Tahajud Untuk Aina - Bab 12 #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 12↴

Aina jadi tidak bisa tidur. Sepertinya ia juga menyukai Bagas. Tapi, dengan kebengalan Bagas yang sekarang Aina tidak bisa. Bagas harus berubah menjadi lebih baik. Bisakah Bagas?

Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Bapak memandang nomor yang tertera di ponsel. Nomor rumah. Menghubungi saat ia sedang rapat. Tidak diangkat karena tidak terdengar. Kali ini hati Bapak berdesir pelan. Tatapannya masih tetap pada layar ponsel. Sejak perkataan Bagas mengenai bahwa ibu juga bersedih, bahwa ia sebagai bapak malah menenggelamkan diri dalam pekerjaan, merasa paling sedih dan nelangsa, ia mulai berpikir ulang. 

Benar. Tidak ada yang lebih merasa kehilangan ketika seorang anak meninggal dunia kecuali semuanya yang ditinggal. Bapak melakukan panggilan telepon. Ia meminta jadwal pertemuan untuk seminggu ke depan supaya tetap dilaksanakan tanpa dirinya. Ia meminta wakilnya menggantikan kehadirannya. 

Bagas mematikan telepon wireless. Tadi ibu menyambutnya pulang dengan tatapan heran. Baru pukul satu Bagas sudah ada di rumah. Tumben yang amat sangat. Ibu buru-buru menghapus bekas air mata dan mengalihkan pertanyaan Bagas dengan segera memasak. 

Ibu menoleh. ”Menelepon siapa?“

”Angga. Tidak diangkat. Mungkin sedang di jalan.”

 

***

Bagas ini benar-benar ...!

Aina tidak beralasan kosong ketika berkata, ”Kamu tidak tahu betapa sulit bagi seorang perempuan untuk menjaga perasaan.“ Ia hampir tidak bisa tidur seharian dan menyelesaikan pekerjaan dengan baik. 

Aina bangkit dari tempat tidur. Menenangkan diri baik dengan berwudu. Lebih baik lagi bila dilanjut salat. Pukul tiga pagi. Tahajud. Aina termenung lama, memikirkan banyak hal, hingga tahu-tahu azan subuh berkumandang. 

Keesokan hari, Aina telah menghubungi Bagas dan mengajak laki-laki itu bertemu. Bagas menolak ketika diajak bertemu di salah satu kedai kopi atau teh. Tidak nyaman. Tempat yang kurang cadas. Ia meminta bertemu di pinggir jalan di salah satu jalan baru yang masih lumayan ramai saat sore. 

Aina menepikan mobil. Ia tidak kesulitan menemukan tempat ketemuan. Sebuah jalan yang baru selesai diaspal. Di kanan dan kirinya membentang sawah yang masih hijau. Angin bertiup segar. Langit sore oranye membentang seperti kapas. Sepeda dan motor orang-orang masih aktif hilir mudik. Bagas duduk tenang di sepeda motor dan merokok. Asapnya tidak bertahan lama. Langsung ambyar tersambar angin. 

”Ada yang harus dibicarakan lagi?“ Bagas turun dan berdiri bersandar motor. 

”Bagas, dengarkan aku. Kau meminta alasan yang lain. Aku sampai tidak bisa tidur hanya gara-gara itu. Dan, sekarang aku sudah menemu alasan. Kau masih mau mendengar?“

”Ya.“ Bagas menjentikkan sisa batang rokok. Jatuh ke jalan dan gepeng digencet sepatu.

”Aku akan blak-blakan. Bicara langsung. Maaf, bila ada yang melukai hati.“

Bagas mengendikkan bahu. ”Tenang saja. Perasaanku tidak lebih penting dari perasaanmu. Aku tidak sedang sinis, Ai. Hanya mengatakan kenyataan prioritas. Prioritasku.“

Aina rasanya ingin terus gemetaran. Sekuat tenaga ia menahan diri. ”Aku akan membuatnya sederhana. Bila karena penjelasanku ini kau marah dan menjauh dan kita tidak bertemu lagi; tidak berjodoh. Tapi, kalau kau menjauh, aku juga pergi, tapi kemudian kita bertemu lagi; jodoh.“

Bagas mengangkat bahu setuju. 

”Wanita itu ... butuh kepastian. Kamu ... belum pasti, Gas. Orang-orang selalu menggaungkan menikah akan mengalirkan banyak rezeki. Ya, aku percaya. Tapi, tidak kemudian seorang pengangguran bisa mudah dan tenang dan yakin menikah begitu saja karena pasti akan mendapat rezeki. Semua itu tetap harus diusahakan. Aku belum yakin denganmu. Apalagi dengan niat hanya pacaran dan tidak ada rencana serius ke depan.

Begini. Kau belum lulus kuliah. Kalau sudah lulus, kau masih harus mencari pekerjaan. Bila sudah mendapat pekerjaan pasti, bila kau masih ingin membicarakan hal yang sama kita bisa bertemu lagi. 

Ini tidak berbicara tentang menyangsikan jaminan Tuhan tentang rezeki. Hanyaa ... aku hanya ingin memberikan jaminan rasa aman bagi ayah dan ibuku. Bayangkan kau menjadi seorang ayah, memiliki anak perempuan, kau sayang, kau jaga sepenuh hati. Kemudian datang seorang laki-laki tanpa pekerjaan pasti. Tega kau melepaskan anak perempuanmu?“

”Kau sedang membicarakan tanggung jawab.“

Aina mengangguk. ”Kita hidup dalam ajaran Islam. Ada kewajiban memuliakan orangtua. Pertimbanganku barusan merupakah salah satu caraku memuliakan mereka; memberi jaminan ketenangan. Bagaimanapun selama masih menjadi anak, aku menjadi pertanggungjawaban wali; ayah—ayahku.” 

Aina memutuskan untuk tidak menceritakan komentar ayahnya tentang Bagas. Sebenarnya pujian, tapi Aina memutuskan menyimpan hanya untuknya saja. ”Laki-laki bernama Bagas itu baik sepertinya. Jujur, blak-blakan, apa adanya. Seandainya ia mau belajar lebih, mau tekun dan serius lebih, bisa jadi orang besar dia.“ 

Bagas diam. Lama sekali. Lalu, terbahak. Lama sekali. Ia sampai terengah saat selesai. ”Aina cengeng telah berubah menjadi Aina perempuan tegas dan mandiri. Aina kecil cengeng. Aina kecil yang tidak bisa mengosek lantai kamar mandi. Aina yang tidak pelit memberi contekan. Aina yang membekuk pencopet hanya dengan sekali tendang.“ 

Laki-laki itu menatap Aina dengan tatapan sayang. Aina memalingkan muka.

“Kau benar, Ai. Alasanmu benar. Masuk akal. Aku bisa menerima itu. Ada yang lain lagi untuk disampaikan?“

”Tidak.“ 

Saat melajukan mobil pulang, Aina sempat memerhatikan dari spion. Bagas masih belum pergi. Ia kembali duduk di atas motor. Merokok. Tatapannya ke arah langit luas yang mulai gelap. 

 

***

Berengseeeek!! 

Bagas melesat kencang! 

Angin menampar-nampar muka. Ia segera menutup kaca helm. Bagas melaju kencang bagai kesetanan. Pemandangannya yang dilewatinya tampak kabur dan membuat lintasan cahaya kuning panjang tak putus-putus. 

Bila rocker meluapkan perasaan bisa bernyanyi dengan berteriak sesuka hati, melantunkan lirik atau menggeram atau melengkingkan nada tinggi, Bagas melakukannya dengan melaju membelah jalan saat malam sepi. Perasaan puas bisa membuat perasaan sedihnya terkikis hilang. Sedikit demi sedikit. Sejak Aina mengatakan alasan, dan pulang, hati Bagas sesak. Sesuatu yang nyeri seakan menyumpal tenggorokan. Bagas menggertakkan gigi. Lalu, ia menyanyi keras-keras. 

Talk me softly! There is something in your eyes!”

Bagas menggeram kesal. Ia baru saja oleng. Meliuk tergagap. Ia kaget ketika melihat tikungan jalan dan ia membelok tiba-tiba. 

Air mata mengganggu konsentrasi!

Dengan sigap Bagas mengembalikan keseimbangan motor dan kembali melesat kencang. 

Ooh, don’t you cry tonight!”

”GAS!!” Angga melesat dari belakang. Menjajari motor temannya. ”TENANG, GAS!!“

Bagas malah menambah kecepatan. Meninggalkan Angga di belakang. Bagas terus mengebut. Jarak mereka kini terlalu jauh. Teriakan Angga yang kini hanya lamat-lamat terdengar dari jauh. 

Angga adalah lawan tanding tangguh. Ia turut menambah kecepatan dan berhasil menyamai kecepatan Bagas. Mereka melaju berjajar tanpa bicara. Terus saja. Menempuh jarak berkilo-kilo meter di depan. 

Hingga kemudian perasaan kacau Bagas mulai membaik. Bagas mengurangi kecepatan motor. Angga meluncur tenang dan memarkir motor di pinggir jalan di sebelah motor Bagas. 

Bagas duduk di atas motor. Menyulut rokok dan tidak memedulikan pertanyaan-pertanyaan temannya. Akhirnya Angga menyerah. Ia diam saja. Membiarkan dan menunggu Bagas bila-bila mau bicara. Kalau tidak, habis perkara. 

Dua laki-laki muda, saat tengah malam, duduk di atas motor besar, merokok nikmat dengan pikiran masing-masing. 

”Aina itu …,” Bagas tidak melanjutkan perkataannya. Ia kembali menyesap rokok dan mengembuskan asap. ”Ia gadis baik.”

Angga menunggu. Tapi, hanya itu. Bagas kali ini benar-benar tidak melanjutkan perkataannya lagi. ”Tapi? Tapi apa, Gas?“ pancing Angga. 

”Tidak ada.“ Bagas menggeleng. ”Kau pulang saja, Ngga.“

Angga menoleh. ”Aku tidak akan pernah meninggalkan teman yang sedang patah hati.“

”Ah! Sentimental.” Bagas tidak terpengaruh frasa pancingan; patah hati. 

Angga tidak menanggapi. 

Bagas menjentik puntung ke tengah jalan. Kembali merapatkan resleting jaket kulit dan mengenakan helm. 

Angga hanya melirik. Ia tahu temannya sedang butuh sendiri. 

“Trims, Bung!” Bagas menyalakan motor dan melesat pergi. [dps]


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tahajud Untuk Aina - Bab 13
1
2
TENTANG BAB 13↴Bagas pulang dalam keadaan kalut. Ibu sedang salat tahajud. Bagas yang emosional bertanya apa gunanya salat? Ibu bilang, setidaknya Ibu bisa meminta Tuhan untuk melindungi Bagas di mana pun dan bagaimana pun.Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa! ▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan