
TENTANG BAB 08↴
!! Catatan: dianjurkan untuk pembaca di atas rate 18+
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian 08 ini bahasannya adalah perihal ‘Om Wisman’, selengkapnya bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Live On Radiosiul' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Jessie belum juga bisa tidur. Om Wisman malah semakin terbayang-bayang di benaknya. Bagaimana mereka bertemu beberapa tahun lalu kembali melintas hadir. Pertama kali bertemu, Jessie sudah dewasa. Secara usia. Om Wisman, lah, yang kemudian memberinya kedewasaan lebih. Secara fisik.
Apakah kamu tahu apa artinya?
Ingatan Jessie kembali melompat ke beberapa tahun yang lalu. Waktu itu gadis itu sedang sibuk-sibuknya menyusun tugas akhir. Ia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Di rumah pun sering di dalam kamar. Keinginannya adalah segera lulus. Rumah Tante Clarrisa semakin tidak nyaman untuk dihuni. Menetap di rumah Mommy hanya akan membuatnya canggung.
Jessie memutuskan untuk tetap di rumah Tante Clarrisa. Bagaimana pun kamarnya adalah tempat paling nyaman untuk dihuni. Bisa konsentrasi mengerjakan skripsi.
“Tokk, tokk, tokkk.”
Jessie menoleh. Tidak ada orang lain di rumah kecuali Tante Clarrisa. “Ya, Tante. Silakan masuk. Tidak dikunci.”
Tante Clarrisa segera membuka pintu. Bicaranya tergesa-gesa. “Buruan ganti pakaian yang bagus, Sayang. Kita akan kedatangan tamu.”S
Jessie mengernyitkan kening. “Tamu? Siapa?”
“Orang penting! Pakai pakaianmu yang paling bagus!” Tante Clarrisa segera keluar kamar. Langkahnya terhenti. Ia menoleh. “Atau, kita akan terusir dari rumah ini. Bukan, bukan. Aku yang akan terusir di rumah ini. Rumah ini akan disita kalau kamu tidak bertingkah manis.”
Jessie memperhatikan tantenya yang mulai main drama. Wajah Tante Clarrisa berkerut-kerut menahan tangis.
“Aku akan terlunta-lunta. Aku ibumu yang merawatmu dari bayi. Membesarkanmu penuh kasih sayang. Aku si tante yang membantu Mommy-mu saat sedang sulit. Semoga kamu mengerti, Sayang,” lanjut Tante Clarrisa. Ia menutup pintu. Suaranya terdengar menelepon resto. Ia memesan banyak makanan enak.
Jessie tahu siapa yang akan datang. Om Wisman.
Laki-laki paruh baya itu datang satu jam kemudian. Pakaiannya santai. Kedatangannya pun sekadar mampir. Tante Clarrisa menyiapkan semuanya dengan berlebihan. Berbagai menu makanan menumpuk di meja makan. Lontong sate, kepiting saus merah, udang bakar madu, iga bakar, dan masih banyak yang lain.
Om Wisman hanya mengambil lontong sate. “Aku kangen makanan ini,” katanya. “Sebulan di Eropa mengurus bisnis aku melulu dijejali roti dan kopi, roti dan kopi, pasta, dan yang begitu-begituu saja.”
Tante Clarrisa menanggapi dengan berlebihan. “Bungkuskan dua porsi sate dan lontong untuk Om Wis,” perintahnya pada Jessie.
“Ooh, tidak. Tidaak. Nggak usah,” tolak Om Wisman sopan. “Sate yang enak adalah yang masih panas. Kalau sudah dingin sudah tidak enak lagi.”
Jessie tidak jadi bangkit. Ia memain-mainkan sendok di piring. Tak ada selera baginya menghabiskan makan malam bersama Om Wisman.
“Kecuali…,” tambah Om Wisman sengaja memberi jeda. Ia berharap gadis cantik muda di seberangnya penasaran. Tapi gadis putih dengan pipi merah muda memesona melulu menunduk. “Kecuali, makan sate dingin di rumah Om ditemani Jessie.”
Jessie mencibir di dalam hati.
“Ooh. Baik, baik.” Tante Clarrisa menanggapi kembali dengan berlebihan. “Jessie Sayang, kamu kemas pakaianmu sekarang. Malam ini kamu menginap di tempat Om Wisman!”
Kedua mata Jessie membeliak. Ia sungguh tak percaya. Tante yang mendaku-daku sebagai ibu paling sayang pada anaknya tega berkata seperti itu!?
Tante Clarrisa benar-benar dibutakan uang. Perempuan paruh baya dengan make up menor itu sungguh takut miskin. Jangan-jangan selama ini yang mendorong Om terlibat hutang besar dan sudi korupsi karena bujuk rayu Tante Clarrisa?
Bisa jadi… bisa jadi….
“Nggak mau…,” gumam Jessie kesal. “Aku masih mengerjakan tugas akhir. Nggak mau diganggu dulu.”
Om Wisman memerhatikan gadis yang sudah diincarnya sejak gadis itu datang ke perusahaannya bersama om dan tantenya. Gadis muda yang kiyut – meminjam istilah anak-anak masa kini. Kiyut. Gumush. Pengin uyel-uyel.
Benak pimpinan perusahaan yang sudah melebarkan sayap di Eropa dan Jepang penuh betapa indahnya bila gadis itu berada di bawahnya. Ditindih lembut. Dikecup penuh kasih sayang.
Napas Om Wisman memburu. Dengan cepat laki-laki itu menguasai dirinya.
“Sudah sudah. Jessie malam ini tetap di rumah saja. Jangan repot-repot begitu, Clarrisa. Aku tidak minta ditemani,” kata Om Wisman dengan nada menenangkan. “Aku cuma mampir saja, kok. Kebetulan lewat daerah sini, jadi apa salahnya ketemu Jessie si cantik sebentar.”
Jessie melengos samar. Tak terbayang. Sungguh tak terbayang. Ia harus meladeni Om Wisman sampai Tante Clarrisa bisa membayar hutang. Gadis itu sendiri ragu kapan tantenya bisa melunasi semuanya.
“Jessie masih aktif kuliah?” tanya Om Wisman. “Maksud Om, masih ada kelas atau praktikum gitu?”
“Sudah mengerjakan tugas akhir, Om…,” jawab Jessie setelah pinggangnya disodok sikut tante.
“Ooohh….” Om Wisman tertawa kecil. Harus diakui, suara Om Wisman berat dan berwibawa. Kebapakan sekaligus juga menenangkan. Bila tak jadi jaminan utang Tante Clarrisa, bisa jadi Jessie mengagumi sosok Om Wisman. “Minggu depan ikut Om pakansi ke pulau J, ya. Pulau privat. Ada vila untuk kita di sana. Pasir putih. Pantai airnya biru jernih. Ada resto – Jessie doyan seafood, kan? Fasilitas mewah pokoknya.”
“Ya, Jessie mau, Om,” sahut Tante Clarrisa menyelonong begitu saja. Padahal Om Wisman belum bertanya apakah Jessie mau ikut. Jessie pun belum mengambil keputusan apa ia turut serta atau menolak.
Om Wisman tak menganggap kelancangan Tante Clarrisa sebagai masalah. Malah kebetulan. Ia tak perlu lagi pura-pura sopan meminta izin.
“Oke kalau begitu, ya. Aku akan siapkan semuanya. Clarrisa, kamu bantu Jessie menyiapkan barang-barangnya. Aku akan kabari lagi kapan kita berangkat. Tanggal pastinya. Semoga semua urusan bisnisku bisa beres sebelum berangkat ke Pulau J.” Om Wisman meregangkan kedua tangan ke atas. Pinggangnya bergemerutuk. “Aku butuh liburan. Menghabiskan waktu dengan pakansi dengan si cantik Jessie benar-benar pilihan yang oke.”
Kedua mata Jessie membeliak. Ia hendak berteriak protes. Sikut Tante Clarrisa kembali menyodok pinggangnya. Demi rumah dan hidup Tante Clarrisa yang nyaman, gadis muda itu harus menuruti semua keinginan Om Wisman.
Laki-laki paruh baya itu pamit. Makanannya tak dihabiskan. Jessie paling benci dengan orang yang menghabiskan apa yang telah ia ambil. Banyak orang kesusahan di luar sana yang untuk makan sehari-hari saja susah. Sementara orang-orang kaya ini malah menyia-nyiakan makanan begitu saja. Sungguh, orang-orang kaya ini benar-benar egois dan tak punya empati. Kebenciannya pada orang Tante Clarrisa dan juga Om Wisman semakin menjadi-jadi.
Jessie menghentakkan kaki. Ia bergegas masuk kamar. Lebih baik ia konsentrasi menyelesaikan tugas akhir. Semakin cepat ia lulus, semakin cepat ia angkat kaki dari rumah ini.
Hari untuk keberangkatan pakansi tiba. Jessie membawa koper kecil. Hanya pakaian seadanya. Muka Om Wisman berseri. Gembira sekali. Mereka naik pesawat kelas bisnis. Sepanjang perjalanan Om Wisman memberi perhatian. Jessie bersikap dingin. Sama sekali ia tak ingin menyenangkan laki-laki paruh baya tak tahu diri.
Untuk menuju Pulau J, mereka harus naik kapal feri. Disewa privat. Om Wisman ternyata juga mengajak rekanan bisnis yang lain. Jessie merasa sedikit lega. Mereka tak hanya berdua di pulau privat.
“Hei… namamu siapa?” tanya seorang gadis sepantaran Jessie. Tubuhnya langsing tinggi. Kulitnya cokelat eksotis. Ia mengenakan kaus kutung dan hotpants. Kedua kakinya yang jenjang indah terpanjang memesona. “Baru kali ini aku melihatmu. Kamu anak baru, ya?”
“Jessie…,” jawab Jessie pendek. “Anak baru apa maksudnya?”
Gadis berkulit cokelat eksotis itu tertawa kecil. “Namaku Erika. Kamu ke sini menemani salah satu om bangkotan di sana karena apa? Butuh duit untuk bayar hutang? Butuh duit untuk bayar kuliah? Atau, butuh duit untuk hedon – bersenang-senang?”
“Bayar hutang…,” jawab Jessie muram. “Eh, apa maksudnya ini?”
Eri cekikikan. “Selamat datang di dunia yang baru, Say. Perdana menjadi simpanan ceritanya, ya. Hihihi. Pesanku, jangan dibawa baper. Pura-pura bahagia saja. Dan… lakukan apa yang mereka minta.”
Jessie menahan langkah Eri. “Apa maksudnya ini?”
“Aku butuh duit untuk bayar kuliah, Say.” Erika berbisik sambil mengedipkan sebelah mata. “Aku dibawa Om Hasno, tuh yang tambun di sebelah sana. Om Hasno punya banyak resto mewah. Istrinya sosialita. Sibuk arisan dengan teman-temannya. Om Hasno kesepian. Cuman aku yang bisa menghiburnya. Lumayan, sudah setahun berjalan masih awet aku dipakai Om Hasno.”
Tenggorokan Jessie tercekat.
“Semua urusaanku jadi lancar, Say.” Erika masih berbisik. “Sakit, sih, di awalnya. Ke belakangnya kamu pasti ketagihan. Selebihnya, pikirin aja uang dan fasilitas mewah yang bakal kamu dapat.”
Jessie ingin menangis. Ia tidak suka dengan dunia baru ini.
“Sudah, ya. Aku dipanggil Om Hasno. Di sini ada sugar-baby yang lain. Kalau senggang dan pas ketemu, aku kenalin kamu ke mereka. Daahh.” Erika beranjak pergi.
Bahu Jessie dielus lembut. Om Wisman sudah berada di sebelahnya. “Sudah dapat teman?”
“Sudah, Om…,” jawab Jessie.
“Senang pakansi denganku, Jess?”
Jessie risih dengan tatapan Om Wisman. Bergerak menelusuri setiap inci tubuhnya. Senyumnya terkesan lain. Tangan laki-laki itu terus mengelus bahu Jessie yang terbuka.
“Senang, Om…,” jawab Jessie lirih.
“Bagus….,” Om Wisman meringis girang. “Kamu akan bahagia bila mau menuruti setiap perkataanku.”
“Ya, Om,” jawab Jessie.
Di sebuah kesempatan Jessie pernah bertanya pada Om Wisman. Bila Mommy yang membayar lunas hutang Tante Clarrisa bagaimana? Om Wisman tetap menolak. Selama Tante Clarrisa belum bisa menyahur hutang sampai peser terakhir, Jessie akan tetap menjadi pacar rahasia Om Wisman – kecuali saat Om Wisman sudah bosan dan akan melepas, barulah Jessie bebas dari kewajiban menuruti setiap perintah Om Wisman.
Mereka akhirnya tiba di Pulau J. Gadis-gadis muda seusia Jessie berjalan keluar kapal dengan memekik-mekik riang. Om Wisman segera membawa Jessie menuju vila privat mereka. Vila mereka agak terpencil bila dibanding vila-vila yang lain. Pemandangannya sungguh indah. Seorang pelayan menyambut mereka dengan kalungan bunga. Ia akan bertanggung jawab mengurus semua keperluan Om Wisman dan Jessie.
Seandainya Jessie datang ke tempat ini bersama teman-temannya, tentu ia akan girang. Sekarang ia hanya melulu khawatir dan ketakutan.
“Buka bajumu!” perintah Om Wisman.
Jessie menoleh bingung. Pelayan yang tadi sudah tak tampak batang hidungnya.
“Buka bajumu. Sekarang.” Perintah Om Wisman terdengar sangat jelas dan tegas. “Tanggalkan semua.” [dps]
▶▶ Cerita ‘Live On Radiosiul’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
