Surat Annisa Fitri - Bab 10: Jambak! #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 10

Annisa dan Dwi berkelahi! Jambak – jambak – jambak! Auch!

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Annisa minta izin pergi ke toilet. Martina heran karena sebentar lagi bel pulang sekolah berbunyi. Kenapa tidak menunggu sebentar lagi saja? Keheranan Martina berubah jadi cemas ketika melihat salah satu kawan sekelasnya yang lain turut keluar tak lama berselang. 

Rambut panjang Annisa sudah diikat ekor kuda. Ia bersembunyi di balik lorong di bawah tangga. Matanya awas memerhatikan murid-murid yang kebetulan lewat – meski tak banyak. Saat pamit tadi tanganya meletakkan kertas yang sudah dilipat-lpat kecil ke meja Dwi. Ia mengajak ketemuan temannya di kantin sekolah – untuk membicarakan hal penting. 

Nah, itu dia. 

Annisa menunggu dengan berdebar. Dwi berjalan semakin mendekat. Sesekali kepalanya celingukan – antara memerhatikan keadaan sekeliling apakah ada guru atau tidak dan mencari Annisa. 

Semakin dekat. Kawannya berjalan semakin dekat. Annisa bersiap-siap. Begitu si bocah menjengkelkan itu hendak membelok menuju kantin, tangan Annisa menyahut cepat-cepat –

Jambak!

Dwi memekik kesakitan. Annisa menarik rambut hingga kawannya hampir saja jatuh terpelanting. Sekarang gantian Annisa yang menjerit kesakitan. Rambutnya balas dijambak.

Jambak – jambak – jambak! Aduh sakit!

Lengan Annisa tiba-tiba terasa pedih. Rupanya ia dicakar Dwi – yang segera ganti balas dicakar. Perkelahian itu penuh aksi jambak, tendang, dan cakar. Napas keduanya ngos-ngosan ketika ibu guru datang melerai.

Murid-murid dari kelas melongokkan kepala melalui jendela. Mereka ingin tahu suara ribut-ribut apa yang mereka dengar di tengah-tengah pelajaran. 

“Nisa yang mulai lebih dulu, Bu!” teriak Dwi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca dan berwarna merah. Tapi tak ada satu pun air mata yang jatuh bergulir di pipinya. Napasnya naik turun – anak perempuan itu agak kesulitan mengendalikan emosinya. “Saya dijambak! Saya dicakar! Saya ditendang!” 

Bocah itu menunjukkan rambutnya yang kusut, lengannya yang merah-merah. 

Annisa tidak terima. Emosinya jauh lebih meledak-ledak. “Celana olahraga saya disembunyikan di gudang peralatan olahraga, Bu! Buku PR Matematika dibuang di salah satu laci meja murid kelas 4! Buku gambar saya dicemplungin ember pel!” Annisa menarik tangan Dwi – terlihat samar bekas cat air. 

“Lihat kan, Bu! Ini bukti!” teriak Annisa. Ibu Wali Kelas 5B segera mengambil alih kendali. Murid-murid yang penasaran diminta kembali tekun dengan pelajaran mereka yang tinggal beberapa menit lagi selesai. 

“Ada apa ini, Nisa, Dwi?” tanya Bu Wali Kelas. Suaranya terdengar tegas. 

Annisa dan Dwi berseru berbarengan. 

“Dwi mengusili saya, Bu! Barang-barang saya disembunyikan! Tugas menggambar saya dirusak!”

“Annisa menjambak saya duluan, Bu! Saya ditendang! Saya juga dicakar!” air mata Dwi merebak lagi. “Saya tidak tahu apa-apa! Saya tidak bersalah!”

Annisa mengeluarkan kertas ujian harian milik Dwi yang ditemukan anak kelas 4. Ia melemparkan buntalan kertas itu tepat di muka temannya! “Ini buktinya! Kertas ulanganmu ketinggalan! Di laci meja tempat kamu menyembunyikan buku PR matematikaku!” 

“Bagaimana kertas ulangan harianmu ada di meja laci murid kelas 4, Dwi?” tanya Ibu Wali Kelas. 

Dwi mulai mengisak. Entah karena perbuatan kasar Annisa barusan atau takut ketahuan gurunya. “Pasti Annisa menfitnah saya.”

“Lebih baik diam bila tidak mampu berkata benar dan baik, Nak.” Ibu Wali Kelas menghela napas. “Sebentar lagi jam pulang sekolah. Kalian kembali ke kelas, bereskan buku-buku lalu ke ruang guru. Ibu tunggu.”

Sepasang murid kelas 5 tersebut berjalan menunduk kembali ke kelas. Ketika Ibu Wali Kelas sudah membelok masuk kelas, pertengkaran kembali terjadi. 

“Ibumu itu bukan penari asli! Paling penghibur jalanan – joget-joget ngremo di lampu merah! Lalu bapakmu muter minta-minta duit ke pengendara motor!” ejek Dwi penuh dengki.

Kemarahan Annisa tersulut hingga puncak kepala. 

“Ibumu penari, halah, penari topeng monyet!”

Peristiwa berikutnya terjadi begitu cepat. Annisa menempeleng Dwi kuat-kuat. Suara tamparannya keras sekali. Dwi bahkan tak sempat memekik saking kagetnya. [dps]
 


▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Annisa Fitri - Bab 11: Mulut Tajam #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 11↴Eyang Uti datan lagi ke sekolah untuk menghadap Ibu Wali Kelas. Annisa dan Dwi masih juga belum berbaikan. Malahan, Eyang Uti ikut marah besar. Waduh, semakin gawat....Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan