
TENTANG BAB 04↴
Bagas pengin lebih dekat dengan Aina. Sayangnya ada Dewa. Teman kampus Aina yang tengil – sok dan tengil. Omongannya tinggi. Tengil-lah pokoknya. Nyebelin.
Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!
▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Bagas mengisap rokok sambil sesekali menoleh ke halaman depan kampus Fisipol. Beberapa mahasiswa yang tidak mengambil kelas sedang duduk berkumpul di tangga. Ada juga yang tekun menatap layar laptop, sibuk mengerjakan tugas mungkin.
Berkali-kali Bagas berdecak kagum ketika mahasiswa cantik melintas di depannya.
Bagas sudah tiga puluh atau empat puluh menit menunggu sambil berteduh di halaman kampus. Bagas ingin bertemu lagi dengan Aina. Setelah memutuskan membolos tanpa banyak pertimbangan, ia segera melaju ke kampus.
Bagas kembali mengisap rokok. Ia mengusap rambutnya yang gondrong sebahu. Hari ini disisir sedikit rapi. Ia tidak ingin lagi terlihat kumal ketika bertemu Aina. Jaket kulit lusuh ditinggalkan. Ia mengenakan jaket jin yang masih tampak baru karena jarang dipakai.
Bagas menurunkan sebelah kaki yang sedari tadi nongkrong di atas sadel. Aina berjalan keluar. Ia mengenakan hem berpotongan sederhana warna krem dan celana panjang kain warna senada. Jilbab merah mudanya, menurut Bagas, sanggup memancarkan rona merah alami pipi Aina.
Perut Bagas bergejolak pelan. Mengejang senang.
Aye!
Bagas membuang sisa rokok yang sebenarnya baru habis setengah. Terbatuk-batuk pelan ia menunggu Aina berjalan ke arah dirinya—menuju tempat parkir kendaraan tepatnya. Gadis itu mendekap setumpuk kopian bahan atau materi atau data atau apalah. Sesekali berhenti sebentar ketika bertemu satu dua dosen. Membicarakan sesuatu hal yang mungkin serius.
Bagas menikmati keindahan Aina. Panas matahari yang menyilaukan mata tidak terasa menyakitkan, tetap malah semakin membuat Aina tampak memesona.
Tiba-tiba Bagas mendengus geram.
Dewa berlari menyusul dan menjajari Aina. Ia mengatakan sesuatu. Aina tampak berpikir sejenak lalu menggeleng pelan. Dewa tampak masih berusaha. Aina kembali menggeleng sambil tersenyum. Laki-laki tajir itu sedang merayu Aina pasti. Mati saja, Bung! Bagas menarik sebatang rokok dan mulai menyulut kembali.
”Bagas.“ Suara yang dirindu-rindu Bagas menyapa. ”Kok bisa sampai di sini?“
Bagas tergeragap. Ia berdiri cepat dan membuang rokok yang baru diisap sekali. Alas bot menginjak puntung hingga gepeng. ”Mau ketemu kamu,“ jawab Bagas blak-blakan. Dewa di belakang bergegas-gegas menyusul Aina. Bagas tertawa senang dalam hati karena Aina lebih untuk memilih menyapanya daripada meladeni Dewa.
Aina terlihat sedikit salah tingkah. Namun, cepat gadis itu bisa mengatasi rasa gugupnya. “Bagas, sudah makan siang belum?”
Hidung Bagas mekar, kembang kempis menahan gembira yang meluap dalam hati. Pasti tadi Dewa mengajak Aina makan siang dan Aina menolaknya. Gadis ini lebih memilih untuk makan siang bersama dirinya.. Tetap dengan memertahankan sikap tenang dan seakan berwibawa, Bagas menggeleng. ”Belum. Makan siang bersama, yuk!“
Aina mengangguk.
Bagas semakin bersorak gembira dalam hati. Ia menatap Dewa dengan tatapan meremehkan.
“Baik kalau gitu. Tadi Dewa mengajak. Aku melihat Bagas, aku pikir kenapa tidak sekalian diajak saja. Kita makan siang bertiga. Naik kendaraan masing-masing. Sampai ketemu di foodcourt.“ Aina memutuskan cepat dan segera berlalu menuju ke mobil abu-abu metalik yang diparkir tidak jauh dari situ.
“Lho, Ai ... kita ....” Bagas mengumpat. “Pergi bareng ....” Ia masih mencoba berkata-kata, belum bisa menerima kenyataan itu. Berengsek, kenapa malah jadi pergi bertiga!?
Aina berbalik. ”Kalau kalian ingin pergi bersama, Bagas menumpang mobil Dewa atau Dewa membonceng Bagas, silakan.“
”Oh, tidak akan!“ sergah Bagas gusar.
”Bagus.”
”Akan lebih baik bila Aina membonceng motor!” Bagas berusaha cepat. ”Bepergian dengan tiga kendaraan boros bahan bakar, menambah polusi udara!”
Sejak kapan ia jadi peduli tentang polusi udara!?
”Untuk kali ini … tidak. Maafkan aku udara.“ Aina berpura-pura memasang wajah memelas dan berbicara pada udara kosong di depannya. Ia lalu tersenyum manis ke arah dua temannya. ”Setelah makan aku ada urusan di luar. Jadi, akan sekalian pergi. Itu alasanku menggunakan kendaraan sendiri. Jadi, ayo! Aku sudah lapar.“ Aina kembali berjalan cepat menuju mobil.
Dewa menatap Bagas geram. Ia berbalik dan masuk ke dalam mobil, menyusul Aina yang mulai meluncur keluar halaman kampus.
Aina mengajak mereka makan siang bersama. Tidak mau hanya berduaan saja dengan salah satu mereka. Sambil terus merutuk dalam hati, karena harus makan bersama Dewa, Bagas melajukan motor menyusul mobil Aina.
***
Bagas menarik gas maksimal. Suara motor meraung-raung keras. Ia ingin mengeluarkan semua kekesalan yang sedari sore mengendap di dalam hati.
Dewa selalu mendominasi pembicaraan sepanjang waktu makan siang. Membahas teori Psikologi Komunikasi hanya untuk mengejek. Tapi, Bagas yang bengal tidak akan mudah mengalah pada permainan Dewa. Percuma menyukai musik rock kalau tidak bisa membalas lawan dan membalik keadaan dengan mudah.
”Kau tahu primari effect?“ Dewa bertanya memancing.
”Tidak, Bung.” Bagas tidak malu mengakui ketidaktahuannya. ”Yang kutahu hanya teori ekonomi; semakin banyak permintaan, semakin tinggi harga barang. Apalagi bila ada pemilik tunggal yang mendominasi. Apalagi sesuatu yang diinginkan berjumlah sedikit, atau malah hanya satu. Peminat akan bertarung mati-matian demi mendapatkan apa yang diinginkan.”
Dewa bergeming. Ia menoleh ke arah Aina.
”Kau ingat, kan, Na? Primary effect merupakan pengaruh kata pertama ketika menjelaskan suatu rangkaian kata sifat. Kalau kata pertama yang digunakan memiliki konotasi positif, kesan yang ditangkap sampai akhir akan tetap positif. Jadi, kalau aku bilang Bagas itu pemalas, licik, cecunguk, begajul, dan baik hati, pasti yang terbayang adalah Bagas orang berengsek—”
Tengik! Maki Bagas dalam hati.
”Ingat Pak Dwi, Ai?” Bagas cepat, mengalihkan pembicaraan. Aina mengangguk. ”Beliau sabar, arif, bijaksana, tetapi kalau sudah marah sangat menakutkan. Apa kesan yang bisa ditangkap kalau begitu? Beliau orang baik, bukan?“
Aina kembali mengangguk mengiyakan. ”Aku ingat ketika kamu terlambat masuk kelas dan beliau memaafkan, tetap membiarkan kamu masuk kelas dan mengikuti pelajarannya.“
Dewa terpeleset pada perangkapnya sendiri. Ia mengambil ’kata‘ pertama negatif; mengolok-olok Bagas, maka kesan yang akan ditangkap Aina sampai akhir perbincangan: Dewa itu laki-laki berpikiran negatif!
Aye! Bagas tertawa senang, antara mengetahui kenyataan ternyata diam-diam dulu Aina memerhatikan dirinya dan Dewa yang menggeram kesal. Pembicaraan Dewa-Aina beralih menjadi Bagas-Aina.
”Baru kali ini aku tahu ada yang memanggil Aina dengan ’Ai‘,“ Dewa berusaha mengalihkan pembicaraan.
Bagas tidak menoleh. Ia menjawab dengan tenang dan tatapan tetap tertuju pada Aina. ”Kata ‘ai’ dalam bahasa Jepang artinya cinta.”
Aina berpaling jengah. Dewa terdengar berusaha keras menahan geram kesal (namun tidak terlalu sukses) dan menunduk.
Bagas berusaha melawak kecil supaya Aina kembali merasa nyaman. Pembicaraan mengenang masa SMA akhirnya kembali berlanjut, mendominasi keseluruhan percakapan. Hingga Dewa mengajukan satu pertanyaan menohok.
”Belum lulus juga, Gas?“ Laki-laki itu sengaja menaikkan intonasi bicara supaya terdengar sangat heran. ”Setahuku, bahkan jurusan ekonomi bisa ditempuh dalam waktu 3,5 tahun. Tapi, kalau kau memang benar-benar lelaki cerdas bisa saja hanya 3 tahun. Atau jenius, 2, 5 tahun. Tapi, kalau sampai lebih dari 5 tahun—yah.“
Ingin rasanya Bagas menjotos Dewa tepat di muka.
”Laki-laki pengangguran, mana bisa mendekati perempuan cantik dan cerdas—aku tidak sedang membicarakanmu, Na, hanya mengambil contoh secara umum mengenai perempuan cantik dan cerdas, untuk dijadikan pacar atau pasangan hidup.“ Dewa tertawa seakan kalimatnya barusan lucu. ”Apalagi yang belum lulus. Bukan begitu, Gas?“
Laki-laki sejati lebih memilih adu jotos! Adu fisik! Tidak adu kata seperti yang sedang dilakukan Dewa! Rahang Bagas mengeras. Ia berusaha menahan diri.
Aina menarik diri. Ia seakan tahu ada permusuhan kasat mata sedang terjadi antara dua laki-laki di depannya.
”Bagaimana, Gas? Kau diam saja.“
”Lelaki sejati tidak berbicara mengenai laki-laki lain.“ Bagas menyedot rokok dan mengembuskan asap ke arah lain. [dps]
▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
