Surat Annisa Fitri - Bab 09: Gangguan #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 09

Dwi mengganggu Annisa! Mulai dari celana olahraga Annisa yang tiba-tiba hilang, buku tugas yang hilang, dan masih banyak yang lain. Tapi, Annisa punya bukti kalau Dwi adalah pelakunya!

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Keesokan hari di sekolah Annisa mendapat banyak sekali gangguan. Mulai dari jam pertama sampai menjelang pulang sekolah. 

Pada hari Selasa murid-murid kelas 5B harus mengikuti olahraga di jam ketiga pelajaran. Annisa kebingungan mengaduk-aduk isi tasnya. Buku-buku tulis dikeluarkan semua ke atas meja. Kantong-kantong –bahkan di tempat paling mustahil pun diperiksa dengan teliti. 

“Kamu kenapa?” tanya Martina. “Buruan! Kita harus segera ganti baju. Matahari lagi terik-teriknya – semoga olahraga hari ini cuma senam lantai atau berlatih balok keseimbangan. Tidak kebayang kan kalau kita harus kasti – aduh, pasti keringatan habis!”

“Celana panjang olahragaku hilang!” bisik Annisa panik. Semua barangnya sudah keluar. Mau diaduk-aduk sampai tasnya jebol, sepertinya celana itu takkan ketemu.

“Mungkin ketinggalan di rumah,” kata Martina mengangkat bahu. “Kamu izin telepon sebentar, minta diantar.”

“Enggak mungkin, Mar! Aku sudah siapkan barang-barang dari semalam. Pagi tadi aku masukkan celana itu ke dalam tas. Kaosnya saja ada, nih!” Annisa menujukkan kaos olahraga warna putih dengan logo sekolah tersablon di bagian dada sebelah kanan.

‘Ya, bisa saja kamu kelupaan. Atau..., aha! Celanamu jatuh ke kolong tempat tidur!”

“Tempat tidurku nggak ada kolongnya!” balas Annisa cemberut. “Kamu kalau nggak tahu apa-apa tentang kamarku mending diam, deh!”

“Aku, kan, pernah main ke rumahmu pas kelas 4!”

“Memangnya kamu pernah glundhang-glundhung di kolong tempat tidurku? Kok bisa-bisanya bilang celanaku jatuh terselip di sana!”

Dasar Annisa konyol. Martina tidak mau lagi berdebat. Sebaiknya kawannya itu segera berganti pakaian. Hampir seluruh teman-teman sekelas sudah pergi ke ruang olahraga. Kini bahkan hanya mereka berdua yang tinggal di kelas. 

Annisa harus menjelaskan mengapa ia mengikuti pelajaran olahraga dengan mengenakan kaos dan rok seragam merah. Pak Guru memicing tak percaya. Tapi akhirnya murid kelas 5 itu diizinkan tetap mengikuti pelajaran. 

Seperti yang dikeluhkan Martina, olahraga hari ini adalah kasti. Keluhan teman sebangku Annisa tentang keringat dan panas belum seberapa dibanding yang dialami Annisa sendiri. Susah payah ia berlarian mengejar bola dengan memastikan bagian bawahnya tak tersingkap kena angin. 

Repot banget! Annisa menunggu bola melayang di tengah lapangan dengan napas terengah-engah. Napasnya ngos-ngosan karena capek berlarian dan juga menahan geram. Siapa saja yang ketahuan menyembunyikan celananya, harus dijotos!

BUUGGG!

Annisa memekik keras sekali. Punggungnya terasa panas. Dwi berlari menjauh. Rupanya ia barusan menghantamkan bola kasti tepat di punggung Annisa. 

“Kenapa dilempar ke aku!?” pekik Annisa marah. Wajahnya mengernyit menahan sakit. Seharusnya bola itu dilempar untuk menahan pemain lawan, kenapa –

Percuma Annisa berteriak-teriak marah. Dwi memasang tampang tak berdosa. Posisinya mengincar lawan juga jauh dengan posisi Annisa. 

“Jangan melamun terus makanyaa...!” tegur Pak Guru Olahraga pada Annisa. 

Annisa hendak membalas perkataan gurunya, tapi Martina buru-buru memberi tanda kawan sebangkunya untuk tenang. Bocah perempuan itu berhasil tak mengamuk hingga pelajaran berakhir. 

Hal mengagetkan terjadi. Salah seorang murid kelas 6 masuk ke gudang penyimpanan peralatan olahraga. Ia hendak menyimpan bola voli yang digunakan untuk berlatih. Sikunya tak sengaja menyenggol wadah hingga bola-bola voli itu jatuh menggelundung. Sewaktu membereskan barang-barang yang jatuh ia melihat seonggok kain berwarna merah. Dikiranya itu kain gombal sampai si bocah melihat jahitan nama Annisa dan kelasnya.

“He, kamu kenal Annisa anak kelas 5B?” tanya si murid kelas 6. Kebetulan yang ditanya adalah Martina. Bocah perempuan itu segera menerima celana dan berterima kasih. Terburu-buru ia mencari kawannya yang barusan kembali dari berganti pakaian.

“Celanamu ketemu!” serunya berbisik. Buntalan celana yang sedikit kotor debu dibolak-balik Annisa dengan heran. “Ada yang menyembunyikan celanamu di gudang penyimpanan peralatan olahraga. Pasti disembunyikan – aha! Pasti celanamu dicuri dari dalam tas dan dibuang ke gudang saat kita ke ruang guru untuk mengumpulkan buku tugas.”

Annisa mengedarkan pandangan. Semua teman-temannya sedang sibuk menyiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya. Hatinya sudah geram bukan main. Ia bertekad ingin menemukan pelakunya. Karena – berikutnya buku PR matematikanya hilang!

“Ketinggalan kayak celana olahragamu mungkin,” bisik Martina takut ibu guru mendengar suaranya.

“Celana olahragaku tidak ketinggalan!” balas Annisa berbisik sewot. “Ada yang membuangnya di gudang peralatan olahraga!”

“Ooh... oh iya, ya..., hehe...,” Martine si lemot menyadari kesalahannya. “Telepon Eyang Utimu saja, minta dicarikan lalu diantarkan ke sekolah.

Annisa menggeleng lesu. “Aku pasti dimarahin nanti. Eyang Uti selalu berpesan agar aku memeriksa betul-betul pekerjaan dan barang-barang yang harus kubawa sekolah. Kalau sampai ada yang ketinggalan, aku harus bertanggung jawab untuk keteledoranku sendiri – dengan tidak enteng minta dicarikan dan diantar ke sekolah.

“Waah...,” lalu Martina tidak bicara apa-apa lagi. Selain itu ia juga tak tahu harus memberi saran atau bertindak apa lagi. 

Sepanjang jam pelajaran matematika Annisa duduk tegang. Ia menunduk berpura-pura memerhatikan buku. Juga mengerutkan kening karena sok pusing mengerjakan soal. Satu per satu murid dipanggil untuk mengerjakan soal-soal pekerjaan rumah di papan whiteboard. 

Annisa berharap ibu guru tak meminta buku PR mereka dikumpulkan. Harapannya terkabul. Ia aman sampai jam usai pelajaran berbunyi. 

“Kamu Mbak Annisa, kan?” tanya salah satu murid kelas lebih rendah saat mereka bertemu di kantin sekolah. Ia menyerahkan buku bersampul cokelat rapi dengan nama dan kelas tertera jelas. “Buku PR Matematika punya Mbak tahu-tahu ada di laci mejaku.”

“Kok bukuku bisa nyasar sampai kelas 3?” tanya si pemilik buku heran. Bocah itu mengangkat bahu lalu menyusul temannya memesan es jeruk. 

Gangguan terus saja ada sampai hari berikutnya. Setelah celana olahraga dan buku PR Matematika pindah tempat, berikutnya tugas menggambar cat air Annisa ditemukan basah kuyup dekat ember dan pel tukang kebun sekolah. Tingkah laku bocah yang berbuat itu jahat sudah begitu keterlaluan. 

“Kita harus melaporkan ke ibu guru wali kelas,” kata Martina kesal. Annisa ditegur keras bapak guru pelajaran kesenian karena beralasan buku menggambarnya ketinggalan. Ia belum bisa mengumpulkan tugas tepat waktu. 

“Aku tadi melihat tangan Dwi berlepotan cat air,” bisik Annisa setelah kembali ke bangku. “Ia kan duduk di paling depan. Waktu aku dimarahi bapak guru, dia tersenyum-senyum senang. Sampai lupa menyembunyikan telapak tangan yang kena cat air.”

“Sekarang kan pelajaran menggambar. Bukan hal aneh kalau tangan Dwi kena cat air.”

Annisa memukul bahu kawannya yang lemot. “Cat air tugas minggu lalu! Tugas hari ini membuat gambar pointilis – titik-titik dari pensil.” Anak perempuan itu berbisik-bisik penuh semangat. 

“Kalau sekarang pointilis pensil, bagaimana tangan Dwi bisa kena cat air?”

“Justru itu!” kata Annisa gemas. “Dia membasahi buku menggambarku – nggak sadar kalau tangannya membekas cat air. Aku akan membalas perbuatan jahat Dwi pulang sekolah nanti.”

“Kamu mau ngapain?” tanya Martina terkejut. Ia lupa memelankan volume suaranya. Teman-teman sekelas menengok. Bapak guru berdesis mengingatkan murid-murid untuk tenang. Teman sebangku Annisa segera menunduk dan sibuk dengan pekerjaan menitik-nitik buku gambar. 

Sebelum masuk jam pelajaran terakhir, murid kelas 4 yang kemarin meyerahkan buku PR Matematika milik Annisa kembali menemuinya. Anak kecil itu menyerahkan selembar kertas ulangan harian. 

“Mbak titip diberikan ke Mbak Dwi – kalian teman sekelas, kan, Mbak? Setelah kemarin bukumu, siang ini tiba-tiba ada kertas ujian milik Mbak Dwi.” Air muka bocah itu terlihat bingung. “Kenapa banyak sekali buku dan kertas anak-anak kelas 5 nyasar di laci mejaku?”

Annisa yang baru kembali dari toilet hampir saja menandak gembira. Ia menemukan bukti Dwi yang mengusilinya – celana olahraga dan buku matematika! Mungkin kemarin ia buru-buru melempar buku PR matematika ke salah satu laci murid kelas 4 yang pindah kelas di LAB untuk percobaan pelajaran IPA. Juga tangan yang kena cat air! [dps]
 


▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Annisa Fitri - Bab 10: Jambak! #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 10↴Annisa dan Dwi berkelahi! Jambak – jambak – jambak! Auch!Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan