Tahajud Untuk Aina - Bab 07 #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 07↴

Ingatan Aina melayang saat masih sekolah SMA dulu. Bagas yang slengekan adalah teman yang baik dan melindunginya. Bahkan saat Aina mendapat hukuman, Bagas turun tangan menyelesaikan semuanya. 

Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Aina menoleh. Ia mendengar decit rem tapi tidak mengira kalau Bagas yang datang. Sedari tadi ia cemas menatap mobilnya yang tiba-tiba berhenti. Mogok. Ia bimbang hendak menelepon siapa. Teman perempuan yang lain tentu tidak akan tahu tentang mesin mobil. Tidak Dewa. Pak Dal, sopir keluarga, tapi jarak tempuh rumah ke sini terlalu jauh. Baru saja ide menelepon mobil derek mampir ketika Bagas membuka helm dan mendekat. 

”Ai?“

”Aku barusan berdoa dan berharap Allah mengirim seseorang untuk menolong.“

”Dan, ternyata muncul aku.“ Bagas nyengir. 

Sesuatu yang hangat menyenangkan menjalar pelan di pipi Aina. Tiba-tiba ia berdebar. Eh? Batin Aina tidak mengerti. 

”Kenapa?” 

Aina berdeham. Mengusir gugup. ”Tidak tahu. Tiba-tiba mogok.”

”Minggir sana. Aku coba betulkan. Siapa tahu bisa.”

Aina menyingkir. Bagas membuka kap depan mobil. Laki-laki itu merengut. Mungkin mengingat-ingat pelajaran yang pernah diberikan bapaknya tentang seluk-belik mesin mobil yang mulai terlupa. Sepertinya Bagas sudah lama tidak menyentuh dan mengotak-atik mobil lagi. Lebih sering mengurusi motor. 

Aina menunggu tidak jauh. 

”Dari mana tadi?” tanya Bagas saat berdiri menegakkan tubuh.

”Pulang. Mengantar teman.“ Aina balas bertanya. ”Kamu?“

”Belajar. Di perpustakaan.“ Bagas menunduk lagi. 

Aina memandang sekeliling. Memerhatikan sekitar. Jalan itu sepi. Lahan kosong penuh semak terhampar di kiri kanan jalan. Kompleks rumah temannya memang agak jauh masuk ke dalam. Aina berharap mobilnya segera beres. Tidak enak rasanya hanya berdua dengan Bagas dalam keadaan mobil mogok. 

Tik ....

Aina mengusap titik air hujan yang menetes tepat di ujung hidung. Disusul titik air hujan lain. Awalnya perlahan dan jarang. Lama-lama semakin cepat. Deras. Bagas menutup kap mobil. 

Bagas melepas jaket kulit dan melempar ke arah Aina. ”Tutupkan kepala.“ Bagas menyalakan motor. Suaranya riuh seperti geledek. ”Naik! Kita cari rumah di depan. Berteduh.“

Aina ragu. 

“Aku enggak mau berteduh di dalam mobil berdua denganmu!“

Aina mengaktifkan kunci pintu mobil otomatis.

”Tas ransel letakkan di depanmu!“ Teriak Bagas. Hujan sudah benar-benar deras. ”Jadikan batas. Buruan! Aku mulai basah kuyup sekarang!“

Aina melompat naik. Sempat ia tergelincir hampir jatuh. Bagas menahan ransel Aina sehingga gadis itu tidak terjerembap. 

Motor melaju kencang. Di antara dingin air hujan yang mulai menembus jaket hingga basah, Aina merasa sesuatu yang hangat. Pipinya merona. Sekejap sadar, Aina memarahi diri sendiri dalam hati. 

Aina dan Bagas menumpang berteduh di sebuah warung. Dua gelas teh panas mengepul di meja. Bagas bergeser menjauh. Duduk di sisi bangku yang lain. Laki-laki itu menunjukkan sebatang rokok yang sudah disulut. Ia sengaja menjauh supaya Aina tidak terganggu asap rokok. 

”Gas,“ panggil Aina. Ia penasaran. ”Kenapa tadi kamu refleks tidak mau berteduh mobil berdua saja?“

”Kita sudah dewasa, Ai. Kamu itu cantik. Dan, aku laki-laki normal. Godaan untuk menjaga diri sangat besar.“

Wajah Aina meremang. Ia buru-buru menunduk dan menghirup tehnya. 

Bagas tertawa melihat reaksi Aina. 

Ketika teh manis habis diminum, seketika itu pula air hujan menyusut reda. Bagas membayar minuman. Kembali Aina membonceng di belakang. Jaket kulit milik Bagas ia letakkan di atas tas ransel di tengah. 

Bagas membersihkan genangan air di atas kap mobil. 

”Sudah, Gas. Tidak usah. Aku bisa menelepon—“

”Tunggu sebentar.”

Aina kembali berdiri menunggu. Berdiri tidak jauh dari mobil. Sementara itu Bagas sibuk menunduk. 

Setelah beberapa kali coba, akhirnya mobil itu mau hidup. Bagas meminta Aina tidak buru-buru tancap gas. Ia harus memberi kesempatan mobil memanaskan mesin. Terlebih barusan tadi diguyur hujan. 

Aina mengembalikan jaket. 

”Bau tidak jaketku?“ tanya Bagas.

Aina tertawa. ”Tidak. Terima kasih, ya.” 

Bagas mengangguk.

Setelah dirasa cukup, Aina segera berpamitan. Sebentar lagi magrib. Bagas mengangguk dan mengucap hati-hati di jalan. Mobil meluncur cepat. Aina sempat melirik melalui kaca spion. Ingin ia Bagas berdiri diam terus menatap ke arahnya hingga mobil membelok tikungan. Tapi, tidak. Bagas sibuk mengenakan helm dan menyalakan motor. 


 

***

”Apa semua mengerti!!?“

”Mengerti, Kak!“ jawab seluruh murid kelas satu serentak.

Keadaan hening. Kakak-kakak bagian ketertiban memelototi murid-murid kelas satu, dalam seragam putih biru anyar, dengan garang. Tidak hendak mencari-cari kesalahan. Hanya melatih mental. 

Semua anak-anak kelas satu memasang ekspresi wajah tegang. Keringat sebesar butiran jagung tua meliuk turun. Membasahi kening dan pelipis. Wajah Aina seperti terbakar. Mereka telah berdiri di lapangan setidaknya sudah setengah jam. Ia batuk kecil. Lupa telah menahan napas gugus terlalu lama. Cepat ia kemudian menghirup udara sebanyak-banyaknya. 

Kakak ketertiban masih memeriksa barisan bagian utara. Aina melirik-lirik. Sesekali memajukan kepala samar. Ia mengedarkan pandang mata perlahan. Semua anak sepertinya sama pucat dan tegangnya seperti dia. Hanya ada satu yang tidak. Anak laki-laki yang tampak tenang. Bersikap rileks menghadap semua bentakan. 

Salah satu kakak bagian ketertiban lewat di depan murid laki-laki tersebut. Anak itu membalas menatap. Si kakak mendadak berhenti. Melotot. Anak laki-laki itu mendongak sambil berkata, ”Haa … haaa ….” 

Bersin! 

Hatsyih!

Keras sekali! Kakak ketertiban melompat mundur sambil berteriak kaget. Anak-anak di dekat sana yang tertawa dibentak keras untuk diam. 

Aina ikut tertawa dalam hati. Rasa kagum terbersit samar dalam hati. Ia ingin bisa bersikap berani seperti anak laki-laki itu. Tapi, tidak bisa. Ia anak bungsu. Disayang oleh semua kakak-kakaknya. Belum lagi proteksi berlebihan dari orangtua. Aina kecil merasa gampang cemas menghadapi suasana baru. 

Aina kembali melongok samar. Si Kakak ketertiban melotot lagi. Kali ini dengan bersungguh-sungguh. Anak laki-laki itu tidak bereaksi. Tatapannya lurus ke depan. Sambil mendengus kesal, si Kakak itu berlalu. 

”KAMU!”

Aina melonjak kaget. Sangat kaget. Seorang kakak ketertiban yang lain telah berdiri di depannya. 

”Pe-lang-ga-ran! Tolah-toleh! Tidak membawa papan nama!“

Badan Aina bergetar cemas ketika sadar ia memang lupa. Tugas masa orientasi sekolah ini memang membawa papan nama. Berukuran besar dan dibuat dari kardus. Papan nama kecil dan resmi yang disediakan sekolah akan dibagi nanti di kelas di hari ketiga, hari terakhir masa perkenalan. 

”Siapa namamu!?“

Tenggorokan Aina kering. Seluruh mata kini pasti sedang menatapnya. Ia tidak bisa menjawab. Bibirnya mulai bergetar. 

”Saya tidak tahu bagaimana bisa kamu lupa membawa papan nama! Padahal papan nama itu didesain besaar! Luaaaas! Seluas permukan samudra! Sengaja kamu, ya!?“

Seorang murid berdesis kagum. “Keren ….”

Si Kakak Ketertiban menoleh. Tapi, ia tidak mendapat siapa-siapa. Semua sudah kembali dalam sikap siap. 

”Siapa nama kamu!?“

Hening. 

”Hiks ....“ Aina mengisak kecil. Lalu, ia segera mendongak. Menahan air mata. 

”Kami tidak butuh tangisanmu!“ bentak si Kakak kesal. 

Saya juga tidak butuh! Kenapa kalau semisal saya memang sengaja lupa!? Repot sekali membawa papan nama yang besarnya seperti papan selancar air! Aina hanya berani berteriak dalam hati. Kenyataan yang terjadi tangisnya malah semakin menjadi.

”Eh! Malah semakin ribut! Ayo, siapa namanya!?“

Isak tangis mereda. Bahunya yang kecil masih terguncang-guncang pelan. ”Ai ... Aina,“ jawab Aina dengan suara kecil parau. 

”Aina! Bersihkan kamar mandi putri sepulang sekolah!” perintah Kakak ketertiban. 

Aina mengangguk. Tidak berani membantah.

”Dan, kamu ... Bagas!“ Kakak ketertiban di sisi lain menyahut setelah membaca nama di papan yang dikalungkan di leher Bagas.

Aina menengok. Murid laki-laki tadi ternyata bernama Bagas. 

”Dilarang tolah-toleh dalam keadaan siap!” 

”Oke!” Bagas mendongak lalu menunduk. Lalu, mendongak. Menunduk lagi. Mendongak. Menunduk. Barisan di sekitar Bagas kembali riuh tawa. 

”Semua … diaam! Bagas, berhenti!” 

Bagas berhenti. Ia memberi tanda supaya teman-temannya diam atau mereka juga akan dihukum. Barisan kembali tenang.

”Bagas, kamu melanggar aturan ketertiban! Bersihkan kamar mandi putra setelah pulang sekolah!“

”Tidak masalah, Bos! Oke, Bos!“ 

”Baik, Kak! Begitu!“

”Oke, Kak!“

Aina tersenyum senang. Air matanya sudah kering. Ia merasa senang. Mungkin Bagas bertingkah murni bandel. Tapi, Aina merasa seperti ditemani.


 

***

Aina mengeluh. Ia tidak terbiasa membersihkan lantai kamar mandi. Ia memegang sikat pembersih dengan ujung jari. Jijik. Kemudian menuang obat pembersih lantai dengan sangat hati-hati. Menggosoknya dengan gerakan aneh dan tidak bersungguh-sungguh. Ia sedang berusaha sekuat tenaga supaya seragamnya tidak basah terciprat baik obat pel juga air bilasan. Saat mengguyur lantai dengan hati-hati, agar sepatunya tidak basah, seseorang bersiul ringan di belakang. Aina menoleh. 

Bagas! Berdiri berkacak-pinggang. Bertelanjang kaki. Seragam atas putih telah berganti kaus pendek. Celana birunya basah. Anak laki-laki itu tertawa geli melihat cara Aina memegang sikat pembersih.

”Ini kamar mandi putri. Anak laki-laki nggak boleh ke sini. Dimarahi nanti,” bisik Aina. 

Bagas tidak peduli. Sigap ia meraih sikat pembersih dan bekerja melanjutkan tugas Aina. Bagas mengguyur lantai kamar mandi yang telah digosok bersih. Sambil terus bersenandung lagu, yang Aina tidak tahu lagu apa itu, cepat Bagas menyelesaikan tugas. Anak laki-laki itu kemudian mencuci tangan hingga bersih, mengelap tangan basah ke bagian belakang celana. 

”Selesai.“ Bagas menyerahkan sikat dan sabun pembersih. Lalu, pergi begitu saja.

”Eh ...,“ panggil Aina. 

Bagas berhenti dan menengok. ”Namaku bukan eh.“

”Eh ... terima kasih, ya.“

”Ah-eh-ah-eh!“ bentak Bagas.

Aina menunduk kaget. ”Aku cuma bilang terima kasih, kenapa dibentak?“

”Ya, sama-sama. Aku nggak punya jambu soalnya.”

”Eh?” 

“Eh, lagi!” bentak Bagas lagi.

Aina teringat sesuatu. Seperti ada sesuatu dengan jambu air. Tiba-tiba ia ingat. Bagas adalah ….

“Masih saja cengeng!” ejek Bagas. 

Kali ini Aina tidak terkejut atau merasa takut. Ia tertawa kecil. 

Bagas kembali berlalu. 

Aina masih ingat rasa manis bercampur asin keringat jambu air yang pernah diberikan Bagas tiga atau empat tahun lalu. 


 

***

Aina, sadar! Gadis itu menepuk sendiri pipinya. 

Aina melirik kaca spion sekali lagi. Bagas tampak seperti titik di belakang sana. Sekali lagi terima kasih. [dps]


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tahajud Untuk Aina - Bab 08 #UnlockNow
2
0
TENTANG BAB 08↴Bagas pulang larut malam. Ia bimbang hendak bercerita tentang Aina atau enggak ke Ibu. Rasa hati pengin cerita, tapi malu, tapi pengin cerita. Gimana, ya?Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa! ▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan