Surat Annisa Fitri - Bab 04: Pletakk! #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 04

Dwi meledek Annisa dengan menari. Annisa yang tak suka tulisan karangan Bahasa Indonesianya diejek mengetapel Dwi dengan kencang, “Pletaakk!!” Sejak kelas 2 Dwi memang selalu menganggap Annisa sebagai saingannya. Sulit dikalahkan.

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Surat Annisa Fitrii'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Neng, ning, nung, guuung...! Neng, ning, nung, guuung...!”

Annisa masuk kelas disambut gamelan yang ditabuh mulut. Dwi di bagian belakang kelas menirukan gerakan tari Jawa. Mulutnya terus menirukan alunan musik gamelan. “Ning, nang, ning, gung. Sampur ibuku terlempar jauh. Jauhh sekali sampai masuk blumbang1.

Murid-murid di dalam kelas mengiki-h-ngkih. Dwi, teman sekelas berambut ikal, kusut, dan merah, terus berjoget mengganggu Annisa. 

“Aku menari Jawa, terinspirasi dari puisi seorang penyair.” Dwi menggerak-gerakkan leher dengan lincah, tangannya diayun-ayunkan di samping badan. Kedua matanya tiba-tiba membelalak. “Tapi, serangan alien datang ke bumi! Sampurku jadi senjata! Sampurku memanjang! Panjang seperti jalan tol yang klubus2 kena air hujan!”

Suara mengikik terdengar lagi. Meski menjengkelkan, ejekan Dwi memang terdengar lucu sekali.

Bel tanda istirahat usai baru saja berbunyi. Murid-murid sudah masuk kelas. Guru-guru belum datang. Mungkin sedang baru bersiap berjalan menuju kelas yang harus dituju.

Ning, nang, ning, gung pak bayaan, sega jagung ora doyaan...” Dwi kembali melenggak-lenggokkan tubuhnya. Tiba-tiba kedua matanya melotot, napasnya seperti tercekik. “Aku dibawa pergi, hilang, ke luar angkasa, sampur tariku panjaang, panjaang seperti lengkung bulan sabit.” 

Bocah perempuan itu meliuk-liukkan tubuh dengan paras seperti ketakutan. Tawa murid-murid di kelas semakin keras. 

Annisa tak membalas. Ia bergegas duduk di bangku. Begitu juga dengan teman-teman yang lain. Begitu juga dengan Dwi. Bocah perempuan itu segera menyelinap duduk begitu ibu guru masuk kelas. 

Tak lama kelas menjadi hening karena murid-muridnya sibuk mengerjakan soal-soal matematika. Bu Guru menyapukan pandangan. Setelah meminta murid-muridnya mengerjakan soal, Bu Guru juga meminta agar mereka tenang. Boleh mengacungkan jari bertanya bila memang ada rumus atau soal yang tak terpecahkan. 

Tangan Annisa merogoh kolong meja belajar. Ia ingat menyimpan beberapa karet gelang. Bocah itu juga merobek halaman kertas dari buku perlahan-lahan. Martina, kawan sebangku Annisa, menyenggolkan sikunya. 

Annisa memberi tanda supaya temannya tetap tenang-tenang saja. Lembaran kertas itu dirobek-robek dalam ukuran kecil, dilipat-lipat persegi hingga kecil sekali, lalu ditekuk menjadi dua. 

Karet gelang itu dijadikan pelontar seperti ketapel. Kertas yang dilipat kecil dikaitkan pada salah satu bagian, ditarik ke belakang seperti menarik anak panah yang sudah dikaitkan pada tali busur, lalu...

Annisa mengincar bahu belakang. 

– lepaskan!

Pletakk!

“Aduh!” pekik Dwi. Bocah perempuan itu sontak menoleh ke belakang. Mencari tahu pelaku yang menembaknya menggunakan ketapel gelang karet. 

Annisa segera menunduk. Pura-pura tekun mengerjakan soal latihan. Ia tergoda untuk mendongak sambil memasang wajah polos, tapi tak dilakukannya. Ia masih ingin menjepret Dwi untuk kali ke—

Lipatan kertas yang telah ditautkan karet ditarik mulur ke belakang. Mata Annisa menyipit dengan lidah terjepit di antara bibirnya – tanda ia sedang fokus. Lalu, jepret!

Pletakk! Pletakk! Pletakk!

Tiga jepretan sekaligus! Karet gelang segera disembunyikan. Potongan kertas diraup menjadi satu dan dilempar ke dalam rak meja tulis. 

Dwi memekik-mekik kesakitan. Bu Guru menegurnya keras.

“Saya dijepret karet gelang, Bu! Eh, dijepret kertas!” Bocah perempuan itu memutar tubuh ke belakang. Matanya mencari-cari siapa pelakunya.

Martina bersenandung lirih. “Ning, nang, ning, gung....” Kedua bocah yang duduk sebangku itu menunduk bersama-sama sambil cekikihan. Tawa mereka tersamar oleh kegaduhan murid-murid sekelas. 

“Sudah. Sudah. Tenang semua, Anak-anak!” seru Bu Guru. “Sudah selesai mengerjakan soal-soal matematikanya? Kalau sudah, Ibu akan tunjuk satu demi satu untuk mengerjakan di depan kelas.”

“Beluum, Buuu...!” Seruan belum serempak diucapkan murid sekelas. Anak-anak kelas 5B kembali membenamkan wajah pada halaman buku di hadapan mereka. Dwi masih sesekali menengok belakang. Bocah perempuan itu curiga yang menjepretnya adalah Annisa. Bocah sok manis berkulit sawo matang itu paling berani melawan keusilannya. 

Saat pulang sekolah, Dwi gesit mendatangi bangku Annisa dan Martina. Wajahnya yang galak seperti tak main-main. Tangannya merogoh laci meja tulis Annisa. Bocah perempuan itu tak menemukan apa-apa. Secara kasar pula tangan Dwi mencari karet gelang di saku rok kawannya. 

Annisa menepis keras tangan Dwi. “Tidak sopan!” 

Dwi tidak menemukan apa yang dicarinya. Bahkan sobekan kertas yang digunakan sebagai peluru ketapel. Tentu saja, karena karet gelang dan sobekan kertas sudah disimpan di bagian paling bawah tas ransel Martina. 

“Awas kamu, ya! Pasti akan kubalas!” ancam Dwi sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuk.

“Tapi kan Annisa tidak berbuat apa-apa!” seru teman lain yang sedang bergegas-gegas hendak pulang. 

“Benar juga, ya?” Dwi menyadari kesalahannya. Tapi sedetik kemudian ia sudah kembali memasang wajah galak. “Pokoknya aku tahu. Awas saja kalian – tepatnya, kamu, Annisa!” 

Annisa dan Martina saling memandang lalu keduanya mengangkat bahu santai. 

Dwi menghentakkan kaki kesal, lalu pergi. Setelah yakin bocah usil tapi pemarah itu hilang dari pandangan, tawa Annisa dan Martina tersembur keluar. 

Sejak kelas 2 Dwi sudah menganggap Annisa sebagai saingan kalau kebetulan mereka sekelas. Hanya saat kelas 3 saja mereka berbeda kelas, selebihnya selalu satu kelas. Itu artinya empat tahun mereka selalu bersaing mendapatkan posisi rangking 1. 

Annisa sulit dikalahkan. Baik dalam pelajaran atau hal-hal lainnya. Menarinya Annisa pun luwes sekali – padahal bocah itu terkenal paling sering bolos saat latihan. Dwi ingin bisa menari tunggal saat pentas seni akhir tahun ajaran atau saat tujuh belasan Agustus. Tapi ia selalu terpilih menari beregu bersama teman-teman yang lain. Sementara Annisa selalu terpilih untuk menampilkan tarian solo. 

Ibu Wali Kelas sering memuji karangan Annisa sebagai tulisan yang bagus. Padahal menurut Dwi kalimat dan susunan cerita kawan sekelasnya itu aneh. Sementara hasil tulisannya yang dipikirkannya dengan masak-masak tak begitu dianggap istimewa. 

Dwi pernah berpikir jangan-jangan karena Annisa masih keturunan ningrat dan datang dari keluarga kaya-raya, makanya guru-guru dan bahkan mbak pelatih esktrakurikuler tari lebih berpihak padanya. Tapi, kalau dipikir-pikir sebenarnya ya tidak juga. 

Annisa jarang berlagak dan menyombongkan silsilah dan kekayaan keluarganya. Saat jam istirahat, kawan sekelas Dwi itu lebih senang memanjat pohon jambu di halaman belakang sekolah bersama murid-murid laki-laki lainnya. Ketimbang main lompat tali, Annisa lebih senang bermain kasti di lapangan bola. Annisa pun tak selalu dijemput mobil Eyang Utinya. Kadang ada remaja laki-laki, dengar-dengar itu anak pak sopir, menjemput Annisa dengan motor bebek sederhana. 

Sepertinya, sekuat apa pun Dwi berusaha, ia takkan bisa mengungguli Annisa. 

Dwi pulang dengan hati kesal. Pikirannya terus mencari cara bagaimana ia bisa menganggu dan melampiaskan kekesalan hatinya.

Sementara itu Annisa berjalan keluar halaman sekolah. Di parkiran ia melihat Jundan sudah menunggunya di motor. Anak gadis itu memekik kesenangan. 

“Tancap gas, Mas Juuun!” serunya sambil naik ke boncengan belakang. 

Jundan adalah anak pak sopir dan mbok Darmi. Mereka sekeluarga tinggal bersama di rumah Eyang Uti. Jundan bahkan punya kamar sendiri. Meski sempit tapi remaja kelas 1 SMK jurusan multimedia itu sudah merasa bersyukur. Eyang Uti dan keluarga besar membantu biaya sekolahnya yang tak sedikit. 

Biasanya kalau Eyang Uti sedang repot, Jundan akan menjemput Annisa. Masih dengan seragam sekolah, remaja laki-laki itu mengarahkan motor bebek Astrea Prima ke sekolah Annisa. Jam pulang sekolah anak SD sekarang ngalah-ngalahin jam pulang kerja PNS kantoran, pernah Eyang Uti mengeluh seperti itu. Jundan yang bertubuh gelap dan gempal namun wajahnya ramah hanya tertawa sopan. Ia tak pernah keberatan bila harus mampir menjemput cucu eyang terlebih dulu sebelum pulang ke rumah.

“Mau mampir beli es krim, nggak?” tawar Jundan.

“Mau!” pekik Annisa kegirangan. Inilah yang membuatnya senang bila dijemput anak mbok Darmi yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka kerap mampir beli es krim atau penganan ringan lainnya. 

Jundan menyerahkan helm berukuran kecil untuk dikenakan Annisa. Ia juga menyerahkan kartu pos bergambar patung anjing Hachiko. 

“Kartu pos dari Bapak!” seru Annisa. Girangnya dobel-dobel. Ia menyahut cepat selembar kertas tersebut. Patung anjing Hachiko artinya bapak sedang pentas di Jepang. Bocah perempuan itu membalik cepat-cepat. Sebelum sempat membaca puisi atau sedikit cerita perjalanan yang kerap dituliskan Bapak, mata Annisa menangkap secarik kertas menempel di bagian tengah kartu pos. 

Mas Jundan, tolong dituliskan sedikit puisi. Aku sedang sibuk sekali. Ini saja sampai lupa mau menitipkan kartu pos untuk Annisa. Untung sore kemarin kamu menyempatkan diri mampir rumah. -- Probo

“Pegangan yang erat, Mbak Nisa,” kata Jundan dengan ceria. Remaja itu menoleh ke belakang karena yang diajak bicara diam saja. Tak menjawab dan juga tak mencengkeram saku jaket untuk berpegangan seperti biasanya. 

Kedua bagian luar alis Annisa mencuat ke atas. Bocah perempuan itu merengut semerengut-merengutnya. Ia menunjukkan sobekan kertas yang ditempel pada bagian kartu pos. Protesnya sudah seperti raungan macan. 

“Ini apa, Mas Jundan!? Jadi selama ini mas Jundan yang menulis puisi! Jadi Bapak ada di rumah!?”

Jundan gelagapan. Air mukanya tampak bersalah. Ia ceroboh karena tak memeriksa kartu posnya sekali lagi. Catatan dari pak Probo, bapaknya Annisa, masih merekat erat. Lupa dikelupas. Oh, gobloknya. Konsentrasi Jundan agak berkurang pasti karena sedang puyeng mengerjakan tugas. 

“Begini, Mbak Nisa... Cuman sekali itu saja, kok. Kebetulan pas Bapak repot. Biasanya juga Bapak sendiri yang menulis. Eh, maksudku....” Jundan menutup mulut cepat-cepat. Remaja laki-laki itu keceplosan. 

“Aku nggak mau es krim! Kita langsung pulang saja! Pegal hatiku!” Sepanjang perjalanan pulang Annisa merengut semerengut-merengutnya. Ia menyimpan kartu pos di bagian depan tasnya. Kartu pos dan kertas catatan takkan dikembalikan pada Junndan. Ia mau menyimpannya sebagai bukti kecurangan. 

Untung kemarin sore kamu menyempatkan diri mampir ke rumah. 

Annisa tertegun di boncengan belakang. Motor sedang berhenti di lampu merah perempatan jalan. “Heh, Mas Jundan! Mas Jundan!” tangan mungil Annisa mengguncang-guncang bahu remaja laki-laki di depan. “Bapak ada di rumah, Mas Jundan? Mas Jundan tahu rumah Bapak!? Antar aku ke sana!”

“Nggak, ah, Mbak. Kita harus pulang sekarang,” tolak Jundan. “Kan, tadi Mbak Nisa sendiri yang minta langsung pulang!”

“Aku ganti – antar aku, Mas Jundan!” DesakanAnnisa terhenti karena lampu sudah berubah hijau. Kendaraan melaju-laju kencang. Tak boleh bercanda atau tak konsentrasi menyetir kendaraan bagi seluruh pengguna jalan. Untuk sementara Jundan terbebas dari pertanyaan dan tuntunan cucu Eyang Uti. 

Sesampai mereka di rumah, Jundan segera menghilang. Setiap kali Annisa menyusul, remaja laki-laki itu sudah berpindah ruangan untuk mengerjakan hal lain. Begitu terus sampai si bocah perempuan kesal sendiri. Ia menghentakkan kaki lalu memutuskan masuk kamar. [dps]

_______
1 Empang, kolam
2 Basah kuyup


▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Annisa Fitri - Bab 05: Uang Tambahan #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 05↴Kalau Annisa sudah nggak punya Ibu, Dwi sudah nggak punya Bapak. Bersama kakak laki-laki semata wayangnya, Dimas, mereka membantu Ibu yang bekerja sebagai penjahit. Dwi pengin saat Lebaran nanti Ibu mengenakan baju lebaran yang baru. Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Surat Annisa Fitrii'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan