
TENTANG BAB 14↴
Mbak Lastri, guru menari Annisa, bertemu dengan Pak Probo – bapaknya Annisa. Ternyata ada udang di balik batu. Annisa dan Jundan mengintai keduanya dari tempat yang aman. Oh, ternyata....
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Surat Annisa Fitri' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Sejak pagi Dwi sudah rewel. Dimas paling kesal kalau adik perempuannya mulai merengek tak henti-henti. Sejak pagi hari sekali Dwi sudah mengingatkan kakaknya untuk menjemput di sekolah.
“Jangan lupa ya, Mas!” bisik Dwi dengan mata masih setengah terpejam. Ia menggaruk-garuk kepalanya sambil menguap.
“Jemput aku nanti – awas kalau lupa!” seru Dwi masih dengan berbisik dari balik pintu. Dimas menyalakan motor hendak berangkat ke pasar. “Jangan lupa ya, Mas!”
Dimas turun dari motor. Ia menjitak jidat adiknya keras-keras – sampai ibu berseru kaget dan melongok keluar masih dengan mengenakan mukena. Dwi tak berani menangis dan mengadukan perbuatan kakaknya. Kalau diadukan bisa-bisa Dimas tidak mau menjemputnya pulang sekolah.
Dwi mencoba bersikap biasa saja saat kembali ke sekolah. Ia mengikuti semua pelajaran dengan tenang. Tak ada sedikit pun keinginan untuk berbuat onar. Teman-teman sekelas mengira Dwi dan Annisa kemarin izin sakit.
“Kok bisa bareng begitu, ya? Jangan-jangan kalian ditakdirkan sebagai sahabat sejati, nih,” komentar salah satu teman.
“He-he,” Dwi membalas dengan senyum kecut.
Bocah itu tak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran. Sepanjang waktu duduknya gelisah, tapi ia mencoba untuk tak kehilangan perhatian. Cukup sekali saja ia dimarahi Ibu Wali Kelas – sampai diberi skors. Benar-benar pengalaman yang tidak enak.
Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Dwi membereskan bukunya cepat-cepat. Ia harus memastikan kakaknya sudah menjemput di gerbang sekolah. Kalau sampai terlambat, buat apa dijemput kalau Dimas pada akhirnya tetap tidak tahu yang mana namanya Annisa.
Dwi secepat kilat keluar kelas. Senyumnya tersungging ketika melihat kakaknya sudah menunggu di halaman depan sekolah. Adik kakak itu menunggu sampai yang mereka incar muncul.
“Biasanya dia dijemput naik mobil. Kadang naik motor – yang jemput cowok juga, seumuran mas Dimas,” bisik Dwi.
Dimas diam saja. Sepertinya cowok itu masih setengah hati menuruti permintaan adiknya. Atau jangan-jangan ia mengiyakan karena tak tahan mendengar rengekan panjang tanpa henti?
“Ssttt! Sstt! Itu dia!” bisik Dwi. Tangannya mencengkeram bagian belakang kaos Dimas – lalu menariknya kuat tanpa sadar.
Dimas memerhatikan ke arah yang ditunjukkan adiknya. Seorang bocah berkulit sawo matang manis keluar gerbang. Rambutnya ikal panjang diikat ekor kuda. Kedua matanya cemerlang – tampak sedikit bandel. Kedua pipinya dekik – bolong saat sebuah senyum simpul muncul ketika membalas lambaian temannya.
“Itu yang namanya Annisa...,” bisik Dwi di balik punggung kakaknya. Dimas terus memerhatikan. Si bocah berlari menuju sebuah mobil. Pintu dibuka dari dalam dan bocah itu segera masuk. Dimas sekilas memerhatikan ada seorang perempuan paruh baya di dalam kendaraa. Mungkin itu neneknya Annisa yang bermulut tajam.
Sepanjang perjalanan pulang Dwi mengoceh macam-macam. Gadis cilik itu menyusun rencana jahat yang bisa dilakukan Dimas untuk membalaskan sakit hatinya pada kawan sekelas.
“Kapan?” tanyanya.
“Apanya?” Dimas malah balik bertanya.
“Balas mengusili Annisa. Aku sudah kesal banget setiap melihat dia,” sungut Dwi. “Mungkin nggak mas Dimas minta bantuan teman-teman preman, pura-pura menculik Annisa, ditakut-takutin biar kapok, lalu dibebasin? Bisa, kan?”
Apa pun bisa dilakukan Dimas. Tapi remaja laki-laki itu sudah kadung berjanji untuk berbuat baik. Apalagi sebentar lagi bulan puasa, lalu lebaran. Badannya kembali digoncang-goncang adik perempuannya yang menunggu jawaban.
“Aku pikir-pikir dulu,” jawab Dimas. Adiknya protes. Untuk perkara sesepele mengusili anak kelas 5 SD mestinya tak butuh waktu lebih untuk berpikir.
“Aku sudah besar, Dwi. Kalau sampai masyarakat tahu aku memusuhi bocah ingusan, mau dikemanakan muka masmu ini? Mau dikemanakan muka ibu?”
Dwi terdiam. Ia baru tersadar. Selama ini tak terpikirkan olehnya, bahwa setiap perbuatan baik mau pun buruk yang dilakukan seorang anak akan memengaruhi pandangan orang lain terhadap orangtuanya. Sebuah peribahasa menyebutkan “anak polah bapa kepradah” – setiap polah atau tindakan anak akan berimbas kepada orangtuanya. Anak yang bertingkah buruk, orangtuanya juga akan mendapat perkataan buruk. Begitu pun sebaliknya.
Di boncengan belakang Dwi juga tersadar perkataan ibu ada benarnya; semenjak bertemu dengan pak Probo, Dimas menjadi berubah ke arah yang lebih baik. Bocah perempuan itu menarik-narik kaos kakaknya. “Mas, kamu kok sekarang pinter, sih?”
“Apanya?” tanya Dimas bingung.
Dwi tak menjawab. Ia kini diserang rasa bimbang; hendak melanjutkan balas dendam demi sakit hati akibat perkataan eyangnya Annisa atau melupakannya begitu saja?
Dasar anak nakal! Ibumu pasti membenci kamu! Anak tak tahu budi pekerti – memang pantas kamu ditempeleng kuat-kuat!
Dwi menggertakkan gigi. Perkataan keji Eyang Uti kembali melintas di ingatannya. Tidak, ia tidak akan mundur. Rencana membalaskan sakit hati karena sudah dirinya dihina –dan juga perkataan yang tidak-tidak tentang ibu harus tetap dijalankan.
***
Jundan menarik Annisa mundur. Mereka bersembunyi di balik pagar pembatas rumah pak Probo.
“Ada apa, Mas Jundan?” tanya Annisa tidak mengerti. Remaja laki-laki itu memberi tanda agar Annisa tetap berada di tempatnya. Tanpa suara Jundan memundurkan motor yang sudah kadung diparkir di depan rumah. Mereka menunggu untuk sementara waktu.
Annisa tidak mengerti kenapa ia tak boleh membuat suara. Baru saja hendak keluar dari persembunyian, ia mendengar suara perempuan yang dikenalnya. Tak perlu disuruh dua kali, Annisa kembali mundur.
“Saya kecewa sekali, Pak Probo,” kata mbak Lastri. Langkahnya tertahan di pagar depan.
“Saya juga sangat menyesal, Mbak. Seandainya jadwal saya longgar tentu saya akan senang hati membantu.”
Annisa mendongak ke arah Jundan. Alisnya yang merengut menandakan ia sedang bertanya ada apa –ada urusan apa mbak Lastri dengan bapak? Jundan menjawab dengan gelengan dan desis pelan memintanya supaya tetap tenang.
“Saya sudah membayangkan Pak Probo melatih pantomim pada murid-murid saya. Tarian Jawa yang dikombinasikan dengan pantomim tentu akan menjadi sebuah pertunjukan yang menarik.” Nada suara mbak Lastri benar-benar kecewa.
“Maafkan saya, Mbak,” kata pak Probo.
“Ah, Jundan, sih! Pasti remaja itu telat memberitahukan rencana saya pada Bapak! Seandainya pesan saya disampaikan sejak beberapa bulan lalu, tentu Pak Probo masih luang waktu untuk membantu saya!”
“Jangan menyalahkan Jundan, Mbak,” tegur pak Probo tenang, namun baik Annisa dan Jundan sendiri menangkap nada tegas di sana. “Remaja itu sudah sibuk dengan pelajaran di sekolah. Sedikit lupa kan tidak apa-apa, yang penting tidak melupakan nasihat orangtuanya dan tidak lupa belajar giat.”
Mbak Lastri mendengus kesal. “Oh ya, saya sudah memilih Mbak Annisa untuk pentas seni di sekolah.”
“Sebaiknya memilih murid lain saja, Mbak. Saya lihat anak itu tidak begitu suka menari –“
“Tapi mbak Annisa saya perhatikan sangat berbakat. Ia rajin berlatih dan –“
“Betul. Saya setuju tentang bakat. Tapi apakah anak tersebut mencintai menari, saya rasa kok agak kurang.”
Mbak Lastri merendahkan volume suaranya. “Annisa mendapat bakat menari itu dari mendiang ibunya, ya? Pak Probo tentu sangat mencintai mendiang ibu Annisa sampai-sampai betah lama hidup sendiri.”
Annisa ditarik mundur Jundan. Remaja laki-laki itu memberi tanda percakapan barusan dan yang nanti tak pantas didengarkan anak kecil.
“Tapi Mbak Lastri itu culas! Jahat! Suka bohong! Aku kan sering membolos latihan, kenapa dibilang rajin?” bisik Annisa tak terima. “Mbak Lastri nembak Bapak ya, Mas Jundan? Pengin pacaran sama bapak, ya!?”
Jundan hanya terus ber-ssstt sambil menggeleng.
“Bapak tuh pintar. Padahal aku nggak cerita tapi bisa tahu aku paling nggak suka les menari di tempat Mbak Lastri –“ Mulut Annisa dibekap dan bagian belakang bajunya dicangking ke atas – dipindahkan ke tempat yang lebih tersembunyi. Dengan mudah Jundan menggeret Annisa pergi seperti memindah anak kucing.
“Lhoh, Nak Jundan... Ada apa ini malah kok malah main petak umpet di sini?” Bapak RT yang kebetulan lewat menyapa ramah. Pak Probo segera berseru memanggil anak mbok Darmi tersebut. Jundan hanya cengengesan. Lalu menunjuk mangga yang bergelantungan di pohon yang berada di samping rumah.
“Mau metik buah, Pak RT. Dari tadi saya mencari tongkat pemetik buah kok tidak ada. Sepertinya dipindah pak Probo,” jawab Jundan cepat. Senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya.
“Nanti saya dikirimi lho, ya,” kata pak RT sebelum berlalu. Annisa menahan kikih geli. Ia membekap mulutnya sendiri. Belum ada buah mangga yang bisa diambil. Semuanya masih dalam bentuk bunga dan pencit – mangga muda yang ukurannya masih kecil sekali.
Mbak Lastri buru-buru berpamitan. Ia harus menyiapkan kelas menari nanti sore. Annisa menarik badannya hingga tersembunyi sepenuhnya di balik batang pohon mangga. Guru les menarinya lewat naik motor dengan kecepatan tinggi. Sekilas air muka tak enak karena malu terlihat di semburat wajahnya yang memerah.
Annisa langsung keluar menghambur memeluk pak Probo. “Bapaaakk...! Bapaaakku...!”
Tubuh tegap pak Probo segera mendekap anak perempuannya erat-erat. “Kalian menyelinap pergi lagi pasti? Diantar mas Jundan bukannya langsung berangkat latiham tapi mampir dulu ke sini.”
Annisa mengangguk kuat-kuat. “Betuul...!”
“Kalian juga menguping dengar obrolan mbak Lastri sampai ditegur pak RT?” tanya pak Probo lagi.
Annisa – diikuti Jundan yang sepertinya mulai agak ketularan bandel mengangguk lagi. “Betuull...!”
Pak Probo menatap heran dua komplotan bengal itu. “Kalian melakukan kesalahan tapi malah cengengesan. Bocah milenial macam apa kalian ini? Pasti yang ngajarin kamu bandel itu mas Jundan, ya?”
Annisa meringis lebar. Ia tahu itu hanya bercandaan bapaknya untuk menganggu mas Jundannya. Sementara anak mbok Darmi sudah panik meminta maaf. “Ampun, Pak Probo. Tidak, Pak. Sungguh, Pak. Saya tidak pernah punya niatan mengajari mbak Nisa nakal. Sungguh, Pak. Aduuh, bagaimana ini...?”
Annisa tak lagi dapat menahan ketawanya. Pak Probo menepuk bahu Jundan. “Mbokmu pasti bangga punya anak laki-laki lurus dan jujur seperti kamu, Mas Jundan.”
“Lho? Bagaimana ta, Pak? Kok –“
Kebingungan remaja polos itu tak ditanggapi. Pak Probo segera mengajak anak-anaknya masuk. [dps]
▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
