
TENTANG BAB 07↴
Diam-diam Mas Jundan akan mengajak Annisa bertemu Bapak. Sayangnya, bocah bandel itu sekarang sakit perut. Aduh, aduh. Gara-gara kebanyakan makan rambutan pas bolos menari kemarin!
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Surat Annisa Fitri' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Pagi itu Annisa tidak bersemangat sarapan. Wajahnya pucat. Tubuhnya lesu. Ia sudah mengenakan seragam dan siap berangkat sekolah ketika perutnya tiba-tiba melilit. Sakit sekali. Tubuhnya sampai membungkuk-bungkuk.
“Kamu kenapa, Nduk?” tanya Eyang Uti panik.
Hari itu Annisa tak berangkat ke sekolah. Perutnya semakin melilit. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali berbaring di tempat tidur. Bahkan masih dengan mengenakan seragam.
Eyang segera menulis surat ijin tidak masuk sekolah. Anak remaja mbok Darmi dipanggil, diminta mampir sekolah Annisa sebentar untuk menyerahkan surat.
Jundan sempat memerhatikan Annisa yang mengernyit-ngernyit kesakitan. Wajahnya prihatin. Tapi si bocah yang diperhatikan tak melihat. Ia kembali membungkuk-bungkuk demi menahan rasa sakit.
Menjelang agak siang datang pakde Budi yang bekerja sebagai dokter. Eyang yang menelepon memintanya mampir ke rumah.
“Ada apa ini? Siapa yang sakit?” tanya pakde Budi begitu tiba. Mbok Darmi terdengar menyambut putra sulung eyang. Sementara itu Eyang Uti sudah mengeluh panjang pendek. Ia menduga Annisa pasti jajan pinggir jalan diam-diam sampai-sampai perutnya sampai.
Pintu kamar Annisa diketuk sopan lalu dibuka. Bocah perempuan itu hanya bisa meringis untuk membalas sapaan dan senyum pakde Budi.
“Sakit perut karena jajan sembarangan, ya? Kebetulan aku membawan suntikan sapi.” Pakde mengangkat lengan untuk menunjukkan ukuran seberapa besar suntikan sapi itu. “Suntikan itu bisa kugunakan dulu untuk –“
“Pakde kan dokter manusia!” Wajah Annisa semakin pucat. Ia takut akan diobati menggunakan suntikan sapi sungguhan. “Bukan dokter hewan.”
“Lho, ya nggak apa-apa, kan. Biar cepat sembuh memang harus pakai suntikan yang besarnya segede –“ pakde Budi mengaduk-aduk isi tas. “Ahh, ke mana kusimpan benda itu tadi, ya? jangan-jangan ketinggalan di rumah. Waduh, terpaksa kamu kuberi obat yang lain, Nduk.”
Wajah Annisa masih pucat. Tapi kali ini pucatnya karena menahan sakit, bukan ketakutan hendak dicoblos suntikan raksasa. Setelah diperiksa gadis kecil itu minum obat sirup yang rasanya pahit sekali.
“Makan apa saja kamu kemarin?” tanya pakde Budi.
Annisa ingat ia makan rambutan banyak sekali. “Roti pisang,” jawabnya.
“Cuman itu?”
Annisa mengangguk.
“Lebih baik Annisa tidak makan rambutan terlebih dulu, Eyang...,” kata pakde Budi menasihati keponakannya tapi melalui eyang. “Padahal rambutan yang disajikan mbok Darmi tadi besar-besar, merah, manis, dan berair. Yah, sayang sekali. Aku habiskan saja kalau begitu rambutan di ruang makan.”
Annisa tahu pakde hanya menganggunya. Kalau pun serius pakde Budi mau menghabiskan rambutan, ia juga tak apa-apa. Tak ada keinginan sama sekali untuk menyentuh buah tersebut. Diam-diam bocah itu berpikir perutnya sakit karena terlalu banyak menghabiskan rambutan.
“Mungkin rotinya menggunakan pisang yang mulai busuk...,” Alih-alih menanggapi putra sulungnya, eyang malah masih kepikiran roti pisang Annisa.
Pakde Budi tak berlama-lama tinggal. Ia harus segera melanjutkan perjalanan ke rumah sakit untuk bekerja. Sebelum pergi pakde meninggalkan banyak sekali obat dan jadwal minumnya. “Aku memilih obat yang sangat pahit khusus untuk cucu bandel eyang. Pahit. Pahit sekali.”
Kalau sedang sehat, Annisa pasti akan tertawa-tawa sambil pura-pura mencubit pakde yang sengaja mengganggunya. Tapi sekarang ia hanya bisa cemberut di tempat tidur. Tawa pakde keras sekali saat melihat reaksi keponakannya.
“Kalau dalam tiga hari Annisa belum sembuh juga, segera telepon aku, Eyang. Aku akan segera datang membawa suntikan kerbau.”
Begitu mobil pakde Budi terdengar menjauh, mata Annisa terasa berat. Bocah itu jatuh tertidur. Ia dibangunkan untuk berganti pakaian dan makan siang. Mbok Darmi sudah menyiapkan bubur dengan kuah opor ayam. Lidah Annisa terasa pahit. Makanan terasa tidak enak. Tapi perutnya harus diisi meski sedikit supaya bisa minum obat dan cepat sembuh. Setelah minum obat Annisa kembali membaringkan tubuh di tempat tidur. Perutnya sudah tak terasa melilit lagi. Senut-senut dan nyeri sudah benar-benar hilang. Obat dari pakde Budi benar-benar mujarab. Hmmm ada enaknya juga punya pakde seorang dokter. Kalau sakit langsung mendapat perawatan dan obat yang cespleng.
Pikiran Annisa terhenti. Ia jadi teringat perkataan Eyang Uti. Aku lebih senang punya mantu seorang dokter – seperti masmu yang pertama, PNS seperti mbakmu yang kedua, bankir – seperti pakdemu yang koaya roaya itu, atau minimal arsitek kayak kamu itu.
Barusan Annisa merasakan sendiri keuntungan punya pakde dengan pekerjaan mentereng. Kemarin, saat teman Eyang Uti ingin membangun rumah baru, om Yudi yang turun tangan mendesain dan memberi masukan. Tak jarang pula Annisa mendapat buah tangan seperti gantungan kunci menara Eiffel , cokelat dari Swiss dan masih banyak lainnya dari tante-tante dan keluarga besar Eyang Uti yang lain.
Bocah cilik itu jadi merenung-renung. Memangnya kalau jadi seniman kayak bapak, tidak berguna, ya? Pekerjaan seniman itu malu-maluin sampai-sampai Eyang Uti benci banget sama Bapak?
Oh iya! Annisa jadi teringat hal lain lagi. Ia ingin ketemu Bapak! Jam berapa sekarang? Sudah saatnya mas Jundan pulang, kan? Mas Jundan, mana, mas Jundan!? Antar aku ketemu Bapak!
Annisa ingin turun tempat tidur. Mungkin Jundan sudah ada di belakang membantu mbok Darmi. Tapi tubuh Annisa tak bergerak ke mana-mana. Matanya yang berat menghalangi keinginannya. Tak lama kemudian gadis cilik itu jatuh tertidur dengan pikiran gelisah.
Annisa tak tahu berapa ia lama tertidur. Jam di dinding menunjukkan kalau hari sudah sore.
“Mbak Nisa....”
Annisa hampir meloncat terkejut saat mendengar namanya dipanggil berbisik. Remaja anak mbok Darmi menyelinap masuk. Nampan berisi potongan buah apel diletakkan di atas meja.
Jundan menoleh ke sekeliling. Memastikan tak ada Eyang Uti di dekat mereka. Ia menyimpan ponsel ke dalam saku celana. “Lusa kira-kira Mbak Nisa sudah sembuh atau belum?”
Lusa itu hari Minggu. Eyang Uti ada jadwal bersama teman-temannya yang sesama kawannya para nenek gaul di CFD jalan Sudirman. Mereka hendak membikin kegiatan tentang ‘mengenakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari yang funky dan trendi’. Sejak sebulan lalu Annisa sudah diajak paksa eyang untuk ikut mengisi acara.
Annisa menggeleng. Kalau untuk bergaya di acara bersama eyang-eyang lebih baik ia terus pura-pura sakit biar bisa tinggal di rumah.
Wajah Jundan berubah kecewa. “Padahal saya mau mengajak Mbak Nisa ke tempat pak Probo – bapaknya mbak Nisa.”
Kedua mata Annisa membulat. Kok bisa – kok bisa mas Jundan yang baik hati dan suka tidak enakan ini tiba-tiba jadi anak bandel? Ketemu Bapak diam-diam?
“Saya nggak tahu ada kesempatan kapan lagi...,” Jundan masih menggumam kecewa.
Kalau untuk ketemu bapak, Annisa bisa langsung sembuh! Ia rela makan banyak dan minum obat yang rasanya tidak enak tanpa merengek asal bisa ketemu bapak!
“Aku bisa sembuh kok, Mas! Lusa aku sudah sembuh! Tenin1!” serunya. “Kita ketemu bapak, ya! Sungguh ya, Mas Jundan! Kita ketemu Bapak!”
Jundan berdesis supaya Annisa mengurangi volume suara. Ia menjelaskan rencananya dengan suara lirih. Sesekali remaja laki-laki itu menoleh memerhatikan pintu. Keadaan masih aman. Suara Eyang Uti teerdengar di halaman belakang rumah sedang berbicara dengan mbok Darmi.
Annisa mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Jadi, besok Minggu ia akan tetap berangkat ke acara Eyang Uti. Tak apa-apalah ia menahan bosan sebentar karena harus mengenakan kebaya masa kini garapan eyang-eyang gaul dan funky. Setelah itu Jundan akan datang menjemput. Lalu pergi ke tempat Bapak. Kalau Eyang Uti mencari, Jundan dan Annisa sudah menyusun alasan yang masuk akal.
Annisa ingin berjingkrak gembira tapi tubuhnya masih lemas. Ia hanya bisa tersenyum. “Terima kasih, Mas Jundan.”
“Sama-sama, Mbak.” Jundan segera keluar kamar. Ia meminta Annisa untuk bertingkah wajar selama dua hari ke depan. Jangan cekikikan atau tiba-tiba keceplosan bicara tentang rencana rahasia mereka.
Keesokan hari Eyang Uti berpendapat Annisa belum harus berangkat sekolah. “Kalau masih sakit, besok Minggu kamu tetap istirahat di rumah saja. Tidak usah ikut acara kebaya funky di CFD tidak apa-apa.”
“Aku sudah tidak apa-apa, Eyang. Besok aku sekolah. Aku sudah kangen sekolah!” kata Annisa sembari mengembangkan senyum lebar.
“Senyummu mirip mendiang ibumu.” Kedua mata Eyang Uti berkaca-kaca. “Eyang sangat menyayangimu, Nduk Nisa. Sehat-sehat dan pintar selalu ya.”
Annisa merasakan sedikit rasa bersaalah. Gara-gara ia membolos latihan menari untuk pesta rambutan, perutnya sakit. Ia ingin segera kembali sekolah supaya bisa ikut acara hari Minggu, demi bisa menyelinap pergi bersama Jundan untuk ketemu bapak.
“Maafin Nisa ya, Eyang,” gumam bocah itu begitu saja.
“Lho kok minta maaf?” kekeh Eyang Uti. Rasa sedihnya berganti geli. “Wong ya kalau bisa minta tidak sakit pasti semua orang tidaak ingin sakit, kaan? Tidak usah dipikirkan sakitmu, Nduk.”
Annisa menggeleng.
“Wajahmu sudah mulai berseri-seri. Tidak sepucat kemarin. Mungkin besok sudah bisa masuk sekolah. Lalu hari Minggu pergi ke acara eyang.”
Hati Annisa riang bukan main. Wajahnya semakin tampak berseri-seri. [dps]
_____
1 Bentuk penyangatan dari kata tenan – sungguh. Tenin = sungguh yang banget-banget.
▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
