Surat Annisa Fitri - Bab 11: Mulut Tajam #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 11

Eyang Uti datan lagi ke sekolah untuk menghadap Ibu Wali Kelas. Annisa dan Dwi masih juga belum berbaikan. Malahan, Eyang Uti ikut marah besar. Waduh, semakin gawat....

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Eyang Uti datang tergopoh-gopoh menuju ruang guru. Cucunya yang ditunggu-tunggu selepas jam pulang sekolah tak juga muncul. Perempuan sepuh itu mengelap keringat yang mengalir di kening. 

“Paling Mbak Nisa bikin masalah lagi, Bu,” kata pak Supir nyengir. Lalu, segera kembali berwajah datar dan berlaku sopan. Barusan bapak tersebut keceplosan. Jundan sering mengobrolkan tentang bandelnya cucu majikan mereka. Cerita-cerita lucu tersebut tak boleh sampai terdengar Eyang Uti. 

“Ya begitu itu kalau mendiang ibunya suka ngeyel dan bapaknya seniman! Sukanya melanggar aturan!” geram Eyang Uti.

Saat ditemui Annisa duduk menunduk. Seorang murid yang sepertinya sebaya duduk di sebelah. Kedua mata bocah tersebut basah oleh air mata. Rambut mereka juga sama-sama kusut. Dan – aduh itu... kenapa lengan keduanya baret-baret merah? Kenapa tak segera diobati setidaknya betadine!?

“Ada apa ini, Bu?” tanya Eyang Uti menghenyakkan tubuh di sofa. Air muka Ibu Wali Kelas serius sekali. Beliau menjelaskan permasalahan yang dialami kedua murid. 

“Dwi menggangguku, Eyang!” jerit Annisa. “Celana olahraga, buku PR, tugas menggambar –“

“Pengadu!” balas Dwi tak kalah keras. Ia mengejek kawannya dengan pura-pura mengadu dengan gaya menjengkelkan. “Aku diganggu temanku, Eyang. Aku mau es krim, Eyang. Aku mau dijemput pulang sekolah, Eyang.”

Eyang Uti menatap tajam Dwi. Bocah kerempeng berkulit cokelat karena terlalu sering kena panas itu tak punya tata krama sekali! Tak bisa dibayangkan seperti apa didikan orangtua bocah itu di rumah! 

Kalimat-kalimat tajam hendak meluncur dari mulut Eyang Uti – tapi masih bisa ditahan. Ibu Wali Kelas menjelaskan bahwa perbuatan keduanya benar-benar keterlaluan. Dwi sudah mengakui kesalahannya. Ia beralasan hanya membalas kenakalan Annisa yang menjepret punggung menggunakan peluru kertas – yang langsung dibantah si tertuduh. 

Perbuatan Annisa pun tak bisa dibenarkan. Ia main hakim sendiri – pun tindakannya menjambak rambut lalu berkelahi juga tak bisa dimaklumi. Ibu Wali Kelas berhasil memaksa keduanya minta maaf – meski tetap saja bertengkar adu mulut saling ejek setelahnya tetap tak bisa dihindari.

“Keberanian mengakui kesalahan, keikhlasan hati untuk minta maaf harus diajarkan sejak dini. Bila awalnya masih harus dipaksa terlebih dulu – tidak apa-apa. Terpenting adalah anak-anak memiliki pemahaman bahwa mereka tak boleh bertindak salah, namun bila telanjur melakukan perbuatan tak terpuji, harus berani bertanggung jawab dan minta maaf,” jelas Ibu Wali Kelas. 

Akibat dari perkelahian hari ini, baik Annisa dan Dwi ‘diliburkan’ sehari.

Mulut Eyang Uti membulat sebenar-benarnya bulat. Annisa sering membercandaai eyangnya kalau sedang kaget; mirip ikan mas koki. Tapi tidak untuk siang itu. Anak bandel itu hanya menunduk. 

Skorsing! Diskors! Baru kelas lima SD sudah pernah mendapat hukuman dari sekolah!” Eyang Uti sekarang ganti menatap cucunya. “Mau jadi apa kamu, Nduk! Masih kecil sudah memiliki bibit biang onar! Ajaran Eyang tentang bagaimana bersikap bermartabat sebagai seorang priyai tak pernah kamu dengar, ya? Bu Guru, lebih baik mereka diskors selama seminggu penuh saja!”

“Jangan, Eyang!” pekik Annisa ketakutan. Apa jadinya bila ia harus mendekam di rumah? Tak sekolah dan harus menemani kegiatan eyangnya ke mana-mana – bertemu dengan eyang-eyang funky lainnya. Hiiii.... Bocah kelas lima itu bergidik. Lebih baik berkelahi dengan Dwi di sekolah ketimbang harus bosan mendengarkan obrolan aneh para eyang. 

“Annisa berjanji nggak akan nakal lagi! Toh, semua tugas dan PR selalu Nisa kerjakan. Nilai-nilai Nisa juga bagus-bagus, kan? Itu tandanya Nisa selalu memerhatikan penjelasan guru di kelas. Belajar di rumah dengan tekun –“

“Halah,” cibir Dwi. “Begitu saja panik.”

Ibu Wali Kelas melihat potensi pertengkaran untuk ke sekian kalinya. Bisa jadi Eyang Uti pun akan turut terlibat. Agar tak semakin runyam, Ibu Wali Kelas segera mengambil kendali. Ia berkata dengan tegas bahwa skors tetap diberlakukan pada dua murid. Hanya sehari.

Setelah semua selesai, Eyang Uti menyeret cucunya keluar ruangan. Beliau masih belum paham mengapa cucunya yang satu ini berbeda dengan om-om, pakde-pakde, tante-tante dan para keponakan yag lain; yang berprestasi dan menurut. Sementara Annisa; berprestasi dan bengal. 

Langkah Eyang Uti terhenti ketika mendengar cerita Annisa, tentang bagaimana Dwi mengolok-olok Ibu. Gandengan tangan eyang sampai gemetar. “Bocah itu menyebut ibumu sampai seperti itu, Nduk Cah Ayu?”

Annisa mengangguk. Ia membenci Dwi tapi masih mau memaafkan dan melupakan gangguan temannya seperti ning, nang, ning, gung beberapa waktu yang lalu. Om Yudi pernah mengarjakan; sebaiknya Annisa selalu mau tulus memaafkan dan tak menyimpan dendam. “Dendam itu seperti membawa kerikil di dalam hatimu, Nis. Pertamanya kecil saja, lalu ditambah dengan kebencian, dengki, iri hati dan dendam-dendam berikutnya. Kerikil itu membesar dan semakin berat. Dari hati, batu bernama dendam itu kemudian menggerogoti otak – pikiran dan akal sehat. Itu kenapa, orang pendendam sering gelap mata.”

“Apa itu gelap mata?” tanya Annisa tak mengerti waktu itu.

“Seperti para penari jatilan saat kesurupan1,” jawab om Yudi. “Melakukan tindakan buruk karena digerakkan kemarahan di dalam dirinya.”

Tapi untuk kali ini, untuk ejekan Dwi tentang ibunya, Annisa tak bisa diam begitu saja! Ia tak mungkin memaafkan kesalahan Dwi begitu saja! Ia tak pernah ketemu ibunya, hanya bisa melihat dari foto. Ibunya yang ayu dan berlesung pipi saat tertawa – diolok seperti ledek munyuk!

Mengingat perkataan buruk Dwi, hati Annisa kembali panas oleh amarah.

Reaksi Eyang Uti hampir sama seperti reaksi Annisa. Kemarahan melesat cepat daan menguasai hampir seluruh emosinya. Eyang Uti berbalik menuju ruang guru yang hampir kosong. Dwi masih tinggal di sana. Ibu Wali Kelas berbicara padanya dengan nada dan volume pelan – yang langsung mendongak begitu melihat kedatangan Eyang Uti. 

Wajah bundar Eyang Uti merah sekali. Beliau menarik kursi dan duduk di sebelah Dwi. Bibirnya didekatkan di telinga bocah nakal yang berkata jahat tentang anak perempuannya – ibunya Annisa. Eyang Uti bicara dengan volume rendah – namun dari perkataannya bisa diketahui dengan jelas betapa marah dan emosinya perempuan sepuh tersebut. 

“Anak jahat! Tak punya tata krama! Mulutmu tak pernah disekolahkan? Ibumu tak pernah mengajarimu kebaikan? Didikan macam apa yang diajarkan bapak dan ibumu sampai punya anak liar sepertimu, ha!” Bibir merah terang oleh gincu mahal Eyang Uti semakin mengerucut.

Tubuh Dwi semakin mengerut. Bagian dalam kedua alisnya naik ke atas. Bocah itu ketakutan menghadapi kemarahan orang dewasa di sampingnya. 

“Aku tak heran seumpama ibumu membencimu.” Eyang Uti merepet tak bisa dihentikan. “Anak nakal! Pasti kau tak pernah membantu pekerjaan ibumu. Ibumu yang susah payah bekerja, berkeringat, membiayai sekolahmu, demi masa depan cerah, malah kau balas dengan perbuatan keji – tak tahu terima kasih! Sebelum melakukan kenakalan berikutnya, cobalah bayangkan betapa letih bapak dan ibumu bekerja, Nak. Mereka ingin anak mereka berhasil, sukses, dan berhati mulia. Bukannya berhati iri, dengki, dan bergajulan seperti ini!”

“Ibu Prasodjo –“ tegur Bu Guru Wali Kelas kaget. Sementara itu Annisa tak berani masuk ruang guru. Ia berdiri menunggu takut-takut di pintu masuk. 

“Aku tak menyesal cucuku telah menempelengmu keras-keras! Perkataanmu yang seperti tak tahu budi pekerja memang patut ditampar kuat-kuat!”

“Cukup, Ibu Prasodjo!” tegur Ibu Wali Kelas keras. Beberapa guru yang masih tinggal segera diberi kode untuk biasa saja – ia bisa menyelesaikan masalah ini. “Perkataan Ibu Prasodjo benar tapi tak tepat! Ngono ya ngono, ning aja ngono –begitu ya begitu tapi jangan begitu. Menegur dan mengingatkan jangan berlebihan. Secukupnya!” 

Eyang Uti menegakkan tubuh. Napasnya ngos-ngosan. Kemarahan benar-benar membuat pikiran warasnya lenyap. 

Kedua mata Dwi merah tapi bocah itu sama sekali tak mengisak. Ibu Wali Kelas mencengkeram lembut kedua bahu bocah kerempeng yang sedang terguncang tersebut. 

Perlahan eyang merasa malu sendiri – sebagai seorang priyai yang santun tak seharusnya ia menggertak dan menakut-nakuti bocah sekecil Dwi. Sebandel-bandelnya anak ini, ia masih tetaplah bocah!

“Perbuatan Ibu Prasodjo selain tak baik untuk Dwi, juga akan menjadi contoh buruk bagi Annisa. Mohon kendalikan diri! Sekolah adalah tempat untuk mendidik anak-anak berprestasi secara akademis dan juga memiliki watak yang baik dan tanggung jawab.”

“Ma... maafkan aku, Nak.” Pelukan Eyang Uti segera ditepis Dwi. Bocah itu menjauh dengan wajah ketakutan. Kedua matanya berkaca-kaca namun tak ada cucuran air mata. Tak terdengar lirih isak tangis. Anak yang tabah meski perkataan orang dewasa di hadapannya benar-benar telah melukai hatinya. 

Ibu Wali Kelas segera meminta Eyang Uti pulang untuk menenangkan diri. Juga untuk menenangkan Annisa. Eyang Uti minta maaf berkali-kali –bahkan meminta pak Sopir mengantar kue cokelat yang besar untuk Bu Guru Wali Kelas sebagai permintaan maaf yang benar-benar. Eyang Uti malu karena tak bisa menguasai diri. 

Sepanjang perjalanan pulang Eyang Uti terus mengisak. Tisu mobil dihabiskannya sendiri untuk menghapus air mata. “Mengingat mendiang ibumu selalu membuat hatiku sedih.” 

Annisa ingin bertanya ada apa, tapi ia takut. Bocah itu diam sepanjang perjalanan. [dps]

_______
1 Para penari jatilan biasanya mulai kesurupan setelah mengenakan kacamata hitam. Kesurupan itu bisa terjadi sungguhan, bisa hanya pura-pura semata-semata demi hiburan sebuah pertunjukan kesenian tradisional
 


▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Annisa Fitri - Bab 12: Sakit Hati #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 12↴Dwi menangis karena perkataan Eyang Uti yang menusuk hati. Dimas, kakaknya, juga turut marah karena tidak terima. Mereka halus membalas perkataan nyelekit Eyang Uti. Tapi, bagaimana caranya, ya?Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan