. Tujuan kita sedikit lagi tercapai,” Brice bangun dan menghampiri Alta yang tak jauh darinya. Dia tersenyum sinis kepadanya. “Kita harus berhasil membantu Cobalt, dan membalas dendam apa yang telah terjadi di desa kita dulu!” lanjutnya lantang.

“Ya! Benar!” Alta setuju dengan ucapannya. 

“Besok, kita akan selesaikan mereka semua dengan serangan kita. Bersama-sama.” Brice menatap api unggun di depannya yang berapi-api. Semangat mereka kini terpancar, dan bersiap untuk memulai hari esok.

To be continue…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Alta - Desain Karakter Animasi Anicraft Series
1
10
Alta - Karakter Penjahat Di Animasi Anicraft SeriesKarakter Pertama Big Boy Di Animasi Anicraft Series. Mungkin kalian sudah tahu kekuatannya, dan Partnernya itu adalah Brice. Mereka di kenal juga sebagai Combo A&B.Alta adalah karakter yang paling susah Yang saya pernah buat kenapa ? Berikut susunan dari Termudah hingga tersusah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan