
TENTANG BAB 07↴
!! Catatan: dianjurkan untuk pembaca di atas rate 18+
Beberapa bulan sebelum Jessie lahir, Papi ketahuan selingkuh. Papi semena-mena. Lebih memilih perempuan simpanannya yang masih muda. Masih kinyis-kinyis. Semua aset perusahaan dibawa pergi. Hanya menyisakan rumah untuk Mommy.
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Live On Radiosiul' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Jessie mencoba menerima kenyataan. Ia bertemu Mommy – yang sebelumnya selalu dipanggil tante. Mereka berpelukan. Belum seerat hubungan ibu dan anak, tapi lumayan, lah. Mommy legawa Jessie tetap tinggal bersama Om dan Tante Clarrisa.
“Kalau kangen datang ke sini, Sayang,” kata Mommy. “Kalau senggang, menginap ke sini sangat ditunggu.”
“Ya, Mommy,” jawab Jessie.
Tante Clarrisa menjelaskan semuanya. Bagaimana bisa Jessie dirawat dan dibesarkan Om dan Tante.
Beberapa bulan sebelum Jessie lahir, Papi ketahuan selingkuh. Papi semena-mena. Lebih memilih perempuan simpanannya yang masih muda. Masih kinyis-kinyis. Semua aset perusahaan dibawa pergi. Hanya menyisakan rumah untuk Mommy.
Mommy kaget. Ia memulai usaha dari nol. Mulanya dari usaha pre-loved. Gaun-gaun mahal yang baru dipakai sekali dijual. Demi mendapat uang mencukupi kebutuhan hidup. Saudara berusaha membantu. Uang-uang pemberian itu habis dalam sekejap untuk membayar hutang.
Jessie lahir. Mommy menangis kebingungan. Usahanya belum stabil. Belum cukup uang untuk merawat bayi kecil yang ia sayangi. Om dan Tante Clarrisa yang sudah menikah lima tahun mengadopsi Jessie. Mereka merawat dan menyayangi Jessie sebagaimana anak mereka sendiri.
Usaha Mommy mulai menunjukkan hasil. Berkembang pesat. Mommy mendirikan toko fisik berukuran kecil. Lalu membesar seiring kerja keras Mommy. Dalam waktu singkat brand fashyun Mommy menjadi besar. Mommy berhasil secara finansial. Ia sering rindu Jessie. Tapi rela menunggu anak perempuan semata wayangnya usia 17 tahun. Saat yang tepat untuk membuka semuanya.
Jessie mencoba menerima takdirnya. “Oh, oke,” katanya waktu itu. “Toh, alasan Mommy masuk akal. Sekarang ia sukses. Aku bisa dapat pekerjaan mudah. Bahkan, ternyata setiap tahun Mommy mengirim uang saku dalam jumlah besar ke rekening atas namaku. Rekening itu sudah kupegang. Duitnya wow! Kukira hidupku akan baik-baik saja. Sekarang, aku hanya perlu kuliah. Lulus dengan nilai baik. Bekerja di posisi paling tinggi di salah satu perusahaan Mommy. Semua sudah disiapkan.”
Sayangnya, kenyataan hidup tak berjalan semulus rencana Jessie.
Om ditangkap atas tuduhan korupsi. Biaya yang seharusnya digunakan untuk ekspansi perusahaan hingga luar negeri malah diembat sendiri. Semua aset disita. Hutang menumpuk. Tante Clarrisa tak tahu bagaimana harus membayar semuanya.
Om dipenjara. Rumah tempat tinggal Tante Clarrisa hendak disita. Tante terlalu panik hingga berpikiran pendek. Ia menerima bantuan Om Wisman yang sejak dulu menyukai Jessie. Dana yang begitu besar. Rumah Tante Clarrisa selamat. Tante bisa meninggalinya tanpa rasa cemas. Takkan ada yang hendak mengotak-atik dan bahkan menyitanya.
Uang pemberian Om Wisman juga cukup untuk membantu Tante Clarrisa bangkit dari terpuruk. Bangkrut. Tante Clarrisa memulai usaha dengan tertatih-tatih.
Namun pahit bagi Jessie. Mau tak mau ia harus bersedia menjadi ‘pacar’ rahasia Om Wisman. Om Wisman tak berniat menikahi Jessie – kalau pun, Jessie pun ogah. Laki-laki paruh baya itu cuma ingin menikmati daun muda yang masih memesona dan merekah pesona kecantikannya.
Jessie harus menuruti semua permintaan Om Wisman. Tanpa terkecuali. Laki-laki itu sendiri berjanji takkan pernah menyakit Jessie – kecuali sakit yang ‘itu’. Pimpinan perusahaan alat elektronik dengan omset milyaran per tahun itu terkekeh bahagia.
Sekujur tubuh Jessie panas dingin.
Mommy marah pada Tante Clarrisa. Bila ada kesulitan kenapa Tante tak meminta bantuannya saja? Malah menerima bantuan orang lain. Mau ditaruh di mana muka Mommy kalau sudah begini? Bagaimana pun, Om dan Tante telah menolong Mommy saat sedang terpuruk. Jessie pun dibesarkan dengan kasih sayang dan biaya hidup yang ditanggung Om dan Tante – meski setelah sukses, biaya hidup bulanan Jessie, sekolah, hingga kuliahnya semua ditanggung Mommy.
Tante Clarrisa minta maaf. Jessie diam saja. Sebelum berangkat tadi, Tante Clarrisa meminta Jessie tak membocorkan tentang permintaan Om Wisman. Jessie harus diam saja.
“Atau aku akan….” tangis Tante Clarrisa meledak. Ia bangkit hendak mengambil benda tajam. Jessie segera menahan tantenya. Tante Clarrisa menangis sesenggukan. “Aku membesarkanmu, Nak. Mohon lindungi aku kali ini. Jangan kamu coreng mukaku di depan Mommy-mu.”
Jessie tertekan bila Tante Clarrisa mulai mengungkit balas jasa.
“Aku membantu Mommy-mu saat ia terpuruk. Kali ini ganti bantu aku, Sayang,” rengek Tante Clarrisa.
Mau tidak mau Jessie menurut. Ia tidak mengatakan apa-apa tentang Om Wisman dan perjanjian berengseknya dengan Tante Clarrisa pada Mommy.
Tante Clarrisa cuma bilang Om Wisman sudah cukup baik membantunya.
“Pak Wisman” Mommy manggut-manggut. “Ah, Pak Wisman pengusaha sukses. Bisnisnya menggurita. Ia sosok pimpinan dan penguasaha yang baik. Humble dan tidak neko-neko. Syukurlah kalau ia yang membantu. Setidaknya aku merasa tenang.
Ada rasa sakit menusuk hati Jessie. Kepalanya hanya bisa menunduk. Mulutnya terkunci.
Tante Clarrisa kembali hidup enak. Ia akan menekan Jessie dengan mengungkit balas jasa pada Mommy. Jessie terpaksa patuh. Ia berhasil menyelesaikan kuliah tepat waktu. Angkat kaki dari rumah Tante Clarrisa. Alasannya sudah saatnya hidup mandiri. Mommy sudah menyiapkan satu unit apartemen mewah untuk putri semata wayangnya. Ternyata Jessie memilih tinggal di kamar kos sempit dengan harga sewa tinggi.
Mommy ditinggal Papi hingga Mommy terpuruk. Mommy terpaksa menitipkan Jessie dirawat Om dan Tante Clarrisa. Om terjerat hutang dan terkena kasus korupsi. Akibatnya Jessie harus menjadi pacar simpanan Om Wisman. Pacar simpanan yang harus mau melayani semua keinginan Om Wisman.
Kejadian-kejadian itu membuat Jessie trauma. Ia tak mau menggantungkan diri pada orang lain. Ia harus bisa mandiri sejak dini. Lika-liku jalan hidupnya buruk sekali.
Jessie benar-benar memulai semua usahnya dari nol – bahkan minus. Pekerjaan sebagai kasir minimarket pun dilakoninya. Padahal, bila mau, dengan ijazah sarjananya ia bisa mendaftar di posisi tinggi di sebuah perusahaan bonafid. Banyak tawaran masuk. Bahkan jabatan tinggi di salah satu perusahaan Mommy.
Jessie menarik diri dari pergaulan. Ia mulai agak anti dengan orang kaya. Orang-orang kayak yang tega melakukan apa pun demi hidupnya enak. Tega melakukan apa pun termasuk mengorbankan orang terdekatnya. Sepertinya yang dilakukan Tante Clarrisa.
Beruntungnya Alfin menerima setiap kondisi Jessie. Laki-laki itu hanya tahu kalau keadaan Tante Clarrisa menjadi kurang baik sejak Om ditangkap karena kasus hutang dan korupsi. Alfin pun tak malu saat masih berteman dengan Jessie yang pekerjaannya hanya menjadi kasir minimarket. Laki-laki itu akan mencintai Jessie dalam kondisi apa pun.
Jessie tak bisa menerima cinta tulus Alfin. Masih ada pengganjal. Om Wisman. Pernah suatu kali Jessie bertanya, “Berapa uang yang harus aku bayar, Om? Aku ingin lepas dari perjanjian berengsek ini.”
“Bukan kamu yang harus membayar, Sayang,” jawab Om Wisman tenang. Suaranya berat dan berwibawa. Wajahnya tampan memesona meski sudah dihiasi kerut-kerut keriput karena usia. “Selama tantemu belum melunasi hutangnya, kamu akan jadi milikku selamanya. Kecuali… aku sudah bosan. Kamu boleh pergi. Kalau aku belum bosan kamu memberontak?” Laki-laki paruh baya itu terkekeh. “Byeee, Tante.”
Jessie tak dapat berkutik. Ia menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Pada siapa saja. Pada Mommy. Juga pada Alfin.
Alfin menyentuh punggung tangan Jessie dengan lembut. “Kok malah melamun, Jess?”
Kesadaran Jessie pulih kembali. Untuk sejenak kenangan masa lalu hadir di bengenak gadis itu. Peristiwa-peristiwa yang menjadikan hidupnya mulai pahit untuk dijalani.
“Eengg… enggak melamun, kok. Sori…,” ujarnya meminta maaf. “Cuman, termenung-menung. Aku agak cemas. Siaran besok gimana, ya? Kalau tiba-tiba aku salah ucap atau salah putar lagu atau….”
Alfin tertawa kecil. “Sudaah, tenang saja. Nggak perlu demam panggung. Pendengarmu kan tidak bisa melihat. Lagian, kata Kakek, pendengar Radio Siul tinggal sedikit banget. Program STM adalah uji coba untuk menggaet pendengar baru. Pendengar yang lebih muda. Seusia kamu. Naahh, anggap aja kamu lagi ngobrol dengan teman sebaya.”
Nasihat Alfin ada benarnya.
“Atau, anggap saja sedang bicara denganku di telepon. Oke?”
Jessie menghela napas. “Yah, oke. Anyway, terima kasih traktiran makan malamnya. Aku kenyang banget. Dan… sekarang mengantuk.”
“Kita pulang sekarang?”
Jessie mengangguk. Ia meregangkan kedua tangannya ke atas. Lalu memutar pinggangnya hingga bergemerutuk. “Badanku capek banget. Aku pingin mandi, tidur seharian. Lusa bersiap-siap deg-degan untuk siaran pertama.”
“Semangat!” ucap Alfin tulus.
Jessie tersenyum. Ia sangat berterima kasih pada sahabatnya. Sejak kuliah Alfin selalu baik hati. Selalu memberi perhatian. Tak pernah kurang. Tak pernah minta dibalas. Begitu tulus. Begitu mencintai Jessie.
Alfin merengkuh bahu Jessie. Laki-laki itu mendekap gadis yang dicintainya – yang entah mengapa tak juga sudi menerima dan membalas cintanya. Pelukannya dieratkan. Alfin mencium kening Jessie. “Selalu semangat, Jess. Aku tahu masalahmu berat. Tapi, aku yakin kamu bisa melewati ini.”
Jessie mengangguk. Ingin rasanya balas memeluk erat. Bayangan Om Wisman segera melintas hadir. Ingin rasanya Jessie menangis hebat di pelukan Alfin. Kini yang bisa dilakukannya hanyalah berterima kasih sambil menepuk-nepuk punggung sahabat laki-lakinya.
“Terima kasih, Fin. Perhatianmu sangat berarti buatku. Thank you banget!”
Alfin melepas pelukannya.
Lisa dan John tak terlihat. Sepertinya mereka sudah selesai makan malam. Langsung pulang. Ada urusan bisnis yang tak bisa menunggu. Mungkin….
Alfin mengantar Jessie hingga depan kos. “Kamu yakin nggak pengin tinggal di apartemen yang sudah disiapin Mommy-mu?”
Jessie meringis. “Kepengin. Sangat kepengin. Tapi, yaa… kita lihat nanti, deh. Sudah, nggak usah bahas-bahas itu lagi! Atau aku nggak mau ketemu sama kamu lagi!”
Alfin pura-pura takut dengan ancaman itu. “Iya, deh. Ampun… ampun….”
Tak lama kemudian Alfin pamit pulang. Kendaraannya meluncur halus di jalanan. Kehadiran Alfin selalu membangkitkan semangat dalam diri Jessie. Ia merasa diperhatikan dengan tulus. Sementara orang lain memerhatikannya bila ada tujuan tertentu.
“Ahhh, capek banget….!” Jessie segera menuju kamar. Ia mandi hingga bersih dan segar. Pakaiannya sudah ganti dengan piyama longgar dan nyaman. Ingin rasanya Jessie segera memejam. Tubuhnya begitu letih. Tapi juga sudah segar. Perutnya kenyang. Rekeningnya gendut. Hidupnya bisa baik-baik saja seandainya ia memilih tawaran Mommy. Seharusnya ia bisa langsung tidur. Tak ada yang perlu dicemaskan.
Hanya saja, sayang, bayangan Om Wisman kembali melintas hadir di pikiran Jessie.
Seperti teringat sesuatu, gadis itu memeriksa ponsel. Lusa Om Wisman akan pulang dari Korea. Itu artinya Jessie harus siap panggilan kapan saja. Itu artinya ia harus melayani seperti… euh… babu.
Air mata Jessie berlinang. Seandainya tak pernah ada perjanjian antara Tante Clarrisa dan Om Wisman.
Jessie mengusap air matanya. Ah seharusnya ia segera istirahat. Tidur. Lebih baik juga ia mencemaskan performanya esok saat siaran perdana. Bukannya mencemaskan om-om sudah paruh-baya tapi tak dapat mengendalikan nafsu. [dps]
▶▶ Cerita ‘Live On Radiosiul’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
