
TENTANG BAB 08↴
Annisa akhirnya bertemu Bapak! Bapak yang nggak pernah dilihatnya dari kecil sekarang ada di depannya! Eyang Uti jangan sampai tahu. Kalau tahu pasti beliau akan marah. Bapak dilarang ketemu cucu Eyang yang bandel itu!
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Surat Annisa Fitri' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Perut Annisa mulas tidak keruan. Bukan karena sakit, tapi gugup dan deg-degan. Jundan tetap tenang bekerja menyiangi rumput. Bahkan saat mbok Darmi repot membantu mengusung barang-barang untuk dibawa ke tempat acara, remaja laki-laki tu bahkan tetap bisa menahan diri untuk tak memandang Annisa.
Sejak pagi sekali beberapa teman eyang sudah datang. Para eyang-eyang gaul. Sudah tua tapi tetap berdandan cantik, wangi, energik, dan... cerewet. Meski begitu para simbah gaul itu baik hatinya. Mereka kerap melakukan bakti sosial dan kegiatan berbagai lainnya.
“Duuh, ini Annisa? Padahal baru kemarin ketemu, rasanya kamu itu masih telrihat kecil sekali. Sekarang kok tiba-tiba sudah tambah besar. Tapi, duuh, menik-menik cantik sekali.”
Dagu Annisa diciwel.
“Annisa cucunya Eyang Uti. Sudah bertambah tinggi kamu, ya. Mbok makan yang agak banyak sedikit, biar pipinya tetap tembem kayak jemblem.”
Pipi Annisa ditarik gemas ke arah kanan dan kiri.
“Jangan, Jeeng,” sergah eyang energik yang lain. “Bocah ini punya bakat bertubuh jangkung. Kalau makannya dijaga sejak sekarang, tubuhnya tetap ramping, ia punya kesempatan untuk jadi model atau ikut kontes putri-putrian.”
Tubuh kerempeng Annisa diputar ke kanan dan ke kiri. Beberapa kain batik disampirkan di pundaknya. Puji-pujian cantik dan manis terus terlontar.
“Kulitmu sawo matang, Nduk. Sudah bagus ini. Eksotis. Priyai Jawa sejati. Besok kalau sudah besar jangan disuntik putih, ya. Pertahankan warna kulit yang seperti ini.”
Gelang-gelang kayu motif batik dipasang di pergelangan tangan Annisa.
“Betul itu, Jeng. Tuhan menciptakan sesuatu pasti ada kamsud dan jatah rezekinya masing-masing.”
Annisa cuma bisa meringis dan tak menanggapi apa-apa. Bukannya malas, tapi eyang-eyang itu hanya ingin terus bicara dan memuji-muji tanpa mendengarkan jawaban si bocah. Eyang Uti akhirnya menarik cucunya untuk segera berganti pakaian dan didandani tipis-tipis. Sementara itu Eyang Uti dan eyang-eyang yang lain mulai mengenakan kostum kebaya funky mereka masing-masing.
Tak lama kemudian mereka berangkat berombongan. Mobil-mobil beriringan di jalan menuju tempat tujuan.
Annisa mengenakan kebaya berwarna cerah dengan potongan sederhana. Alih-alih membebatkan jarik sebagai bawahan, bocah perempuan itu mengenakan celana jins dan sepatu kets. Eyang-eyang enerjik ini memang punya misi menjadikan kebaya sebagai pakaian sehari-hari, bisa dikenakan kapan saja, dan bisa tampil santai.
Rambut panjang Annisa dibiarkan tergerai, puncak kepalanya dibebat kain syal hingga seperti model busana orang Afrika, alisnya ditebalkan, pipinya diberi perona merah, dan bibirnya dipulas lipstik. Eyang Uti memerintahkan untuk make up tipis saja agar tampak natural. Permintaan itu dituruti oleh eyang lain yang jago make up.
Dengan segala kebocahanannya dan balutan kebaya santai, Annisa terlihat begitu muda, segar, dan kanak-kanak yang ceria.
Hari Minggu yang cerah. CFD atau area car free day di jalan ramai oleh para pengunjung. Banyak orang jualan penganan enak-enak. Ada juga yang berjualan pakaian.
Annisa melongo ketika eyang-eyang energik itu berbaris memanjang di bagian tengah jalan. Orang-orang yang berseliweran menepi. Musik dinyalakan. Para perempuan paruh baya berambut putih dengan syal dibebatkan indah di kepala bergoyang serempak.
Para eyang menari! Lihatlah, lenggak-lenggok pinggul dan ayunan tangan mereka luwes sekali!
Annisa berdiri di pinggir bersama para pengunjung CFD yang lain. Gerakan tarian itu tak banyak. Beberapa malah diulang-ulang. Tapi kekompakan para wanita sepuh dalam berlenggak-lenggok, ditambah dengan kostum kebaya dan syal warna-warni benar-benar menyemarakkan hari minggu yang cerah.
Para pengunjung bertepuk tangan. Mereka terhibur dengan pertunjukan dari para wanita pecinta kebaya. Banyak yang kemudian berkerumun di lapak kebaya funky dan trendi. Dengan semangat, para eyang berjiwa muda itu menjelaskan program mereka tentang membiasakan diri mengenakan kebaya dalam aktivitas sehari-hari.
Annisa tidak tahu dari mana nenek-nenek itu menemukan kata funky. Tapi ia senang ketika lapak kebaya ramai pengunjung. Setidaknya ia bisa melipir pergi dan tidak diajak foto-foto lagi.
Jumlah pengunjungsemakin bertambah banyak. Eyang Uti memberi cucunya beberapa lembar uang untuk jajan. “Ingat, jangan membeli penganan yang aneh-aneh,” pesannya sebelum kembali ngacir kembali ke lapak kebaya.
Annisa menyimpan baik-baik uangnya di dalam tas selempang. Bocah itu memutuskan untuk berkeliling. Ia melihat dagangan orang-orang tanpa minat. Tak ada pakaian yang ingin dibelinya. Tak ada jajanan yang menerbitkan air liur.
“Mbak Nisa....” Jundan menepuk bahu dengan hati-hati sambil berbisik memanggil. Remaja laki-laki itu memberi tanda supaya Annisa mengikutinya.
Annisa memerhatikan Eyang Uti yang masih sibuk dengan kegiatannya. Secepat kilat bocah itu berlari meninggalkan arena CFD. Menyusul Jundan di parkiran motor.
Sepanjang perjalanan jantung Annisa tak henti-hentinya berdebar kencang. Ia akan bertemu bapak. Sepanjang yang mampu ia ingat, ia tak pernah benar-benar ketemu bapak. Eyang Uti pernah bilang bapak pernah berkunjung ke rumah saat Annisa masih kecil sekali. Annisa tak ingat apa-apa tentang hal tersebut.
Nanti kalau akhirnya ia dan bapak benar-benar ketemu, sebaiknya ngobrol tentang apa ya? Ah iya, Annisa akan minta bapak mengantarnya ziarah ke makam ibu. Sebelumnya, bapak harus bercerita banyak-banyak tentang ibu.
Jundan melajukan kendaraan dengan air muka tak keruan. Mulutnya komat-kamit, “Matek aku. Matek aku. Kenapa aku malah cari masalah? Kenapa aku malah membikin gara-gara? Matek aku. Matek aku.”
Saat mereka tiba halaman depan rumah bapak terlihat sepi dan kosong. Motor diparkir di teras depan. Jundan mengajak Annisa langsung duduk menunggu. “Pak Probo biasa lari pagi. Rutenya jauh-jauh.”
Annisa memerhatikan sekeliling. Rumah bapak halaman depannya luas sekali. Bangunannya sederhana. Teras depannya lebar. Pasti enak sekali duduk mengobrol di sana bersama teman-teman sambil ngeteh atau makan biskuit. Pohon sawo, mangga, dan entah apa lagi yang lainnya tumbuh rimbun.
Dari kejauhan terdengar bunyi langkah kaki berdentam-dentam. Semakin lama semakin dekat. Jundan berdiri lalu tersenyum sembari mengangguk.
“Heh, kamu, mas Jundan...,” sapa seorang laki-laki berambut sebahu, berbahu tegap, dengan peluh membasahi wajah dan sekujur tubuh. Lingkaran basah menghiasi bagian depan kaos polos yang dikenakan.
Jundan hendak mencium tangan laki-laki tersebut, tapi langsung ditepis sembari tertawa. Napasnya masih ngos-ngosan tapi perlahan mulai teratur. “Ini zaman modern, Mas Jundan. Sudah kuingatkan berapa kali untuk tidak cium tangan kayak di zaman feodal.”
Remaja laki-laki anak mbok Darmi merenges sembari mengggaruk kepala. “Saya kan cuma mau menunjukkan hormat pada pak Probo.”
“Halah, hormat-hormat apa, Mas Jundan. Memangnya aku ini tiang bendera.” Pak Probo mengusap keringat yang terus mengalir di wajah. “Ada angin apa kok tiba-tiba mampir ke rumah? Eyang Uti sehat-sehat saja, kan?”
“Sehat-sehat, Pak Probo...,” jawab Jundan kikuk. Sedikit rasa bersalah karena membawa kabur cucu Eyang Uti membuatnya merasa tidak enak. “Sehat-sehat saja, kok.”
Annisa masih duduk di teras rumah. Dari sela-sela celah pagar, ia bisa melihat sosok bapak-bapak yang dipanggil pak Probo. Rahang pak Probo kotak dan tegas. Rambutnya panjang diikat cepol samurai. Pak Probo terlihat seperti samurai Jepang dalam buku pelajaran, cuman matanya tak sipit dan warna kulitnya sawo matang.
Jundan memberi tanda. Tangannya menunjuk ke bagian dalam halaman rumah. Pak Probo bergegas masuk. Air mukanya terperanjat. Laki-laki itu tak mengerti – menoleh ke arah Jundan lalu Annisa.
Annisa bingung bagaimana harus bersikap. Ah, iya – tiba-tiba ia ingat ajaran Eyang Uti untuk selalu bertingkah sopan pada setiap orang tua yang ditemuinya. Anak perempuan itu berdiri. Tangannya meraih tangan pak Probo lalu dicium takzim. “Selamat pagi, Pak Probo.”
Annisa melirik Jundan. Tatapannya bertanya, ‘namanya benar pak Probo, kan?’
Jundan yang telat sadar segera megangguk-angguk.
Pak Probo menjauhkan tubuh kerempeng Annisa. Tatapannya memerhatikan sungguh-sungguh. Lamanya mungkin ada sekitar tiga atau lima menit. Kedua matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Kedua lengannya yang besar sepperti raksasa menarik Annisa dalam pelukan. Bocah perempuan itu didekap erat, erat sekali. “Oalaah, Nduuk. Nduukkk... anakku... Ndduk Annisa...”
Napas Annisa sesak. Separuh wajahnya terasa lengket kena keringat. Tapi bocah itu nyengir bahagia. Ia memang awalnya tidak tahu bagaimana harus menata perasaannyaa; bahagia, sedih, atau haru. Tapi karena jiwa bandelnya lebih besar, maka ia memutuskan untuk bahagia saja.
Tatapan pak Probo tak pernah lepas dari anaknya. Laki-laki itu membawa Annisa masuk rumah, membuatkan es teh, menyajikan ketela goreng di teras depan rumah. Bantuan Jundan serta-merta ditolak. “Biarkan aku meladeni bocah kecilku ini, mas Jundan.”
Jundan akhirnya menunggu di teras depan rumah.
Mereka bertiga kemudian duduk sembari menikmati semilir angin, menikmati ketela goreng yang mempur, dan minum es teh. Perut Annisa kenyang sekali.
Pak Probo memerhatikan putrinya sekali lagi. “Mirip sekali dengan Ibu, ya?” tanyanya minta sepakat pada Jundan. “Alisnya hitam melengkung seperti iringan semut. Keduanya matanya seperti bintang timur....”
Jundan mengangguk-angguk sembari mengembangkan senyum. Remaja laki-laki anak mbok Darmi yang baik itu akan selalu berusaha menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Jarang sekali air mukanya cemberut. Diam-diam Annisa ingin tumbuh dewasa dengan kebaikan hati seperti mas Jundan.
“Senyumnya mirip sekali dengan ibunya.” Pak Probo menggeleng-geleng mengusir haru yang hinggap di hatinya. Rambutnnya yang basah mulai kering.
Annisa memerhatikan bapaknya. Ternyata bertemu dengan laki-laki yang hampir tak pernah dijumpainya rasanya biasa saja. Tidak seperti sinetron di televisi. Ia sempat mengira dirinya akan memekik-mekik gembira. Lalu bertangisan, meraung-raung haru, berpelukan secara berlebihan, dan sedu-sedan dengan air mata berlinang-linang.
Bapak dan anak perempuan itu bertemu dengan cara yang... biasa. Mungkin karena pembawaan pak Probo yang santai tapi penuh wibawa. Juga tenang dan mampu mengendalikan perasaan dan keadaan.
Annisa masih bisa merasakan rengkuhan langan bapak di bahunya. Begitu hangat dan nyaman. Rasanya ia ingin tidur siang di sana sambil mendengarkan dongeng atau puisi bapak yang dibaca dengan suara lembut dan empuk.
Sungguh, suara bapak benar-benar empuk. Annisa selalu terbayang donat gemuk yang empuk setiap kali mendengar bapaknya bicara.
“Kebaya itu membuat ayumu keluar, Nduk Cah Ayu. Eh, ini kebaya dari bahan kaos, ya? bapak kira dari kain apa itu...” Pak Probo memerhatikan putrinya sekali lagi. “Omong-omong, tumben hari Minggu mengenakan kebaya? Ada acara apa?”
Ada acara apa?
Seperti disengat listrik, Annisa dan Jundan saling berpandangan cepat. Mereka lupa begitu saja kalau sedang menyelinap pergi dari acara Eyang Uti. Jundan terbatuk-batuk dan bahkan hampir tersedak ketela goreng yang sedang dikunyah.
“Kita harus segera kembali, Mbak Nisa...,,” katanya setelah menghabiskan segelas es teh miliknya. “Aduh, gawat kalau sampai ketahuan.”
Jundan setengah menggeret Annisa untuk segera bangkit. Pak Probo bingung. Ia berusaha menahan anak perempuan dan Jundan. “Kalian datang tiba-tiba, belum bercerita ada apa, terus pergi begitu saja?”
Annisa memandang bapaknya dengan mata berbinar. “Bapak baru ngomong saja sudah bersajak! A-a-a-a!” Tangan kecil anak gadis itu menarik-narik bagian belakang kaos Jundan. “Bapakku hebat ya, Mas!”
“Iya, Mbak Nisa. Tapi kita harus segera cabut. Kalau tidak... nanti... aduh....” Helm yang hendak dikenakan Jundan malah mumbul-mumbul – melompat-lompat ke udara. Annisa tertawa melihat kegugupan Jundan.
Pak Probo mungkin bisa menduga kalau kedatangan kakak-beradik itu tanpa sepengetahuan Eyang Uti. “Ndan!” panggilnya tegas.
Jundan langsung sigap. Tubuhnya tegak. “Siap, Kumendan! Pripun – bagaimana, Pak?”
“Kamu berutang penjelasan padaku. Tentang hari ini,” kata pak Probo dengan tenang. Di mata anak perempuannya, gaya bapaknya benar-benar seperti bintang film koboi atau tokoh-tokoh gengster penuh gaya. Benar-benar cool!
“Aduh..,” remaja laki-laki meringis sembari menggaruk kepala.
“Nduk Cah Ayu, Bapak peluk dulu. Sudah besar sekali kamu, Nisa. Bapak kangen... ya Allaaah.... Bocahkuu...!”
Annisa turun dari boncengan motor. Tubuhnya yang jangkung dan kurus segera menghambur dalam dekapan bapak. Ia suka sekali dipeluk bapak erat-erat. Rasanya seperti bagian kosong di dalam dirinya dipenuhi rasa bahagia yang lebih.
Sebelum motor Jundan melanju, pak Probo menepuk bahu tegap remaja laki-laki itu. “Suwun lho, Mas.”
Lho, kok malah suwun, Mas? Batin Annisa bingung.
Jundan balas mengangguk sembari tersenyum bahagia. Annisa hendak bertanya apa maksudnya, tapi tiba-tiba motor mencelat pergi. Jundan agak kurang pas memasukkan gigi satu motor. Di tengah perjalanan bocah di boncengan belakang ingin bertanya tapi sudah lupa apa yang tadi hendak ia tanyakan.
Sepanjang perjalanan kembali ke acara CFD, bibir Annisa tak henti-henti mengembangkan senyum. Sementara Jundan kembali menggumam khawatir. “Matek aku. Matek aku. Kenapa aku malah cari masalah? Kenapa aku malah membikin gara-gara? Matek aku. Matek aku.”
Mereka tiba tepat waktu. Keriuhan CFD mulai surut. Para pengunjung beranjak pulang. Pengisi acara dan pedagang mulai memberesi barang-barang.
Jundan membeli cilok.
“Aku nggak boleh jajan sembarangan, Mas Jundan. Kalau ketahuan Eyang Uti nanti bisa dimarahin,” kata Annisa heran.
Jundan menjelaskan maksudnya. Ternyata penganan itu bukan untuk dimakan. Annisa mengusap saus merah di sekitar bibir – dibuat seperti cemong. Setelah dipastikan tampak alami, Jundan mendorong bocah perempuan itu ke rombongan eyang-eyang gaul penggagas kebaya funky dan trendi.
Annisa hanya cengengesan ketika Eyang Uti merepet panjang saat melihat bekas saus di wajah cucunya. Untung banyak nenek-nenek lain yang langsung membela si bocah perempuan “Nggak apa-apa jajan tidak sehat, kan cuma sekali-sekali. Yuk, Nak, ikut mobil eyang Rima saja. Nanti kita pesta rambutan. Di bagasi ada tiga atau empat kantong plastik rambutan. Tadi....”
Annisa tak mendengarkan ajakan eyang Rima sampai selesai. Perutnya tiba-tiba terasa melilit saat mendengar rambutan – ternyata hanya perasaan saja. Bocah itu langsung pura-pura mencari kesibukan lain dengan membantu eyang-eyang yang lain.
“Sudah ada rencana untuk bulan Ramadan, Jeng?” tanya seorang eyang putri berkebaya cerah. “Mungkin kita bisa memadu-madankan turban dengan busana muslim longgar tapi masih dengan model kebaya.”
Percakapan-percakapan tentang tema di bulan-bulan mendatang masih terus berlangsung. Annisa tak tertarik menyimak. Sebelum masuk mobil, ia melihat Jundan melambai dari balik pohon besar. memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
Bocah perempuan yang mengagumi watak baik hati anak Mbok Darmi itu terkekeh. Ia seperti melihat orang India hendak berjoget sembari memeluk pohon. Jundan melambai lagi dengan wajah bertanya. Ia membutuhkan jawaban.
Annisa samar mengangkat jempol. Aman. Lalu, buru-buru masuk mobil. Sosok Jundan sudah tak terlihat lagi. [dps]
▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
