Surat Annisa Fitri - Bab 03: Menguping Dengar #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 03

Eyang Uti curhat ke Om Yudi tentang karangan Annisa. Om Yudi bilang mau sampai kapan Eyang Uti melarang Annisa bertemu dengan bapaknya? Oh, ya, Bapak! Annisa jadi ingat ia punya sekotak kartu pos berisi tulisan puisi-puisi Bapak saat berkunjung ke luar negeri. Tapi, ini rahasia, ya. Jangan sampai Eyang Uti tahu.

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Surat Annisa Fitrii'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Eyang Uti makan malam dengan wajah murung. Masakan yang dibikin mbok Darmi sangat enak, tapi hanya sedikit saja yang dihabiskan beliau. Annisa juga makan sedikit. Ia tak bersemangat menyantap nasi sop perkedelnya. Malahan kemudian menyobek-nyobek roti pisang lalu dikunyahnya pelan-pelan. 

Eyang Uti biasanya akan mengingatkan untuk menghabiskan apa yang sudah diambil. Tapi kali ini hanya diam saja. Berkali-kali beliau mendesah, menopang dagu, lalu mendesah lagi. 

Suasana tetap tidak enak. Annisa memutuskan segera masuk kamar. Padahal biasanya ia punya jam bebas menonton acara kartun di tivi kabel selama sejam. Sebelum kemudian masuk kamar untuk belajar, mengerjakan PR, dan tidur. 

Eyang Uti selalu muram kalau sedang membahas ibu dan bapak. Ibu sudah meninggal dunia saat Annisa masih kecil sekali. Bapak yang sedih pergi dari rumah. Annisa ditinggalkan untuk dirawat Eyang Uti. Sesekali Bapak menelepon dari luar negeri. Sejak Annisa bisa mengingat, mereka belum pernah ketemu secara langsung. 

“Pernah. Pernah ketemu, kok. Cuman waktu itu kamu masih kecil sekali, jadi tidak ingat,” kata Eyang Uti suatu waktu. 

Setiap lebaran Idulfitri Annisa selalu menunggu kedatangan bapak. Tapi orangtua itu tak pernah muncul. Bahkan juga tidak menelepon. Eyang Uti dan saudara-saudara yang lain tak pernah mencari. Kalau ditanya pun, mereka selalu mengalihkan topik pembicaraan. 

Annisa berhenti sebentar dari mengerjakan PR. Telinganya mendengar suara mobil masuk halaman rumah. Ah, itu pasti om Yudi. Hanya bungsu Eyang Uti yang belum menikah yang sering datang ke rumah. 

“Aku membawa martabak, Eyang,” sapa om Yudi. Laki-laki muda itu turut memanggil eyang alih-alih ibu untuk menyamakan panggilan dengan keponakan-keponakannya. “Eyang kok cemberut saja. Kenapa? Annisa mana, Eyang?”

Kali ini Annisa tidak mau keluar kamar. Padahal perutnya keroncongan. Ilernya hampir menetes-netes keluar membayangkan martabak telur dan martabak manis.

Terdengar langkah mbok Darmi dan denting piring yang diletakkan di atas meja. Pasti penganan itu sedang ditata rapi. Makanan itu disajikan untuk menemani obrolan Om Yudi dan Eyang Uti. 

Dua orang dewasa itu membicarakan hal yang kurang menarik. Pekerjaan om Yudi sebagai arsitek. Capek kerja lembur. Pertanyaan Eyang Uti tentang kapan om Yudi menikah, yang dijawab; gampang-lah itu. Gerutuan Eyang Uti yang panjang – tapi tak sungguh-sungguh marah. Obrolan tentang ini dan itu. 

PR Annisa sudah selesai dikerjakan. Besok tidak ada ulangan harian, tapi bocah itu tetap membaca dua buku pelajaran. Konsentrasinya sedikit buyar ketika mendengar keluhan eyang.

“Annisa mengarang-ngarang lagi. Tentang ibunya.” Eyang Uti lupa merendahkan volume suara. 

Bocah perempuan itu berjingkat turun kursi. Telinganya menempel di pintu kamar.

“Terus? Sampai kapan Ibu menyembunyikan cerita tentang Mbak Ajeng?” tanya om Yudi. Saat tak ada Annisa atau keponakan yang lain, laki-laki itu akan memanggil ibu pada eyang. “Mau tidak mau, aak itu pelan-pelan harus diberi tahu. Tidak selamanya rahasia bisa disembunyikan.”

Eyang Uti ber-sstt-ssttt. “Tidak ada rahasia,” bisiknya.

“Melarang mas Probo bertemu anaknya itu bukan rahasia?” Om Yudi balas bertanya. “Ibu juga malah masih mengatur kapan bapaknya Nisa bisa menelepon anak perempuannya.”

Eyang Uti mendesah keras-keras. 

“Anak itu minta ziarah ke sarean ibunya saat lebaran, Yud,” keluh Eyang Uti.

“Ya, apa salahnya? Izinkan saja, Bu.”

“Ziarah bareng eyangnya ini dan... bapaknya.”

“Sekali lagi, apa salahnya? Toh, Annisa ke sana tidak untuk cari jimat atau nomor togel.” Terdengar samar kekehan om Yudi. 

“Jangan guyon,” sungut Eyang Uti. Suaranya kemudian terdengar gemetar. “Aku belum bisa, Yud.”

Tak terdengar lagi percakapan. Hanya denting sendok kena gelas saat mbok Darmi membikinkan segelas kopi hitam untuk om Yudi. 

“Annisa semakin besar. Sebentar lagi kelas 6. Lalu SMP, SMA. Remaja. Sampai kapan Eyang akan terus menyembunyikannya dari kenyataan?” tanya om Yudi lembut.

“Siapa yang menyembunyikan?” seru Eyang Uti tak terima. Lalu, volume suaranya merendah. 

“Sekarang saja Annisa bengalnya sudah bukan main.” Tawa om Yudi terdengar membahana. “Tidak kebayang kalau bocah itu sudah SMP atau SMA. Bandelnya akan menjadi-jadi. Berbuat semaunya sendiri. Eyang bisa membayangkan, saat Annisa remaja ia akan diam-diam pergi menemui bapaknya sendiri?

“Aku tidak menyembunyikan apa-apa, Yud!” sengit Eyang Uti. 

“Sebentar lagi puasa, lalu lebaran. Masa Eyang mau mengulang hal yang sama –“ Suara om Yudi terdengar begitu lirih. Sampai-sampai Annisa hampir tak bisa mendengarnya dengan jelas. “Menerima telepon sambil mengomel-ngomel, melarang keras bapaknya Annisa datang menemui anak semata wayangnya. Coba bayangkan kalau Eyang ada di posisi –“

“Niatku baik, Yud!” suara Eyang Uti mulai tersendat. “Aku cuma ingin Annisa punya masa depan cerah. Sebagai turunan keluarga priyai, aku tak ingin cucuku menjadi seniman seperti bapaknya! Gondrong, cengengesan, hidup tak beraturan, gaji tidak pasti!”

“Bapaknya Annisa seniman besar lho, Bu,” tegur om Yudi sembari masih terkekeh sopan. “Sering kerjasama dengan pihak luar negeri.”

“Halah. Main film juga bukan film komersil.” Eyang Uti sewot. “Mana pernah si Probo itu foto-foto bareng Reza Rahadian atau Aliando. Paling juga sekelas Bowo Alpenliebe.”

Om Yudi mendengus keras karena kesulitan menahan tawa. “Tapi, film-film mas Probo banyak yang mendapat penghargaan festival bergengsi.”

“Aku lebih senang punya mantu seorang dokter – seperti masmu yang pertama, PNS seperti mbakmu yang kedua, bankir – seperti pakdemu yang koaya roaya itu, atau minimal arsitek kayak kamu itu!”

Om Yudi tak sakit hati disebut sebagai pekerjaan minimal. Laki-laki itu malah terus tertawa mendengar omelan eyangnya Annisa.

“Aku senang melihat mantuku berpakaian formil, rapi, tutur katanya sopan, pandai membawa diri, enak dilihat, potongan rambut cepak, sepatu mengkilat, setelah jas jahitan mahal, sehingga kalau tamu-tamu kita melihat pasti akan berbisik kagum, ‘priayi mana itu, kok bagus dan gagahnya sungguh-sungguh nyata, bukan fatamorgana’.’

“Meski gondrong bapaknya Annisa pandai membawa diri. Tamu-tamu Eyang tertawa semua saat mendengarnya guyon, bukan? Lagian zaman sudah modern, Bu. Orang-orang tidak peduli apakah bapaknya Annisa itu seorang keturunan priyai atau bukan, yang penting mereka nyaman dan –“

Eyang Uti meradang. “Pokoknya aku tak terima! Aku tidak mau trah keluarga priyai kita rusak harkat dan martabatnya karena seorang seniman – ya bapaknya Annisa itu! Annisa sudah benar kurawat dan kubesarkan dengan nilai-nilai dan tata tertib seorang keturunan ningrat yang terhormat.”

Kedatangan mbok Darmi menghentikan percakapan ibu dan si anak bungsu. 

Annisa beringsut kembali ke meja belajar. Jadi selama ini Eyang Uti yang melarang bapak menemuinya? Eyang Uti juga selalu menghalang-halangi ia ketemu bapak untuk ziarah ke makam ibu? Kok Eyang Uti jahat, sih?

Pintu kamar Annisa diketuk seseorang. Bocah itu hampir saja melompat jatuh dari kursi. Cepat-cepat ia menyahut buku sambil memasang wajah merengut seolah-olah sedang pusing mengerjakan PR saat membukakan pintu. 

“Apa, Om?” tanyanya sok jengkel karena kesibukannya belajar terganggu. Padahal aslinya jantung Annisa hampir saja melorot hingga dengkul.

Om Yudi menyodorkan sebatang cokelat kacang mede berukuran jumbo. Kedua mata Annisa membulat kesenangan. Cepat-cepat ia menyahut pemberian itu. 

“Terima kasih, Om!” 

“Dimakan sedikit-sedikit. Jangan lupa gosok gigi sebelum tidur.” Om Yudi urung beranjak. Ia menatap keponakannya dengan serius. “Eyang Uti sangat menyayangimu. Jangan pernah berpikiran buruk tentang eyang, ya.”

“Tapi –“ Annisa sudah hendak protes. 

“Kalau pakai tapi, balikin cokelatnya sini.”

Annisa cemberut. Lengannya mendekap cokelat jumbonya kuat-kuat. “Curang....”

“Ya, itu enaknya jadi orang dewasa. Bebas berbuat curang apalagi cuman ngadepin kutil kecil kayak kamu itu.” Om Yudi menandak-nandak gembira, hanya untuk meledek keponakannya. “Belajar yang rajin makanya, biar cepat besar.”

Tak lama kemudian wajah omnya berubah kembali serius. “Besok-besok lagi jangan menguping ya, Nis. Nggak baik.”

“Kenapa?” Annisa balik bertanya dengan berani. 

“Menguping dengar hampir sama dengan mencuri. Tapi dalam bentuk yang lain. Kalau memang mau ngobrol bareng, lebih baik keluar kamar. Duduk aja di sebelah Om. Biar kalau Eyang mulai ngomel-ngomel, Om bisa membela dan melindungi kamu.” 

Annisa mencibir. Bibir bawahnya maju. Ia jelas tidak mungkin keluar dan ikut nimbrung obrolan tadi. Eyang pasti akan mengganti topik pembicaraan tentang bapak atau ibu ke hal lain setiap melihat cucu perempuannya keluar. 

Om Yudi pura-pura mengikat cibiran bibir keponakannya dengan karet yang juga pura-pura. Laki-laki dewasa dan anak perempuan itu berteriak-teriak sambil tertawa-tawa. Mereka bercanda sebentar. Begitu om Yudi berlalu, Annisa segera menutup pintu kamar rapat-rapat. 

Omong-omong tentang cokelat....

Annisa menggeser kursi belajar. Ia menggunakannya sebagai pijakan untuk mengambil kotak kado yang tersimpan di bagian atas meja belajar. Bocah perempuan itu turun hati-hati dengan membawa kotak berisi kartu pos. 

Ada satu puisi dari kartu pos Bapak yang bicara tentang cokelat. Kartu pos yang Annisa dapatkan secara diam-diam. Bocah itu mencabut selembar kartu pos bergambar pegunungan Swiss dari tumpukan. Ah, ini dia....

Secangkir cokelat panas yang hangat dan dekat

Seulas senyummu yang jauh namun terasa dekat

Di benak, di hati, di pelupuk mata, di seutas senyum

Annisa berhenti membaca. Sudah lama sekali sepertinya Bapak tidak lagi mengirim kartu pos berisi puisi. Bocah perempuan itu mengaduk-aduk isi kotak. Kartu pos terakhir ia terima sekitar empat bulan lalu. 

Kapan kira-kira Bapak mengirim kartu pos lagi? [dps]


▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Annisa Fitri - Bab 04: Pletakk! #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 04↴Dwi meledek Annisa dengan menari. Annisa yang tak suka tulisan karangan Bahasa Indonesianya diejek mengetapel Dwi dengan kencang, “Pletaakk!!” Sejak kelas 2 Dwi memang selalu menganggap Annisa sebagai saingannya. Sulit dikalahkan.Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Surat Annisa Fitrii'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan