Tahajud Untuk Aina - Bab 02 #UnlockNow

2
0
Deskripsi

TENTANG BAB 02↴

Bagas bikin tindik di telinga! Asoy! Mana setelah itu ia malah bolos kuliah – hedeh! Tapi, ada kejadian menarik. Saat ia membantu seorang ibu yang kecopetan, Bagas ketemu si cantik Aina. Teman sekolahnya dulu. Teman sekolah yang dulu bikin ia deg-degan dan keringat dingin.

Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀

”Wadooww!!“ Bagas berteriak lagi. Sebulir air mata mengalir dari ujung mata. 

”Berarti es batunya tadi kurang lama. Kurang mati rasa,“ kata Hari tenang. Sejumlah anting bertengger di beberapa bagian muka laki-laki tersebut; alis bagian luar, di bagian bawah bibir, dan sederet di telinga kiri.

Angga yang jongkok di sebelah terbahak. ”Teriak jangan keras-keras, Gas! Kayak cewek! Tahu enggak!?“

Bagas diam. Menggertakkan gigi. Menahan sakit. 

”Cuma jarum kecil saja cengeng. Belum jarum kasur.“ Hari mencabut jarum tindik. Ia mengoles dan kemudian menekankan kapas beralkohol ke daun telinga Bagas. Mencegah infeksi. 

Bahu Bagas yang tadi tegang kini kendor. Ia memegang kapas di telinga. Rasa perih masih ada tapi tak sesakit ketika jarum menembus daun telinga. 

Bagas mengedarkan pandang ke seluruh isi rumah milik Hari. Hari punya usaha membuat tato. Dinding rumahnya dipenuhi gambar tato melingkar-lingkar berwarna suram. Ketika mendengar Bagas ingin menindik telinga, setelah telinga Bagas berencana mencat rambut dengan warna mencolok, dengan sukarela ia menawarkan bantuan. Kalau sekadar melubangi daun telinga bisalah, kata Hari. Bagas ditemani Angga berangkat mantap. Hingga akhirnya tadi, Bagas berteriak memalukan. 

”Waktu SMP ada kejadian yang lebih ngeri. Tapi, kalau diingat sekarang lucu. Salah satu temanku bilang ingin ditindik. Kami setuju. Ia tahunya akan ditindik pakai jarum. Pulang sekolah kami bertemu di halaman belakang. Yang ingin ditindik itu langsung disergap tiga anak. Dipegang kuat-kuat. Seorang yang lain membawa duri pohon. Besar dan lancip. Aku membawa batu untuk menembuk duri.”

“Berhasil?”

“Tidak. Hahaha. Malah ricuh. Temanku yang memegang duri kena tendang. Teman-teman yang memegangi kena jotos. Jadinya kami malah berkelahi. Seorang guru tahu. Kami masuk BP dan diskors sehari. Hanya gara-gara perkara tindik sepele.“

Kapas beralkohol dibuang. Bagas memasang dua anting bundar kecil. Ia meringis kecil saat ujung yang tajam menusuk masuk ke. Angga menyorongkan kaca.

Bagas berkacak pinggang. Melihat bayangan dua anting barunya. 

”Bagaimana?” tanya Hari.

“Lumayan.”

”Kamu sekalian, Ngga?“ tawar Hari. 

Angga menggeleng. Ia tidak mau ditindik setelah melihat Bagas berteriak sakit seperti tadi. Angga melirik jam dinding. Kemudian melihat ke arah luar rumah. Jalanan tampak sangat panas. Terik matahari terlalu garang. ”Jam satu. Kuliah enggak, Gas?“

Satu kelas mengulang. Bersama adik-adik kelas. Bagas menggeleng. ”Tidak. Telingaku masih sensitif. Butuh perawatan serius. Sementara tidak bisa digunakan mendengar materi kuliah. Besok saja.“

Angga tos dengan Bagas. 

”Sekarang ke bengkel Joko,“ ajak Bagas.

Angga setuju. Ia satu fakultas dan satu jurusan dengan Bagas. Ia selalu pergi ke mana-mana dengan Bagas. Membolos bareng. Ngetrek di jalan juga. 

Bagas bersiap pergi. ”Berapa, Har?“

”Enggak usah.“ Hari membungkus jarum dengan kertas dan membuang ke tempat sampah. ”Oya, Gas. Kalau nanti ada apa-apa, ke sini lagi. Tidak apa-apa. Masih bergaransi. Misal rusak parah bisa diganti dengan kuping panci.“

Bagas kembali mengenakan jaket. Bersama Angga ia mengendarai motor. Meluncur menuju bengkel milik Joko. 

”Lewat jalan besar,“ kata Angga. Bagas urung membelokkan motor ke jalan kecil di sebuah perkampungan. Di depan mereka sebuah bus kota berhenti. Seorang ibu gemuk turun. Seorang laki-laki dalam kemeja lusuh ikut anjlok turun. Menubruk ibu tersebut dan segera berlari.

“Copeettt!!”

Ibu itu berteriak panik. Melambai ke segala arah meminta bantuan. 

Pencopet itu melesat masuk ke sebuah gang kecil. Jalan kampung sepi. Sedang tidak ada banyak orang. Kebanyakan penghuninya masih bekerja.

“Copet! Copet!” Ibu itu berteriak parau. Ia melambai ke arah Bagas. ”Mas, tolooong ….”

Bagas berhenti. Bergegas turun dan melempar helm ke arah Angga. Helm jatuh berguling terantuk aspal jalan. Aduh-berengsek! Gores! gusar Bagas dalam hati. 

“Mas, tolooong ….”

Bagas melesat berlari. Membelok ke gang.

”Ada uang hasil jual emas, Mas. Buat biaya berobat. Toloong ...,” Ibu itu masih terus berteriak pasrah. 

Pencopet yang tahu kalau sedang dikejar, menambah kecepatan. Ia terus membekap kuat tas hitam lusuh dalam pelukan. Si pencopet membelok lagi. Gang yang lebih kecil. 

Jalan kampung itu punya banyak belokan. Berderet rumah yang tidak begitu besar dengan pakaian basah dijemur di depan rumah. Beberapa anak kecil dan ibunya yang sedang berjalan di gang menoleh tertarik, sebagian kaget dan melompat ke samping, ketika pencopet dan Bagas melintas.

Mulut gang tampak. Berakhir di jalan raya. Bagas menambah kecepatan. Kalau pencopet berhasil sampai di mulut gang dan ada bus yang lewat, bisa jadi pencopet akan melompat masuk dan tidak terkejar lagi. 

Pencopet itu menoleh ke belakang panik. Ia salah mengambil belokan. Ia tidak mengira belokan kecil yang dipilihnya akan berakhir di jalan raya. 

BUUGGHH!!

Pencopet itu terjengkang. Pelan ia bangkit. Setengah terhuyung. Belum tegak berdiri, sebuah tendangan samping menghantam keras. Tepat di ulu hati. 

Bagas yang masih berkonsentrasi berlari tak sempat mengerem. Ia menghindar. Terlambat. Tubuh kurus yang terjungkal ke belakang menubruk Bagas. Bagas mengumpat keras. Ia jatuh berguling. Dahinya menghantam tembok samping. 

Pencopet itu terus menggelundung. Kepalanya terantuk pinggiran comberan. Laki-laki itu mengerang keras. Lalu, ambruk. Tidak sadar diri. 

Seseorang yang menendang pencopet masuk ke dalam gang. Memungut tas yang dijambret. 

Bagas mengaduh. Dahinya memar. Telinga yang barusan ditindik berdenyut. Ngilu. Ia mendongakkan. ”He, Bung, sejak kapan bisa bela diri!?“

”Bagas?“

Seseorang itu memanggil namanya. Seseorang itu bersuara perempuan. Seorang gadis berjilbab putih berdiri tegap memegang tas yang berhasil diselamatkan. 

Bagas mengerjap. Sosok itu tetap berdiri di hadapannya. wajahnya memancarkan sinar lembut. Tiba-tiba ia menunduk. Tali ketsnya lepas. Ia merunduk dan menali kencang. Kemudian ia mendongak dan tersenyum. 

Dunia seakan berhenti berputar. Bagas merasa dadanya berdegup kencang. Napasnya jadi sesak. 

”Lupa, ya!?“ Gadis itu membentak galak. Ia kembali berdiri tegap. 

”Ai!? Aina?“ Bagas kembali mengerjap. Tak percaya. ”Aina, kan?!“

Aina? Gadis galak yang tegas menendang si pencopet? Ini Aina yang dulu? 

”Bisa berdiri sendiri?“ tanya Aina. ”Tidak perlu aku bantu, kan!?“

Tentu saja! Bagas berdiri dan menepuk jaket kulitnya yang semakin lusuh. ”Terima kasih, Na.”

”Terima kasih apa?” Aina heran.

Bagas menjawab pertanyaan dengan menunjuk pencopet yang jatuh terkapar. Aina ber-“oh” pendek. Ia menyerahkan tas yang dipegangnya pada Bagas. 

”He, Bagas!”

Angga berjalan menyusul bersama ibu pemilik tas. Bagas menyerahkan tas. Ibu itu berkali-kali mengucap terima kasih. Ia memegang tangan Bagas erat. 

”Bukan saya, Bu. Mbak Aina ini yang berhasil membekuk pencopet. Ditendang sampai pingsan.” 

Ibu itu menoleh ke arah Aina. Ia kembali mengucapkan terima kasih berkali-kali. 

“Lalu bagaimana?“ ulang Aina. ”Pencopetnya.” 

Ibu itu diam sebentar. Membekap tas hitam erat-erat. ”Biar saja,“ katanya lembut. ”Laki-laki itu pasti kelaparan dan butuh uang. Mungkin salah satu anggota keluarganya sakit. Sayang ... ibu tidak bisa membantu karena juga butuh uang.”

“Saya punya uang,” tanggap Angga cepat.

”Tidak.” potong Bagas. ”Bagaimana pun ia pencopet. Menyabet uang dari ibu tua. Dibiarkan tidak babak belur dan tidak dilaporkan polisi sudah cukup.”

Aina mengangguk setuju. 

Angga mengantar si ibu kembali ke jalan semula. Bagas memberi tanda masih ingin tinggal. 

”Apa kabar, Gas?” Aina membetulkan selempang ransel yang melorot di bahu. 

Bagas sempat melihat Aina memerhatikan penampilannya. Sekarang pasti sangat acak-acakan. Bagas juga sempat menangkap tatapan sekilas Aina di telinganya. Tiba-tiba laki-laki itu cemas dengan pendapat Aina mengenai anting di telinganya. Bagaimana kalau gadis itu menyemat kesan buruk!? Bagaimana kalau— 

”Baik. Yaa, begitulah.“

”Sudah bekerja?“

”Oh, masih kuliah,” jawab Bagas enteng. Ia menyebut salah satu nama perguruan tinggi swasta.

”Oh. Jurusan?“

”Jogja – Solo. Prameks. Tujuh ribu rupiah.“

”Ohh.“ Aina tertawa menanggapi gurauan Bagas. 

”Ekonomi,“ jawab Bagas kemudian.

Aina tidak percaya. 

Bagas tidak menanggapi. ”Baru pulang kuliah kamu?“

”Mengumpulkan data. Proyek dosen.“

”Sebentar lagi lulus dan wisuda dong?“

Aina tersenyum. Duh, lesung pipi itu. Ingin rasanya Bagas menyenandungkan Angie-nya The Rolling Stone seperti saat SMA. 

”Aku sudah lulus. Bekerja … yaa, belum bisa disebut bekerja, sih. Jadi, sebut saja magang. Membantu proyek dosen.“

”Dulu kuliah di mana?“ 

”Fisipol. Komunikasi.“ Aina menyebut nama salah satu nama perguruan tinggi negeri. 

Angga muncul di jalan besar. Sesampai di dekat Bagas, Angga terkejut. Ia baru melihat Aina. Tadi terlalu sibuk membantu si ibu sehingga ia tidak begitu memerhatikan siapa orang yang bersama Bagas. Tanpa berusaha menyembunyikan, ia berdecak keras. Mengagumi kecantikan yang terpancar di wajah Aina.

”Kampungan!” tegur Bagas. 

Aina hanya tertawa. Bagaimana pun mereka berdua dulu teman sekelas saat SMA. Dipandangi seperti yang dilakukan Angga barusan tidak berarti apa-apa. 

Angga mengulurkan tangan. ”Apa kabar, Na?”

Aina menangkupkan kedua belah tangan di depan dada. 

Angga ternganga. Lalu, menutup mulut dan menarik tangan. 

Aina tersenyum lalu mengangkat bahu. Sikapnya luwes dan terkesan biasa. ”Baik.“

Angga baru ingat. ”Kalau ingin bisa bersalaman atau menyentuh telapak tangan Aina, siap-siap dibanting.“ Itu kalimat bercanda kedua yang sering dijadikan guyon di antara Bagas dan kawan-kawan lain.

”Aina!” Seorang pemuda berkulit putih bersih berlari mendekat. Kunci mobil dalam genggaman tangan. Aina melengos ketika melihat ekspresi panik dari wajah pemuda tersebut. 

”Kamu nggak apa-apa, Na?“ Pemuda itu cemas.

Aina mengendik bahu. ”Nggak apa-apa.“

Pemuda itu tertawa canggung. ”Aku sangat tidak tenang kalau harus meninggalkanmu sendiri menunggu bus.“

Aina berbalik. ”Bagas, Angga, kenalkan ini Dewa. Teman satu kelompok denganku dalam penelitian. Dan, Dewa ...,“ Aina menunjuk Bagas dan Angga dengan menyebutkan nama mereka satu-satu, ”Teman-teman sekolah. Satu SMA.“

”Salam kenal.“ Dewa mengulurkan tangan. Angga diam saja. Dewa bingung. Ia mengarahkan uluran tangan ke arah Bagas.

Bagas menangkupkan tangan di depan dada. Menunduk takzim. Meniru Aina. ”Bagas,“ katanya memperkenalkan diri. 

Angga tergelak. Aina tertawa geli.

Dewa menarik tangan. Wajahnya memerah. Terlihat ia sekuat tenaga menahan diri kemudian. Tidak marah dan tidak terpancing sikap kurang ajar Bagas. 

”Kamu mau pulang, Ai... na?“ Bagas memecah suasana. ”Aku akan mengantarmu.“

”Aku sudah menawarinya terlebih dulu,“ sahut Dewa cepat. 

Aina berkacak pinggang. Menatap jengkel dua teman laki-lakinya. ” Kalian tidak usah sok perhatian dan peduli. Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih. Aku duluan. Assalamu’alaikum.“ Bus yang ditunggu mendekat. Aina melambaikan tangan dan segera melompat masuk. 

”Saya ... duluan,“ kata Dewa kaku. Tanpa menunggu jawaban ia berbalik pergi. 

Angga dan Bagas saling berpandangan.

”Aina cantik, ya?!” Bagas meminta pendapat Angga.

Angga terbahak. Ia menyalakan motor. Bagas melompat, membonceng di belakang. Motor melaju. Melanjutkan perjalanan menuju bengkel.

Gang kembali sepi. Tak lama terdengar rintihan pelan. Si pencopet tersadar. Pandangannya berkunang-kunang. Perutnya mual. Laki-laki kurus itu mengerang keras, kesakitan.

Joko yang sedang mengganti oli mendongak. ”Kok siang banget, he!? Katanya habis nindik langsung ke sini!?” 

Bengkel milik Joko berukuran lumayan. Rumah sederhana kosong ini milik kakaknya. Daripada menganggur lebih baik bila digunakan untuk membuka bengkel. Bongkar pasang motor milik teman-temannya. Juga servis ringan untuk pelanggan umum. Bagas kenal Joko saat mereka taruhan balapan. Sejak itu mereka berteman. Bagas dan Angga suka menghabiskan waktu di bengkel bila bolos kuliah. 

Bagas menuang air putih ke dalam gelas dan langsung diteguk habis. Angga mengempas tubuh ke atas kursi rotan di dekat etalase tempat onderdil motor. 

”Habis menguber copet, Jok!“ jawab Bagas. Ia mengempas duduk di samping Angga. Ia mengambil koran lama dan mengipaskan ke tubuhnya. ”Panas!“ 

”Untung copet itu pingsan. Kalau nggak sudah kita bawa ke kantor polisi,” tambah Angga. 

Joko menatap tertarik. ”Lho, memang sekarang copetnya di mana?“

”Ditinggal!“

”Kok bisa ditinggal!? Kenapa tidak lapor polisi?“

”Halah, Jok!“ Bagas mengeluh panjang. ”Malas! Tas yang dicopet sudah kembali. Beres perkara.”

Angga tiba-tiba terbahak. Menertawakan sesuatu.

Bagas dan Joko menoleh heran. 

”Bagas tadi bertemu Aina, Jok. Makanya jadi malas mengurus copet!” Angga kembali terbahak. ”Cewek cantik banget, Jok! Banget!” tambahnya ketika Joko terlihat penasaran. ”Dia dulu teman SMA. Sekarang sudah kuliah ... di ... di mana, Gas?“

”Cantik bagaimana?!“ Bagas tidak menjawab pertanyaan. “Jangan percaya! Baru ketemu lima menit, bagaimana bisa bilang cantik!?“

”Lhoh, lima melihat melihat Aina kan rasanya seperti satu jam,” sangkal Angga.

Joko tertawa.

”Sudahlah, Gas. Mengaku saja. Kamu tadi sampai lupa menutup mulut dan mengiler begitu kok saat Aina senyum!“

Bagas diam. Menahan diri. Di kepalanya terbayang lagi dua titik manis di ujung bibir saat Aina tersenyum. Angga lalu membahas sikap Bagas yang menarik tangan tidak mau bersalaman dengan Dewa. Tak lama bengkel kecil itu penuh dengan ledakan tawa. [dps]


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tahajud Untuk Aina - Bab 03 #UnlockNow
2
0
TENTANG BAB 03↴Flashback saat Bagas SMA. Ia nggak bisa menjawab soal ulangan harian dengan baik. Aina membantunya. Aina si cantik dan baik hatinya.Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa! ▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan