Surat Annisa Fitri - Bab 06: Pesta Rambutan #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 06

Annisa memang bandel. Seharusnya ikut pelajaran menari di pendapa bersama Mbak Lastri, bocah itu malah kabur! Pesta rambutan bersama anak-anak kampung. Makan rambutan yang banyak sekali. Enaakk banget. Berair dan manis. Kapan lagi, ya, nggak? Kalau nggak sekarang, keburu masuk bulan puasa, jadi nggak bisa makan rambutan sore-sore, deeh.

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Annisa menghabiskan roti pisang tak jauh dari pendapa. Tubuhnya yang kurus dan jangkung tersembunyi di balik pilar berkuran besar. Sore ini ia ada latihan menari jawa. Bocah perempuan itu mengenakan kaos oblong putih, celana strit semata kaki, dan sampur yang melilit di pinggang. 

Siang tadi Eyang Uti masih belum pulang. Sepertinya sibuk dengan kumpulan nenek-nenek penuh gaya pecinta kebaya. Pertemuan gaul itu rutin diadakan setiap seminggu sekali. Para perempuan sepuh yang energik seolah tak mau kalah dengan anak muda itu selalu gayeng membicarakan fashion dan aksi sosial yang hendak mereka lakukan. 

Annisa sempat tidur siang sebentar. Sebelum kemudian diantar Jundan menuju ndalem Tejokusuman – tempat latihan menari. Teman-teman belum berkumpul semuanya. Mbak Lastri menyapa anak didik dan pengantarnya dengan ramah. 

“Apa kabar, Mas Jundan?” tanya mbak Lastri.

“Baik, Mbak.” Senyum Jundan terlihat gelisah. Remaja lelaki itu kemudian minta izin ke rumah mbah Parjo, seorang warga yang tinggal di dekat pendapa tempat latihan menari. Setiap menunggu Annisa latihan, Jundan kerap mampir ke rumah warga sekitar ndalem Tejokusuman. Ia biasa menghabiskan waktu dengan membantu membersihkan halaman yang kotor oleh dedaunan, memandikan dan memberi makan parkit atau perkutut. Jundan terkenal ringan tangan.

“Tunggu dulu, Mas Jundan!” Annisa menarik bagian belakang kaos kakak lelakinya. “Sepulang dari menari, kita ke rumah Bapak, ya!”

“Nggak, Mbak,” tolak Jundan. “Nanti saya dimarahi Eyang Uti kalau kita sampai terlambat pulang.”

“Kalau begitu besok Minggu! Eyang Uti ada acara di CFD jalan Sudirman, kan? Kita menyelinap pergi sebentar ke rumah Bapak, ya?” Annisa melanjutkan saat Jundan terus menggeleng. “Kita bisa alasan beli bakso dan es teh.”

Kegelisahan Jundan diselamatkan oleh panggilan mbah Parjo. Pohon rambutan di depan rumah sedang berbuah lebat. Kemarin sore angin merontokkan daun-daunnya yang sudah mengering. Kalau remaja dempal itu bersedia membantu menyapu bersih, tiga ikat rambutan akan diberikan sebagai ganjaran. 

“Aku sisakan satu ikat utuh buatmu, Mbak Nisa. Habiskan sendiri. Aku tidak akan bilang Eyang Uti,” bujuk Jundan sebelum berlari kencang meninggal bocah perempuan yang terus merajuk. 

Annisa mengacak-acak rambut kesal. Setiap kali berkaca dengan keadaan rambut kusut dan wajah merengut, bocah perempuan itu merasa seperti singa. Garang, menakutkan, dan penuh ancaman. Sekarang ia merasa seperti itu; tatapan tajamnya mungkin mengancam Jundan sehingga buru-buru pergi. Padahal tampang Annisa sore itu tak lebih seperti susu kecut. 

Teman-teman menari mulai berdatangan. Mereka mengobrol ramai sambil melilitkan sampur di pinggang. Ada yang mengenakan celana ketat semata kaki, pun ada pula yang langsung mengenakan jarik yang dibebatkan kuat-kuat. 

Mbak Lasti menepukkan tangan meminta perhatian. Murid-murid menari segera berkumpul. Sebentar lagi latihan akan dimulai. Anak-anak yang belajar berbaris rapi. Jarak di antara mereka diatur agar masing-masing bebas bergerak. 

“Aku, kok, tidak melihat Annisa?” gumam Mbak Lastri.

“Sedang di toilet mungkin, Mbak...,” jawab salah satu murid. Perempuan yang mengajar menari mengangguk-angguk. Tak lama kemudian gending musik Jawa terdengar mengalun memenuhi pendapa. Bocah-bocah yang sedang belajar menari bergerak menirukan mbak Lastri beserta hitungannya. 

Annisa masih sibuk menghabiskan roti pisangnya yang kedua. Rasa kesal membuatnya lapar. Setelah mendengar kalau Eyang Uti menghalang-halangi Bapak menemuinya, siang tadi Jundan ketahuan menyembunyikan keberadaan Bapak. Selama ini Anisa mengira Bapak masih sibuk di luar negeri sehingga belum sempat mengirim kartu pos. Ternyata Bapak ada di rumah!

Annisa pengin ketemu bapak. Kalau Eyang Uti selalu menolak permintaannya untuk ziarah ke makam ibu, bapak pasti mau! 

Neng, ning, nung, guuung...

Arahan dari mbak Lastri terdengar seperti bersenandung. Setiap gerakan diperagakan dengan halus. “Ukeel.., seblaak..., satu – dua – tiga – empat..., ulap-ulap kanan, ulap-ulap kiri....”

Alunan gending terus terdengar. Murid-murid memerhatikan arahan dengan tekun. Mereka memerhatikan dan mengikuti contoh dengan cermat. Gerakan yang begitu halus, begitu indah, begitu cantik.

Neng, ning, nung, guuung...

“Ukeeel....,” suara lembut mbak Lastri kembali memberi arahan. Ukel adalah memutar pergelangan tangan, yang dilanjutkan dengan “seblaaak...,” yaitu gerakan tangan membuang selendang dari pangkal ikatan sampai merentang lurus di samping badan, sebelum kemudian lempar selendang ke arah belakang. “Ulap-ulap kanan..., ulap-ulap kiri..., satu – dua – tiga...” Ulap-ulap adalah gerakan pergelangan tangan ditekuk dengan jari-jari melenting di depan kening. “Baguuus....”

Neng, ning, nung, guuung...

Mendengarkan gending ning, nang, ning, gung dan gerakan halus tarian jawa membuat Annisa teringat ejekan Dwi tadi siang. Mbak Lastri pernah menjelaskan tentang makna di balik alunan neng, ning, nung, guuung.... Tidak hanya sekadar bunyi-bunyian indah belaka, tapi juga punya makna yang dalam. 

“Ada banyak cara untuk mendekati Gusti, cah Ayu murid-murid mbak Lastri semuanya...,” sapa Mbak Lastri pada suatu sore beberapa waktu lalu. Perempuan muda itu kerap bercerita tentang apa saja setelah usai latihan. Biasanya tentang tarian, tapi tak jarang juga cerita-cerita ringan biasa. 

“Agama Islam mengajarkan manusia mengingat Gusti dengan cara banyak lapar – berpuasa. Menahan diri untuk menumbuhkan sikap empati pada orang lain, dan banyak berzikir. Sementara kita orang Jawa mendekati Gusti dengan cara banyak melek dan sedikit bicara. Mana yang benar? Semuanya benar, semuanya baik.”

Mbak Lastri menyetel gending yang biasa mereka gunakan untuk latihan menari. “Ning, nang, ning, gung bunyi gamelan ini punya pesan tersirat, lho. Ada yang tahu?”

Bocah-bocah perempuan piyik alias masih kecil-kecil itu serempak menggeleng. Mengingat rumus matematika saja mereka kesulitan, jadi mana ada waktu lebih untuk mencari tahu makna tersirat dari gending neng, ning, nung, gung. Mbak Lastri ini kayak tidak pernah ngerasain jadi murid SD saja.

Neeng...,” mbak Lastri menirukan lantunan gending gamelan. “Neng untuk meneng atau diam, lalu lahirlah niing... yaitu hening. Hening akan melahirkan nung... untuk merenung. Perenungan itu akan menghasilkan gung atau bertemu yang Maha Agung.” Mbak Lastri mengangguk-angguk. “Banyak-banyaklah kamu diam dan mengamati. Meneng dan melek. Ada yang tahu kenapa harus begitu?”

Murid-murid yang belajar tari menggeleng. Annisa mulai merasa bosan. Ia sudah ingin berlari ke kampung untuk memanjat pohon jambu. Lalu berteriak-teriak saat melihat ulat bulu merambat turun ranting pohon. 

“Dengan banyak meneng atau diam dan ning – hening, seseorang akan mampu lebih banyak mengamati,” lanjut Mbak Lastri menjelaskan, “Dengan lebih banyak mengamati, maka akan muncul sikap mampu berempati. Empati akan mengendalikan kita bertindak-tanduk, bertingkah laku, dan mengenali diri sendiri. Dengan kenal diri sendiri, kita akan memahami Tuhan yang Maha Agung.” 

Guru tari itu menarik kedua bahunya ke belakang. Duduknya selalu membusung, sikap cantik dan sempurna untuk seorang penari. “Puasa, zikir, juga mengajarkan kita untuk menahan lapar, menahan haus, nafsu – intinya mengendalikan diri, bukan?”

Murid-murid mengangguk. Annisa menggaruk-garuk lehernya yang tak gatal.

“Kalau mau selamat, maka jagalah ini....,” Mbak Lastri menyentuh bibir dengan jari telunjuk. “Jaga bicara, dengan meneng, hening, renung.”

Pssst! Psstt!” sebuah bisikan membuyarkan lamunan Annisa tentang pengajaran neng, ning, nung, guung dari mbak Lastri. 

Annisa menoleh. Seorang bocah mengangkat satu ikat rambutan. Buahnya besar-besar dan berwarna merah sekali. Dua kepala bocah laki-laki lain menyembul di belakang. Menyembul lagi kepala bocah yang lain. Mereka sama-sama nyengir dan mengajak Annisa pesta makan rambutan.

Alunan gending masih mengalun di pendapa. Murid-murid tari bergerak serempak. Annisa mengikat sampur di pinggang erat-erat. Ia lalu mencelat pergi mengikuti teman-teman kampung. Mereka berpesta rambutan. 

“Besok kalau sudah masuk bulan Ramadan mana bisa pesta rambutan kayak begini,” kata salah satu bocah dari kawanan bandel dengan mulut penuh. 

“Benar juga, ya?” timpal Annisa juga dengan suara tidak jelas karena sibuk mengunyah. 

Annisa makan rambutan banyak sekali. Mulutnya sampai terasa manis dan berair. Hatinya senang sekali. 

Saat hendak kembali, Annisa dipaksa membawa sekantung besar rambutan. Tapi bocah perempuan itu menolak. Perutnya sudah penuh sekali. Rasanya melihat buah merah berair itu sudah tak sanggup. 

Latihan menari masih berlangsung. Sebentar lagi selesai. Mbak Lastri sedang berada di ruangan – barangkali mengambil kipas atau kain sampur atau entah. Annisa cepat-cepat menyelinap masuk barisan. Jari telunjuknya diletakkan di depan bibir sembari berdesis “psstt” pada teman-temannya yang melotot protes. 

Tak lama kemudian bocah bandel itu menirukan gerakan teman-temannya dengan sedikit kepayahan. Mulutnya tak henti-hentinya nyengir. Hatinya bahagia –masih terbayang gembira dan merasakan manis rambutan berair di mulut. 

Saat kembali mbak Lastri menyadari kehadiran Annisa dengan bengong. Guru tari itu membuka mulut, tapi tak lama ia mingkem kembali. Arahan gerak kembali dituturkan dengan lembut. Sesekali ia membetulkan gerakan tangan atau condong tubuh murid-murid yang kurang tepat. 

Annisa sudah berencana hendak merongrong Jundan sesuai latihan menari. Remaja itu tampak berjalan menuju pendapa. Dua tangannya repot membawa tas plastik besar berisi rambutan. Kalau Jundan tetap akan menyogoknya dengan seikat rambutan agar tak merengek minta ketemu bapak, dengan tegas Annisa akan menolak. Bukan karena berkeras hati, tapi perutnya sudah penuh oleh rambutan pesta pora di tengah-tengah latihan tadi.

“Mas Jundan...,” sapa mbak Lastri ramah. Pelatih tari itu seperti sengaja menghentikan langkah pemuda gempal tersebut.

Annisa masuk ke ruangan tempat penyimpanan tas. Ia melepaskan lilitan tali sampur bersama teman-teman yang lain. Ruangan yang tak seberapa besar itu ribut dengan coleteh anak-anak. Annisa tak begitu memperhatikan obrolan mbak Lastri dan Jundan sampai telinganya mendengar nama bapak disebut. 

Annisa menggeser tubuhnya mendekat di pintu. Menguping dengar bukan perbuatan yang baik. Om Yudi pernah menegurnya beberapa hari lalu. Tapi anak itu membela dirinya sendiri. Ini keadaan darurat. Bila tak menguping dengar, ia akan ketinggalan banyak informasi penting – tentang Bapak!

“Bagaimana jawaban mas Probo, Mas Jundan?” tanya mbak Lastri setengah berbisik. “Kira-kira beliau mau mengabulkan permintaanku atau nggak, ya?”

“Waduh, saya lupa nanya, Mbak,” jawab Jundan rikuh. 

“Aduh, Mas Jundan ini bagaimana?” gerutu mbak Lastri. “Saya sudah mengingatkan jauh-jauh hari. Selain tari Jawa, saya ingin memasukkan program belajar pantomim supaya murid-murid tidak bosan. Mas Probo bisa menjadi guru yang hebat.”

“Maaf, Mbak.”

“Pentas akan diadakan saat bulan Ramadan. Itu artinya sebentar lagi! Padahal saya sudah jauh-jauh hari meminta bantuan mas Jundan! Kalau seperti ini saya yang repot!” Mbak Lastri terdengar begitu gusar. 

Annisa tidak mendengar jawaban Jundan. Palingan remaja laki-laki itu sedang tersenyum kikuk sambil menggaruk-garuk kepala. 

“Mas Probo sedang di rumah, kan? Tidak sedang ke Jepang, Singapura atau luar negeri untuk pementasan teater?” kejar mbak Lastri. Mungkin Jundan mengangguk karena muncul desakan berikutnya. “Tolong permintaan saya disampaikan pada mas Probo ya, Mas Jundan.”

Annisa mengintip sedikit. Jundan kembali tertawa rikuh tanpa suara. 

“Atau saya langsung bertandang saya ke rumah beliau?” tantang mbak Lastri. “Saya bisa buatkan teh jahe atau wedang secang. Minuman kesukaan mas Probo kan itu. Atau, ya begitu saja. Saya akan ke sana. Sudah lama sekali tak ketemu beliau. Rasanya saya jadi sedikit kangen.”

Mbak Lastri pernah ketemu bapak! Kapan? Pasti sering, ya? Kok bisa sampai bikin kangen? Annisa menyimpan peralatan menari ke dalam tas dengan perasaan nelangsa. 

Begitu melihat yang ditunggu akhirnya keluar, remaja laki-laki itu segera menyambut Annisa dengan lega. 

“Eh, Mbak Annisa...,” sapa mbak Lastri ramah. Tangannya mengelus puncak kepala anak didiknya. Annisa menghindar sembari merapikan lagi rambutnya. 

“Saya pamit dulu, Mbak Lastri.” Jundan segera berlalu setengah menggeret Annisa. Kantong plastik besar berisi rambutan dicantolkan setang motor. 

Jundan tak berkutik saat mereka tiba di rumah. 

“Kamu kok tega banget sama aku, Mas Jundan.” Annisa memandang anak mbok Darmi tajam-tajam. Kedua matanya mbrambangi – berkaca-kaca. “Orang lain tahu tentang bapak, di mana bapak, masa aku anaknya sendiri tidak tahu.” 

Bocah perempuan itu sedang membicarakan kekecewaannya. Jundan mengulurkan seikat rambutan. “Buruan dibawa ke kamar. Sebelum ketahuan Eyang Uti.”

“Antar aku ke rumah bapak, Mas!” rengek Annisa. 

Jundan mengedarkan pandangan. Eyang Uti mestinya sudah pulang. Mobil sudah diparkir rapi di garasi. Secara samar percakapan antara eyang dan mbok Darmi mulai terdengar. “Ssttt...,” remaja itu memohon agar Annisa tak pecah tangisnya.

“Aku mau ketemu Bapak...,” rengek bocah perempuan itu lagi. “Aku mau minta bapak mengantar aku ketemu ibu.”

“Nanti eyang marah –“ 

Annisa menghentakkan kaki kesal.

“Nanti eyang bisa sedih....”

“Eyang sedih? Sejak kapan eyang bisa sedih? Eyang itu bisanya cuma galak!” sembur Annisa. 

Annisa tahu perkataannya tidak sepenuhnya betul. Meski sering marah-marah, Eyang Uti tak jahat-jahat amat. Tapi bocah cilik itu sudah telanjur mengikuti emosi hatinya. Ia menghentak masuk rumah tanpa memedulikan rambutan dan permintaan maaf Jundan. [dps]
 


▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Annisa Fitri - Bab 07: Sakit Perut #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 07↴Diam-diam Mas Jundan akan mengajak Annisa bertemu Bapak. Sayangnya, bocah bandel itu sekarang sakit perut. Aduh, aduh. Gara-gara kebanyakan makan rambutan pas bolos menari kemarin!Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan