
TENTANG BAB 04↴
Saat tawaran lamaran kerjaan baru datang, sewa kamar kos naik, uang gaji kurang. karena itu Jessie menerima tawaran kerja dengan tawaran gaji yang menurutnya besar, 5 juta rupiah.
Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!
▶▶ ‘Live On Radiosiul' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Jessie baru saja mengunci kamar ketika ibu kos menghampirinya. Ibu Kos bertumbuh tambun, gemar mengenakan sandal teplek – suaranya berteplek-teplek di lantai keramin koridor kamar kos, rambutnya panjang digelung ke atas, mengenakan daster, dan mulutnya nyinyir bukan main.
Kos-kosan karyawan tempat Jessie tinggal sangat enak sekali. Lokasinya strategis, dekat dengan banyak warung makan yang enak dan harganya murah. Tempat kos-kosannya pun tidak pengap, udara segar mengalir lancar, sinar matahari berlimpah ruah, bila siang teduh, bila malam tak begitu dingin yang menggigit.
Hanya sayang, satu hal yang mengganggu adalah pemilik kosnya rese’! Ya, apa boleh buat. Jessie mengejar harga sewa kamar yang murah dan tempat yang nyaman meski ibu kosnya riweuh. Toh, hanya sesekali saja ia perlu berurusan dengan Ibu Kos; saat membayar sewa dan bila ada pengumuman penting.
“Haloo, Mbak Jesssieee…,” sapa Ibu Kos berusaha terdengar ramah tapi kentara bahwa kedekatan yang ditunjukkannya adalah palsu belaka. “Sore-sore begini kok sudah rapi? Mau ke mana, niiih…?”
“Saya mau berangkat kerja, Bu,” jawab Jessie dongkol. Sudah jelas-jelas ia mengenakan seragam kerjanya sehari-hari. Tanpa bertanya pun sebenarnya Ibu Kos sudah tahu apa kepentingan Jessie bepergian sore ini. Memang dasarnya saja sok basa-basi nyebelin.
“Ooh, masih muda memang harus semangat bekerja ya, Mbak Jessieee…! Ihihihi…,” Ibu Kos cekikihan. Kipas manual dari kayu cendana wangi terus dikipas-kipaskan. Tubuhnya yang tambun mulai berkeringat, padahal Ibu Kos mengenakan daster tipis dan berbahan adem, lho.
“Mari, Bu. Saya harus berangkat sekarang supaya tidak telat sampai tujuan.” Jessie mengenakan sepatunya.
“Lho, lho, jangan buru-buru pergi, Mbak Jessieee…. Saya ada pengumuman penting. Saya minta waktunya sebentar, ya?”
Jessie sudah selesai mengenakan sepatunya. Ia menunggu pengumuman penting apa yang hendak disampaikan Ibu Kos. Paling-paling harga sewanya naik, batin Jessie pahit. Ada saja alasan bagi Ibu Kos untuk menaikkan harga sewa. Memang dasar mata duitan!
“Begini, Mbak Jessieeee….” Ibu Kos mulai membuka percakapan. “Mbak tahu, kaann, kalau TeeDeeEel alias Tarif Dasar Listrik bulan depan bakal naik? Kalau TeeDeeEel itu sudah naik, waaaah, dipastikan harga-harga juga bakal naik, Mbaak. Itu mengapa saya harus memberi tahu Mbak Jessie, biar Mbak nggak kaget, ihihihi.”
“Beri tahu apa, Bu?” tanya Jessie pura-pura bloon.
“Sewa kamar kos mulai bulan depan naik ya, Mbaakk…!” terang Ibu Kos. “Naik seratus ribu saja per bulannya. Tenang, nggak banyak-banyak, kok. Saya juga enggak enak kalau harus naikin sewa kosnya terlalu mahal.”
Tikus curut, maki Jessie dalam hati. Tambahan biaya seratus ribu perbulan tidak bisa dibilang sedikit. Sewa kamar yang dibayar Jessie per bulan kemarin saja sudah membuatnya megap-megap. Gaji kasir yang sedikit membuatnya harus begitu menghitung setiap pengeluaran.
“Kamar Mbak Jessie kan sudah dibayar per tiga bulaan, iya, kaan? Bayar lagi baru dua bulan ke depan, ya, kaan? So, tenang aja, Mbaaakk, bulan depan nggak saya hitung kena tambahan biaya kok,” tambah Ibu Kos. “Tambahan biaya berlaku saat Mbak Jessie mulai memperpanjang sewa kamar berikutnya.”
“Baik, Bu,” jawab Jessie singkat.
“Oh yaa…,” Ibu Kos masih juga ngecipris-- terus bicara tak kunjung usai. “Ada tambahan biaya listrik juga, Mbaak. Semisal Mbak Jessie bawa kipas angin, laptop, pengering rambut, atau apa pun yang perlu nyolok listrik, setiap item-nya dikenai tambahan lima belas ribu rupiah saja, Mbaakkk…!”
“Saya cuma bawa colokan hape, Bu,” kata Jessie. Sebenarnya ia juga bawa rice cooker untuk masak nasi saat darurat kelaparan tengah malam, tapi ia diam saja. Tak usah disebutkan. Ia jarang menggunakan rice cooker-nya. Tak akan makan banyak listrik. Jadi sudah benar diam dan memakainya dengan sembunyi-sembunyi saja.
“Ooh, kalau cuma colokan charger listrik, sih, gratiiiss, Mbak Jessiee. Hitung-hitung beramal soleha, ya nggaakk…?” Ibu Kos cekikikihan. Kipas tangannya terus digerakkan mengusir gerah.
“Ada lagi yang perlu disampaikan, Bu?” tanya Jessie singkat.
“Ooh, sudaah. Saya cuma mau kasih tahu itu saja, Mbak Jessieee. Jangan galak-galak sama saya to, Mbaakk. Saya kan cuma mau memberi tahu pengumuman penting saja.”
“Iya, Bu. Maaf, Bu, saya tidak bermaksud galak. Cuman saya sedang terburu-buru. Kalau tidak bergegas, saya bisa terlambat masuk kerja.”
“Oohh, begitu, ihihihhi. Saya kira Mbak Jessie kesal sama saya, terus jadi galak begitu.” Ibu Kos tak juga segera beranjak pergi. “Di kos ini menurut saya cuma Mbak Jessie lho yang ramah dan tidak galak. Kalau anak kos lain, euuuhh-euuhh, sengak semuanya. Itu, Lala, yang ada di kamar pojok, kalau ketemu saya nggaak pernah mau menyapa. Ituu, Nia yang kamarnya di tengah, mentang-mentang pacarnya kaya, minyak wanginya tercium sampai lima meter. Parfum mahal, Buuund. Paling itu juga bukan pacarnya ya, Mbak Jessiiee. Itu sugar-daddy-nya, lah, pasti. Mana ada cewek masih muda, masih ranum begitu pacarnya laki-laki bangkotan yang pantasnya harus bersanding sama saya, ya, nggaakk? Tajir memang, dan justerruuu ituu, Mbak Jessssieee, yang semakin memperkuat saya kalau sebenarnya Tomas itu bukan pacar tapi sugar-daddy-nya Nia.”
Kebiasaan buruk Ibu Kos. Bila sedang bertemu A, maka ia akan membicarakan dan cenderung menjelek-jelekkan B, C, D, E, dan seterusnya. Bila bertemu D, maka ia akan menggunjingkan perilaku buruk A, B, C, E, dan seterusnya.
Sekarang saja Ibu Kos memuji-muji Jessie dan menjelek-jelekkan Lala dan Nia. Lain waktu Ibu Kos bertemu Lala, ia akan menjelek-jelekakan Nia dan – tentu saja – Jessie!
“Saya harus berangkat sekarang, Bu. Mari.” Jessie memastikan kamarnya telah terkunci. Ia segera pergi tanpa sudi menunggu jawaban Ibu Kos. Bila terus ditanggapi maka ocehan Ibu Kos takkan pernah berhenti.
“Yaa, Mbak Jessssieee…! Hati-hati di jalan, ya! Semangat bekerja! Ihihihi….” Suara Ibu Kos terdengar semakin sayup begitu Jessie menuju parkiran motor. Begitu kendaraan menyala, Ibu Kos melanjutkan, “Semangat bekerja, biar bisa saya porotin terus dengan alasan biaya sewa kamar kos naik, ihihihi.”
Sebenarnya masih banyak waktu luang bagi Jessie setiba di tempat kerja. Ia memang terburu-buru. Alasan awalnya adalah ingin segera bertemu Rahmi. Jessie ingin meminta pendapat tentang tawaran bekerja dan besaran gaji di Radio Siul. Tapi, karena bertemu Ibu Kos, alasan itu bertambah menjadi sesegera mungkin menghindari ibu-ibu nyinyir.
“Kusut banget,” tegur Rahmi. Kawan Jessie itu baru saja sampai. Ia mencopot sweater tipis dan menyimpannya dalam loker. Menggunakan kaca bedak berukuran kecil, ia membenahi bedak dan lipstiknya tipis-tipis.
Jessie menceritakan tentang tawaran bekerja dan gaji di Radio Siul.
Rahmi bersiul kencang. Kedua matanya membeliak antusias. “Astaga gede banget gajinya, Jess! Ambiill!”
“Ambil apanya?” tanya Jessie memastikan.
“Ambil kesempatan itu!” tegas Rahmi. “Ambil kesempatan jadi penyiar di Radio Siul! Ada pertimbangan penting apa lagi sih yang sampai membuatmu ragu?”
Jessie menjelaskan tentang jam kerja dan acara yang harus diampunya.
“Kamu keberatan dengan itu, nggak?”
Jessie menggeleng. “Nggak, sih. Nggak ada masalah sama sekali. Aku biasa melek malam. Lagian ini cuma empat jam kerja. Kondisi jalan pun cenderung aman, jadi nggak ada masalah kalau aku harus berkendara malam dan dini hari. Kosku pun tidak punya jam malam – ah, iyaaa….” Jessie mengeluh panjang.
“Ah, iya apa? Ada apa?” tanya Rahmi tak mengerti sikap temannya.
“Sewa kamar kosku akan naik mulai bulan depan. Kalau bertahan dengan gaji sebagai kasir, aku nggak tahu harus cari tambahan uang dari mana lagi.”
“Nah!” pekik Rahmi.
Jessie hampir saja mencelat kaget mendengar betapa Rahmi ber-nah dengan begitu semangat. “Ambil saja kesempatan itu! Lima juta perbulan dengan jam dan hari kerja yang tak begitu banyak adalah kesempatan bagus!”
“Begitu ya?” pasti Jessie yang masih juga belum yakin.
“Aduuh, kamu ini kenapa sih?” tanya Rahmi gemas tak mengerti. “Toh kamu mengampu acara lagu-lagu barat. Toh kata calon bos barumu ia tak bermasalah dengan penyiar tanpa pengalaman – semua bisa dipelajari.”
“Iya, sih.” Jessie mulai merasakan sedikit semangat bertunas di dalam hatinya. “Aku ambil kesempatan itu, ya!”
“Iya! Nah, begitu, dong!” tanggap Rahmi masih dengan penuh semangat. “Ngomong-ngomong, masih ada satu pertanyaan yang mengganjal sebenarnya.”
“Apaan?” tanya Jessie.
“Kenapa Pak Burhan – eh benar, kan, namanya Pak Burhan?”
Jessie mengangguk.
“Kenapa Pak Burhan rela mengeluarkan uang gaji karyawanny sebesar itu? Sementara radionya sendiri kan sudah bobrok dan tak begitu punya banyak pendengar?”
Jessie mengangkat bahu. “Aku juga tanya begitu kemarin. Katanya, sih, untuk menghargai profesi penyiar. Pak Burhan sudah sejak lama malang-melintang di dunia penyiar. Ia tahu beratnya jadi penyiar junior yang gajinya kecil. Lagipula, uang sudah bukan masalah lagi bagi Pak Burhan. Yaah, hitung-hitung beramal atau bersedekah untuk penyiar belum berpengalaman kayak aku, mungkin, ya?”
Rahmi manggut-manggut. “Yaa, masuk akal juga.”
“Oke. Aku ambil kesempatan itu, ya!” putus Jessie kali ini penuh kemantapan.
Rahmi menarik napas panjang. “Aku sebenarnya sedih harus berpisah denganmu, kelak. Tapi aku juga bahagia. Kayak yang kubilang kemarin, kamu masih muda. Cari banyak-banyak pengalaman, dan banyak-banyak gaji.”
“Kita masih bisa ketemuan di luar jam kerja, kan?” hibur Jessie. “Aku pasti akan traktir kamu.”
“Cieee… mentang-mentang gajinya gede!” ledek Rahmi.
Jessie mulai mantap akan mengambil pekerjaan sebagai penyiar Radio Siul. Kini ia harus kembali fokus bekerja. Kasir yang berdiri di belakang mesin penyimpanan uang. Selama ini ia langsung berhadapan dengan pembeli. Besok, kelak, saat ia menjadi penyiar, ia akan berbicara dan berinteraksi dengan pendengar yang ‘tak terlihat’ alias berada di rumahnya sendiri – atau di mana pun mereka berada.
Ditambah lagi, siaran yang bakal diampu Jessie berlangsung mulai pukul sepuluh malam sampai dua dini hari. Siapa juga yang mau mendengarkan dan iseng-iseng menyalakan radio di jam-jam larut seperti itu?
“Haloo, selamat malam, bersama Jessie di sini. Kembali lagi kita bersama di program STM. Siaran Tengah Malaamm! Selama emapt jam ke depan, aku akan menemani Sobat Siul semua di mana pun Sobat berada, dan sedang ngapain aja.”
Jessie cekikihan sendiri di dalam hati. Barusan ia membayangkan sedang menyapa para pendengar program acara radio STM. Kalau dibayangkan sih bisa lancar dan bagus-bagus saja ngecipris cerewet sebagai penyiar. Tapi kalau dilakukan sendiri, Jessie tidak yakin dirinya bisa bicara sebagus dan selancar itu.
Ah, tapi dicoba saja.
Jessie masih harus mengurus surat resign, dan tetek bengek lainnya. Mungkin ia kena pengaruh semangat dari Rahmi, sekarang Jessie merasa tak sabar ingin segera bekerja sebagai penyiar di Radio Siul. [dps]
▶▶ Cerita 'Live On Radiosiul Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
