
TENTANG BAB 10↴
Dewa mulai jengkel dengan keberadaan Bagas. Cowok bengal yang mencoba mendekati gadis yang disukainya, Aina. Sementara Bagas sudah bertekad ingin menyatakan cintanya pada Aina. Wih, rumit!
Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!
▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Dewa menyisir rambut hati-hati. Lalu, mengacak-acak kecil bagian depan yang sudah diberi gel. Ia merapikan ujung bawah kemeja hitam dan menebas debu tidak terlihat dari celana panjang khaki yang terseterika rapi. Dewa mengendikkan bahu ke belakang, menegaskan ketegapan tubuhnya.
Dewa keluar. Seorang gadis dalam seragam panjang dan jilbab putih rapi berteriak memanggil kakaknya dan segera mencium tangan Dewa takzim.
”Tidak mau! Gadis tidak mau diantar ke sekolah! Naik bus saja!”
“Ayolah, Dis! Mas Dewa kan kangen ingin melihat sekolah Mas Dewa dulu—yang sekarang jadi sekolah Gadis.“
”Tidak mau! Mas Dewa malu-maluin! Gadis sudah masuk gerbang, Mas Dewa memanggil-manggil lalu berdadah-dadah dari dalam mobil! Norak!“
”Mas Dewa janji tidak akan begitu lagi.“
Gadis tertawa kalau mendengar kakaknya sudah merengek seperti itu. Mas Dewa sangat menyayangi dan semakin melindungi dirinya sejak ayah dan ibu mereka meninggal bertahun-tahun lalu. Tapi, Gadis sudah besar, sudah dewasa, dan kakaknya masih saja menganggap dan memperlakukan ia seperti gadis kecil. ”Ya! Baiklah!“
Dewa bersorak senang. Ia menggamit lengan adiknya dan menuju mobil yang diparkir di halaman.
”Tapi, tidak usah dijemput! Gadis pulang sendiri nanti. Bareng sama teman.”
”Temannya perempuan atau—”
”Teman gadis cewek, kok!“ potong Gadis cepat ketika melihat cemas menghiasi wajah kakaknya.
”Ya! Baiklah!“ Dewa meniru jawaban dan intonasi Gadis. Setengah membentak dan merajuk.
”Aah, norak!“ Gadis tertawa-tawa.
Dewa memarkir mobil. Pukul dua belas siang. Ia baru saja pulang menemui dosen di rektorat dan sedikit mengurus ini-itu bersama Aina. Dewa paling senang kalau harus bertugas bersama Aina. Teman seangkatan yang selama empat tahun selalu sekelas dengannya memang cekatan. Bekerja bersama Aina artinya tugas berkas penelitian terarsip lagi, dan segala pekerjaan akan selesai tepat waktu.
Alasan Dewa menyukai Aina sebenarnya sederhana. Gadis itu berjilbab. Memiliki tatapan teduh. Pandai menjaga diri. Pintar dan penuh pengertian. Selain itu, Dewa ingin memberi kakak sekaligus yang bisa menjadi ibu bagi Gadis, adik Dewa. Adiknya telah kehilangan kelembutan belaian seorang ibu di awal mengenakan seragam putih biru. Tapi, Aina tidak pernah menunjukkan kejelasan perasaan. Ia bersikap ramah terhadap Dewa, sama seperti saat ia bersikap ramah terhadap teman-teman yang lain. Dewa jadi gusar. Ia semakin gencar melakukan pendekatan. Sulit sekali menaklukkan hati perempuan cantik yang satu ini.
Perut Dewa berkeruyuk. Makan siang di kantin fakultas saja. Setelah ini masih ada banyak yang harus diurus di kampus. Saat berjalan masuk ke kampus, Dewa melihat Bagas sedang duduk tenang di atas motor di parkiran kampus.
”Ada urusan apa di sini?” Dewa heran, beberapa hari terakhir Bagas menjadi terlalu sering datang dan duduk menunggu di pelataran parkir kampus.
Bagas menengok. ”Ini tempat umum, Bung. Siapa saja boleh ke sini.”
”Ini bukan tempat umum. Ini tempat khusus untuk para aktivis akademis dan yang lain yang berkepentingan.“
”Aku termasuk dalam yang lain yang berkepentingan dengan salah satu aktivis akademis.“
“Aina sedang bertugas di luar. Tidak ada di kampus. Percuma menunggu.”
Bagas tidak menjawab. Ia tetap tenang duduk. Mengedarkan pandang dan mengabaikan Dewa.
Dewa melanjutkan perjalanan masuk ke dalam kampus tanpa merasa perlu berpamitan. Padahal Dewa tidak berbohong tentang Aina yang sedang bertugas di lapangan, tapi bila Bagas tidak percaya ... ya, bagus!
***
Angga memerhatikan Bagas. ”Yakin, Gas?“
”Yakin saja. Kenapa tidak?“
”Baru bertemu beberapa kali masa‘ sudah main tembak saja?“
”Lhoh!? Kalau sudah cinta untuk apa berlama-lama?!“ kata Bagas enak saja.
”Sudah bercakap sejauh apa memangnya?”
“Jarang. Aina ini sulit sekali ditemui. Sekalinya bisa bertemu, sulit sekali diajak berduaan untuk mengobrol panjang.“
”Nah!“
”Tapi, Bung! Bertemu Aina meski hanya sekejap itu rasanya luar biasa! Senangnya tidak tertolong!“
”Picisan!“
Bagas terbahak. ”Kamu belum pernah merasakan jatuh cinta, sih!“
”Jadi, kamu serius!?“
”Seriuslah! Laki-laki pantang untuk tidak serius!“
”Kamu kuliah saja belum lulus begitu. Mana bisa dapat restu?“
”Restu, restu! Memangnya aku mau menikah?“ sergah Bagas. ”Jangan berpikir sejauh itu, Bung! Daripada direbut orang lain—daripada direbut Dewa!? Perempuan cantik itu harus buru-buru diikat! Katakan cinta, ia bilang ya. Kencani ia. Perkara selanjutnya bisa sambil jalan. Asal Aina sudah sah menjadi pacar, bisalah satu semester aku merampungkan skripsi. Lulus. Bekerja setahun di kantor. Dapat duit. Menikah. Gampang. Hidup itu jangan dibikin susah.“ Bagas berdesis. Ia melempar puntung rokok ke tengah jalan.
”Gadis seperti Aina begitu memangnya mau menerima kamu?“
”Memangnya aku harus berubah?“
”Memangnya kamu mau berubah, Gas?“
”Berubah? Memang apa yang harus diubah? Dandanan? Tingkah laku?“
”Kamu terlalu urakan untuk standar Aina.“ Angga jujur saja berkata demikian. ”Paling tidak kamu harus mandi. Pakaian rapi; pakai hem, celana kain, sepatu pantovel. Rambut gondrongnya agak dirapikan sedikit.”
Bagas terbahak. ”Dalam cinta, tidak ada yang perlu diubah. Seperti kata Diana Krall, ‘I love you just the way you are’.”
“Itu ungkapan kamu ke Aina yang memang sudah bagus tabiatnya. Tapi, ia ke kamu?”
Bagas menoleh. ”He! Kamu kok sepertinya tidak senang aku mengusahakan Aina!?“
”Aku hanya ingat kata pak ustaz di salah radio saat hari Jumat. Saat itu seorang penelepon curhat mengenai jodoh. Katanya, ‘Laki-laki yang baik itu untuk wanita baik. Wanita baik itu untuk laki-laki baik‘.“
”Aku tidak cukup baik untuk Aina?”
”Ya. Kau berengsek. Karena aku berengsek. Orang berengsek akan berteman dengan orang berengsek.“ Angga diam sejenak. ”Perempuan baik yang mendapat laki-laki berengsek ... kasihan ia.“
Bagas termenung. ”Kau menggunakan penilaian manusia, Bung. Matamu tidak sedalam mata Tuhan. Ia bisa melihat apa yang tertutup. Apa yang terlihat baik belum tentu sepenuhnya baik. Apa yang terlihat buruk, bisa jadi ia baik.“
”Aina juga manusia. Orangtua Aina juga manusia. Mereka akan menilai dari apa yang terlihat.“
Joko keluar. Berseru heran. ”Obrolan kalian serius sekali!“
”Nggak.“ Bagas mengangkat bahu. Ia mengenakan kembali jaket jin pudar yang disampirkan di kursi.
”Laki-laki itu yang penting mantap hati, Gas. Berani,” saran Joko. ”Terserah berani itu mau diartikan dalam bentuk apa; agama, keputusan hidup, cinta, atau tetek bengek lain.“
”Itu! Dengarkan apa kata Bung Joko, Bung Angga!“ Bagas lalu berdiri. Menyahut helm dan berjalan keluar.
”He, ke mana!?“ teriak Angga.
”Kuliah.”
Angga dan Joko ber-wuih keras. Tadi Angga sudah diajak tapi enggan. Jadi, Bagas memutuskan berangkat sendiri. Motor Bagas meraung keras. Digas satu dua kali. Melalui spion Bagas memerhatikan arah belakang sebelum melesat pergi. [dps]
▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
