
TENTANG BAB 09↴
Aina ditanya siapa pacarnya? Aina bilang ia nggak punya pacaran dan nggak pacaran. Ah, masa, sih? Jangan-jangan pacaranya Dewa – emm, tapi kenapa bayangan Bagas tiba-tiba muncul begitu aja?
Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!
▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Kelas tidak bisa dikatakan tenang lagi. Beberapa anak gelisah dalam duduk mereka. Berkali-kali melirik jam dinding. Tiga menit lagi bel pulang sekolah berbunyi. Beberapa kembali menekuri buku pekerjaan. Beberapa membuat pesawat terbang dari kertas. Ketika guru di dalam kelas lengah, mereka menerbangkan pesawat kertas. Melayang melintas di dalam kelas.
Teett .... teett ....
Bel sekolah yang ditunggu! Keadaan kelas tenang. Anak-anak berdoa pulang sekolah. Tak lama murid-murid berseragam putih merah memundurkan bangku kayu serentak. Derap-derap langkah kaki keluar. Yang sudah dijemput segera pulang. Yang naik sepeda, mengayuh sepeda bersama rombongan teman. Tak seberapa lama sekolah dasar negeri sepi. Beberapa daun kering berguling-guling pelan. Tertiup angin nakal.
”Angga, sini!“ teriak Bagas dari atas pohon jambu. Ia melempar buah hijau tepat mengenai kepala Angga. Yang dipanggil mendongak. Segera ia menyusul memanjat naik. Budi dan Yanto juga ikut memanjat. Dahan pohon bergoyang-goyang. Dedaunan berterbangan ke bawah.
Siang ketika matahari menyalak garang dan debu lapangan halaman depan sekolah menari tipis, keempat anak itu tidak segera pulang ke rumah. Mereka berpesta menghabiskan jambu air yang bergelantungan di pohon.
”Hiks ….”
Yanto melongok melalui cabang-cabang pohon. Ia melihat punggung kecil bergetar perlahan. Seorang murid perempuan. Duduk di bangku semen tidak jauh dari pohon jambu. Yanto merambat turun. Angga dan Budi menyusul. Mereka bertiga kini berdiri di hadapan Aina. Anak kecil yang sedang menangis.
”Cengeng!” ejek Yanto. Aina mendongak. Badannya mengerut takut saat melihat penampakan Yanto dari balik genangan air mata. Tubuh anak laki-laki yang gendut besar berkeringat itu memang menakutkan.
”Anak mama! Anak mama!“ nyanyi Budi sambil menari-nari tidak jelas. Kepalanya yang gundul bergoyang-goyang. Tangan Aina menggenggam tas erat.
”Kamu kenapa?“ tanya Angga.
Aina menatap takut-takut. Ia menunggu ejekan yang keluar dari mulut Angga. Semakin erat genggaman tangan di tas.
”Kau kenapa?“ ulang Budi.
”Belum dijemput. Aku takut,“ jawab Aina pelan.
Budi tertawa jahat mendengar jawaban Aina. ”Memang benaaar .... Cengeng!“ Ia dan Yanto kemudian berseru-seru sambil bergoyang-goyang tidak karuan. ”Anak mama! Anak mama! Anak mama!”
Sontak Aina menundukkan kepalanya. Air mata kembali menitik. Bahunya yang kecil berguncang-guncang pelan.
”Kamu ... mau jambu?“ Bagas menyorongkan tangan penuh berisi jambu air warna hijau. Dua temannya sontak terdiam. Mereka menoleh kaget. Tidak tahu kapan Bagas turun. Tiba-tiba saja sudah berdiri di antara mereka.
Aina berhenti mengisak. Seorang anak laki-laki sebaya berdiri di hadapannya. Sambil nyengir lebar anak itu kembali menawari. “Mau? Ambil saja!”
Teman-temannya ternganga heran.
Aina mengulurkan tangan. Menerima pemberian anak laki-laki itu. “Terima kasih,” katanya pelan. Ia mengusap bekas air mata di pipinya.
Bagas tersenyum lebar. Teman-temannya masih menatap Bagas tak mengerti.
Sebuah mobil masuk halaman sekolah. Semua menoleh. Aina mengembus napas lega. Mobil jemputannya datang.
“Mbak Aina.” Terburu-buru Pak Dal keluar dari dalam mobil. “Maaf, Mbak Aina. Tadi bannya bocor.”
Pak Dal semakin merasa bersalah ketika melihat Aina sempat menangis, cemas menunggu jemputan. ”Maaf, Mbak Aina. Ayo, segera pulang. Ibu pasti sudah cemas.” Pak sopir itu membukakan pintu untuk Aina.
Aina berdiri menyangklong tas sekolah. Sebelah tangan menggenggam erat jambu dari anak laki-laki tadi.
”Mari, Mas-Mas.“ Pak Dal memberi salam sebelum menjalankan mobil. Mobil bergerak pelan. Keluar dari halaman sekolah. Aina segera berbalik ke belakang. Memerhatikan dari balik kaca jendela.
”Ayo, cari jambu lagi!“ Bagas memecah sunyi.
”Anak mama pulang!” keluh Budi.
BUGH!
Yanto mendorong bahu kurus Bagas. Bagas jatuh terjengkang. Buru-buru ia berdiri. “Apa!!?”
Yanto langsung mengkerut. Secara fisik ia besar. Secara mental, ia sebenarnya takut pada Bagas. Meski bertubuh kurus, Bagas mahir berkelahi. Yanto lalu mundur dan hanya berani menggumam kesal. ”Kenapa kamu malah membagi jambu ke anak itu? Dia kan cengeng.“
”Biar saja! Kasihan melihatnya!“ Bagas menyelonong pergi. Tidak naik pohon jambu tapi ke parkiran sekolah. ”Ayo, pulang saja!” teriaknya keras. Di sana hanya tertinggal 4 sepeda miliknya dan teman-teman.
Aina membalik tubuh ke arah depan. Duduk diam. Pak Dal melirik. ”Dapat jambu dari mana, Mbak Aina?”
”Teman.”
”Dibuang saja, ya. Kotor begitu.”
“Tidak mau.” Aina mencoba menggigit satu jambu kecil. Manis. Manis tercampur sedikit asin keringat.
***
”Mbak Aina.“
Aina menggerakkan bola mata. Menatap bayangan Warni di kaca. Gadis itu sedang berdiri di belakangnya sambil tersenyum. Aina balas tersenyum.
”Malam-malam melamun!“ tegur gadis itu. ”Aku sisirin rambutnya, ya?!“ Tanpa menunggu jawaban, Warni meraih sisir dari atas meja.
”Terima kasih, Warni. Kamu ini suka sekali menyisir rambut.“
”Rambut mbak Aina itu bagus. Kayak di iklan. Coba kalau tidak pakai jilbab, rambut panjangnya bisa dipamerin. ‘Ini, lho, rambut aku bagus.’ Dikibas-kibas di depan cowok-cowok. Sambil pakai gaun putih panjang. Parfumnya aroma menyan. Gelayutan di pohon beringin. Lalu, mengikik seram.”
Aina tertawa. ”Enak saja!”
Warni putri Bik Sumi, istri Pak Dal. Sudah dari kecil gadis itu ikut keluarga Aina. Ayah dan ibu Aina memutuskan menanggung penuh biaya sekolah Warni. Sejak kecil pula Aina sudah menganggap gadis usil itu sebagai saudara. Selisih usia 8 tahun tidak membuat canggung.
”Eh, tapi, sebenarnya Mbak Aina punya cowok tidak, sih?”
“Nggak.”
”Sudah tua, eh, besar kok tidak punya pacar.”
“Pacarmu sendiri siapa?”
”Halah, Mbak. Mengurusi tugas sekolah saja pusingnya setengah mati. Kok ditambah mengurusi pacar.”
”Kok kamu yang mengurusi? Ya, pacarmu dong yang mengurusi kamu.”
”Nggak, ah. Sama-sama masih sibuk kok malah mengurusi orang lain. Bisa keteteran nanti sekolahnya. Ibu bilang kelas tiga enggak boleh santai-santai. Harus tekun serius belajar. Selain untuk kepentingan diri sendiri, Warni juga harus bersungguh-sungguh menaruh hormat. Ayah dan ibunya Mbak Aina sudah repot-repot membiayai sekolah Warni.“
Aina mengangguk saja. Ia setuju dengan penjelasan Warni tentang keteteran sekolah bila pacaran. Dulu ibunya juga berpesan demikian. Nasihat mujarab. Ia lulus dengan nilai tinggi. Kuliah di tempat yang diingini. Bekerja, meski saat ini baru magang, di bidang yang disukai. Pacar? Kalau memang sudah waktunya pasti akan datang. Bukan pacar. Tepatnya pasangan hidup.
Warni suka menggeleng heran. ”Pasangan hidup, Mbak? Berat banget dengarnya. Mbak Aina sudah serius siap menikah?“
Aina nyengir manis. Ia tidak menjawab pertanyaan Warni. Akan ada penjelasan panjang yang mungkin belum sepenuhnya bisa diterima gadis 17 tahun tersebut.
”Warni, kalau kamu ditaksir teman laki-laki di kelas rasanya bagaimana?” tanya Aina. Ia mengikat kencang rambutnya yang sudah disisir rapi oleh Warni.
Gadis itu terkikih. Ia duduk di atas kasur Aina yang empuk. Memantul-mantulkan tubuhnya ringan.
”Yaa … kalau Warni juga suka sama teman laki-laki itu, ya pasti aku senang, Mbak. Cinta Warni nggak bertepuk sebelah tangan.”
”Yang artinya?”
“Yang artinya … cinta Warni bertepuk tangan!”
Aina kembali tertawa.
”Siapa yang menyukai mbak Aina?” Warni menyelidik.
Aina diam. Pipinya merona perlahan. Rasanya meruap hangat.
”Cieee ….” Warni terkikih lagi. ”Mas Dewa, ya?“ tebaknya. Ia mengerutkan kening berpikir ketika Aina malah menggeleng. ”Oya, Mbak Aina cerita tentang mas Dewa biasanya kesal melulu.“
Aina mengiyakan.
Warni berpikir sejenak. Tiba-tiba ia tertawa. ”Mas Bagas ya, Mbak!” Tebakan yang bernada seperti tuduhan menohok tepat ke hati Aina.
Aina tidak menyangkal juga tidak mengiyakan. Ia malah mengoleskan bedak tipis ke mukanya. Tidak ingin Warni memergoki raut mukanya yang tiba-tiba terasa panas.
”Mas Bagas yang selalu memberi perhatian: memberi jambu, mengosek lantai kamar mandi. Mas Bagas yang selalu satu sekolah sama Mbak Aina. Mas Bagas yang bengal. Mas Bagas yang gondrong. Mas Bagas yang memanggil Ai pada mbak Aina. Ai dalam bahasa Jepang yang artinya cinta. Mas Bagas yang sering Mbak Aina ceritakan.” Warni memain-mainkan alis. Menggoda Aina. ”Benar! Pasti Mas Bagas!”
”Sok tahu kamu!”
Warni tertawa-tawa kesenangan. [dps]
▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
