Surat Annisa Fitri - Bab 13: Membantah #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 13

Eyang Uti sudah puyeng sekali. Annisa bandel sekali. Sekarang ia di rumah karena mendapat skorsing dari ibu guru. Apa Annisa dimasukkan ke pondok pesantren saja, ya? Tapi, nanti kalau Eyang Uti kangen gimana?

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Baru kali ini Annisa tersiksa karena ‘libur’ sekolah. Ia tak berani keluar kamar kecuali untuk sarapan dan makan siang. Ia menghabiskan hari dengan belajar – bila dijenguk mbok Darmi atau mas Jundan yang sudah pulang sekolah. Sejak kemarin malam Eyang Uti lebih banyak diam. Annisa tahu mbok Darmi dan Jundan pasti diminta eyang mengecek keadaannya. Saat pintu kamar sudah ditutup kembali, Annisa menyingkirkan buku pelajaran untuk membaca-baca kartu pos dari bapak. 

Aneh rasanya saat pertama kali ketemu bapak. Annisa pernah mengira ia akan menangis dalam pelukannya. Ternyata ia biasa-biasa saja. Malah bapak yang mendekapnya erat-erat. Sekarang ia ingin sekali pergi ke tempat bapak. Menceritakan masalahnya. Enak rasanya bila punya orang dewasa untuk berkeluh kesah. Orang dewasa yang ada hubungan kekeluargaan – bukan eyang, pakde Budi, om Yudi, atau mas Jundan. Tapi Bapak – ayah kandungnya. 

“Namanya juga masih bocah, Bu.” Terdengar suara berat pakde Budi di ruang makan. Sendok yang mengaduk cangkir kopi terdengar berdenting-denting. Rupanya pakde dokter itu datang berkunjung. Pasti Annisa terlalu larut dalam pikirannya hingga tak mendengar kedatangan pakde. 

“Nakal sedikit bolehlah. Mentang-mentang keturunan priyai lalu harus selalu patuh dan sopan, begitu? Ah, nggak seru.” Kali ini terdengar suara om Yudi terkekeh-kekeh. “Dulu mungkin bisa –bocah SD diminta melulu menurut. Sekarang – oh, jangan harap. Zaman sudah berbeda. Paksaan cuma akan membuatnya semakin menjadi anak pembangkang.”

Lho, om arsiteknya datang juga? Annisa merapikan kartu pos lalu mengembalikan ke tempat semula yang tersembunyi. 

“Memang kalian ini...,” keluh Eyang Uti. “Kalian yang selalu mendukung Ajeng untuk memberontak. Kalian yang mendukung mendiang Ajeng punya hubungan dengan si seniman gembel dan kere itu! Haduuh...!”

“Lho, kita sedang ngobrolin Annisa, kok Eyang pindah topik membahas mendiang dik Ajeng?” protes pakde Budi lembut. 

“Pusing kepalaku,” keluh Eyang Uti. “Dulu mendiang ibunya yang bandel, suka membantah. Sekarang anak perempuannya juga susah sekali diatur!”

“Kalau pusing sebaiknya Eyang istirahat dulu saja,” nasihat pakde Budi. “Makan lebih awal tidak apa-apa. Tidak perlu minum obat. Pikiran Eyang cuman sedikit letih saja, kok.”

“Tentang anak perempuan yang bandel itu nggak usah terlalu dipikirin, Bu” saran om Yudi. “Bocah itu pasti senang bisa libur sehari.”

“Semakin lama semakin puyeng kepalaku. Apa sebaiknya Annisa dimasukkan pondok pesantren saja, ya?” tanya Eyang Uti. “Di sana ia akan diajari tata krama dengan keras, hidup bersama banyak teman yang harus ditemui setiap hari, dan... dan....”

Waduh. Annisa mengkeret di kursinya. Biarpun pendidikan akhlak dan agama di pesantren baik dan juara tiada duanya, ia tidak mau tinggal bersama ribuan anak-anak lain. Makan menggunakan piring yang sama bersama-sama. Tidur di ruangan berisik. Dan hal-hal berbagi lainnya. Annisa bergidik. Ajaran Eyang Uti tentang bersikap sesuai trah priyai memang kadang-kadang ribet dan menjengkelkan, tapi bagi Annisa lebih baik ia kena marah eyangnya karena usil daripada tinggal di asrama. 

“Nanti baru ditinggal sehari Eyang sudah kangen, lho. Lalu ribut-ribut minta Annisa dikeluarkan dari sekolah. lalu, mengajak berantem santri-santri guru di sana.” pakde Budi menggoda Eyang Uti. 

“Jangan pernah mengambil keputusan saat kepala pusing, Eyang. Sabaar, sabaar...,” nasihat Om Yudi. 

“Halah, gayamu, Yud. Si bungsu yang menasihati tentang kesabaran? Kemarin siapa yang hampir membanting maket karena kesal dengan dosen pembimbing?”

Om Yudi tak marah saat diganggu kakak sulungnya. Ia hanya balas tertawa dan membela diri. Setelah cukup ber-haha hihi, baik pakde maupun om berpendapat bahw skors yang diterima Annisa tidak usah dijadikan masalah besar. Lagipula kemarahan Annisa bukan sepenuhnya kesalahan si bocah. 

“Siapa nama anak yang mengganggu Annisa? Dewi – Tiwi – eh, Dwi?” tanya pakde Budi. “Aku tidak ngerti kenapa bisa si Dwi sampai ngomong kasar. Mengolok ibu temannya seperti topeng monyet itu keji sekali.”

“Memang keji...,” keluh Eyang Uti dengan nada bicara seperti manusia paling menderita sedunia. “Mengolok seseorang yang sudah tiada itu bukan perbuatan baik.” Tangis perempuan tua itu semakin keras. “Duuh, Gustii, apa salahku Kau berikan aku cobaan seberat ini?”

“Sudahlah, Bu...,” tegur om Yudi. Bila keadaan menjadi serius anak-anak Eyang Uti akan memanggilnya Ibu. Bila sedang suasana santai dan berkumpul para keponakan dan cucu-cucu eyang yang banyak sekali, mereka akan turut memanggil eyang uti. “Kepedihan di masa lalu jadikan pelajaran untuk kehidupan yang lebih baik di ke depannya.”

“Ngomong memang enak!” ratap Eyang Uti. Isaknya semakin keras. “Ngomong memang gampang! 

“Sudahlah, Bu,” kali pakde Yudi turut mengingatkan. Suaranya berat dan berwibawa sedikit memberi pengaruh. Eyang Uti menyusut ingus. “Ada Annisa. Bocah itu mungkin sedang pura-pura tidur, tapi kita kan tidak tahu kalau ternyata ia mengupiing dari balik pintu, misalnya.”

Annisa terperanjat. Bocah itu merangkak menjauh cepat-cepat. Ia mengira kalau ketahuan – kemudian sadar kalau pintu kamarnya masih tertutup rapat.

“Sudah waktunya Ibu mengalah. Keras hati melarang anak dan orangtuanya bertemu bukan keputusan yang baik, Bu,” lanjut pakde Budi. “Bagaiamana pun Annisa berhak ketemu bapaknya. Bagaimana pun Annisa juga berhak tahu cerita tentang ibu dan bapaknya.”

“Tapi aku... aku....,” Eyang Uti sibuk menghapus air mata yang berlinang-linang. “Karena aku... aku... yang membuat Ajeng-ku meninggal dunia, huaaa... haa... haa....!” tangis eyang tak lagi dapat dibendung. “Seandainya saja aku tak berkeras untuk mendiamkan Ajeng. Seandainya aku mau datang menjenguk. Tapi rumah Probo waktu itu jelek sekali, Bud!” Tangis eyang semakin histeris. “Lantainya saja masih dari tanah. Dindingnya batu bata mentah – bahkan belum berbentuk dinding yang layak. Anakku yang biasa hidup enak, yang biasa makan enak, hangat di malam-malam dingin, terpaksa tinggal di gubuk reyot. Hati seorang ibu mana yang tak hancur melihat kondisi ana perempuanbya yang dikawin seorang seniman kere – miskin – gembel – kayak wedhus!”

“Keadaan mas Probo sekarang sudah jauh lebih baik,” kata pakde Budi. “Setiap manusia pasti berproses. Dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Orang yang merugi adalah yang masa depannya jauh lebih buruk ketimbang hari ini atau kemarin.”

“Mas Probo tergolong orang yang beruntung...,” kata om Yudi berbisik –suaranya hampir-hampir tak terdengar dari balik pintu. Annisa bisa membayangkan omnya pasti bicara sambil memelorotkan duduknya, bersembunyi dari amukan Eyang Uti dengan wajah yang tetap dipasang jahil. 

“Seandainya waktu itu Ajeng ketemu Probo saat kondisi laki-laki itu sudah sukses!” raung Eyang Uti. “Seandainya aku mau sedikit mengalah waktu itu, huhuhu. Setiap melihat wajah manis Annisa aku selalu teringat pada wajah mendiang ibunya. Bocah bandel itu mirip sekali dengaan Tari – bahkan sampai sifat-sifat membangkangnya.”

Terdengar meja tergeser – sepertinya tersenggol. Pakde Budi menenangkan ibunya. Sebagai sulung, pak dokter selalu turun tangan ketika ibunya yang tersayang larut dalam kesedihan. 

“Aku kangen Ajeng. Aku kangen Ajeng. Apakah Tuhan sudah memaafkan kesalahanku, Bud? Maafkan aku, Tuhan....,” isak Eyang Uti tersedan-sedan. 

“Tak ada gunanya berlama-lama memendam kesedihan, Bu,” kata pakde Budi lembut dan menenangkan. “Sudah saatnya Ibu memberi kesempatan mas Probo hadir menemui Annisa – lebaran depan mungkin?”

Annisa menunggu jawaban dari balik pintu. Ia ingin sekali bapak bisa datang saat lebaran nanti. Setelah itu mereka ziarah ke makam ibu. Lalu Annisa menghabiskan waktu berkumpul bersama keluarga besar sembari duduk dekat-dekat bapak. Menggelendot di lengan bapak. Makan di sebelah bapak. Dibetulkan rambutnya yang keluar dari kerudung oleh bapak. Mengobrol rahasia bersama bapak. Mendengarkan cerita tentang ibu dari bapak. 

Tak terasa air mata Annisa jatuh berlinang-linang. Tidak tahu mulai kapan, tapi di tiga atau empat lebaran terakhir ia selalu merasa kesepian. Keluarga besar selalu berkumpul di rumah Eyang Uti. Keponakan dan saudara yang lain datang bersama bapak dan ibu mereka. Meski tak kekurangan kasih sayang, Annisa tetap merasa seperti ada yang kurang.

Ia ingin sekali merasakan bisa berlebaran bersama bapak – dan mendengarkan cerita tentang ibu – tahun ini. 

Annisa buru-buru menghapus air matanya. Ia membereskan tumpukan kartu pos ke dalam kotak. Sementara itu di luar om Yudi meminta mbok Darmi membereskan tempat tidur eyang. Meski tak untuk tidur, om Yudi dan pakde Budi memaksa eyang untuk istirahat.

“Rebahan di sofa saja tidak apa-apa, kok...,” eyel Eyang Uti. Permintaan eyang tidak disetujui. Seorang ibu dan juga nenek yang sudah sepuh harus benar-benar beristirahat. Baik fisik dan juga pikirannya. Pakde Budi meminta mbok Darmi membuatkan segelas teh panas. 

Annisa membuka jendela kamar. Barusan ia mendengar seseorang meletakkan gembor air di taman belakang – yang langsung berhadapan dengan jendela kamar si bocah. “Psst! Psstt!” bisiknya memanggil Jundan.

Remaja berkulit gelap anak mbok Darmi menoleh. 

“Besok antar aku ke tempat Bapak!” bisik Annisa setengah memerintah. Ia mengulangi permintaannya saat Jundan memasang tampak tidak mengerti. “Antar aku, Mas Jundan!”

“Tapi, Mbak....”

“Kalau tidak mau tidak apa-apa dink. Aku akan berangkat sendiri!” ancamnya. 

“Duh, jangan, Mbak. Kalau terjadi apa-apa dengan mbak Nisa di tengah jalan – nanti saya yang kena omel. Tapi.... kalau saya mengantar mbak Nisa dan ketahuan Eyang Uti, saya juga bakal kena omel. Aduh, bagaimana, ya?”

“Besok kan mas Jundan ngantar aku latihan menari. Kita datang telat saja!”

“Waduuh, tidak telat saja saya malas berurusan dengan mbak Lastri – eh, maksud saya... duh. Jangan ta, Mbak Nis. Jangan berbuat aneh-aneh dan nakal lagi.”

Annisa berpura-pura hendak menutup jendela kamar. 

“Y-ya, Mbak!” tahan Jundan. “Iya, besok saya antar mbak Nisa ketemu Bapak. Sebentar saja tapi, ya?”

“Ya! Begitu, dong!” jawab Annisa. Jendela kamar ditutup – lalu dibuka lagi. “Kamu telepon siapa, Mas Jundan? Bapak, ya?”

Jundan gelagapan hendak menyembunyikan ponselnya tapi tidak jadi. Remaja laki-laki itu cengengesan. “Gebetan – ehh, tapi mbak Nisa nggak boleh pacaran lho, ya!”

“Ooh, jadi tadi nggak mau ngantar karena sudah kadung punya janji sama gebetan, ya!? Cantik, nggak?”

Jundan mengacungkan jempol. “Iya, Pak. Sebentar, Pak...,” katanya menjawab sapaan di telepon. Annisa mengernyitkan kening curiga. 

“Bapaknya gebetan mas Jundan yang nerima. Baru mau dipanggilin gebetannya mas Jundan.”

Annisa masih belum puas dengan jawaban anak mbok Darmi. Tapi ia tak peduli lagi. Malas mengurusi orang pacaran – yang penting besok ia ketemu bapak!

Jendela kamar kembali ditutup. Jundan mencari tempat yang lebih aman untuk menelepon. [dps]
 


▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Annisa Fitri - Bab 14: Mengintai #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 14↴Mbak Lastri, guru menari Annisa, bertemu dengan Pak Probo – bapaknya Annisa. Ternyata ada udang di balik batu. Annisa dan Jundan mengintai keduanya dari tempat yang aman. Oh, ternyata....Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan