Tahajud Untuk Aina - Bab 11 #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 11↴

Bagas nekat datang ke rumah Aina. Di sana ia bertemu tukang kebun yang sok banget. Gayanya kayak yang punya rumah – karena memang iya! Cilukba… ternyata yang membukakan pintu ayahnya Aina. 

Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Bagas berpikir sejenak. Pagar tinggi menjulang ke atas menghalangi pandangannya. Debar jantung Bagas hampir-hampir tidak dapat dikendalikan. Tiba-tiba saja perut Bagas mulas. Nyeri. 

Bagas mengangkat tangan yang gemetaran. Memencet bel. Tapi, urung. Tangannya berbalik merapikan rambut yang sudah agak dipendekkan. Merapikan jaket jin biru dongker. Lalu, mengatur napas supaya tenang. 

”Kamu mau ke rumahnya, Gas!?“ seru Angga tak percaya. Masih terngiang pertanyaan temannya itu. Kini ketika sudah sampai di depan rumah, ia meragukan lagi keputusannya.

”Oh, tentu saja, Bung. Mengapa tidak?” Bagas mengembus rokok. Asap putih meluncur keluar, meliuk ke atas, menipis, dan menghilang. Ia membuang puntung. Berdiri dan mengenakan helm. Angga buru-buru bangkit. 

Suara motor meraung-raung. Kepala Bagas ringan oleh nikotin. Bila ditambah kepuasan mengebut di jalanan tentu lebih nikmat. Setidaknya akan sedikit membantu meringankan perasaan cemas mengenai keputusan yang akan dilakukan esok hari. 

Rrrrruuooong! 

Dua motor melejit bersamaan. Sedetik kemudian hilang dari pandangan. 

Bagas memantapkan hati. Memencet bel. 

Teeet!!

Peluhnya mengalir. Ia memencet bel sekali lagi.

Teettt!

Teeeettt teeettt ....

Teeettt ... teet ... teeetttt ....

Bel dipencet lagi.

Teett ... teeett ... teett ....

Teeettt teeettt ....

Teeett ....

Pintu pagar dibuka segera. Bagas menurunkan tangan. Tersenyum gugup ia menyapa seorang bapak. Laki-laki paruh baya itu mengenakan kaus putih merek Swan yang agak kumal. Celana panjang hitam dengan bagian ujung terburai benangnya. Tangan kanan bapak itu memegang gunting besar yang biasa digunakan memangkas ranting dan dahan tanaman. 

Bapak itu menggeram berat. Melotot heran melihat Bagas. Bagas seperti bisa menerjemahan arti tatapan itu; rambut ikal sebahu, jaket jin, sarung tangan hitam, cengiran bodoh, tindikan di kuping! Laki-laki tua itu menggeram berat lagi. Menatap Bagas penuh curiga. 

Bagas mengangguk sopan. Bapak itu tidak balas mengangguk. 

”Selamat pagi, Bapak. Saya ingin bertemu Aina. Bisa minta tolong dipanggilkan?“ tanya Bagas dengan sikap biasa. Jika hanya berhadapan dengan tukang kebun, apa yang harus ditakutinya. 

Bapak itu masih melotot curiga. 

Bagas menjadi salah tingkah. Sejauh inikah tukang kebun keluarga Aina mengintervensi tamu tuan rumah?

”Bilang, saya Bagas. Teman Aina. Teman kampus—bukan.“ Bagas memotong perkataannya sendiri, cepat. ”Saya teman sekolah Aina dari SD hingga SMA. Sekarang saya sudah kuliah. Kuliahnya berbeda dengan Aina.“ Ia mulai gugup. ”Saya ingin ingin ketemu Aina. Ainanya ada, Pak?” 

Ekspresi bapak itu berubah. Tidak lagi garang. Ia mendongakkan. Mendengarkan penjelasan Bagas dengan tertarik. 

Bagas mengusap peluh yang mengalir di kening. ”Tolong, panggilkan Aina? Saya ada urusan dengan Aina. Saya—“

Bapak itu memerhatikan Bagas sekali lagi. Lalu, menoleh. ”Airiinnn!!” Suaranya menggelegar keras. 

Bagas terkesiap. Kenapa seorang tukang kebun bisa seenaknya sendiri memanggil Aina? Jangan-jangan ....

”Yaa! Tunggu, Ayaah!!“ Aina menyahut panggilan dari dalam rumah. 

Bagas memicing. Ingin rasanya melesak masuk ke dalam tanah. Mukanya panas, malu. Untung ia tidak secara jelas memanggil orangtua itu dengan sebutan, ”Bapak Tukang Kebun.“ 

Orang tua ini ayah Aina! Tiba-tiba Bagas merasa lega ketika sadar bahwa ia belum jadi mengecat rambut dengan warna kuning menyolok. Apa jadinya bila—

”Mau bertemu Aina?“ 

Bagas mengangguk. Tersenyum gugup.

”Kenapa tamunya tidak segera dipersilakan masuk?“ Aina melongok melalui celah di antara kepala ayahnya dan pagar. 

Perut Bagas mulas. Mengejang senang. Wajah manis Aina menyembul keluar. Dua titik manis itu muncul saat gadis itu tersenyum. ”Halo, Ai,“ sapa Bagas gugup.

Aina melongo. Tidak menyangka tamu hari ini adalah Bagas. 

”Itu Bagas, Ayah. Teman Aina.“ Ia tertawa melihat wajah Bagas yang basah keringat. ”Ayo, masuk, Gas!“

Ayah Aina menatap sekali sebelum melangkah lebar. Pergi masuk ke dalam rumah. Sesekali beliau menoleh curiga ke arah Bagas. 

Aina kembali tertawa. 

Bagas masuk mengekor Aina. Ia mengangguk sopan ke arah ibu Aina (Bagas tidak lagi gegabah dan sembarangan menyebut orang tua itu sebagai istri tukang kebun) yang sedang berjongkok di taman halaman samping rumah. Sedang sibuk berkebun; mencabuti rumput liar di taman. Ibu Aina balas mengangguk tersenyum. Ayah Aina tidak tampak. 

Bagas meletakkan helm. Duduk di kursi di teras depan. 

”Tumben sekali kamu ke sini, Gas.“

”Iya, Ai. Mumpung Minggu. Nggak kuliah.“ Bagas terkekeh. ”Padahal tidak hari Minggu pun aku jarang masuk kuliah.“

Aina tertawa. Menganggap keterangan barusan sebagai guyon. ”Sebentar, ya. Aku buatkan minuman.“

”Nggak usah repot-repot. Sungguh.”

”Biar saja.”

”Baiklah kalau begitu. Keluarkan semua suguhan yang ada, Ai!” Bagas terbahak. 

Aina tertawa sopan. 

Ayah Aina yang kebetulan lewat menoleh sangar.

Badan Bagas langsung kaku. Ia berhenti tertawa. Lalu, tersenyum gugup. Laki-laki itu membelok dan melanjutkan pekerjaan memotong dahan kering. Bagas nyengir kecewa. 

Langkah Aina tertahan. Seorang gadis muda keluar dari dalam rumah membawa nampan berisi dua gelas minum. Aina hampir bertanya, gadis itu berbisik cepat. ”Disuruh ayah Mbak Aina.”

Aina kembali duduk. Warni menyuguhkan minuman. ”Ini Mas Bagas, ya?!“

Bagas menatap heran Warni.

Aina mendelik, memberi isyarat supaya Warni menahan pertanyaan. 

Warni menutup mulut dengan nampan. Ia keceplosan.

Hati Bagas berdenyar asyik. Aina pasti sering menceritakan dirinya pada gadis ini. Kalau tidak kenapa pertanyaannya, ’Mas Bagas, ya?’ Aina begitu memerhatikan Bagas ternyata. Sebersit angin meniup segar. Menghapus keringat gugup.

Warni terkikih. ”Mas Bagas teman Mbak Aina. Saya tahu semua nama teman Mbak Aina, Mas. Tadi hanya mengira-ngira saja namanya Bagas.” Lalu, ia berkelebat cepat masuk rumah.

”Lhoh! Eh, Ni? Warni!?” seru Ayah Aina. Bagas menengok. Laki-laki itu mendelik heran ke dalam rumah. Apa ayah Aina sebenarnya tadi meminta Warni tinggal lebih lama supaya Bagas dan Aina tidak berduaan saja!? ’Disuruh ayah Mbak Aina.‘ Mungkin saja, batin Bagas. Posisi Ayah Aina kini agak terlalu jauh dari mereka berdua sehingga tidak mudah mengawasi Bagas dan putrinya. 

”Ada apa, Gas?”

Bagas mengusap dagu, berpikir. 

Aina menunggu. 

”Anu, begini.” Bagas menelan ludah gugup. Keringat dingin mengalir di punggung. ”Aku haus. Mau minum dulu.“ Dengan gemetar, ia meneguk minumannya. 

Aina tetap menunggu.

”Hanya ingin main saja,“ katanya kemudian. ”Sudah lama aku nggak pernah main ke sini.”

Aina mendengus. ”Bukannya ini kali pertama kamu ke sini? Dari dulu kamu memang sama sekali tidak pernah main ke sini.“

Bagas nyengir. 

Ayah yang sudah selesai berkebun segera masuk ke dalam rumah. Beliau menepuk tangannya yang kotor ke celana hitam gombrongnya. Bagas ngeri menatap gunting besar yang masih di bawa laki-laki itu. Gerombolan tanah lengket yang menempel di celanan berguguran jatuh mengotori teras. ”Maaf, lho, Mas Bagas.”

Ibu yang masuk melalui pintu samping rumah, berbalik. Memerhatikan ayah Aina dengan heran. ”Kok Ayah lewat situ?“ tanyanya dengan menahan tawa. Lalu, ia melanjutkan kembali masuk melalui pintu samping. 

”Warniii!!” Ayah berteriak keras saat masuk ke dalam rumah. ”Ambil sapu. Kotor itu teras depan rumah.“

Buru-buru Warni keluar dan menyapu gumpalan tanah yang mengotori lantai dengan kikuk. ”Maaf, Mas.“ Bagas mengangguk mengiyakan saja. Setelah benar-benar bersih, remaja gadis itu masuk kembali. 

Bagas mengembus napas. Ia menengok ke arah Aina yang ternyata juga sedang menatapnya. Pandangan mereka bertemu. Aina segera menundukkan pandangan. ”Begini, Aina. Maksudku datang ke sini ….”

Aina menunggu. Mendengarkan penuh perhatian.

”Mungkin ini akan membuat Ai kaget.“

Aina mengangguk. ”Tidak apa-apa.“ 

Bagas mengembus napas untuk kali ke sekian. ”Sebenarnya—”

”Mas Bagas suka memelihara burung?” Ayah Aina muncul dari pintu samping. 

Bagas menoleh kaget. Konsentrasinya untuk menyatakan perasaan buyar.

Ayah Aina keluar dengan mencangking kandang burung. ”Ini kacer. Burung murah saat dibeli sewaktu masih kecil. Kalau telaten memberi makan pepaya, kroto—tahu kroto tidak? Telur semut angkrang. Kicau burung kacer bagus sekali. Melengking jernih. Bulu-bulunya halus. Semprot saja pelan-pelan dengan selang air atau semprotan kecil.” Ayah Aina memasang kaitan kandang di internit rumah. ”Kemarin sempat ada yang menawar. Sekian ratus begitu begitu. Bapak tolak. Memelihara burung ini tidak untuk komersil. Klangenan saja.”

Bagas mengangguk-angguk saja. Tidak sepenuhnya mengerti. Di dalam hati Bagas merasa kemantapan hati untuk mengutarakan perasaan mulai turun. 

Ayah Aina menoleh. ”Lho, malah diam. Hayo, Mas Bagas, dilanjutkan mengobrolnya!”

Bagas mengangguk mengiyakan.

Ayah Aina tetap di sana. Beliau mendongak. Menjentik-jentikkan jari dan bersiul, memancing si Kacer berkicau. 

”Tadi mau ngomong apa, Gas?“ Akhirnya Aina bertanya. 

Bagas melirik Ayah Aina yang masih berada di dekat mereka. Ia berdeham pelan. ”Nggak enak, Ai. Ada Ayah.”

Aina menaikkan alis, heran. “Kenapa ayah? Beliau nggak akan menguping pembicaraan.”

“Bukan itu maksudku. Tapi ….” Bagas menenangkan diri sekali lagi. Baiklah. Ia memantapkan hati. ”Aina,“ panggil Bagas sambil menatap gadis itu lekat-lekat. Pandangan mereka beradu. Aina menunduk cepat. Bagas menyadari kesalahannya. Aina suka jengah bila ditatap lekat-lekat seperti itu. Bagas mengalihkan pandang. 

”Ai, aku—”

”Mas Bagas bekerja di mana?“ Ayah Aina menyela pembicaraan begitu saja.

Bagas berdecak dalam hati dan menoleh. Ayah Aina sudah menurunkan kandang burung. Kini beliau berjongkok dan mengisi wadah plastik kecil warna hijau dengan air. Tak lupa juga memasukkan semua sisa kroto yang disimpan di dalam kantong kertas kecil. 

Bagas belum menjawab. Ekspresi Bagas kini terlihat agak aneh; antara kesal dengan tetap berusaha keras menjaga sopan dengan tetap tersenyum. 

Aina kentara sekali sedang menahan tawa. Ia tahu bahwa ayahnya sedang menggoda Bagas. 

”Masih kuliah, Pak.“

”Ooh, mengambil strata 2? Hebat! Bagus, Mas. Penampilan urakan tapi akademis formal maju terus. Saya jadi ingat Seno Gumira. Dia seorang urakan, masa SMP-nya pernah mengembara sendiri namun tetap tekun menuntut ilmu. Tulisannya bagus-bagus sekali, Mas.“

”Belum lulus strata satu, Pak.”

”Ooh, begituu …. Ya, ya. Tidak apa-apa. Selalu ada alasan di setiap keterlambatan, bukan?“ Ayah Aina bangkit. ”Tapi, membaca banyak karya sastra, bukan? Suka dengan karya-karya Seno?”

Bagas mengangguk-angguk saja. Ia tidak tahu siapa Seno. 

Ayah Aina kembali sibuk dengan klangenannya. ”Silakan dilanjut, Nak Bagas. Saya akan tidak mengganggu lagi. Tapi, tidak janji. Hahaha.”

Bagas mengangguk ke sekian juta kali. Setelah yakin ayah Aina benar-benar telah sibuk sendiri, Bagas memanggil. ”Aina. Aku—”

”Oya, jurusan apa, Mas?“ tanya ayah Aina, kembali tiba-tiba.

Bagas mendongak. Menarik napas panjang dan mengembuskan pelan-pelan. ”Ekonomi, Pak.“

”Ooh, bagus itu, Mas.“ Ayah Aina mengaitkan kembali kandang burung. Kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. 

Kali ini Aina sampai harus menutup mulut demi menahan tawa. 

Bagas menoleh. Ia merendahkan suara. Berbisik cepat. ”Aku menyukaimu, Ai. Aku mencintai kamu, Ai.“

Plong!

Aina berhenti tertawa. 

Bagas mengembus lega. Yang mengganjal di hati telah diungkapkan. Tidak ada beban lagi. Keringat yang membasahi punggung tiba-tiba saja mengering. Angin berembus segar dari segala penjuru.

Aina diam. Belum berkomentar. Atau memberi jawaban. Atau apapun. Keheningan panjang menyergap mereka berdua.Bagas yang tadi lega kini jadi bingung. 

”Diam-diam lagi!“ Ayah Aina berjalan keluar. 

”Iya, Pak. Bingung.“

Ayah Aina berhenti. Sebuah ide terbersit di kepala beliau. ”Begini saja kalau bingung; Mas Bagas salat bersama kami di rumah, ya.“ 

”Salat? Salat apa, Pak?“

”Salat subuh, Mas!“

Bagas menyadari kesalahan pertanyaannya. ”Eh, iya. Maaf, Pak. Salat zuhur. Saya hanya tidak mengira hari sudah sangat siang.“

”Jelas lupa. Yang diingat hanya Aina terus.“

Dor! Ayah Aina menembak tepat sasaran. 

Keringat grogi mengguyur badan Bagas. 

”Tapi, saya sudah mau pulang, Pak. Mungkin lain kali.” Bagas berhenti. Tapi, ia belum mendengar komentar atau jawaban atau apapun dari Aina. Aina sama sekali belum bereaksi. Bagas semakin bingung. ”Saya mau mengantar dan menemani ibu ke pasar. 

”Siang-siang? Panas lho, Mas. Kasihan ibunya. Mengapa tidak tadi pagi atau nanti sore saja?”

”Tadi pagi saya bangun kesiangan, Pak.”

”Aina.”

Aina menoleh ke arah ayahnya. Sisa-sisa semburat merah masih sedikit tertinggal di wajah ayu Aina.

”Tunjukkan tempat wudu buat Mas Bagas. Mas Bagas,“ Ayah Aina kini berbicara dengannya. ”Nanti jadi imam, ya?“

Mati aku!

Ekspresi wajah Bagas berubah-ubah. ”Tapi, begini, Pak. Yang berhak menjadi imam itu mereka yang bacaannya bagus. Hapalan suratnya banyak. Bacaan Quran saya berantakan, Pak. Hapalan surat pendek juga … bisa dihitung jari. Juga ….” Semoga alasan ini benar, semoga ingatan Bagas benar, laki-laki itu komat-kamit dalam hati. ”Yang lebih baik menjadi imam adalah yang secara usia lebih tua. Nah, bapak kan sudah sepuh­—sangat tua ….” Bagas berhenti bicara. Bapak sudah sepuh—sangat tua! Salah pilih kata ia!

Lamat suara azan dari masjid terdengar dari kejauhan. 

”Untuk berwudu lewat pintu samping saja, Gas. Pak Dal!” panggil Aina pada orang tua yang baru saja datang. ”Antar mas Bagas berwudu ya.”

Pak Dal mengangguk. Bagas bangkit dan mengikuti pak Dal masuk ke dalam rumah. 

”Sebentar, Pak.“ Bagas bergegas keluar. Aina sedang memberesi gelas. Ayah dan ibu Aina tidak terlihat. Semoga sudah masuk ke dalam. ”Ai!”

Aina berhenti dan menengok.

”Bagaimana cara menjadi imam? Maksudku, surat apa yang harus kubaca?”

Tersirat kecewa dalam tatapan mata Aina. ”Bacaan salat zuhur tidak perlu dikeraskan. Dalam hati saja. Kecuali takbir dan—”

”Ya. Oke!“ Bagas mengedipkan sebelah mata. Ia melompat pergi. Masuk ke pintu samping. Menemui pak Dal yang masih menunggu untuk menunjukkan tempat wudu. 

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.” Bagas menoleh ke kanan, ke kiri. Ia membalik ke belakang. Bersalaman dengan pak Dal dan Ayah Aina. Aina dan Warni bergantian takzim mencium tangan ibu. 

”Mas Bagas sekalian makan siang di sini saja,“ tawar ibu Aina sambil melipat rukuh.

Warni sudah melesat pergi ke dapur. Membantu ibunya menyiapkan makan siang. Aina sudah pergi. Masuk ke kamarnya sendiri. Menyimpan mukena dan membetulkan letak jilbab. 

”Katanya tadi Mas Bagas mau menemani ibunya ke pasar. Jadi, tidak bisa ikut makan siang.“

”Bapak ini senangnya mengganggu Nak Bagas saja!” Ibu melambaikan tangan sambil tersenyum. ”Mas Bagas ikut makan siang di sini.”

”Tidak, terima kasih, Bu. Saya memang sudah harus pulang.”

”Saya duluan, Mas Bagas.“ Pak Dal bangkit dan menepuk pundak Bagas. Ibu disusul ayah keluar dari musala rumah. 

Jawaban Aina. 

Bagas keluar. Di ruang depan ia meminta kepastian waktu Aina. ”Aku butuh bicara sebentar dengan serius, Ai,” katanya.

”Warni, temani Mbak!“ Aina memanggil remaja yang sedang menata piring. Sigap gadis itu mengekor Aina. Di teras depan Bagas dan Aina berdiri berhadapan. Warni bersender di kosen pintu. 

”Aku bicara singkat saja, Gas.“ Aina berkacak pinggang. Berdiri tegap. Pandangannya tajam meski tidak tepat menatap mata Bagas. ”Terima kasih.”

Bagas mengangkat bahu.

”Apa rencanamu selanjutnya?”

”Kita pacaran?”

”Setelah itu?”

Bagas kembali mengangkat bahu. “Aku ... belum merencanakan untuk rencana lebih jauh.“

”Kalau begitu bisa kukatakan, kau mengatakan perasaan suka tanpa pertimbangan. Sembarangan. Tidak tahu bagaimana sulitnya perempuan menjaga hati.“

Bagas menunduk. Jujur, ia memang tidak tahu.

”Tidak, Gas.”

Rasanya seperti ditampar bolak-balik. Wajah Bagas memanas.

”Mbak Aina tidak mencari pacar, Mas. Mbak Aina mencarinya seorang imam yang bisa membimbing mbak Aina dan sekeluarga meraih surga.” Warni menyahut sambil mengintip dari kosen pintu. ”Cieeee …!!” Gadis itu terkikih.

”Hush!” 

Mencari imam! Apa perempuan secerdas Aina tidak bisa menyusun kalimat yang lebih baik ketimbang barusan!? Naif!

’”Itu hanya caraku membahasakan pada Warni. Saat kami mengobrol,” kata Aina tenang. 

“Alasan lain?”

”Hanya … tidak.”

“Baik. Tidak masalah.“ Bagas berpamitan. 

 

***

Dewa masih mengenali CRB besar yang melesat pergi dari rumah Aina. Ia baru saja memarkir mobil dan urung keluar. Menunggu Bagas membelok di perempatan jalan. Terbesit rasa kesal dalam hati Dewa. 

Pak Dal membukakan pintu pagar. ”Siang, Mas Dewa.”

Dewa membalas senyum Pak Dal. ”Aina ada, Pak?”

”Ada. Silakan masuk!” Pak Dal memberi jalan. Keluarga Aina cukup mengenal Dewa. Ia dan teman-teman lain sering mampir untuk berdiskusi atau menyelesaikan tugas. Kali ini ia datang sendiri. Ada maksud dan tujuan tertentu. [dps]


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tahajud Untuk Aina - Bab 12 #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 12↴Aina jadi tidak bisa tidur. Sepertinya ia juga menyukai Bagas. Tapi, dengan kebengalan Bagas yang sekarang Aina tidak bisa. Bagas harus berubah menjadi lebih baik. Bisakah Bagas?Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa! ▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan