
TENTANG BAB 15↴
Dimas ketemu dengan Annisa – si anak bandel musuh adik semata wayangnya, Dwi. Dan, ternyata Annisa adalah putri tunggal Pak Probo!? Dimas sangat kagum dengan Pak Probo – dan dia sudah ada niat akan mengusili Annisa. Waduh, jadi bagaimana, nih?
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Surat Annisa Fitri' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Annisa senang sekali berada di rumah bapak. Bangunannya luas. Bagian dalam tak terlalu banyak diisi perabotan – sangat berbeda dengan rumah Eyang Uti yang banyak sekali perabotan berukir dan berukuran besar.
Pada bagian tengah ruangan yang luas terlihat berjajar bambu-bambu muda yang sudah dipotong dan disusun menjadi deretan boneka. Beberapa boneka bambu tersebut ada yang sudah mengenakan pakaian, ada yang masih polos begitu saja. Di sudut ruangan berdiri kerangka boneka yang lebih tinggi dan berukuran besar.
“Kami harus ngebut menyelesaikan proyek membikin boneka ini,” jelas pak Probo. “Pertunjukan boneka saat malam terang bulan. Di lapangan desa Bantul. Ada puppeter dari luar negeri juga yang akan tampil berkolaborasi dengan seniman kita.”
“Aku ingin nonton,” gumam Annisa. Bocah perempuan itu menarik kaos Jundan. “Besok aku diantar menonton ya, Mas!”
Pak Probo membawa mereka ke bagian belakang rumah. teras luas terhampar langsung menghadap sawah. Sepoci teh tubruk dan tiga gelas berisi gula batu disajikan di atas nampan kecil.
“Teh enak ini, Mbak,” kata Jundan sembari menuangkan teh panas untuk Annisa. Setelah diaduk teh itu harus ditunggu sebentar supaya agak dingin. Ternyata rasanya memang beda dengan teh yang biasa – apalagi teh celup. Rasa tehnya ada, sepatnya terasa, dipadukan dengan manis gula batu – hmm, enak!
Pak Probo mengeluarkan bertumpuk-tumpuk album foto. Sekilas wajahnya terlihat gundah gulana. Hanya sebentar karena kemudian air mukanya kembali biasa. Sembari membalik-balik almbum foto, Annisa mendengarkan cerita bapak tentang ibu.
“Dulu Ibu bandel kayak aku ya, Pak?” tanya Annisa.
Sendu yang sedari tadi sekilas-sekilas muncul di wajah pak Probo hilang seketika. Laki-laki gondrong gagah itu terbahak. Jarinya menyentil ujung hidung anak perempuannya.
“Bandel. Bandel banget. Tapi baik hati.”
Ajeng Kusumaningtyas Prasodjo bertemu Probo muda saat kuliah di jurusan tari. Probo kuliah di ISI. Kampus yang terkenal dengan mahasiswa yang jarang mandi. Kesan pertama Ajeng bertemu Probo adalah penuh amukan. Ajeng kesal karena bau badan Probo yang tak sedap. Probo kesal ketemu mahasiswa yang sok cantik dan wangi.
“Lalu kami jatuh cinta,” kata pak Probo.
“Jatuh cintanya bagaimana? Jatuh cintanya ngapain aja? Bapak jadi rajin mandi, nggak?”
“Jatuh cintanya bagaimana? Hmm, rahasia.” Pak Probo terkekeh. “Ya, jadi rajin mandi. Tapi... Eyang Utimu itu.... Meski aku sudah mandi sampai seratus kali sehari, menggosok badan dengan batu lempung, dan menyemprot galonan minyak wangi, tiap aku ke rumah, hidung Eyang Utimu selalu mengernyit-ngeryit seperti mencium bau busuk.”
“Eyang Uti nggak pernah suka sama bapak,” kata Annisa teringat percakapan om dan pakdenya dengan eyangnya.
Pak Probo menoleh ke arah Jundan. Remaja laki-laki itu menggeleng cepat-cepat. “Bukan saya, Pak. Saya tak pernah cerita macam-macam ke mbak Annisa.”
“Aku menguping dengar,” kata Annisa berterus terang. “Aku nggak boleh dimarahin. Mencuri dengarnya soalnya suara om, pakde, sama eyang yang mengorbol keras sekali. Kedengaran sampai kamarku.”
“Kalau aku tetap marah, bagaimana?” tanya pak Probo.
“Aku akan membantah,” jawab Annisa berani.
Pak Probo tergelak lagi. “Kamu benar-benar mirip Ajeng – mendiang ibumu.” Laki-laki itu menyudahi ceritanya. Ia tak mau melanjutkan lagi. Sudah cukup cerita tentang mendiang ibunya Annisa untuk sore ini. Sebaiknya sekarang mereka minum teh dan makan ketela goreng asin yang sudah disediakan. Setelah itu mereka harus segera kembali, karena kalau tidak mereka bisa kemalaman di jalan. Jundan bisa kena omel eyang.
“Sore ini Annisa membolos les tari di Lastri saja,” kata pak Probo pada Jundan. “Aku masih agak kesal dengan perempuan itu. Hampir setiap hari mengirim pesan. Hampir setiap hari menanyakan kesanggupanku membantunya. Pusing aku!”
Jundan mengangguk mengiyakan. Annisa pura-pura sibuk menghabiskan ketela gorengnya, padahal telinganya mendengarkan perkataan bapaknya baik-baik. Hmm, mbak Lastri ternyata tak sebaik yang terlihat. Pantas hatinya tak pernah merasa senang dan jugga sreg saat harus belajar menari di pendapa.
“Lebaran besok bapak datang ke rumah eyang, kan?” tanya Annisa ketika hendak pamit pulang.
“Asalkan Eyang Utimu memberi izin,” jawab pak Probo.
Annisa cemberut. “Eyang selalu melarang. Tapi eyang nggak pernah menjelaskan apa alasannya. Padahal tahun ini aku ingin lebaran sama Bapak! Aku ingin –“
“Nah, kalau itu bisa diusahakan,” kata pak Probo.
Annisa mengamati bapaknya dengan penasaran. “Apa maksudnya?”
“Bisa diusahakan – kita lebaran bersama tahun ini. Lebaran kan tidak harus di rumah eyang uti, kan?”
Annisa memekik kegirangan. Ia berdiri lalu menari menandak-nandak. Ia sudah membayangkan kelak ia menyelinap pergi saat hari raya. Diam-diam dibonceng bapak lalu mereka lebaran bersama – berziarah di makam ibu.
“Bapakku ternyata bengal! Hore! Hore!” Annisa terkekeh-kekeh sendiri mendengar pujian untuk bapak yang barusan diucapkannya.
“Kalau dulunya aku mahasiswa penurut, tentu nggak akan bisa jatuh cinta dan menikah dengan mendiang ibumu, Nduk.”
“Catatan kecil di kartu pos pak Probo yang saya berikan untuk mbak Nisa itu juga kan termasuk bagian dari rencana, Mbak,” kata Jundan yang turut senang melihat keriangan Annisa –tapi tak sadar sudah keceplosan rahasia. “Bapak yang meminta saya pura-pura lupa melepas sticky notes di kartu pos.”
Tawa pak Probo berhenti. Annisa mandek bergeal-geol. Jundan belum sadar kesalahannya.
“Bapaknya mbak Nisa yakin kalau melihat catatan itu, mbak Nisa pasti akan merengek minta ketemu. Sudah lama bapaknya mbak Nisa pengin ketemu dan merayakan lebaran bareng.” Jundan terdiam. Tak lama kemudian remaja laki-laki itu menyadari kesalahannya. Ia berseru minta ampun pada pak Probo.
Bapaknya Annisa terkekeh-kekeh. Tak mermpemasalahkan kecerobohan anak mbok Darmi barusan. “Bocah kok polos banget kamu, Le!” Memang sejak awal laki-laki itu sudah merencanakan untuk bisa ketemu dengan anak perempuannya pada hari raya Idulfitri tahun ini. Sudah tidak kuat ia tersiksa berlebaran sendiri. Sudah bertahun-tahun bu Prasodjo alias eyang utinya Annisa selalu menghalang-halanginya datang ke rumah.
“Sudah hampir petang. Sekarang kalian pulang,” pungkas pak Probo.
Seorang remaja sepantaran Jundan memarkir kendaraan di halaman depan. Annisa naik ke boncengan belakang motor. Baru sekali itu ia melihat remaja yang barusan datang tapi rasa seperti sudah pernah ketemu – tapi tidak tahu ketemu di mana. Wajahnya agak familiar.
“Assalamu’alaikum, Pak Probo,” serunya. Remaja laki-laki itu terperanjat ketika melihat Annisa. Air mukanya berubah pucat.
“Kamu kenapa, Dimas?” tegur pak Probo. “Ini anak perempuanku – Annisa. Kamu sudah kenal atau belum?”
Dimas mengulurkan tangan dengan gemetaran. Ia memperkenalkan dirinya. Setelah Annisa membalas kenalan itu, Dimas buru-buru berpamitan. “Maafkan saya, Pak Probo. Kedatangan saya pasti menganggu. Saya pamit dulu. Mariii—“
Kerah kaos belakang Dimas ditahan pak Probo. “Jangan mengada-ada kamu. Beritahu aku ada apa – apa maksudmu ke mari.” Lalu katanya pada Jundan dan Annisa, “Kalian pulang sekarang. Hati-hati di jalan, ya.” [dps]
▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
