
CUMBUAN MANTAN BAB 1
SHANIA'S POV
Tahun 2022
"Aku udah kirim e-mail resmi pemberitahuan ke Pak Gilang kalau PA beliau dari aku, dilimpahkan ke kamu." Mbak Rossa memberitahuku. "Udah aku chat WA juga."
Mbak Rossa memang paling jempolan deh urusan menyelesaikan pekerjaan. Sat set banget.
"Oke, Mbak." Aku nyengir lebar. "Kalau gitu, aku juga perkenalan diri lewat WA ya."
Kuambil ponselku lalu mengetik pesan formal.
[Shania 10.02:
Selamat pagi, Bapak Gilang Nugra Ahmad.
Perkenalkan, nama saya Shania Tejokumoro dan saya merupakan Personal Assistant Bapak yang menggantikan Rossa Dahlia di Bank Mulia. Saya ingin memperkenalkan diri sebagai PA baru Bapak yang siap membantu segala kebutuhan dan pelayanan yang Bapak perlukan.
Apabila ada hal yang perlu ditanyakan atau bantuan yang dibutuhkan, Bapak dapat menghubungi saya kapan saja. Saya akan memastikan pelayanan terbaik untuk Bapak.
Terima kasih atas perhatian Bapak, dan saya berharap dapat bekerja sama dengan baik.
Hormat saya,
Shania T.
Personal Assistant Bank Mulia.]
Setelah mengirimkan chat tersebut, aku nggak melirik ponsel. Tugasku sebagai PA lumayan banyak dan menyita waktu, terlebih harus meladeni permintaan dan keluh kesah nasabah sultan yang aneh-aneh. Baru setelah sampai rumah, aku mengecek.
Chat centang 2 tapi nggak biru. Ada dua kemungkinan, pertama, Pak Gilang memang nggak baca karena sibuk. Kemungkinan kedua, dia sengaja menyembunyikan apakah sudah membaca pesan atau belum. Aku nggak mau ambil pusing. Malah bagus, artinya nggak menambah pekerjaanku. Daripada dia rewel dan banyak minta kan?
Cuma, kalau alasannya minta ganti PA karena suka aku, kurasa alasan itu terlalu mengada-ada.
Hari-hari berlalu. Aku menjalankan instruksi Mbak Rossa untuk menawarkan berbagai produk, perbankan maupun investasi untuk Pak Gilang. Namun hasilnya selalu sama, nihil jawaban.
Hingga nggak terasa, hampir sebulan aku bekerja sebagai personal assistant Pak Gilang, dan hampir setiap minggu aku mengirimkan berbagai informasi tentang produk bank, penawaran investasi, atau kabar terbaru mengenai layanan kami di Bank Mulia, namun dia nggak pernah membalas satu pun chat-ku. Rasanya seperti ngomong sama tembok, aku mulai agak frustrasi, tapi ya mau gimana lagi? Tugas tetap harus dijalankan.
Namun, tiba-tiba hari itu, pas lagi duduk di meja kantor dengan segelas kopi yang sudah mulai dingin, ponselku berbunyi. Aku menatap layar, dan itu... Pak Gilang! Chat yang sekali ini datang darinya membuat jantungku berdebar sedikit lebih cepat.
[Gilang Ahmad - NasPri 13.04: Shania, saya mau ke bank untuk ambil sertifikat rumah yang dititipkan di Safe Deposit Box. Saya akan datang besok jam 8 pagi. Pastikan semuanya siap.]
Seketika itu juga aku langsung merasa campur aduk. Antusias, tapi juga dongkol karena dicuekin, tapi juga penasaran. Ini pertama kalinya aku akan benar-benar bertemu dengan dia secara langsung. Namun, ada sedikit rasa cemas yang muncul di dalam dada. Mungkin karena aku belum tahu pasti seperti apa sih orangnya? Di pesan singkatnya pun dia terkesan nggak banyak omong.
[Shania 13.06: Baik, Pak Gilang. Akan saya siapkan.]
Aku berusaha menyiapkan semua yang dia mau supaya besok nggak perlu pakai lama, Pak Gilang bisa menyelesaikan segala urusannya.
***
Pagi pun datang. Aku sengaja berangkat lebih awal mengingat hari ini ada janji. Aku menunggu Pak Gilang sembari mengerjakan pekerjaan lain. Namun pukul 8 pagi datang dan pergi, hingga akhirnya sekitar pukul 1 siang, aku mulai merasa nggak sabar. Sudah lebih dari 5 jam menunggu, dan Pak Gilang nggak juga muncul. Rasanya sudah mulai kesal juga, tapi tetap bertahan, mencoba untuk sabar. Sampai akhirnya, sekitar pukul 2 siang, satpam memberitahuku kalau Pak Gilang sudah datang dan menunggu di ruang nasabah prioritas.
Aku menarik napas dalam-dalam. Wajahku mungkin sudah seperti tomat, merah padam karena kesal menunggu. Kalau saja nggak tahu jumlah uangnya di deposito dan rekening, sudah pasti aku akan meluapkan kekesalan. Yah, tapi tenang saja, kesabaranku yang setipis tisu dibelah tujuh ini sesungguhnya bisa dibeli.
Aku berdiri dan mencoba memasang senyum terbaik yang bisa aku berikan. Saat aku melangkah ke ruang nasabah prioritas, sosoknya langsung terlihat—Pria dengan tubuh tegap, tinggi, dan dengan wajah khas lelaki Jawa yang tampan. Dikenal dengan wajah yang bisa menggoda siapa saja kalau mau. Kulitnya sawo matang, dengan garis rahang yang tegas dan tatapan mata yang teduh. Pak Gilang mengenakan jas rapi. Kalau dia memang pengacara, penampilannya tampak seperti orang yang sudah terbiasa berurusan dengan klien kakap.
“Maaf Shania, sudah bikin kamu nunggu lama, ya?” suaranya yang dalam terdengar sopan, meskipun senyum nakalnya seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang berbeda. Gimana aku tahu kalau dia ‘Nakal’? Ya, aku sudah terbiasa dengan cowok. Sejak SMP sampai kuliah, aku terbiasa gonta-ganti pacar walaupun sekarang ini aku sedang jomlo karena Ama menyuruhku putus dengan pacar terakhirku yang menurut Ama nggak punya masa depan. Ama memintaku fokus pada Kenneth yang nggak menarik itu.
“Tidak apa-apa, Pak Gilang,” jawabku, berusaha terdengar santai meskipun dalam hati berbeda.
"Saya harus menemui klien di rutan Cipinang, mendadak sekali karena beliau sakit."
Aku mengangguk, mencoba memahami kesibukannya sebagai pengacara.
"Sudah disiapkan semuanya, Pak," kataku.
Kami segera menuju ruang safe deposit box yang terletak di lantai dasar. Ruangannya dingin, dengan lampu neon terang, dan penjagaan ketat. Begitu sampai di depan pintu, aku mengetuk dan memberitahu Mas Karman, petugas di sana untuk membuka ruang itu. Mas Karman langsung membuka pintu besar dengan kode khusus.
“Silakan, Pak Gilang,” kataku setelah Mas Karman membuka salah satu dari deretan kotak besi yang berjajar rapi.
Pak Gilang mengambil sebuah kotak penyimpanan dengan hati-hati, lalu membukanya. Di dalamnya ada sertifikat rumah. “Rumah di sertifikat ini mau saya jual,” katanya sambil melirikku sekilas. “Hasilnya nanti akan dibagi dengan mantan istri sesuai putusan pengadilan.”
Aku mengangguk dan ikut berdiri di sampingnya. Walaupun banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku, tapi aku harus jaga image.
Setelah urusan selesai, aku mengantar Pak Gilang ke parkiran. Mataku serasa akan melompat keluar saat melihat apa yang aku lihat. Di tengah parkiran basement, sebuah Lamborghini Aventador warna emas terbuka untuk Pak Gilang. Aku tahu harga mobil mewah itu. Seingatku, belum ada nasabah yang ku-handle memiliki mobil ini. Kalau Mercedes atau BMW, aku nggak begitu heran. Tapi ini beda. Lamborghini Aventador. Warnanya mencolok pula.
“Wah, ini mobilnya, Pak?” tanyaku, suaraku hampir tercekat.
Dia tersenyum lebar, seolah paham apa yang sedang aku pikirkan. “Iya, mobil ini hadiah dari klien saya. Dia berhasil saya selamatkan dari hukuman mati karena kasus narkoba. Jadi ya, dia hadiahkan saya mobil ini sebagai tanda terima kasih.”
Aku nggak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya mengangguk dan mengagumi mobil yang begitu megah itu.
Pak Gilang menoleh ke arahku dengan senyuman menggoda. “Shania, kamu mau coba?"
"Terima kasih, Pak. Mungkin lain kali," jawabku sopan.
"Coba saja, bukan jadi penumpang, ya. Tapi coba bawa mobil ini.”
Aku kaget setengah mati. “Maksudnya... bawa mobil ini?”
“Iya, kenapa nggak? Ini mobil luar biasa. Rasain sensasinya,” jawab Pak Gilang sambil tertawa kecil, tapi matanya sedikit nakal.
Aku terdiam. Nggak mungkin, kan? Aku nggak pernah bawa mobil semewah ini sebelumnya. Mobilku cuma sekelas city car biasa.
"Maaf, Pak. Sepertinya lain kali saja."
"Saya jarang datang ke bank, Shania. Belum tentu kita bertemu lagi," bujuk Pak Gilang, bikin aku sulit menolak.
“Aduh, Pak... Tapi saya nggak tahu cara bawa mobil ini,” kataku sedikit gugup.
“Ya, nggak apa-apa. Saya yang ajarin,” jawabnya dengan suara penuh percaya diri. Tanpa menunggu jawaban, dia membuka pintu mobil dan memberi isyarat supaya aku duduk di kursi pengemudi.
Aku menarik napas panjang, lalu duduk di kursi pengemudi Lamborghini. Rasanya aneh sekali. Pak Gilang duduk di sampingku, memberikan instruksi untuk menghidupkan mesin.
“Injak pedal rem dulu, Shania. Jangan khawatir, ini mobil canggih. Nggak bakal ada masalah,” ucapnya sambil memberikan senyuman yang makin membuatku gugup.
Dengan sedikit kebingungan, aku mengikuti instruksi. Begitu mesin menyala, suara mesin mobil itu terdengar seperti guntur yang menggelegar.
Aku terlonjak kaget. "Tuhan Yesus!"
Pak Gilang menatapku sambil tertawa, tangannya meraih tangan kananku dengan lembut untuk membantuku menyesuaikan posisi setir. Tangan kami bersentuhan, dan entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat. Tangannya besar dan terasa kuat menggenggam tanganku.
“Bagus, Shania. Rasanya seperti pengemudi profesional, kan?” ucapnya dengan nada menggoda.
Aku menggenggam kemudi Lamborghini Aventador dengan tangan yang sedikit gemetar. Suara mesin mobil ini begitu menggelegar, seperti gemuruh petir yang siap meledak kapan saja. Aku menatap ke depan, jalan raya lumayan padat, tetapi perasaan gugup justru semakin menyelimutiku.
“Jangan khawatir, Shania. Ikuti instruksi saya dan semuanya akan baik-baik saja,” kata Pak Gilang, suaranya tenang tapi ada nada keyakinan yang menenangkan.
Aku mengangguk, meskipun di dalam hatiku rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu terbang. Jari-jariku sedikit kaku saat memindahkan tuas transmisi ke posisi drive. Perlahan, aku menginjak pedal gas, dan mesin mobil itu langsung meraung dengan penuh kekuatan. Hatiku berdegup kencang, begitu kerasnya seakan bisa menyaingi suara mesin.
“Pelan dulu, Shania. Rasakan gasnya,” suara Pak Gilang terdengar lagi, lebih santai.
Aku mencoba untuk mengikuti instruksinya, menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. Tapi semakin aku menekan gas, semakin kuat dorongan yang terasa di tubuhku. Seolah-olah aku sedang terbang, meluncur cepat tanpa bisa menghentikan laju mobil ini. Dan di saat yang bersamaan, jantungku berdegup semakin cepat.
Mobil ini begitu responsif. Setiap gerakan kecil dari tanganku langsung diikuti dengan aksi dari mesin. Ketika aku sedikit menginjak pedal gas lebih dalam, mobil itu langsung meliuk cepat, dan aku hampir kehilangan kontrol sejenak. Wajahku mungkin terlihat pucat, tapi ada sensasi yang menggebu di dalam diriku, rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
“Lebih cepat, Shania. Tapi ingat, kontrol adalah segalanya,” kata Pak Gilang dengan nada yang sama sekali nggak panik.
Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan ketegangan dalam tubuhku. Dengan hati yang berdebar-debar, aku menekan gas lebih dalam lagi.
Aku menurut saja saat Pak Gilang mengarahkan ke tol dalam kota. Mobil itu meluncur, begitu cepat dan lancar, angin yang menerpa wajahku semakin tajam, membangkitkan adrenalin di tubuhku.
Lamborghini ini seperti sesuatu yang hidup, dan aku... aku merasa seolah-olah bisa menguasai segalanya. Semua rasa takutku menghilang begitu saja, digantikan oleh antusiasme yang luar biasa. Aku merasa seperti aku sedang mengendalikan dunia, dan kecepatan itu, aku ingin merasakannya lebih lama lagi.
“Woo...hooo! Shania, rasakan itu. Gimana? Keren kan?" seru Pak Gilang antusias, senyum merekah di wajahnya.
Aku nggak bisa menahan tawa kecil yang keluar begitu saja. Ini luar biasa.. Menyupir mobil ini serasa sedang hidup di dunia yang berbeda. Seolah dunia ini milikku. Dan Pak Gilang... dia berhasil membuatku merasa hal yang berbeda.
Next, GILANG DAN SHANIA BAB 3 Klik link
https://karyakarsa.com/BelladonnaTossici/cumbuan-mantan-bab-3
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
