
TENTANG BAB 12↴
Dwi menangis karena perkataan Eyang Uti yang menusuk hati. Dimas, kakaknya, juga turut marah karena tidak terima. Mereka halus membalas perkataan nyelekit Eyang Uti. Tapi, bagaimana caranya, ya?
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Surat Annisa Fitri' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Ada yang percakapan menjengkelkan yang tak sengaja didengar Dwi beberapa hari lalu. Sampai-sampai ia merasa perlu untuk mengganggu Annisa. Seharusnya ia tak mencuri dengar tapi dua orang dewasa itu menyebut-nyebut nama Annisa – dan namanya. Eh... tapi sebenarnya Dwi tidak menguping dink, tapi sedang mengerjakan tugas yang diberikan padanya. Mbak Lastri dan Ibu Wali Kelas saja yang tidak cakap memilih tempat bercakap-cakap.
Ekstrakuliker menari yang diadakan setiap hari Sabtu baru saja selesai. Mbak Lastri meminta bantuan Dwi melipat kipas kertas. “Kumpulkan jadi satu, lalu simpan di lemari pojok ruangan ya, Dwi,” pintanya.
Dwi melesat berangkat mengerjakan tugas. Selain karena menyukai pelajaran tambahan menari, bocah itu berharap mbak Lastri memerhatikan ketekunannya bekerja. Lalu, hatinya tergerak untuk memilih Dwi menari tunggal di acara pentas seni perpisahan murid-murid kelas 6.
Sejak kelas 2 Dwi selalu memilih menari sebagai kegiatan ekstra. Tapi tak sekalipn ia terpilih untuk pentas menari tunggal. Selalu saja Annisa, Annisa, Annisa, dan terus Annisa yang terpilih menari sendirian. Kalau pun harus beramai-ramai, pasti kawan sekelasnya yang menjadi tokoh utama. Dengan hati menggondok, Dwi bertanya dalam hati; memangnya gerakan tubuhnya kaku sekali, ya, sampai-sampai tidak pantas dipamerkan di setiap acara pentas seni?
Ternyata bukan itu jawabannya!
“Pilihan saya tetap jatuh pada Annisa, Bu,” kata mbak Lastri. “Ide tentang tarian Kupu-Kupu bagus sekali. Saya membayangkan Annisa menari menjadi Kupu-Kupu cantik dengan keelokan khas Jawa – tari selendang warna-warni. Aduh, cantiknya. Lalu... lalu... mahkotan keemasan dengan hiasan antena kupu-kupu yang mentul-mentul. Saya sudah bisa membayangkan bagaimana kostumnya –“
Pelan-pelan Dwi bergeser mendekat. Tubuhnya yang ceking sedikit terlindung tumpukan kursi lipat merah. Ia melipat kipas kertas lambat-lambat.
“Setiap tahun kita selalu menampilkan Annisa di pentas tunggal. Saya pikir sudah saatnya memberi kesempatan pada murid lain, Mbak Lastri,” tanggap Ibu Wali Kelas. “Lagipula Annisa tidak mengikuti pelajaran ekstra menari di sekolah.”
“Annisa bergabung di kelas menari privat – maksud saya kelas menari di nDalem Tedjokusuma, Bu. Anak itu rajin sekali berlatih. Gerakannya luwes. Ketukannya tepat. Murid paling penuh perhatian dan patuh,” jelas Mbak Lastri.
Ternyata Annisa les privat di rumah mbak Lastri! Batin Dwi geram. Itu yang membuat kawan sekelasnya selalu terpilih menari tunggal.
Dwi belum bisa mencerna dengan baik, siapakah yang berbuat curang; mbak Lastri yang memilih murid yang tak bergabung kelas ekstra di sekolah atau Annisa yang belajar menari di luar jam sekolah.
“Saya akui Annisa memang menari dengan bagus sekali. Bisa jadi karena ia tekun berlatih privat di tempat mbak Lastri –“
“Tidak privat, Bu. Masih bersama murid-murid menari yang lain,” ralat mbak Lastri cepat-cepat.
“Atau memang karena bakat – mendiang ibunya seorang penari yang bagus, bukan?” Ibu Wali Kelas seperti mendapat ide bagus. “Bagaimana dengan Dwi? Bocah itu tekun sekali berlatih menari. Gerakannya tak kalah luwes. Kita bisa berikan kesempatan tahun ini untuknya. Tahun depan bocah itu sudah duduk kelas 6, tak bisa lagi mengisi acara pentas seni.”
“Tidak, Bu,” tolak mbak Lastri serta-merta. “Dwi anaknya payah sekali menghafal gerakan. Kadang ia menabrak teman di sebelahnya saat menari bersama.”
“Saya lihat latihan hari ini ia bagus sekali.”
“Kebetulan saja,” sergah mbak Lastri. “Saya punya rencana – tahun ini kita tampilkan Annisa untuk menari utama. Bapaknya – pak Probo – seorang seniman terkenal. Saya tahu sekali kualitas pak Probo. Saat anaknya pentas, tentu ia akan mengundang seniman-seniman pertunjukan hebat lainnya. Ibu bisa bayangkan pentas seni sekolah kita akan dihadiri orang-orang macam Butet Kertradjasa, Djaduk Ferianto, dan... dan....”
Ibu Wali Kelas menggeleng. “Bukan itu tujuan pentas seni sekolah ini, Mbak. Tapi –“
Dwi beringsut mundur. Setelah menyimpan kipas kertas bocah itu bergegas pulang. Samar ia mendengar seruan tertahan dari mbak Lastri. Barangkali guru menari itu baru sadar murid yang baru saja dijelek-jelekkannya masih berada di ruang yang sama.
“Enak betul jadi Annisa,” batin Dwi geram. Wajahnya merengut sampai kecut. “Mentang-mentang keluarganya kaya, berangkat dan pulang sekolah naik mobil, bapaknya seniman terkenal, tidak mau ikut ekstra di sekolah tapi ikut les privat di tempat mbak Lastri supaya bisa terpilih terus. Jahat. Perbuatan Annisa benar-benar jahat. Kalau memang bocah itu terpilih lagi – tidak apa-apa. Tapi aku harus melampiaskan rasa kesalku supaya ia tahu bahwa tingkah lakunya bukan perbuatan baik!”
Keesokan harinya Dwi menjalankan rencana jahat yang ia susun sepanjang perjalanan pulang. Mulanya ia menyembunyikan celana panjang olahraga milik Annisa. Kesempatan itu datang ketika Martina diminta mengumpulkan buku tugas ke ruang guru. Bocah perempuan itu mengajak kawan sebangkunya. Kelas ramai karena perpindahan jam pelajaran – ibu guru berikutnya agak terlambat datang. Murid-murid yang lain berjalan-jalan dan duduk di bangku kawan yang lain untuk mengobrol.
Dwi menyahut celana panjang merah ketika melewati bangku Annisa. Ia menutupinya menggunakan jaket tipisnya sendiri lalu pergi keluar. Bocah perempuan itu hampir saja telat masuk kelas. Napasnya masih ngos-ngosan. Setelah membuang celana tersebut, ia berlari kembali cepat-cpat dari gudang penyimpanan alat olahraga.
Lucu sekali rasanya melihat Annisa kerepotan bermain kasti dengan mengenakan rok seragam sekolah. Tapi, Dwi tahu ia tak boleh ketawa keras-keras bila tak ingin ketahuan.
Kesempatan kedua datang dengan mudah. Buku PR Matematika milik Annisa disembunyikannya di salah satu laci meja murid kelas rendah. Meski kelas sedang kosong karena murid-muridnya sedang belajar di lab, Dwi tetap harus berjalan keluar cepat-cepat.
Gangguan terakhir adalah menceburkan buku gambar teman sekelas yang menjengkelkan itu ke dalam ember berisi penuh air. Akibatnya Annisa menjambak rambutnya kuat-kuat. Hampir saja ia menangis – tapi rasa ingin membalas perbuatan mengagetkan itu lebih kuat. Dwi balas menendang tulang kering kaki kawannya. Mereka berkelahi sampai akhirnya dipisahkan Ibu Wali Kelas.
Dwi mengira permasalah berhenti saat Ibu Wali Kelas memberikan skors. Tapi perkataan eyangnya Annisa membuatnya sakit hati.
Dimas terkejut melihat adik perempuannya terisak-isak menahan tangis di dapur. Ibu sedang rewang1 di rumah tetangga – biasanya baru selesai sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Kakak laki-laki itu mendengarkan cerita adiknya yang diselingi isakan tangis dengan diam.
“Dasar bayi,” omelnya. “Apa gunanya mengganggu teman sekelas hanya gara-gara iri? Dapat untung apa kamu? Kemampuan menarimu meningkat pesat? Mbak Lastri tukang cari muka memilihmu menjadi penari tunggal?”
“Jangan bilang mbak Lastri tukang cari muka,” kata Dwi tak enak. Meski jengkel masih bersemayam di hatinya, mau tak mau ia masih mengagumi sosok ayu nan luwes guru menarinya tersebut. “Kamu juga sering berkelahi – sebelum bertobat. Kenapa aku tidak boleh? Anggap saja aku masih khilaf –belum bertobat sepertimu.”
“Halah,” tanggap Dimas.
“Aku dapat skors! Satu hari tidak masuk sekolah!”
Dimas malah tertawa. “Ibu sudah kenyang dengan skorsku waktu masih sekolah. Sekarang mungkin malah sudah kebal.”
“Aku –“ Dwi masih berusaha mencoba menjelaskan betapa ia merasa menderita.
“Dasar bayi. Sumber masalah orang dewasa dengan anak kecil sepertimu berbeda sekali. Orang dewasa urusannya masalah besar. Berkelahinya jotos-jotosan – dan bukan menyembunyikan celana olahraga atau buku PR matematika,” ejek kakaknya.
“Halah –“ belum sempat Dwi menyelesaikan pembelaan dirinya, Dimas segera memotong.
“Lagipula kami tidak menangis. Menang atau kalah diterima dengan lapang dan ksatria.” Dimas memerhatikan perubahan air muka adik semata wayangnya. “Eh, eh, kenapa mukamu jadi redup begitu? Lho, menangis lagi!”
Terbata-bata Dwi menceritakan perbuatan Eyang Uti – neneknya Annisa – yang membuatnya berlinang-linang air mata. Sakit hati anak perempuan itu masih terasa jelas ketika ia menyebutkan perkataan keji nenek tua tersebut. Nenek tua yang menyebut dirinya priyai – perempuan bermartabat tapi tak bisa mengendalikan perkataan dan dirinya sendiri.
“Aku sedih, Mas. Aku marah sekali.” Dwi menyusut ingus. Ia mengelap air mata menggunakan lengan kaos.
Dimas menggeretakkan gigi. Ia teringat ajaran ibu – kita memang orang miskin, tapi jangan sampai dipermainkan orang kaya. Berjuanglah mencari uang sendiri, meski keringat dan air mata sampai bercucuran. Keadaan itu jauh lebih baik ketimbang hanya menyerah dikendalikan orang berduit. Bersikap mandiri membuat kita berani melawan ketika disepelekan dan bahkan ditindas. Tak ada hutang budi, lalu apa yang ditakuti?
“Tapi hati yang lemah lembut dan pemaaf jauh lebih baik, Dimas,” nasihat Ibu ditutup dengan elusan di puncak kepala anak laki-laki sulung tersebut.
Dimas turut sakit hati mendengar cemoohan Eyang Uti. Tangannya terkepal. Kalau mau, bisa saja ia memanggil teman-temannya untuk mencegat mobil perempuan tua itu. Dirusak sedikit bagian kaca depan atau bemper sudah cukup memberi pelajaran. Tapi nasihat Ibu – juga pak Probo, “Tak ada kebaikan macam apa pun yang bisa diselesaikan dengan kekerasan” – memaksanya untuk menahan diri.
“Balas, Mas...,” rengek Dwi.
Dimas menggertakkan gigi sekali lagi. “Aku nggak mau – nggak mau ikut-ikutan urusan bayi.”
Dwi mengatupkan bibir cepat dan memukul lengan kakaknya. “Kamu tega kita dibilang buruk kayak begitu?”
“Aku nggak tega. Tapi omongan buruk itu nggak akan pernah benar kalau kita nggak melakukan hal seperti yang orang dengki itu bicarakan.”
Dwi cemberut. “Nggak ngerti.”
“Aku sudah berjanji mau puasa full tahun ini.”
“Kan, belum masuk bulan Ramadan,” sergah adik perempuannya cepat.
“Full puasa itu artinya nggak makan, nggak minum, nggak udut, ibadah – dan juga nggak berantem. Intinya nggak cari masalah. Biar lebaranku komplet.”
“Lebarannya kan masih beberapa bulan lagi.”
“Mending aku kerja keras, ngumpulin duit buat Ibu. Beliin Ibu dan kamu mukena dan baju baru. Aku jadi mengingkari perkataan sendiri. Yaah, Idulfitri nggak identik sama barang-barang baru – tapi sekali-sekali tampil necis sedikit pas hari raya kan ya nggak dosa.”
Tangis Dwi meledak. Hatinya sedih sekali. Perkataan yang menyakitkan itu terus mengiang di ingatan. Sekaligus menyakiti hatinya yang masih bocah. Mendengar perkataan kakak laki-lakinya, perasaan si bungsu semakin tersayat-sayat. Ia selalu sedih setiap hari raya tiba. Ibu yang selalu tersenyum, kakak laki-laki yang berwajah sangar tapi poninya alay – model polem, hih, dan tidak ada bapak.
Setiap sungkem minta maaf pada Ibu, Dwi hampir selalu terisak. Ia kangen bapak, kasihan pada Ibu. Ibu yang hidup sendiri – mengurus dua anaknya; yang satu bandel, yang satu tak bisa diharapkan – terpilih pentas menari tunggal saja tidak bisa.
“Aku ingin cucu orang kaya itu juga ngerasain nggak enaknya jadi orang miskin. Aku ingin dia ngerasain rasanya sakit hati diolok keji kayak aku kemarin.” Dwi bicara tersendat-sendat.
Pertahanan Dimas goyah. Setengah hatinya ingin melabrak simbah-simbah bermulut tajam. Memang adiknya salah, karena terlalu menuruti emosi sakit hati, tapi orang tua yang mengatai-ngatai bocah kelas 5 SD juga bukan perbuatan terpuji.
Setengah hati Dimas yang lain terasa berat. Ia telah berjanji pada pak Probo, berjanji pada diri sendiri. Seumpama janjinya terpenuhi – tak lagi membuat onar dan puasa full – tentu hati Ibu akan bangga.
“Aku... pikir... ulang terlebih... dulu,” kata Dimas tertahan-tahan. “Biasa, sebagai orang dewasa aku nggak bisa gegabah, kan?”
“Mas mau bantu aku, kan?” tanya Dwi masih dengan terisak-isak.
“Aku pikirkan dulu. Aku sudah dewasa, nggak boleh gegabah.”
Dwi tahu perkataan kakaknya tentang orang dewasa hanya untuk gaya-gayaan. Tapi ia mengangguk. Apa pun alasan Dimas, kakaknya harus membantunya membalaskan sakit hati. Hinaan yang pernah dilontarkan Eyang Uti harus mendapat balasan. [dps]
_____________
1 Membantu di rumah tetangga yang hendak mengadakan hajatan
▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
