Surat Annisa Fitri - Bab 05: Uang Tambahan #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 05

Kalau Annisa sudah nggak punya Ibu, Dwi sudah nggak punya Bapak. Bersama kakak laki-laki semata wayangnya, Dimas, mereka membantu Ibu yang bekerja sebagai penjahit. Dwi pengin saat Lebaran nanti Ibu mengenakan baju lebaran yang baru. 

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Surat Annisa Fitrii'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Dwi mengayuh sepedanya cepat-cepat. Ia ingin segera sampai ke rumah. Begitu tiba bocah itu hampir melompat dari sepedanya untuk segera masuk. 

Mbok hati-hati, Cah ayu...,” tegur ibu dari balik mesin jahit. 

Dwi hampir terhuyung jatuh. Tali sepatu sebelah kanan yang lepas menyerimpet kaki kiri. Untung saja anak itu sigap menjaga keseimbangan tubuh. 

“Rantai sepedanya agak seret, Buk,” katanya menyimpan tas ke atas meja. “di tengah jalan aku kesulitan mengayuh. Harus agak dipaksa supaya bisa jalan lagi.” 

Sepeda yang dikendarai Dwi jenis sepeda Phoenix. Sepeda orang dewasa yang berbahaya dan tak seharusnya dikendarai oleh anak SD. Tapi keadaan memaksa. Ibu tak bisa mengantarnya ke sekolah. Dimas, kakak laki-lakinya, bisa mengantar tapi tak bisa janji untuk bisa menjemput. Terlalu sering pulang naik angkutan umum akan mengurangi jatah uang saku. Dwi lebih memilih untuk mau repot-repot naik sepeda saja.

Bapaknya Dwi meninggal dunia saat anak itu kelas 2 SD. Ibu pontang-panting membiayai hidup dua anaknya. Semenjak Dwi bisa membantu ibu memotong pola pakaian, gadis kecil itu rajin sekali berdiam diri di rumah. Ia rela tak main lompat tali, betengan, jamuran, atau yang lainnya bersama teman-teman demi membantu meringankan tugas ibu. 

Ibu sedih anak perempuannya kehilangan masa bermainnya bersama teman-teman. Tapi, Dwi bilang ia senang menggunting pola pakaian. Menurutnya itu juga sudah bermain-main yang menyenangkan. Saat bocah perempuan itu kembali menunduk untuk menggunting, ibu membalikkan badan. Diam-diam menangis tapi cepat-cepat air matanya diseka agar tak ketahuan. 

“Mas Dimas masih punya sisa oli yang disimpan di dekat sumur – kalau tidak salah. Rantaimu bisa diminyakinya nanti,” kata ibu. “Hush, ganti pakaianmu terlebih dulu, Dwi, baru kamu bantu ibu. Seragam itu masih dipakai untuk besok, kan?”

Dwi yang sudah kadung duduk ngelesot di lantai segera berganti baju. Perutnya sudah berkeruyuk lapar tapi ia mengabaikannya. Urusan makan bisa ditunda nanti. Sekarang yang terpenting adalah membantu ibu bekerja. 

Mata ibu awas memerhatikan jelujur jahitan bajunya. Malam nanti pesanan pakaian selusin kebaya harus sudah diantar ke salah satu pelanggan. Seminggu lagi akan ada hajatan nikahan. Seragam itu akan dikenakan untuk para pagar ayu. Ibu sudah menyanggupi sore nanti pakaian itu diantar. Tinggal sedikit lagi pakaian itu selesai dijahit. 

Ibu tetap bekerja dengan hati-hati. Tak ada alasan untuk terburu-buru. Setiap pesanan jahitan sudah disusun sesuai jadwal – tak boleh menunda, semua harus selesai tepat waktu, dengan hasil yang rapi. 

Dwi membantu menggunting pola untuk pakaian seragam kantor. Setelah urusan kebaya pernikahan selesai, ibu akan berganti menyelesaikan jahitan seragam kantor. Hasil dari menjahit cukup untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari. 

“Tolong carikan kacamataku, Dwi. Aku lupa meletakkan di mana setelah dari kamar mandi tadi,” keluhnya. 

Bocah perempuan itu sigap mencari-cari. Ternyata kacamata ibu tersimpan di balik wadah kerupuk. Ibu menerima sambil berseru heran, “bagaimana bisa benda itu kabur sampai ke belakang wadah krupuk?”

Perut Dwi yang lapar berkeruyuk senewen sebagai jawaban. Bocah itu meringis malu. Tapi tetap menolak makan siang dan lebih memilih menyelesaikan pekerjaan menggunting kertas. 

Sejak kecil Dwi selalu meniru pekerjaan ibunya menggunting-gunting pola pakaian. Saat kelas tiga SD hasil pekerjaannya sudah begitu rapi dan teliti. Satu dua pola dipercayakan ibu untuk digunting Dwi. Hasilnya selalu memuaskan. Sejak itu Dwi membantu ibunya menggunting-gunting. 

“Aku ingin jadi perancang baju, Buk. Baju yang bagus, dipakai selebritis, pemain film, penari di luar negeri, hmm... apa lagi, ya? Ingin, ingin sekali...,” gumam Dwi. “Tapi pasti biaya kuliahnya mahal, ya?”

“Uang bisa dicari...,” jawab ibu ringan dan riang. “Yang paling penting kamu sudah tahu ingin jadi apa. Mudah mengejar cita-cita atau keinginan kalau kita tahu apa yang kita ienginkan.”

“Sewaktu kecil dulu, Ibu ingin jadi apa?”

“Ingin jadi ibu yang baik untuk anak-anaknya,” jawab ibu diplomatis.

“Ah, masa masih kecil sudah punya cita-cita jadi ibu-ibu. Nggak seru.”

Ibu hanya meringis. Masa kecilnya ia ingin jadi wanita pengusaha, perempuan yang sibuk bekerja di kantor swasta, ruang ber-AC, berpakaian bagus dan bersepatu hak tinggi dengan suara tak-tok-tak-tok nyaring. Tapi kenyataan berkata lain. Ada mimpi yang berhasil diraih, ada mimpi yang gagal diusahakan. Ibu tahu ia tak bisa mengeluh karena hidup terus berjalan. Lebih baik ia bersyukur dan menjalani keadaan yang ada dengan sebaik-baiknya. Dan, sebagai orangtua ibu memilih tak mengeluhkan kepedihan hatinya di depan anak-anaknya.

“Bu...,” panggil Dwi. “Sebentar lagi bulan Ramadan terus lebaran. Tahun ini Ibu jangan lupa beli baju baru. Masa Dwi sama mas Dimas terus yang dibelikan baju baru.”

“Ya nggak apa-apa, kan,” kata Ibu. “Ibu pakai baju yang lama saja. Masih cukup dan masih bagus, kok.”

“Ibu jahit baju baru, dong,” paksa Dwi. “Masa pakai baju lama terus.”

“Haisshh, sudah. Lebaran masih dua bulan lagi. Masih cukup waktu untuk menjahit baju baru – tapi kayaknya nggak.” Ibu segera melanjutkan ketika melihat anaknya membuka mulut hendak membantah lagi. “Sekarang yang kita perlukan adalah segera menyelesaikan jahitan ini, Dwi. Biar cepat selesai, lalu diantar, dan dapat duit.”

Meski masih kecil Dwi sudah mengerti. Mereka harus menganggap serius bekerja tekun agar dapat duit. Meski kebahagiaan tak bisa dibeli dengan uang, tapi biaya sekolah, bayar listrik, belanja sehari-hari dan kebutuhan lainnya bisa dipenuhi kalau mereka punya cukup uang. 

Mereka berdua kembali tekun dengan pekerjaan masing-masing. Hanya tinggal sedikit lagi jahitan terakhir selesai. Ibu melongok-longok ke arah jendela. Tak lama setelah semuanya beres, yang ditunggu datang juga. 

“Assalamualaikum!” seru seorang remaja laki-laki bersuara keras. “Jadi antar jahitan nggak, Buk?”

Ibu menegur Dimas untuk tidak berteriak-teriak di halaman depan rumah.

“Teriak-teriak kayak tukang parkir aja!” ejek Dwi sambil meleletkan lidah. 

“Memang tukang parkir, kok!” Dimas melempar sebungkus plastik bakpau. Dengan cekatan adik perempuannya menangkap penganan tersebut. Ibu mengomel mengingatkan untuk tak melempar-lempar makanan. 

Pesanan kebaya sudah beres semuanya. Ibu membungkus dengan hati-hati dan teliti. Dimas dan Dwi yang akan mengantar pakaian tersebut. Bakpau pemberian kakaknya dihabiskan sembari menunggu. Perutnya sudah lapar sekali. 

“Pegang yang kuat,” perintah Dimas saat mereka di atas motor. Dwi mengangguk. Tangannya mencengkam kuat-kuat bungkusan kebaya. Karena baik kakak maupun adik tak bisa dadah-dadah, Dimas pamit dengan berseru keras. 

Ibu dan Dwi ber-hush serempak. Suara remaja laki-laki bertampang sangar itu serak seperti ember kosong atau panci dipukul serampangan. Seperti tak mendengar protes keluarganya, Dimas kembali berseru sembari melajukan kendaraan. 

“Kamu jadi terpilih untuk menari di acara perpisahan kelas 6, nggak?” tanya Dimas saat berhenti di perempatan lampu merah. 

Wajah Dwi berubah masam mendengar pertanyaan itu. Pesta perpisahan kelas 6 SD sebentar lagi akan digelar. Sekitar dua bulan lagi. Biasanya, murid-murid akan mengadakan pentas seni; pertujukan drama musikal, tarian, sulap, atau yang nyanyian. Sejak dulu Dwi ingin tampil sendirian di panggung. Tapi paling banter ia terpilih untuk menari beregu bersama teman-teman yang lain.

“Ditanya baik-baik malah cemberut...,’ Dimas memerhatikan air muka adiknya melalui kaca spion motor. “Beri kabar kalau terpilih, ya. Nanti kita beli kain, manik-manik, payet, benang, dan yang lainnya untuk dijadikan sampur paling mahal dan paling bagus. Ditambah lagi jahitan ibu, kamu pasti akan menyedot banyak perhatian saat menari.”

“Ya, semoga saja...,” kata Dwi tak yakin. Para pemain untuk pementasa operet sudah dipilih dan berlatih sejak lama. Sementara pengumuman untuk para penampil tarian masih harus menunggu. Tak ada yang bisa dilakukan Dwi supaya ia terpilih menjadi penari utama. Juga seperti tak ada yang dilakukan untuk mencegah Annisa terpilih lagi menjadi penari tunggal di acara pentas seni. Kecuali kalau seragam dan sampur tari Annisa koyak-koyak. Atau kaki kawannya terkilir karena jatuh terpeleset hingga tak bisa menari, misalnya. 

Dwi menggeleng kuat-kuat. Ia tak suka pada Annisa, tapi tak tega untuk melakukan perbuatan keji tersebut. 

“Kesurupan demit kamu, ya?” ledek Dimas pada adiknya. Motor mereka kembali melaju. “Merem-merem sendiri, cemberut, lalu menggeleng-geleng tidak jelas.”

Dwi memukul punggung kakaknya. Gadis cilik itu sempat kepikiran ingin minta bantuan kakaknya untuk menjahili Annisa – tapi, nanti saja deh. Lagian, Dimas selalu menolak untuk ikut campur urusan adiknya – urusan bayi

Dwi tak pernah marah diledek begitu oleh kakak laki-lakinya. Ibu juga melarang si bungsu untuk jengkel. Dimas yang sekarang jauh lebih baik ketimbang Dimas yang dulu. Sejak ditolong dan dimintai bantuan pak Probo, remaja laki-laki tamatan STM itu lebih mampu mengendalikan tingkah laku dan amarahnya. 

Secara rutin mulai pukul dua dini hari sampai menjelang siang, Dimas bekerja sebagai tukang parkir di pasar besar. Bila pengunjung sudah sepi, ia akan pulang membawa sayur-sayuran atau tahu atau tempe dan menyerahkan sedikit penghasilannya untuk ibu. Setelah tidur barang sejam atau dua jam, remaja laki-laki itu pergi lagi untuk bekerja. Pekerjaan apa saja ia lakukan, asalkan halal dan mendapat bayaran. 

“Pak Probo itu siapa?” tanya Dwi suatu waktu.

“Kepala preman daerah psst-pssttt...” bisik Dimas menjelaskan. “Aku pernah hampir babak belur dihajar preman-preman daerah psst-psstt. Untung pak Probo datang membantu dan menyelamatkan. Setelah itu aku ditegur keras. Katanya, sikap dan perbuatanku yang gampang naik pitam dan berangasan kelak akan merepotkan ibu dan adik perempuanku. Sebagai anak laki-laki seharusnya aku lebih berpikiran waras dan jauh ke depan.” 

Suara Dimas bergetar. Kedua matanya terlihat seperti hendak menangis tapi cepat-cepat dikucek. 

“Aku pikir benar juga kata pak Probo. Ketimbang terus hidup di jalanan enggak jelas, lebih baik aku sekarang mencari banyak duit, membahagiakan ibu, dan menyekolahkanmu tinggi-tinggi,” lanjutnya.

“Kamu saja yang sekolah tinggi,” kata Dwi.

“Aku lulusan STM. Sementara kamu SD saja belum lulus. SD sama STM lebih tinggi mana?”

“Lebih tinggi STM,” jawab Dwi polos.

“Nah, makanya.”

“Makanya apa?” tanya Dwi tak mengerti. Dan Dimas membiarkan saja adik perempuannya kebingungan sendiri. Dasar bayi. 

Kakak beradik itu tiba tepat waktu. Dimas memencet bel rumah mewah di depannya. Seorang ibu muda yang ayu segera keluar menyambut. Mereka masuk ke rumah. Bungkusan kebaya diserahkan. Beberapa pakaian dipatut-patut dicoba di depan cermin besar di ruang tengah. Seruan kagum dan pujian terdengar bersahut-sahutan. Sepertinya sedang ada kumpul keluarga. 

Ibu muda yang ayu kembali keluar. Ia menyerahkan amplop tebal berisi uang. “Tolong dihtitung lagi setelah sampai rumah. Kalau kurang, ibu kalian tinggal kirim pesan saja. Saya akan mampir untuk menambahi kekurangan.” Perempuan tuan rumah itu tertawa sopan. “Maklum saya sudah tua, bungsu akan menikah, mulai pikun.”

Hah, pikun? Dwi tidak melihat ada uban di rambut lurus yang berkilau ibu si pemilik rumah. Tapi bocah perempuan itu diam saja. 

Sebelum Dimas dan adiknya pergi, ibu itu menyelipkan masing-masing selembar uang berwarna biru. Dimas menolak dan memaksa adiknya mengembalikan uang itu. 

Ibu pemilik rumah menahan keduanya. “Kalian anak baik. Membantu meringankan pekerjaan orang tua adalah pekerjaan mulia. Terimalah uang itu sebagai wujud kagumku pada kalian.”

Dimas mengucapkan terima kasih dengan begitu sopan. Dwi sampai heran sendiri dari mana kakaknya bisa punya sikap seperti barusan – secara, dia kan begundal pasar. Dimas menyepak kaki adiknya. Buru-buru Dwi menunduk sembari mengucapkan terima kasih dengan cara yang tak kalah sopan. 

Sore itu angin bertiup segar. Laju motor seperti terasa begitu ringan. Dimas mengajak adiknya mampir beli es krim.

“Pakai uangku saja, Mas Dimas,” kata Dwi. “Uangmu ditabung saja. Katamu mau bikin ternak lele atau bebek. Katamu modalnya besar. Butuh duit banyak.”

“Uangmu yang harus ditabung. Lagian, aku kan sudah punya penghasilan sendiri, sementara kamu mengusap ingus saja nggak becus.”

“Maksudnya apa? Hubungannya uang sama ingus apa?”

“Belum bisa cari uang sendiri.”

Dwi kembali memukul punggung kakak laki-lakinya, dengan tak serius. Tak lama mereka berdua makan es krim. Rasanya enak sekali. Mereka bisa makan enak seperti ini kalau dapat uang tambahan atau uang saku lebih saat lebaran. 

“Enak, ya?” tanya Dimas.

“Hm-mm...,” jawab Dwi tak jelas karena sibuk menjilat dan mencaplok es krim. “Setelah aku pikir-pikir, kamu benar, Mas. Uangnya mau aku tabung. Aku pengin beliin Ibu baju baru untuk lebaran Idulfitri besok.”

“Sebentar lagi puasa, ya?” gumam Dimas sedih. “Ibu mau kamu belikan baju baru?” tanyanya. Adik permepuannya mengangguk.

“Nggak usah mikir baju baru. Tujuannya ada bulan puasa dan hari raya Idulfitri nggak cuma mandeg di baju baru saja.”

“Tapi aku suka sedih kalau lihat Ibu pakai baju yang itu-itu aja pas lebaran.” Suara Dwi seperti tercekik. Bocah itu mengusap air matanya yang hendak mengalir turun. “Ibu sudah capek cari duit buat kita, Mas. Aku pengin sekali-sekali memberi Ibu hadiah. Nggak apa-apa kan, ya?”

“Ya, nggak apa-apa. Asal jangan menyusahkan – ya menyusahkan Ibu, ya menyusahkan kamu sendiri.”

“Nggak, kok.” Dwi menyusut ingusnya kuat-kuat. Air matanya meninggalkan bekas cemong. “Nggak repot. Beneran.”

“Kamu belajar saja yang rajin. Buat ibu bangga. Kejar cita-citamu. Jadilah anak yang baik,” nasihat Dimas. “Cukup aku saja yang pernah jadi berandalan. Kamu jangan.”

Dwi mengangguk dan berjanji untuk belajar rajin demi meraih cita-cita dan membuat ibu bangga. Tapi tidak untuk tidak bersikap bengal. Ia kan sudah punya niat baik untuk membahagiakan ibu. Tuhan pasti maklum kalau ia masih punya niat untuk nakal sedikit. 

“Oh, anak ini sudah punya niat baik. Nggak apa-apa, deh, kalau mau bandel sedikit.” Begitu ilustrasi perkataan Tuhan di dalam benak Dwi. 

Gadis cilik itu masih ingin jadi anak nakal untuk membalas perbuatan teman sekelasnya. Meski tak melihat dengan mata kepala sendiri, Dwi yakin Annisa-lah yang menjepret punggungnya dengan peluru kertas dan ketapel karet. Perbuatan usil itu harus dibalas dengan perlakuan yang lebih pedih! Awas kamu, Nisa! [dps]
 


▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Annisa Fitri - Bab 06: Pesta Rambutan #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 06↴Annisa memang bandel. Seharusnya ikut pelajaran menari di pendapa bersama Mbak Lastri, bocah itu malah kabur! Pesta rambutan bersama anak-anak kampung. Makan rambutan yang banyak sekali. Enaakk banget. Berair dan manis. Kapan lagi, ya, nggak? Kalau nggak sekarang, keburu masuk bulan puasa, jadi nggak bisa makan rambutan sore-sore, deeh.Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Surat Annisa Fitri'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan