Tahajud Untuk Aina - Bab 03 #UnlockNow

2
0
Deskripsi

TENTANG BAB 03↴

Flashback saat Bagas SMA. Ia nggak bisa menjawab soal ulangan harian dengan baik. Aina membantunya. Aina si cantik dan baik hatinya.

Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Bagas menggaruk kepala yang sebenar-sebenarnya gatal. Ia menatap geram sepuluh soal di hadapannya. Tidak mampu berpikir. Tak dapat mengira-ngira apa jawaban yang benar. Parahnya lagi, tiba-tiba imajinasinya mandek. Ia tak dapat menulis jawaban ngawur yang setidaknya membuat kertas ujian tidak kosong melompong.

Bagas melirik jawaban teman di samping. Dengan sigap Udin, sebelumnya tidak pernah sebangku dengan Bagas, dan hari ini adalah hari sialnya karena harus duduk bersebelahan, menutupi kertas jawaban. Bagas mengumpat pelan. 

Udin bergeming. Tetap tekun menyelesaikan ujian. 

Hari ini hari sial. Biasanya Bagas duduk di sebelah Angga. Mereka sangat kompak dalam urusan contek-mencontek ketika ujian. Tapi, hari ini guru biologinya seperti mendapat ilham. Beliau mengacak tempat duduk murid didiknya. Ini membuat Bagas kelimpungan. Ia telah sepenuhnya mengandalkan contekan yang telah dibuat Angga.

Bagas menatap tak mengerti soal-soal di hadapannya. Satu sel saraf lengkap disebut …. Berengsek! Bagas merutuk. Ia pasti tidur saat pelajaran itu diterangkan.

Pusat kecerdasan, kesadaran, dan kemauan pada otak terdapat pada .... 

Joe Satriani pernah tandem gitar bersama Eric Johnson dan Steve Vai dalam Flying in A Blue Dream. Mereka bertiga gitaris cerdas. Cabikannya dahsyat. Lalu, di manakah letak pusat kecerdasan mereka?

Bila ibu jari lumpuh, tetapi rasa rabanya ada maka dari lengkung refleks yang rusak adalah …. 

Aduh! Ibu jari tangan teman Bagas pernah patah. Tertimpa setang sepeda motor. Waktu itu Bagas ngetrek bersama teman-temannya. Tak sengaja bemper belakang motor tersenggol motor lain yang hendak menyalip. Dalam kecepatan 120 km/jam, mereka berdua jatuh berguling di atas aspal. Tapi, Bagas tidak tahu saraf apa yang rusak ketika ibu jari temannya patah! Saat mengantar ia lupa bertanya pada dokter! 

Bah!

Bagas kembali menggaruk kepala yang kini sebenarnya tidak gatal. Lalu, menoleh ke belakang. Merasa ada yang memerhatikan, siswi dalam jilbab putih mendongak. Mata mereka beradu. Gadis itu berseru ”eh!“ pelan. Kaget. Lalu, kembali menunduk. 

Gadis itu ... jarang mengobrol dengan Bagas. Selain pendiam, Aina terkenal galak dengan temannya laki-laki. Sudah ikut ekstrakulikuler bela diri sejak kelas satu. Nanti dibanting kalau macam-macam dengan dia, guyonan antara Bagas dan teman-temannya yang lain. Karena hal tersebut membuat Bagas malas mengajaknya bicara. Tapi, kalau keadaan sangat mendesak seperti ini … tidak ada pilihan lain. 

”Ai!“ bisik Bagas sambil sesekali menoleh ke depan. Mengawasi guru. 

Aina kembali mendongak. 

Bagas menatap kertas jawaban milik Aina. Ia memutar bola mata. Memberi isyarat supaya Aina mendekatkan kertas jawabannya. Supaya Bagas bisa melihat jawaban dengan jelas. 

Peraaan enggan dan berat melintas di wajah cantik Aina. Segera Bagas memasang wajah paling memelas. Aina diam. Pelan kemudian ia menggeser kertas jawaban. 

Bagas bersorak Bagas dalam hati! Dengan cekatan, masih dengan siaga memerhatikan ke arah depan, Bagas menyalin jawaban. 

Nomor satu, satu sel saraf lengkap disebut neuron. Bagus! Pusat kecerdasan terletak pada cerebrum. Bagas berjanji dalam hati akan memaksimalkan kerja otak cerebrum miliknya. Agar setidaknya ia menjadi sedikit lebih cerdas. 

Kini ia tahu apa yang rusak ketika ibu jari temannya patah. Saraf motorik. Bagas kembali bersorak dalam hati. Lancaaarrr!!

Bagas kembali menoleh ke belakang. Ia tertegun. Aina sedang menatapnya tajam. Bagas terpana melihat betapa bulat bola mata Aina. Jernih. Hitam. Berkilau tajam. Perut Bagas seperti kejang. Terasa tidak enak tapi menyenangkan. 

”Angie, Angie, everywhere I look I see your eyes. Angie, let me whisper in your ear.1

Bagas malah bersenandung!

Ai—Aina mendesis samar. Mata itu melempar pandangan ke balik punggung Bagas. Memberi isyarat. 

Bagas berkedip. Sadar. Cepat ia membalik badan. Tapi, terlambat. 

Pak Guru menarik kertas jawaban Bagas dengan tenang dan merobeknya hingga menjadi serpihan kecil. 

Udin tertawa puas melihat kertas ujian Bagas dirobek. Aina menggumam prihatin. 

”Bagas bisa meninggalkan kelas,“ kata Pak Guru tersenyum. Bagas yang semula tampak kaget kini nyengir lebar. Ini bukan masalah besar. 

Aina mengangkat tangan. ”Saya tidak disuruh keluar kelas juga, Pak?“

Pak Guru menengok heran. ”Tidak.“

Bagas ikut menoleh. Tidak usah sok solider! Kita tidak pernah tandem gitar! Atau balap kebut di jalan! 

”Lanjutkan pekerjaanmu!” perintah Pak Guru. 

Aina menatap Bagas sekali lagi. Meski Bagas tadi merasa sikap yang barusan ditunjukkan Aina terasa palsu, mulas di perut ini sungguhan! Kedua kaki Bagas keder. 

Aina buru-buru menunduk. 

”Jangan lupa mampir ke ruang konseling!“ Perhatian Pak Guru sudah kembali pada Bagas. ”Bapak sudah berapa kali pesan rambutmu harus segera dicepak!“

”Oke—baik, Pak!“ Bagas melempar hormat dengan gaya koboi. Seandainya ia sekarang mengisap rokok dan mengenakan topi koboi, gayanya pasti lumayan. Ia berjalan keluar dengan santai. Semua mata di kelas pasti sedang menatap ke arah dirinya. 

Bagas sampai di pintu. Ia berhenti dan menoleh dan tersenyum. ”Mari, Pak.“ Ia mengusap bagian depan rambutnya hingga ke belakang. Benar. Ikalnya sudah panjang. 

“Setelah itu sapu sendiri kertas jawabanmu!“ Pak Guru masih saja giat melanjutkan daftar hukuman Bagas. 

Bagas menghentikan langkah. Ia kembali dan melongok ke dalam kelas. Tersenyum sopan. ”Mari, Pak.“

Kegiatan mengganggu guru ini menyenangkan jika saja Aina tidak lagi mendongak. Tatapan mereka bertemu. Mulas lagi! Telapak tangan Bagas berkeringat tiba-tiba. Kakinya kembali keder. Ia segera berbalik. Berlari marah di lorong kelas. Meninju udara kosong di sekitarnya.

Bagas mengumpat panjang. Berengsek! Ini perasaan apa!? Bagas kesal! Tidak tahu apa ia kesal karena ujiannya gagal, atau Aina! Tatapan mata itu! Atau sikap sok perhatian gadis itu! 

”Pak, saya juga harus keluar kelas. Saya memberi contekan pada Bagas.“ Bagas menirukan kalimat Aina dengan gaya berlebihan dan setengah mengejek. Berharap dengan bersikap demikian bayangan senyum manis Aina menghilang. Tapi, percuma. Tidak bisa. 

 

***

Bagas menikmati sebatang rokok di kantin sekolah yang sepi. Ia tidak mampir ke ruang konseling. Langsung saja tadi membelok dan menongkrong di pojok ruangan. Ibu penjaga kantin yang sudah tua cukup baik hati membolehkan dirinya atau murid-murid lain merokok dalam kantin. 

Ada kejadian lucu saat Bagas dan Angga kelas satu. Mereka kali pertama diam-diam merokok di sekolah. Saat itu pelajaran matematika. Bagas dan Angga membolos dari kelas. Angga mengeluarkan dua batang rokok putih. Mereka berdua kemudian mengepul-ngepul asap dengan nikmat. Tak lama ibu kantin tergopoh mendekati mereka. Ada guru. 

Bagas membuang sisa rokok ke lantai. Menginjaknya hingga mati dan gepeng. 

Angga baru mengisap rokok ketika bapak konseling berdiri di hadapan mereka. Mulut Angga masih dalam posisi peyot. Ia melempar puntung ke bawah. Bagas menginjak cepat. 

”Kalian merokok, ya!?” 

Bagas diam. Angga menoleh bingung. Wajahnya terlihat setengah tercekik. 

Bapak Konseling mengulangi pertanyaannya.

”Tidaak, Paak,” jawab Angga. Woosss …. Asap rokok yang ditahan keluar bersamaan dengan Angga membuka mulut. Bagas sampai batuk karena terpingkal melihat kebodohan yang dilakukan temannya. Kali itu bapak Konseling, yang juga tertawa, membebaskan mereka. 

Teeetttt ….

Bel istirahat berbunyi. Bagas membuang sisa rokok. Ia menginjak habis puntung yang dibuang di bawah meja. Kantin yang semula sepi mendadak dipenuhi murid-murid yang kelaparan setelah ujian.

Mata Bagas mencari di sela-sela keramaian. Gadis berkerudung putih dengan rok panjang abu-abu itu sedang mengobrol dengan temannya sambil berjalan menuju kantin. Bagas menunggu. 

”Aina!” panggil Bagas. 

Aina yang sedang antre menoleh. 

Sekali lagi Bagas keder. Ia menurunkan kaki. Sedikit salah tingkah. Inginnya menghardik, inginnya bilang, ’Tidak usah sok solider!‘, tapi yang keluar malah, ”Terima kasih.“

”Tidak usah merasa hutang budi.“

Bagas bungkam. Berengsek.

Aina diam. Lalu, tersenyum. Muncul dua titik lesung pipi di masing-masing ujung bibir. Tatapan matanya lembut. Barusan ia mengerjai Bagas.

Perut Bagas mengejang. Rasa tidak enak yang menyenangkan kembali muncul. Kuakui kau memang manis .... 2

”Nggak usah berterima kasih. Jawabanku enggak banyak membantu,“ lanjut Aina. ”Lagipula kertasmu kan disobek.“

Bagas berdiri. Canggung ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. ”Yang penting kamu sudah membantuku. Aku bilang terima kasih.“

Aina mengangkat bahu. ”Baiklah.“

”Selamat makan, Ai ... Aina.“ Bagas berjalan keluar kantin sambil merutuki diri sendiri. Ia bilang apa tadi? ’Selamat makan‘!?

”Mau ke mana?“ tanya Aina. 

Bukan urusanmu! Bentak Bagas dalam hati. ”Ke ruang konseling. Ada janji wawancara.“ Bagas tiba-tiba melawak dan tertawa. 

Aina tersenyum geli. Dua titik manis itu terlihat lagi. [dps]

________
1 Angie – The Rolling Stone
2 Kau Pikir Kaulah Segalanya – Edane


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tahajud Untuk Aina - Bab 04 #UnlockNow
2
0
TENTANG BAB 04↴Bagas pengin lebih dekat dengan Aina. Sayangnya ada Dewa. Teman kampus Aina yang tengil – sok dan tengil. Omongannya tinggi. Tengil-lah pokoknya. Nyebelin. Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa! ▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan