
Awal Perjalanan : PART 1 - FULL STORY - ANICRAFT SERIES - Chapter = Selamatkan Tuan Putri -
NOTE PENTING : Cerita Pendek Anicraft ini adalah “Filler”, dimana tidak offcial masuk ke cerita “Anicraft Series”
Tapi karakter2 dan berbagai Cerita penting disini akan tetap terhubung di “Anicraft Series”
Timeline Cerita : Sesudah Anicraft Movie. Sebelum Anicraft Series
“Ehmmm…” Seorang gadis perempuan terbangun dari tidurnya. Dia terduduk diam diatas tempat tidurnya. Lalu, berdiri dan berjalan menuju arah jendela. Dia menatap langit malam yang begitu indah dengan ribuan bintangnya. Gadis bergaun...
•
•
•
•
FULL STORY – ANICRAFT SERIES
PART 1 : Awal Perjalanan
Character by Romansyah, Azuya Surya, Blanemist, Hudacho, dkk.
Story : Amalia Farissa Devy
•
•
•
•
Ketika sore itu, para Anicraft sedang perjalanan menuju desa selanjutnya dengan melewati sebuah hutan. Pohon demi pohon mereka lewati di hutan itu. Namun mereka ketambahan 1 orang, yaitu Eben. Mereka saling berkenalan dan memperlihatkan kelebihan masing-masing.
“Jadi, namamu Eben?” Tanya Roman demikian. Anak berkemeja biru itu mengangguk.
“Kelebihanmu apa, Eben?” Blane bertanya. Eben mengambil pancing yang dia bawa dipunggungnya, “Kemampuanku bisa ku lakukan dengan pancingan ini.” Katanya jelas. Semua menatapnya heran, terutama Azuya yang menatap aneh pancingannya itu.
“Hm? Apa hebatnya pancinganmu ini? Terlihat biasa saja,” guman Azuya heran.
Akhirnya Eben menggunakan pancingannya itu. Dia melempar kali pancingnya ke atas pohon. Namun, semua terdiam setelah menunggu beberapa detik kemudian ternyata tidak terjadi apa-apa. Azuya menganggap trik yang dilakukan Eben tidak berhasil. Dia tertawa keras. “Haha! Tidak terjadi apa-apa.”
Eben membalasnya dengan senyum tipis, lalu menarik pancingnya perlahan. “Lalu, dimana pedangmu?” Azuya yang bingung dengan pertanyaannya itu menoleh ke punggungnya. Pedangnya tidak berada disana. “Lah? Dimana pedangku?”
Lalu terlihat kail pancing Eben yang baru turun dari atas pohon menyangkutkan pedang elemen milik Azuya itu. Seketika mereka terkagum-kagum melihatnya.
“Wah, hebat sekali!” Blane memujinya. Eben hanya menggaruk kepalanya karena malu, lalu mengembalikan pedang milik Azuya itu. “Boleh juga,” gumam Azuya sambil menyenggolnya bahunya pelan.
“Nah, sekarang, coba kalian memperkenalkan diri. Lalu, beritahu kelebihan dari kalian berempat.” Kata Eben penasaran. Roman pun mau tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu, “Namaku Roman. Aku ahli dalam berbagai macam alat dari redstone. Misalnya, seperti ini.”
Roman mengeluarkan alat-alatnya, lalu membuat mesin untuk penembak panah otomatis. Namun ketika beberapa panah dikeluarkan, dia tidak menyadari bahwa panah-panah tersebut ternyata mengarah ke Huda. “Huda! Awas!”
“Hah?!” Huda yang terkejut karena teriakannya, berusaha menghindari serangan Roman. Ketika penembak otomatis itu dihentikan oleh Roman, terlihat Huda berdiri terdiam dengan posisi anehnya di dekat pohon. Panah-panah itu hampir saja mengenai dirinya. Blane dan Azuya tertawa melihat posisinya yang menggigil ketakutan.
Roman membantu Huda mencabut beberapa panah yang tertancap di pohon tersebut. “Lain kali hati-hati ya Roman,” ucap Huda sambil mengembalikan beberapa panah milik Roman tersebut. “Hehe, iya maaf.” Roman tersenyum malu.
“Huda, lebih baik kalau posisimu terus seperti itu. Lucu, hahahahaha!” Ternyata Azuya masih tertawa karena kejadian barusan. Huda menatapnya datar, lalu menyerang Azuya dengan kekuatan bola sulfirnya. Seketika Azuya tersentak, dan dia mulai perlahan naik ke udara. Dan akhirnya, Huda yang berbalik menertawai dirinya.
“Hah, Huda! Turunkan aku! Awas kamu, ya!” Azuya mengaduh ketakutan ketika ia semakin tinggi dari tanah. “Haha, iya, iya.” Huda kembali menggunakan kekuatannya, lalu menurunkan Azuya perlahan.
“Ini, Huda, kelebihannya… kurang lebih seperti yang kamu lihat tadi.” Jelas Roman sambil memegang bahu Huda. Lalu, Azuya mendekat dan berbisik kepada Eben, “Awas, dia agak nakal.” Eben tertawa kecil mendengarnya.
“Bisa aja kamu.” Ternyata Huda mendengar apa yang Azuya katakan.
“Sekarang, giliranku! Hiyah!” Azuya mengeluarkan pedang dipunggungnya, lalu seketika menancapkannya ke tanah. Seketika tanah yang mereka pijak bergetar seperti ada gempa kecil yang menimpa mereka. Ketika gempa tersebut berhenti, Roman, Huda dan Blane mengeluh dengan yang Azuya lakukan. “Azuyaa!”
“Kalau mau memperlihatkan skill hati-hati, dong.” Blane agak kesal dengan itu.
“Ya maaf, memang itu salah satu hal yang aku bisa lakukan.” Azuya menaruh kembali pedangnya di atas punggung.
“Ini Azuya, dia punya pedang dengan kekuatan berbagai macam elemen.” Roman kembali menjelaskan salah satu anggota Anicraft kepada Eben. “Dan… dia sedikit keras kepala.”
“Nah, kalau kamu gimana? Kelebihanmu apa?” Eben bertanya kepada Blane. Anak dengan tongkat berujung merah-ungu itu maju ke depan.
“Aku Blane. Aku bisa—“
“Eh, sebentar deh!” Tiba-tiba Huda menutup mulut Blane dengan salah satu tangannya. Seketika semuanya terdiam.
“Ih, apaan sih! Aku kan lagi jelasin—“ Blane kembali kesal. “SSSTT!” Namun diputus oleh Huda yang menyuruhnya diam. Dia mengadahkan salah satu telapak tangannya, lalu didekatkan ke telinganya.
“Kalian dengar tidak? Seperti, ada yang sedang berkelahi.” ucap Huda pelan.
“Ah? Iya, sepertinya tidak jauh dari kita berlima.” Blane mengiyakan dengan apa yang dikatakan oleh Huda.
“Biar aku scan dimana pertarungan itu berada. Semoga saja tidak terlalu jauh.” Roman pun mengaktifkan kacamatanya, lalu meng-scan daerah yang disinggahi oleh mereka. “Scan daerah ini!”
“Memulai scan…”
“Scan selesai!”
Terlihat hologram yang ditampilkan di kacamata Roman menjelaskan daerah yang mereka pijaki. Beberapa meter dari mereka jelas terlihat pertarungan dari beberapa orang di sebuah padang rumput yang tidak jauh dari hutan tersebut. “Iya, benar! Ada beberapa orang yang sedang bertarung disana!”
“Nampaknya, ada lima orang yang sedang bertarung—“
“Aku duluan ya!” Tiba-tiba Azuya pergi lebih dulu sebelum Roman menjelaskan pertarungan yang dikatakannya.
“Eh? Azuya! Tunggu!” Namun perkataan Roman tidak digubris olehnya, dan dia berlari semakin jauh.
“Hemm… memang keras kepala.” Huda menatapnya datar. Mereka semua terdiam dan menunggu aba-aba dari Roman.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan? Nampaknya, Azuya tidak akan cukup kuat melawan mereka…” Eben ingin sekali menyusul Azuya, namunRoman menghalang jalan Eben dengan merentangkan salah satu tangannya. “Tenang saja, Azuya tahu apa yang harus dilakukan.”
“Benarkah?” Eben terkejut mendengarnya.
“Se.. seharusnya…” Romansyah tidak yakin dengan itu. Eben semakin khawatir, “Oke, itu kedengarannya buruk.”
•ᴥ•
Prang! Trang, Trang!
Dua orang berarmor dan berjubah itu menyerang 3 prajurit didepannya. Nampak salah satunya menyerang seorang prajurit, dan satu lagi berbadan besar menyerang dua prajurit dengan pedang besar berkepala dua.
“Aku tahu kalian yang menculik tuan Putri. Dimana kalian sembunyikan?!” Salah satu prajurit membentak musuh dihadapannya. Terlihat pedang yang ia layangkan ditahan oleh pria berpedang panjang.
“Heh, memangnya apa urusanmu?” Tanya ia sinis, lalu menebas pedang milik prajurit itu sehingga tertancap ke tanah. Prajurit itu kembali mengambil pedangnya, lalu menyerang pria tersebut. Tiba-tiba…
“HIYAAA!” Azuya datang dan menyerang mereka berdua. Serangan demi serangan dia lontarkan dengan beberapa blok tanah yang ia lemparkan. Mereka saling menghindar dari blok-blok tanah tersebut. Pria itu berlindung sambil berdecik kesal, “Siapa kamu?”
“Kamu yang siapa?” Azuya malah berbalik tanya, lalu kembali menyerang mreka berdua
“Si-siapa itu?” prajurit yang menyerang pria besar itu terdiam melihat Azuya menyerang dua orang yang ia kenali. “AAHH!” Namun lamunannya terhenti ketika pria besar yang ia lawan melemparnya begitu jauh.
“Humba!” Prajurit wanita yang menemaninya terkejut melihat temannya terlempar begitu jauh. Dia pun memanah pria besar itu berkali-kali, namun serangannya tidak ada kesan sama sekali kepadanya. Beberapa detik kemudian, hembusan angin kencang muncul menerpa mereka berdua. Terlihat Azuya mengeluarkan elemen angin dari pedangnya, dan kembali menyerang dua orang di hadapannya.
“Alta! Bantu aku sekarang!” Ujar pria yang diserang Azuya itu. Pria berbadan besar itu mengangguk dan berlari menuju Azuya. Para prajurit yang ikut diserang Azuya juga berlari ke arahnya untuk membalas serangannya barusan. Azuya yang sedikit kesulitan tersebut mencoba menangkis dan menghindar dari beberapa serangan yang dilakukan kelima orang tersebut. “Ugh! Dimana mereka berempat? Kenapa aku bertarung sendiri—akh!” Namun dia terjatuh karena tersandung batu, dan kini terpojok tidak bisa melakukan apa-apa. Dia menunduk, menunggu pertolongan datang.
“Hiyaa!” Tiba-tiba ada seseorang yang melemparkan sebuah bola sulfir dengan ukuran yang lumayan besar. Bola sulfir itu meledak di atas Azuya dan lima orang asing tersebut. Seketika gravitasi berbalik, membuat mereka semua melayang di udara.
Ternyata yang melempar serangan tadi adalah Huda. Dia terlihat melayang di udara sambil mengangkat tangannya. Pria besar yang terlihat ikut melayang, melempar beberapa blok kayu dan tanah ke arah Huda, namun dengan sigap Huda menghindar dari serangannya.
“Eben, tarik Azuya sekarang!” Teriak Huda kepada Eben yang berada persis dibelakangnya. “Iya!” balas Eben sambil melempar kail pancingnya ke arah Azuya. Setelah itu, Azuya mendarat dengan empuk di tanah sambil terbaring lemah.
“Azuya, kamu tidak apa-apa?” Roman menghampirinya lebih dulu, sementara Azuya mengangguk pelan. Namun Blane mengetuk kepalanya, sehingga dia meringis kesakitan.
“Ah! Blane, sakit tau!” Gerutu Azuya kesal.
“Makanya lain kali jangan duluan kalau mau serang musuh,” jelas Blane sambil mengambil tongkat di punggungnya. “Giliran aku kan, Roman?”
Roman mengangguk, memberikan ekspresi percaya kepadanya. Blane pun segera beraksi, dengan menangkis beberapa serangan yang dilontarkan oleh pria besar itu. “Huda! Turunkan mereka. Aku ingin lihat seberapa lincahnya dua orang ini. Sisanya, berikan kepada Roman.” Blane menunjuk ke arah pria besar dan teman rekannya yang berarmor di atasnya.
“Oke!” Huda menurunkan kedua tangannya, sehingga dua orang berhadapan dengan Blane, sedangkan ketiga prajurit lainnya menghadap ke Roman.
Blane pun memulai aksi, dengan menyerang dua orang itu dengan tangkas. Serangan demi serangan dilontarkan oleh keduanya. Namun dengan mudah Blane menghindar dengan jurus teleportasinya, lalu melempar tongkatnya menuju mereka. Ketika tertancap ditanah, muncul dua sosok yang persis seperti Blane yang akhirnya menyerang mereka berdua. Eben yang menyaksikan dari kejauhan menatapnya kagum.
“Wow… Luar biasa!” gumamnya pelan.
Roman yang berhadapan dengan ketiga prajurit itu mengangkat kedua tangannya. “Tenang, kami bukan musuh. Kami bermaksud untuk menolong kalian.” Jelas Roman sambil tersenyum ramah kepada mereka. Namun salah satunya mengelak dan membentak Roman, “Lalu, kenapa dia menyerang kami?”
“I-itu tidak sengaja. Dia tidak tahu kalau kalian itu punya maksud baik,” Roman kembali membela Azuya yang diam ditanah.
“Pride, tenang saja. Aku yakin mereka orang yang bisa dipercaya.” Teman disampingnya mengiyakan ucapan Roman. Orang yang dipanggil Pride itu tidak membalas lagi.
“Roman, cepat tolong aku! Mereka benar-benar tidak lelah dalam bertarung!” Keluh Blane yang mulai bangkit setelah jatuh karena serangan dari mereka berdua. Roman tersenyum puas. “Hehe! Baik! Eben, jaga Azuya sebentar ya!” ujar Roman seraya anggukan dari Eben.
Roman mengaktifkan kacamata canggihnya kembali, lalu mengeluarkan beberapa panah miliknya yang sudah dimodifikasi. Dia berlari menuju pria berpedang panjang itu terlebih dahulu. Terlihat ia mengeluarkan beberapa blok besi, lalu dilemparkan ke arahnya. Roman pun menganalisis serangan itu dengan kacamatanya, terlihat beberapa hologram menjelaskan ukuran dan jarak serangan darinya.
Roman melempar panahnya persis seperti yang dijelaskan layar kacamatanya. Serangan demi serangan dengan mudah ditangkis olehnya. Lalu, dia melempar panah yang telah ia modifikasi ke arah pria itu. Seketika ada bunyi bom yang mau meledak di depannya, pria itu tidak dapat menghindar dari ledakan yang diakibatkan oleh panah tersebut.
“Brice!” Pria yang dipanggil Alta itu menggeram marah dan berniat memukuli Roman. Ketika tinjuan dilayangkan, Roman bersiap dengan shield yang dibuatnya. Pukulan demi pukulan tidak berkesan kepada shiled milik Roman. Karena sangat geram, Alta melayangkan pedang berkepala duanya ke shield Roman sehingga shield tersebut pecah.
Roman pun mengalihkan perhatiannya dengan melempar panah bom itu kembali. Alta yang tahu niat Roman berhasil menghindar dari serangan itu, namun ketika berbalik dia kehilangan Roman ditengah asap yang berdebul dihadapannya. “Dimana kamu, bocah tengik?!”
“Heh, disini!” Mata Alta terbelalak ketika melihat Roman sudah berada dibelakangnya dengan persiapan yang matang. Dia mengeluarkan canon laser yang sudah menjadi ciri khasnya, lalu menembak dengan laser kebiruan berkekuatan penuh. Alta yang terkena tembakan itu terlontar begitu jauh, bahkan membuatnya merubuhkan sebuah pohon yang tak jauh dari tempat ia berdiri.
Alta bangun setelah serangan laser barusan. Dibantu oleh Brice, rekannya, menyuruhnya untuk pergi meninggalkan mereka semua. Lalu, Roman kembali bersama anggota Anicraft yang lain dan juga ketiga prajurit itu.
“Roman, kamu hampir membohongiku karena kamu hanya bilang ahli dalam redstone,” Eben terdiam kagum dengan aksinya barusan, lalu melanjutkan kalimatnya kembali. “Itu luar biasa! Bahkan lebih dari sekedar ahli redstone.”
“Terima kasih atas pujiannya. Tapi kita harus membangun perkemahan kecil sebelum hari mulai gelap,” Ujar Roman sambil melihat hari sudah mulai malam. “Kalian tidak akan tahu mob-mob yang bisa membunuh kalian kapan saja di malam hari.”
“Apakah kami boleh ikut dengan kalian?” salah satu prajurit maju ke depan dan menghadap Roman. “Kami tidak yakin akan sampai ke istana di malam hari nanti.” Lanjutnya.
“Tentu saja. Ayo!” Roman memberikan aba-aba untuk pergi dari tempat pertarungan mereka.
•ᴥ•
Langit malam begitu cerah, menampakkan ribuan bintang dan sang rembulan. Anicraft, Eben, dan tiga prajurit itu membuat camp kecil sehingga mereka dapat beristirahat dengan tenang di malam hari. Terlihat sebuah api unggun menemani sehingga mereka terjaga sepanjang malam.
“Kalian mau daging panggang? Kami membuatnya barusan,” Huda menawarkan tiga potong daging sapi yang baru saja dibakar di api unggun.
“Iya, terima kasih.” Salah satu prajurit menerima bantuan dari Huda, lalu membagikan tiga potong daging itu ke dua temannya yang lain. Mereka menikmati makanan mereka masing-masing, sambil mengobrol soal kejadian barusan.
“Darimana asal kalian? Sepertinya nampak asing, kami tidak pernah bertemu dengan orang-orang seperti kalian.” Prajurit yang tadinya dipanggil Humba bertanya kepada Roman dan teman-temannya.
“Kami dari desa seberang yang persis dari barat sana. Kami juga belum pernah ke daerah ini sebelumnya.” Blane menjelaskan perjalanan Anicraft dan teman barunya, Eben, dari desa sebelumnya.
“Oh ya, kami lupa memperkenalkan diri. Aku Roman, ini Azuya, Blane, Huda, dan Eben.” Kata Roman sambil menunjuk kepada teman-temannya yang lain. “Ehm.. kalau kalian?”
“Aku Humba.” Balas prajurit yang menerima daging dari Huda tadi. “Lalu mereka Lydia dan Pride.” Terlihat salah satu prajurit lainnya yang ternyata wanita melambaikan tangan. Dia tersenyum ramah kepada mereka. “Hai, senang bertemu dengan kalian. Namaku Lydia.”
“Pride? Jangan diam saja, ayo perkenalkan dirimu!” Humba menyenggol bahu teman pendiamnya itu. Mau tidak mau, Pride memperkenalkan dirinya di depan mereka. “Pride.” Jawabnya singkat dengan wajah serius. Roman dan teman-temannya sedikit merasa tidak enak karena itu.
“Hehe, maaf. Pride memang seperti itu.” Humba menggaruk kepalanya.
“Ngomong-ngomong, siapa dua orang tadi? Aku sangat kesulitan ketika melawan mereka berdua.” Tanya Blane penasaran. Para prajurit itu hanya terdiam, namun Lydia akhirnya menjawab, “Mereka anak buah dari Cobalt.” Ucapnya pelan.
“Kami memburu mereka untuk mengetahui lokasi persembunyian mereka. Karena… tuan putri diculik olehnya.” Lanjutnya.
“Tuan putri?” Huda terkejut mendengarnya. Humba mengangguk.
“Iya. Maka dari itu, raja mengutus kami untuk menangkap anak buahnya terlebih dahulu untuk mendapat bukti dari mereka, tapi—“
“Tapi rencana kami berantakan karena ulahnya.” Pride memotong ucapan Humba sambil menatap sinis Azuya. Roman panik karena hal itu.
“Ehm… maaf kalau soal tadi. Azuya tidak sengaja menyerang kalian.” Roman kembali membela. Azuya menunduk ragu karena takut, “Ma-maaf soal tadi. Aku tidak sengaja. Seharusnya aku tidak menyerang kalian terlebih dahulu.”
Dan.. aku minta maaf karena meninggalkan kalian berempat.” Azuya perlahan menatap teman-temannya dengan penuh menyesal. Roman dan yang lain hanya tersenyum kepadanya. “Tidak apa, Azuya. Kami memaafkanmu.” Humba menyela sambil menatapnya yakin, sedangkan Azuya tersenyum lega karena itu.
Malam semakin larut, sehingga mereka harus beristirahat untuk memulai hari esok.
•ᴥ•
“Apa?! Kalian hampir ditangkap oleh prajurit-prajurit itu?” bentak seseorang sambil memukul tangan singgasananya. Alta dan Brice hanya terdiam sambil tertunduk dihadapannya.
“Heh, liat saja nanti. Aku akan pastikan mereka menyesal.” Sosok itu kembali menyender nyaman di singgasananya. Sementara itu, terlihat sosok tuan putri terlelap di sebuah ruangan, dengan lubang besar diatasnya, sehingga pancaran sinar rembulan menerpa wajah cantik sang tuan putri.
TO BE CONTINUE…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
