
TENTANG BAB 02↴
Eyang Uti dipanggil menghadap Ibu Wali Kelas. Aduh, aduh, pasti Annisa membikin onar lagi. Cucu keturunan priyai ini kok senengnya bikin masalah terus, ta? Eyang sampai pusing dibuatnya.
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Surat Annisa Fitrii' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Ibu Wali Kelas kebingungan ketika melihat Eyang Uti muncul di ruang guru. “Padahal kan seharusnya besok –ah, Nisa...,” keluhnya sembari meletakkan bakpau yang masih tersisa separuh.
Selepas mengajar tadi perutnya lapar. Ibu Wali Kelas memutuskan untuk mengisi perut terlebih dulu sebelum pulang. Akhirnya sekarang beliau mempersilakan Eyang Uti untuk berbincang.
Eyang Uti menhenyakkan tubuh berisinya ke sofa di bagian depan ruang guru. Eyang membetulkan letak kebaya modernnya yang sedikit tersingkap. Rok panjangnya bermotif batik tapi potongannya trendi sekali.
“Barusan Annisa memberi kabar kalau saya harus menghadap Ibu Wali Kelas. Ada apa ya, Bu? Pasti cucu saya membikin masalah lagi. Haduuh, haduuh, sebentar lagi bulan Ramadan, tapi saya kok hati saya tetap belum bisa tenang sepenuhnya! Saya tidak yakin semua setan akan dikerangkeng! Pasti masih akan ada satu setan yang bebas berkeliaran – menggoda cucu saya untuk terus usil! Ibu mohon bersabar, ya. Saya akan tegur cucu saya dengan keras!”
Annisa menyusul duduk di sebelah Eyang Uti. Kedua alisnya ditautkan rapat-rapat. Kedua matanya menyipit – siap menyangkal setiap tudingan salah Ibu Wali Kelas.
Ibu Wali Kelas melihat tak ada gunanya menunda pembicaraan sampai besok. Ia langsung bertanya ke pokok permasalahan. “Apakah mendiang ibunya Annisa dulunya benar seorang penari, Ibu Prasodjo?”
Eyang Uti berhenti merepet lalu tergagap-gagap. “Ya. Eh, iya benar. Betul. Ada apa, Bu Guru?” tanyanya. “Kenapa kok tiba-tiba?”
“Syukurlah. Annisa ternyata masih menuliskan hal yang benar.”
“Saya memang mengarang-ngarang tapi tidak mengada-ada, Bu,” sahut Annisa merasa sedikit unggul. Ia memang tidak membikin-bikin profesi ibu, kecuali bagian alien. Selain itu ia bangga karena telah mendapatkan frasa mengada-ada dari sebuah buku tebal yang dipinjamnya dari mas Jundan – remaja anak mbok Darmi. Pasti sekarang ia terdengar cerdas.
“Benar, Nisa. Ibu hanya mengkonfirmasi ulang pada Eyang Uti,” balas Ibu Wali Kelas lembut.
“Apa itu konfirmasi?” tanya Annisa.
“Semacam menegaskan. Meyakinkan jawaban.”
Eyang Uti ber-oo panjang. “Cucu saya pasti membikin masalah lagi saat pelajaran Bahasa Indonesia ya, Bu? Saya tahuuu... saya tahuuu.... Sudah berapa kali Eyang beri tahu untuk tidak mengarang-ngarang, Annisa! Kamu boleh berkhayal tapi tolong jangan sembarangan. Kenapa kamu tidak menulis saja tentang alien atau putri duyung atau putri kerajaan atau –“ Eyang Uti megap-megap sendiri. “Maafkan saya, Bu. Lain kali akan saya periksa terlebih dulu tugas mengarang cucu saya ini sebelum dikumpulkan.”
“Hih! Nggak mau, Eyang! Masa buku tugas Annisa pakai diperiksa-periksa Eyang. Itu melanggar... ehm... priv... ehmmm... itu melanggar privasi, Eyang!” protes Annisa. Kedua alisnya yang merengut mencuat semakin tinggi ke atas.
“Saya pernah membaca tugas-tugas mengarang bahasa Indonesia, baik yang membahas langsung atau tidak, pekerjaan ibunya Annisa selalu berganti-ganti. Pertama, polisi. Kemudian, peragawati. Berikutnya dokter anak. Lalu, hmm... penari.” Ibu Wali Kelas tersenyum ke arah muridnya. “Ibu senang kalau akhirnya kamu bercerita sesuai keadaan sebenarnya.”
“Keadaan sebenarnya –“ Annisa menaikkan volume suaranya. “Keadaan sebenarnya adalah – sebenarnya saya –“
“Terima kasih atas perhatiannya, Ibu Guru!” potong Eyang Uti. “Tidak mudah bagi saya menjelaskan kepergian ‘itu’ pada bocah bengal macam cucu saya ini. Terlebih lagi saat itu ia masih begitu kecil.”
“Aku nggak bengal, ya,” bantah Annisa.
“Saya juga minta maaf karena teledor memberi tugas menulis tentang profesi seorang ibu. Seharusnya saya bisa mengingatkan bahwa Annisa masih bisa menuliskan tentang bapak –“
“Bapak...! “ Bocah itu kembali berseru – seperti sedang diingatkan akan sesuatu yang seru. “Keadaan sebenarnya tentang bapak –“
“Ahh, iya. Kalian hanya bertemu –“
Eyang Uti kembali memotong cepat. “Jadi, ada perlu apa saya sampai dipanggil menghadap, Ibu Wali Kelas? Hanya untuk mendengar permintaan maaf barusan?”
“Iya, Bu Prasodjo,” angguk Ibu Wali Kelas. “Selain itu juga saya juga ingin menyampaikan bahwa tulisan Annisa bagus sekali. Bila bisa diarahkan untuk menekuni kegemarannya membaca dan menulis, kelak kemampuan itu sangat berguna di masa depan. Tak harus menjadi penulis – menjadi peneliti atau ilmuwan pun dibutuhkan kemampuan menulis yang baik.”
“Membaca –! Annisa ini senang sekali membolos pelajaran menari untuk membaca,” kata Eyang Uti jengkel.
“Membaca puisi dari bapak, yaa?” tanya Ibu Wali Kelas pada anak didiknya. “Tulisannya tentang bagian puisi dari bapak, tarian ibu yang terinspirasi dari puisi bapak, dan puisi bapak yang terinspirasi dari gerakan tarian ibu – sungguh, Bu Prasodjo, saya benar-benar kagum.”
“Puisi bapaknya Annisa? Puisi yang mana!? Tulisan yang mana!?” tanya Eyang Uti terbata-bata. Air mukanya berubah-ubah. Bibirnya bergetar – antara harus tersenyum karena cucunya mendapat pujian dan rasa bersalah juga terluka. Eyang mengerjap-ngerjap agar tak berlinang air mata.
“Tulisan yang tadi dibacanya di depan kelas.” Ibu Wali Kelas mengacungkan dua jempol tangan ke arah Annisa. Sementara itu yang dipuji sedang memerhatikan eyangnya dengan perasaan tidak enak.
“Saya....” Eyang Uti berdeham. “Pujian harus diterima dengan penuh rasa terima kasih. Begitu kan, Nisa?”
Annisa menunduk penuh hikmat. “Terima kasih, Bu Guru. Tulisan saya sebaik ini juga karena didikan ibu.”
Ibu Wali Kelas takjub dengan sopan-santun yang ditunjukkan muridnya, meski ini bukan kali yang pertama. Annisa bisa dengan cepat berubah; dari bandel menjadi pribadi santun. Sebagai bocah yang berjiwa pemberontak, ia punya jiwa bandel yang meledak-ledak. Tapi didikan priyai dari eyang utinya membuat gadis itu juga bisa langsung luwes mengucap terima kasih berikut perkataan-perkataan baik lainnya.
Benar-benar bengal, Ibu Wali Kelas berusaha menahan rasa geli sekaligus kagum. Kelak murid di hadapannya akan menjadi orang yang besar – bila ia tekun dan bersungguh-sungguh belajar. Sekarang tak ada lagi yang perlu disampaikan Ibu Wali Kelas. Ia pun juga harus segera bersiap pulang.
Area parkir kendaraan sudah sepi ketika mobil mereka keluar halaman sekolah. “Annisa Kusumastuti...!” panggil Eyang Uti dengan nada suara tegas. “Tulisan tentang puisi bapak, kamu cuman mengarang-ngarang saja, kan?”
“Kenapa memangnya, Eyang?” Bocah perempuan itu balas bertanya dengan berani. Kedua lengannya bersidekap di depan dada.
Eyang Uti menoleh menatap cucunya tajam-tajam. “Bukan begitu cara menjawab yang baik, Annisa.”
Annisa menurunkan kedua tangan dengan kesal.
“Tarian ibu terinspirasi dari puisi bapak. Puisi bapak berangkat dari tarian ibu.” Eyang Uti mengulangi kalimat pujian Ibu Wali Kelas. “Kamu hanya mengarang-ngarang saja, kan?”
“Rahasia.” Mata Annisa berkilat bandel sebelum gadis itu cepat-cepat menunduk.
“Cerita ke Eyang dong, Sayang. Biar Eyang tidak penasaran.” Eyang Uti melunakkan suaranya. “Kalau penasaran, Eyang suka hilang nafsu makan.”
“Annisa dapat kiriman kartu pos.”
“Kartu pos?” Eyang Uti kaget tapi berusaha tenang. “Dari bapak?”
“Rahasia.” Annisa mengubah siasat. Ia menemukan ide yang lebih baik. “Kalau memang Eyang mau tahu banget, Eyang harus janji dulu –lebaran tahun ini Annisa boleh bertemu bapak, bapak boleh datang ke rumah eyang, terus kita ziarah bersama-sama ke makam ibu. Annisa ingin menabur bunga di makam ibu –“ suaranya agak tercekik karena menahan sedih, tapi bocah itu bisa menguasai kesedihannya dengan baik, “Annisa ingin nyekar ibu bersama eyang, juga ditemani bapak. Ya? Ya, Eyang, ya?”
Eyang Uti bertanya pada pak Sopir di sebelah. “Lebaran kapan, Pak?”
“Bulan Juni – sekitar dua bulan lagi, Bu,” jawab pak Sopir.
Eyang Uti kembali menoleh ke belakang. “Annisa janji dulu, tidak akan membikin masalah, tidak membolos pelajaran menari, dan selalu menuruti perkataan Eyang sampai lebaran tiba. Bisa?”
“Eyang janji dulu --- permintaan Annisa tadi?” si bocah bersikeras.
“Annisa janji dulu – permintaan Eyang tadi,” tiru Eyang Uti.
“Berjanji tapi kalau melanggar janji itu namanya tidak amanah, ya?” tanya Annisa. “Tidak amanah itu berdosa, ya? Tidak amanah itu salah satu ciri-ciri orang munafik, ya? Ciri orang munafik itu pertama, jika berbicara dia berbohong. Kedua, jika berjanji dia akan ingkar, dan ketiga saat dipercaya ia akan berkhianat. Aduh, susah banget!”
Eyang Uti – yang sebenarnya masih bersedih – merasa sedikit geli melihat kegelisahan cucu kecilnya. “Jadi bagaimana?” tanya eyang kembali berusaha terdengar tegas.
“Eyang janji dulu –“
“Annisa janji dulu!” potong Eyang Uti cepat.
“Hummpph!” Annisa merengut. Bibirnya cemberut. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. Pandangannya dilempar ke luar jendela.
Eyang Uti tak lagi memaksa. Selama cucunya tak mau berjanji, ia juga tak mau mengiyakan permintaannya. Ziarah – ah, hati perempuan tua itu kembali galau. Kesedihan masa lalu kembali menguasai suasana hatinya. Dari yang riang perlahan berubah muram.
"Annisa masih terlalu kecil untuk mengerti,” gumam Eyang Uti lirih. “Lagipula ini salahku, ini salahku.... Lebaran sebentar lagi. Memberi maaf pada orang lain ternyata tak sesulit memaafkan diri sendiri.” Eyang Uti menghela napas panjang – berat dan panjang sekali. [dps]
▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
