Live On Radiosiul - Bab 05: Alfian #UnlockNow

1
0
Deskripsi

TENTANG BAB 05

Jessie terakhir kerja sebagai kasir. Esok dia sudah tidak perlu datang lagi ke minimarket. Rahmi menangis berpelukan sepulang kerja. Hari ini mereka berbeda sif. Padahal belum berpisah ia sudah kangen temannya. Jessie balas memeluk sahabatnya lebih erat.

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Live On Radiosiul' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Malam ini hari terakhir Jessie bekerja sebagai kasir. Esok dia sudah tidak perlu datang lagi ke minimarket. Rahmi menangis berpelukan sepulang kerja. Hari ini mereka berbeda sif. Padahal belum berpisah ia sudah kangen temannya. Jessie balas memeluk sahabatnya lebih erat.

“Terima kasih sudah berbelanja di Minimarket Happy. Ditunggu belanjanya kembali. Selamat malam,” ucapnya. Pelanggan yang baru membayar balas mengangguk. Lalu, pergi membawa kantong belanjaannya.

Srrekkk….

Keping-keping kemasan cokelat diletakkan di atas meja kasir. Wah belanja yang banyak sekali, batin Jessie. 

“Selamat malam…,” sapa Jessie sembari menangkupkan kedua tangan di depan dada. Pandangannya beralih dari layar kasir ke arah penjual. “Alfian….,” desisnya tercekat.

Alfian tersenyum hangat. Laki-laki berusia 35 tahun itu terlihat begitu memesona. Rahangnya yang tegas terlihat lembut dibalik berewok tipis yang terlihat bekas cukurannya.

“Selamat malam, Jessie,” balas Alfian. “Kayaknya aku pelanggan terakhir, ya.” 

Jessie melongok ke bagian dalam deretan etalase-etalase barang. Tidak terlihat siapa pun. Kecuali salah satu rekan kerjanya. Ia sedang sibuk menyusun catatan sebelum pulang. 

“Betul sekali,” jawab Jessie masih dengan gaya sopan meladeni pembeli. “Ada tambahan lain?”

Alfian mengangguk. “Cokelat itu untukmu. Setelah ini kita makan malam bareng.”

Jessie tidak menanggapi ajakan makan malam. Ia menganggap jawaban barusan berarti tidak ada tambahan item belanja lagi. Dengan cekatan ia bekerja melayani Alfian. Laki-laki itu membayar total pembelian. 

Alfian menyorongkan kantung keras berisi keping-keping cokelat ke arah Jessie. “Sudah kubilang ini untukmu. Silakan beres-beres. Aku tunggu kamu di luar.”

“Akan butuh waktu lama banget…,” tolak Jessie halus. “Lebih baik kamu pulang sekarang.”

“Aku belum begitu lapar, sih,” Alfian nyengir. “Pas kamu selesai dan siap pergi denganku, pas itu pula laparku baru terbit.”

Jessie mengeluh di dalam hati. Sulit baginya menolak tawaran Alfian. Lagipula laki-laki itu pasti akan mencari cara terus supaya bisa mendapatkan keinginannya.

“Oke. Silakan menunggu di luar. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dulu.”

“Baik, Kak…. Terima kasih sudah berbelanja di minimarket kami. Ditunggu belanjanya kembali. Selamat malam,” jawab Alfian dengan nada mengggoda. Mau tidak mau terbit senyum di bibir Jessie. 

Jessie menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Untuk hari terakhir. Ia memandang deretan rak dan etalase. Barang-barang terjajar rapi. Setiap hari kerja ia bertemu banyak pembeli. Menghitung total biaya belanjaan. Menerima uang pembayaran. Mengucapkan terima kasih. Berharap mereka datang lagi untuk belanja. 

“Sampai ketemu lagi,” gumam Jessie. “Tapi aku datang sebagai pembeli saja, ya,” tambahnya dengan meringis.

“Sampai ketemu lagi, Jess,” kata Yanto pegawai sif malam hari ini. Mereka tidak terlalu dekat tapi berteman baik. “Rahmi pasti akan kehilangan kamu banget.”

“Ya,” jawab Jessie mengangguk. “Kami sudah janji akan selalu kontak-kontakan. Thanks God hari gini sudah ada teknologi bernama WhatsApp dan fitur chat lainnya.”

“Ngomong-ngomong…,” Yanto melongok ke arah luar minimarket. 

Alfi duduk menunggu di teras depan minimarket. Cowok itu baru saja menghabiskan sekotak susu ultra rasa cokelat. 

“Siapa itu?” tanya Yanto. “Pacar kamu, ya? Kelihatannya tajir banget. Beruntung kamu, Jess.”

“Dih, bukan. Cuma teman,” elak Jessie. Ia buru-buru mengenakan sweater dan mencangklong tas selempangnya. “Aku duluan, ya.”

“Sudah keburu mau kencan, yaa…,” Yanto terus menggoda. “Oke, Jess. Hati-hatilah di jalan. Nanti aku urus semua. Tinggal membereskan tumpukan kardus dan mengunci pintu. Sampai ketemu lagi. Semoga betah di tempat kerja yang baru.”

Jessie melambai. 

“Ngomong-ngomong…,” Yanto berserru seolah teringat sesuatu. “Radio tempatmu kerja apa namanya? Kalau senggang aku mau dengerin kamu siaran.”

“Radio enggak terkenal,” jawab Jessie sungkan. “Lagian siaranku jelek. Nggak usah didengerin.” 

Yanto terus memaksa. 

“Radiosiul…,” jawab Jessie sekaligus menyebut gelombang frekuensi Radio Siul. 

“Wah, radio pemanggil hantu?” Yanto lalu bersiul-siul usil. 

Bulu kuduk Jessie kembali meremang. “Ah, Yanto bercandaannya nggak lucu. Sudah, ah. Dahh!”

Yanto hanya meringis. Ia tidak tahu mengapa Jessie terlalu sensitif dengan bercandaan radio hantu barusan.

Alfi berdiri. Ia menyambut Jessie yang baru keluar. “Sudah siap? Sekarang kita makan, ya? Perutku sudah laper banget, nih!”

“Oke! Aku kepengin lontong sate.”

Alfi menahan langkahnya. “Jessie-ku yang baik, aku sudah booking meja di Everest Resto. Ada menu baru spesial yang bisa kita coba di sana. Kamu suka masakan sea-food, kan? Katanya udangnya segar dan diolah dengan baik.”

“Aku ingin lontong sate.” Jessie masih berkeras.

“Aku tidak ingin mukaku tercoreng, Sahabatku yang baik,” buju Alfi. Sudah menjadi watak keras Jessie memilih tempat-tempat makan sederhana. Cowok itu mengerti tapi ia tak mau menyerah begitu saja menuruti keinginan keras kepala gadis yang dicintainya. “Aku akan kesulitan mem-booking tempat yang sama kelak untuk klien-klienku. Bagaimana bila deal-deal-an bisnis berikutnya aku hendak menyewa satu ruangan privat lalu ditolak karena malam ini aku membatalkan janji begitu saja?” 

Jessie mengerutkan kening. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Alasan yang dikemukakan Alfi ada benarnya. Ia sebenarnya tak ingin makan di tempat mewah. Pun, ia sudah membayangkan betapa lezat sate lontong cak Rusdi yang tak jauh dari minimarket tempatnya bekerja. Air liurnya hampir saja terbit. Sepertinya kali ini ia mengalah saja. Karier Alfi – meski Jessie belum bisa balas mencintai kawannya sedari kuliah tersebut – penting untuk dijaga.

“Oke,” jawab Jessie dingin. Nada bicaranya dibikin ketus. “Lain kali kalau mengajakku makan malam, tanya dulu aku mau makan di mana! Jangan sembarangan main booking resto mahal!”

Alfin mengembangkan senyumnya lebar-lebar. “Oke, Jess. Sebelumnya sori ya kalau aku terlalu lancang. Siang tadi aku membaca selebaran launching menu sea-food baru. Yang kebayang di pikiranku cuma buru-buru booking tempat di sana dan mengajak kamu.”

Alfin dan Jessie bergegas berangkat. Sedan mewah hitam metalik Alfin menderu halus. Sudah lama sekali Jessie tidak mengendarai kendaraan super nyaman seperti ini. Sering terbersit rasa rindu meraskan fasilitas mewah seperti itu. Tapi rasa kesal itu masih terlalu menggunung. Menahan keinginannya bermewah-mewah menggunakan fasilitas. 

Rasa trauma itu masih ada. 

“Malah bengong?” sapa Alfin lembut. Mereka telah tiba di Everest resto. 

Bangunan yang dikonsep minimalis itu tetap terkesan mewah. Tamu-tamu datang dalam gaun dan pakaian terbaik mereka. Hanya dari kilau kemeja dan gaun yang tertimpa kilat lampu saja sudah terbaca harga outfit mereka. Pastinya memiliki nominal puluhan juta. Belum aksesoris mereka yang berkilauan. 

Dulu Jessie merasa menjadi satu dengan segala kemewahan tersebut. Ia tak jauh beda dengan para tamu yang cekikihannya terdengar merdu. Belum lagi parfumnya yang memiliki wangi begitu lembut. Kini ia minder. Langkahnya tertahan. 

Alfin tidak menyadari Jessie masih di belakang. Ia menuju resepsionis. Mengurus meja yang telah di-booking-nya. Dengung pembicaraan pengunjung memenuhi ruangan. 

Jessie memperhatikan pantulan bayangan dirinya di kaca. Begitu menyedihkan. Rambutnya yang sebahu tergerai kusut. Wajahnya letih. Berminyak seperti tak pernah perawatan. Make-up-nya terlihat murahan. Seragam kasirnya begitu membuatnya tampak memelas. Belum lagi tas selempangnya terlihat begitu murahan. Tidak perlu pengetahuan tinggi tentang barang-barang bermerek, jelas-jelas penampilan Jessie malam itu terkesan begitu gembel. 

Seperti gembel. 

Bruk!

Seorang perempuan dalam gaun mawal berkilaun terhuyung jatuh. Untung saja laki-laki di sebelahnya menahan dengan sigap. “Hati-hati, Sayang!”

Jessie mengernyit menahan nyeri di bahunya. Tangannya memijit pelan. Perempuan itu berjalan masuk dengan bercanda. Padahal lawakan pasangan laki-lakinya tidak lucu. Perempuan itu bereaksi terlalu berlebihan. Tertawa kencang hingga tidak memperhatikan jalan. 

Alfin melongok mencari Jessie. Tatapan mereka bertemu. Laki-laki itu memberi tanda supaya teman perempuannya segera menyusul. 

Langkah Jessie tertahan. Lengannya ditarik kasar. 

Perempuan yang tadi menabraknya mendelik. “Heh!” sapanya membentak. “Kamu bukan gembel yang kelaparan terus ke sini berharap dikasih makanan gratis, kan? Kamu pasti anak magang culun kampungan belum pernah melihat gemerlap dunia mewah, kan?”

Jessie celingukan. 

“Aku bicara sama kamu!” bentak si perempuan. 

“Sudahlah, Lisa…,” tegur John merasa tak enak. Meski tidak dilihat pengunjung, Lisa yang marah-marah di awal kencan mereka sudah membikin suasana menjadi tidak enak. 

“Saya?” tanya Jessie memastikan.

Bruk bruk bruk….

Jessie kewalahan menerima mantel dan sweater yang ditumpukkan begitu saja. Aroma parfum wangi menguar lembut. Santorini no 5. Sebotol parfumnya seharga setengah motor matic. Sementara ia kini mengenakan cologne semprot murahan. Wanginya hanya bertahan beberapa jam sebelum digantikan aroma keringat yang letih bekerja.

“Aku tidak tahu di mana menyimpan mantel dan sweater. Tolong bawakan. Kunci lokernya serahkan padaku. Cari saja meja atas nama John Burgundy.” Perempuan itu bicara pada laki-laki di sebelahnya. “Yuk, Sayang. Kita segera makan. Perutku lapar… lebih-lebih setelah melihat anak magang gembel ini.” [dps]


▶▶ Cerita 'Live On Radiosiul Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Live On Radiosiul - Bab 06: Kesal #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 06↴Alfin dan Lisa sudah putus sejak lama. Penyebabnya Alfin tak tahan terlalu diatur. Lisa juga terlalu posesif. Pencemburu berat. Alfin menanyakan kabar keluarga sekretaris kantor bisa membuat Lisa uring-uringan seminggu.Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Live On Radiosiul' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan