
TENTANG BAB 06↴
Alfin dan Lisa sudah putus sejak lama. Penyebabnya Alfin tak tahan terlalu diatur. Lisa juga terlalu posesif. Pencemburu berat. Alfin menanyakan kabar keluarga sekretaris kantor bisa membuat Lisa uring-uringan seminggu.
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Live On Radiosiul' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
“Aduh! Sakit! Lepaskan, John!” pekik Lisa. Lengan cewek muda itu ada yang menahan kasar. Lisa mencoba melepaskan diri. Ia menoleh dengan membeliakkan kedua matanya yang bulat indah. Ingin rasanya mendamprat seseorang yang menahan langkahnya. Paling-paling si gembel anak magang dengan seragam buluk. “Awas kamu! Aku laporin ke manaj – Alfin!?”
Muka Alfin dingin. Rahangnya mengeras. Tatapannya datar. Kentara sekali ia tidak menyukai kehadiran Lisa malam itu. Belum lagi tingkahnya yang keterlaluan. Jessie masih membawa tumpukan mantel dan sweater milik Lisa.
John Burgundy masih diam saja. Ia belum tahu bagaimana harus bereaksi.
“Alfin!?” Lisa sangat terkejut. “Kapan kamu datang? Eh kamu di sini juga?” tanyanya gugup. “Mau makan malam sama aku?”
“Lisa!?” tegur John gusar. Suaranya teredam mulut yang memanggil dengan tertutup. “Kamu ke sini datang sama aku.”
“Tingkah lakumu masih juga belum berubah.” Alfin tak banyak bicara lagi. “Jessie ini tamuku. Kamu memperlakukannya seolah-olah manusia paling buruk di planet bumi. Hanya karena penampilannya yang tak sesuai standar kekayaanmu – pasti!”
“Eh… engg… enggak, kok.” Lisa memaksakan senyum pada Jessie. Terlihat tak tulus. Dipaksakan. Lengkungan garis senyumnya tak lepas. “Aku cuma….”
“Urus sendiri gombal pakaianmu.” Alfin mengambil mantel dan sweater dari tangan Jessie. Ia menyorongkan begitu saja. Lisa menerima dengan hampir sempoyongan. Tangan kekar Alfin melindungi punggung Jessie. “We will have our dinner. Please have yours.”
Wajah Lisa merah seperti kepiting rebus.
Jessie nyengir senang. “Kolokan. Anak manja. Nggak penting,” desisnya ketika mereka dekat. Alfin hanya menoleh sekilas. Cowok itu mendengar ledekan Jessie tapi tak mengatakan apa-apa. Tak mau ikut campur.
Jessie dan Alfin berjalan menuju meja mereka. Seorang pelayan sudah menunggu dan siap meladeni.
“Ayo, Sayang…,” bujuk John dengan canggung. “Pelayan sudah menunggu kita. Meja yang kita pesan sudah siap.”
“Ughhh!” Lisa menghentakkan kakinya kesal. Beberapa pelanggan yang melihat mereka sudah kembali fokus pada makanan. “Bukan salahku! Ini bukan salahku, kan, John? Cewek gembel itu berdiri di tengah jalan masuk. Aku mengira ia bocah magang di resto ini. Pakaiannya aja buluk. Ya, kan, John!?”
“Tidak usah dipikirin!” John Burgundy mulai kesal. Ia menyukai Lisa karena wajahnya yang cantik, tubuhnya yang molek, dan memiliki banyak perusahaan yang bergerak di bidang kuliner dengan target market masyarakat atas. John memikirkan banyak keuntungan yang bisa ditangguknya ketika perusahan mereka merjer jadi satu. Hanya sayang, tingkah laku Lisa mengesalkan.
“Aku masih kepikiran!” Lisa mendesis mengancam. “Bilang, ini bukan salahku, John. Cewek itu terlalu gembel untuk bisa makan di restoran ini! Atau… kita batal makan malam.”
John menghela napas berat. Pura-puranya ia merapikan setelan jas dan kemeja rapi yang dikenakannya. Kelak tidak ada yang tahan dengan perempuan berperingai buruk seperti Lisa.
Laki-laki itu menyunggingkan senyum. “Ya, Sayang. Kamu tidak salah. Sekarang, ayo kita makan malam. Perutku sudah lapar sekali.”
John berjalan bersama Lisa. Pelayan sudah menunggu di meja yang telah mereka reservasi. Lisa membuang muka ketika melewati meja Jessie dan Alfin.
“Mantanmu, tuh…,” ledek Jessie sambil nyengir. Seorang pelayan meletakkan main-course di meja. “Terima kasih,” katanya.
Alfin hanya mencibir. Ia tak sudi lagi menatap Lisa. Bisa diakui – sangat bisa diakui kencantikan Lisa tiada duanya. Wajahnya oval alami, kulitnya kuning langsat, matanya cokelat dan dalam, alisnya memesona, bibirnya merekah indah. Tingginya pas. Badannya ramping dan juga toned karena rajin workout. Sebagai pimpinan ia disegani. Perusahaan yang diampunya pun tak kaleng-kaleng. Hanya saja, Lisa terlalu mengendalikan pasangannya. Laki-laki di mana pun tak akan tahan bila egonya selalu ditekan perempuan. Belum lagi, Lisa gemar merendahkan orang lain yang dianggap tak setara dengan kekayaan yang dimilikinya.
Alfin dan Lisa sudah putus sejak lama. Penyebabnya Alfin tak tahan terlalu diatur. Lisa juga terlalu posesif. Pencemburu berat. Alfin menanyakan kabar keluarga sekretaris kantor bisa membuat Lisa uring-uringan seminggu.
Lisa tak terima hubungannya dengan Alfin berakhir. Cewek itu masih sering kepo dengan kisah percintaan Alfin. Bahkan saat sudah punya pacar, pikiran Lisa masih tertuju pada Alfin.
“Gimana kalau sekarang kita makan saja?” Alfin mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin malam yang indah ini kacau suasananya hanya karena Lisa – well, cewek itu telah berhasil membuat runyam suasana sebenarnya. Memperlakukan Jessie seperti babu. Diminta menyimpankan mantel dan sweater-nya – astaga.
“Oke!” jawab Jessie nyengir. “Setuju.”
Menu makan malamnya sangat lezat. Sudah lama sekali Jessie tak mencicipi makanan seenak ini. Hampir setiap hari ia menangis dengan menu sayur asam dan ikan asin. Betapa tersiksanya ia menghabiskan hari-hari dengan menu makanan yang hampir sama setiap waktu. Lodeh terong dan pindang keranjang. Sayur bayam dan tempe goreng. Sangat diakui Jessie, Rahmi adalah sahabat terbaiknya melalui kesulitan hidupnya sejauh ini.
Oh, Jessie jadi kangen Rahmi. Kelak ia akan mentraktir sahabatnya makan makanan sangat enak di sini.
“Kamu pindah kerja ke Radiosiul, ya?” tanya Alfin.
Jessie hampir saja tersedak es krim. Ia buru-buru menenggak air putih. “Heh?”
Alfin menyorongkan napkin ke arah sahabat perempuannya – yang dicintainya tapi tak balas mencintai. “Ini hari terakhirmu kerja di minimarket, kan? Lusa hari pertamamu kerja di Radiosiul, kan?”
“Kok tahu?” tanya Jessie. “Dasar penguntit! Bisa-bisanya untuk urusan pindah kerja aja kamu harus menyebar mata-mata.”
Alfin ketawa. “Dih, ngapain sampai nyebar mata-mata. Kayak kamu sepenting itu.”
Jessie melengos. Ada sedikit rasa kecewa di dalam hatinya. Ternyata ia tak begitu penting bagi Alfin. Jadi, selama ini rasa cinta yang digembar-gemborkan Alfin hanya basa-basi semata?
“Aku memang orang nggak penting…,” rajuk Jessie. “Lalu, siapa yang penting di mata seorang Alfin?”
“Lisa,” jawab Alfin pendek.
Mereka saling pandang. Bersamaan melirik hati-hati ke arah Lisa. Mereka kembali saling pandang. Tawa mereka lepas bareng.
Lisa melirik sewot. Ia tak tahu apa yang membuat Alfin dan si cewek gembel ketawa bareng. Hatinya kesal melihat Alfin bisa tertawa selepas itu bersama perempuan lain!
“Norak!” desisnya. Bibirnya merot ke kiri saking jengkelnya melihat si gembel Jessie yang bisa membuat Alfin tergelak lepas.
“Pak Burhan adalah kakekku,” kata Alfin serius ketika gelak mereka telah usai. “Beliau sudah pensiun tapi masih terus ingin berkarya.”
Mulut Jessie menganga.
“Kemarin kita ketemuan. Makan malam. Kakek cerita. Sudah mendapat penyiar baru unutk Radiosiul. Tidak punya pengalaman. Tidak masalah. Kakek senang dengan semangatnya.”
“Masa, sih?” Jessie benar-benar tidak menyangka. “Pak Burhan sungguh kakekmu, Fin?”
“Yeap!” angguk Alfiin mantap. “Beliau membeli Radiosiul itu sebagai kenangan pernah melalang buana bekerja sebagai penyiar. Nostalgia. Tak masalah radio itu tak punya banyak pendengar. Asalkan masih bisa mengudara, ia sudah bahagia.”
Penjelasan Alfin sama dengan penjelasan Pak Burhan saat Jessie memasukkann berkas lamaran. Alfin tidak mengarang-ngarang. Selama ini Jessie tak begitu mengikuti keluarga besar Alfin. Ia hanya tahu keluarga besar Alfin adalah pengusaha sukses. Ternyata Kakek Burhan yang sering disebut sebagai pengusaha kakap dengan perusahaan raksasa yang dimilikinya dulu memulai karier sebagai penyiar radio. Tentu Pak Burhan sudah merasakan puncak kesuksesan. Sekarang sudah pensiun. Beliau menikmati masa senjanya dengan merawat radio kecil atas nama nostalgia. Kenangan indah di masa-masa perjuangan dulunya.
“Aku melihat berkas lamaran penyiar yang dibawa Kakek. Kaget. Ternyata Jessie si keras hati yang tidak juga mau menerima cintaku yang melamar kerja di sana,” jelas Alfin. “Kata Kakek, sebelumnya gadis ini kerja sebagai kasir di minimarket.”
“Ya. Memang salah?” tanya Jessie. Ia menghabiskan es krim vanilanya. Enak banget. “Dulunya kerja jadi kasir. Melamar kerja jadi penyiar. Ada yang salah?”
Alfin mendengus geli. “Jangan sinis begitu, dong. Enggak ada yang nyalahin kamu, Sayang. Aku kan cuma cerita kejadian kemarin. Kakekku senang sekali ada yang mau memandu program STM. Siaran Tengah Malam.”
“Yah, begitulah.” Jessie lalu memble. “Sebenarnya aku tidak punya ilmu siaran sama sekali. Jadi takut besok harus gimana.”
“Tenang aja,” kata Alfin. “Kalau tidak salah ada mas Bambang dan Reni penyiar lawas yang akan membimbingmu.” Cowok itu diam sebentar. “Kamu nggak ingin kembali ke kehidupan lamamu, Jess? Tinggal di apartemen mewah di tengah kota. Jadi pimpinan perusahaan fashion yang sudah sukses. Dengar-dengar tahun depan Veronika akan pindah ke Korea. Ada pengembangan perusahaan di sana. Ia yang didapuk mengurus semuanya – sekaligus memimpin perusahaan baru itu.”
“Masih tahun depan, kan?” ulang Jessie dengan wajah masam. “Setidaknya biarkan setahun ini aku menyembuhkan lukaku.”
Alfin menatap Jessie simpatik. Tatapannya sungguh peduli. “Semua itu kan bukan salahmu, Jess.”
“Kamu tidak tahu semuanya, Fin,” gumam Jessie lemah.
Alfin hanya tahu sedikit. Jessie tidak ingin menceritakan semuanya. Lebih baik ia menyimpan untuk dirinya sendiri.
Usia 17 tahun seharusnya menjadi momen indah untuk Jessie. Ia beranjak dewasa. Tapi mami dan papi – yang ternyata om dan tante – memberinya kejutan yang tidak tanggung-tanggung. Jessie lupa bagaimana susunan kalimatnya yang tepat dan persis yang dikatakan Om dan Tante. Gadis itu hanya ingat garis besarnya. Begini:
“Kamu bukan anak kandung kami, Jessie. Kami ini hanya Om dan Tante-mu. Kami mengangkatmu anak saat masih bayi. Saat itu keadaan Mommy-mu sedang sulit. Kami sayang padamu sejak pandangan pertama.”
Waktu itu, tenggorokan Jessie sangat tercekat.
“Mommy-mu sekarang berhasil. Berjuang sendiri sebagai single-mother. Pengusaha mandiri yang memiliki perusahaan clothing berjibun. Kamu harus bangga pada Mommy-mu.” Tante menghela napas. Senyumnya dipaksakan. “Kami memutuskan menceritakan ini semua saat kamu berulangtahun ke-17. Usia gerbang menuju kedewasaan. Kamu pasti bisa menerima ini.”
Keadaan menjadi sangat canggung bagi Jessie. [dps]
▶▶ Cerita ‘Live On Radiosiul' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
