GILANG DAN SHANIA BAB 1

5
1
Deskripsi

Shania terperangkap dalam asmara. Gilang, sang nasabah prioritas telah membuatnya lupa diri. Setiap pertemuan mereka adalah hal yang mendebarkan. Namun, bayang-bayang perjodohan dengan Kenneth menghantui hubungan Shania dan Gilang. 
Shania harus memilih antara Kenneth yang direstui keluarga tapi membosankan atau Gilang, sang kekasih yang sanggup memenuhi fantasi terliar Shania tapi tidak akan pernah disetujui keluarganya.

Bella's Note:

Sebelumnya, saya minta maaf belum sempat melanjutkan Dissenting Opinion karena perlu banyak riset untuk perkara hukumnya. Karena Dissenting Opinion merupakan project yang nggak santai (melibatkan banyak riset), kali ini saya balik dengan story yang lebih santai dan nggak bikin kening Sexy Readers berkerut. 

Female lead-nya Shania Tedjokumoro, seorang personal assistant untuk nasabah sultan (nasabah dengan saldo 5 Miliar rupiah di bank). Iya, saya baru tahu ada profesi ini dan baru tahu kalau orang kaya dapat fasilitas seperti ini dari bank. Menarik kan. Male lead-nya Gilang Nugra Ahmad, iya, Gilang seniornya Nadia di Dissenting Opinion. Tapi latar waktu GILANG DAN SHANIA sebelum Nadia join di law firm. Jadi, nggak ada Nadia di sini. Kita fokus sama kisah cinta Gilang-Shania.

Semoga bisa menghibur kamu semua yaaaa.

Enjoy,

Bella.

 

SHANIA'S POV

Tahun 2022

Sinar matahari pagi menerobos celah tirai, menyentuh kulitku yang masih terasa lengket karena keringat. Barusan aku selesai lari di treadmill. 

Beginilah rutinitasku setiap hari, selain olahraga sebelum siap-siap ke kantor, aku juga menjaga asupan makanan supaya tubuhku nggak melar. Yah, maklum lah, nasabahku semuanya sultan yang banyak tuntutan. Walaupun pria buncit kaya raya dengan akhlak super ajaib, tapi minimal duitnya banyak.

Seaneh apa sih mereka? Sini aku spill. Boleh saja penampilan fisik sudah lapuk dimakan usia, tapi permintaan mereka suka aneh-aneh, misalnya meminta personal assistant yang cantik, muda, dan langsing. Buat cuci mata katanya. 

Aku menatap jam di dinding, agak terlambat sih, tapi masih bisa dikejar. Cepat-cepat aku menyiapkan diri, mandi, menata rambut, memulaskan makeup sambil berpikir tentang agenda hari ini. 

Aku baru saja mengambil baju kerja dari gantungan—blazer fuchsia dengan rok pensil sewarna dan inner putih, sepatu hak tinggi, standar—ketika tiba-tiba ponselku berdering. Nama yang muncul di layar: Kenneth Wirahadi

Huuuft! 

Aku membuang napas dari mulut. Kenapa harus dia sih yang menelepon? 

Ck! Ini semua karena Ama yang selalu ngeyel pengen jodohin aku sama dia. Nenekku itu bersekongkol dengan sahabatnya yang adalah nenek dari Kenneth agar aku dan Kenneth segera menikah. Menurut teman Ama, aku ini serasi dengan cucunya. Selain seiman dan sama-sama berasal dari Surabaya, shioku Macan Kayu, cocok dengan Kenneth yang shio Anjing Logam. Masalahnya, selisih usia kami 16 tahun! Cocok dari mananya coba? Aku ngobrol sama Kenneth pun nggak pernah nyambung. Beda alam. 

Aku melirik ponsel itu, ragu. Duh, sumpah. Males banget. 

“Shania! Angkat telepone. Mesti Kenneth kuwi, yo opo kon ora njawab? (Shania! Angkat teleponnya. Itu pasti Kenneth, masa kamu tidak menjawab?)” teriak Ama, yang suara stereonnya kedengaran dari sini, mengomel seperti biasa. Begitulah, sangking sering Kenneth menelepon di jam yang sama, Ama sampai tahu kalau ini adalah telepon dari Kenneth sebelum kujawab. 

Malas-malasan, aku menggeser ikon hijau. 

“Halo, Dokter Kenneth?”

Di seberang sana, suara Kenneth terdengar berwibawa. 

[Shania, sudah mau berangkat ya?]

Dan seperti biasa pula Kenneth selalu menanyakan hal yang sama. Aneh kan, sudah tahu aku repot siap-siap di pagi hari, masih juga dia telepon. 

Huuuft!

Lagi-lagi aku menghela napas lalu tersenyum tipis. “Ya begitulah, Dokter. Namanya juga budak korporat.”

[Masih panggil saya Dokter?] Kenneth ketawa ringan.

"Ya, sorry, Ko." Aku mengalah walaupun tampangnya lebih pantas dipanggil Asuk (Paman). 

[Nggak apa-apa, saya ngerti kok. Hari ini sibuk nggak?]

As usual. Ngapain hubungin aku, Ko?” Aku mulai nggak sabar. “Ada yang penting?”

[Saya mau ajak kamu makan siang. Kata Ama, kamu pengen makan nasi campur? Kebetulan saya dapat rekomendasi nasi campur enak.]

Ish, padahal aku ngomong itu sama Ama cuma iseng. Ceritanya Ama tanya untuk ulang tahun cece, enaknya dimasakin apa. Aku nyeletuk nasi campur hainan lengkap dengan kuping babi, babi char siu, sam chan asam manis. Duh bayanginnya aja sudah bikin aku ngiler. Nasi campur buatan Ama memang the best. Malah Ama bocorin ke Kenneth. Buat apa coba? 

"Nggak usah repot-repot, Ko. Aku nggak boleh makan babi, bisa-bisa aku gendut nanti."

Ya gendut, kayak babi. 

Ada jeda sejenak, kayaknya dia lagi mikir apa yang mau dia omongin. 
[Kan nggak tiap hari, Shan. Gimana kalau Minggu ini kita misa di Gereja Santo Alfonsus Rodriguez, Pademangan? Setelah itu makan nasi campur babi Aliong.]

Aku nyaris tergelak. Misa? Sungguh nggak ada dalam rencana hidupku. Aku nyengir sambil menatap cermin, menata rambut lagi. 

“Misa? Koko kira aku ini anak rohani yang suka misa gitu ya?”

Kenneth langsung menyahut, [Bukan masalah rohani nggak rohani, Shania. Kita sebagai manusia selalu butuh Tuhan.]

Mulai deh ceramah panjangnya. Aku paling nggak suka dinasihati macam bocil begini. 

Aku menghela napas panjang, berusaha tetap sopan meskipun di dalam hati udah nggak sabar. “Aku nggak bisa makan yang berlemak, Ko. Apalagi babi. Udah tau kan, aku lagi diet.”

Terdengar Kenneth tertawa di seberang sana. [Nggak apa-apa, Shania. Asalkan kamu olahraga, nanti saya temenin kamu jogging atau fitness.]

Fitness? Bahasa purba macam apa itu? Nge-gym, Om. Nge-gym! Haish! 

Aku tersenyum sinis, merasa tertantang untuk ngomong lebih keras. “Ko, ibadah itu kan niatnya harus ikhlas. Kok malah mikir makan?"

Di balik sana, Kenneth terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar lebih serius. [Saya mengerti, Shania. Tapi, kamu tahu kan, kita semua butuh keseimbangan hidup. Nggak ada salahnya makan-makan setelah ibadah.]

Aku nyengir mendengar kata-kata dia yang kayak motivator itu. Tapi, ya, dia memang agak maksa sih. Aku hampir nggak tahan untuk nggak ngomelin dia. “Masalah babi, kita bahas nanti lah. Aku cuma mau kerja, udah telat nih.”

[Perlu dijemput?]

"Nggak usah, Kooooo... Kantor kita nggak searah. Lagian aku juga bawa mobil."

[Shania.] Kenneth terdengar serius. [Saya berharap kita bisa menghabiskan waktu bersama. Saya serius dengan kamu. Dalam waktu dekat, saya akan melamar kamu secara resmi. Saya yakin semua keluarga kita sudah setuju. Jadi tolong kerjasamanya.]

Aku mendengus nggak berminat. "Terserah."

 

***

 

Aku sampai di bank tempatku bekerja sebagai personal assistant selama 2 tahun terakhir, pukul setengah delapan, persis dengan waktu di mana kepala cabang kami, Bu Hanifah mau memberikan morning briefing. Seperti biasa, kami menyanyi dan sedikit berjoget agar semangat. Lalu ada mini games yang bertujuan mempererat rasa persaudaraan sesama karyawan. Barulah Bu Hanifah memberikan pengarahan apa yang harus kami lakukan hari ini. 

Usai morning briefing, Bu Hanifah memanggilku ke ruangannya. Di dalam sudah duduk Mbak Rossa, seniorku sesama PA. Aku lumayan deg-degan, tapi yakin nggak melakukan kesalahan. Jadi aku mencoba tenang. 

"Shania, gimana kamu selama bertugas? Ada yang bikin nggak nyaman?" tanya Bu Hanifah. Beliau memang halus dan cukup pengertian sebagai atasan. Hampir semua orang di sini menyukainya. Namun basa-basi sopannya tak ayal bikin aku overthinking. 

"Nggak ada, Bu. Nyaman kok." Aku mengangguk untuk meyakinkan. 

"Nasabah, apa ada yang bikin kamu kesulitan?"

Ya ada sih, namanya juga pekerjaan. Mana ada yang 100% enak? Tapi sejauh ini, aku bisa menangani dengan baik. 

"Kalau ada apa-apa, saya suka diskusi sama Mbak Rossa," kataku seraya melirik seniorku. Mbak Rossa membalas dengan senyum tipis. 

Bu Hanifah mengangguk dan balas tersenyum. Beliau kemudian membuka map berisi dokumen nasabah sultan. 

"Begini, Shania, ada salah satu nasabah Rossa yang minta ganti PA," ucap Bu Hanifah. Aku spontan menegakkan posisi duduk. "Bukan karena kinerja Rossa tidak bagus, justru Rossa adalah PA paling berpengalaman di bank kita. Semua nasabah yang pernah di-handle, nggak pernah mengajukan keluhan. Tapi, namanya nasabah, kadang memang punya permintaan spesial."

Bu Hanifah menyodorkan dokumen berisi data nasabah. Gilang Nugra Ahmad. Dari tempat tanggal lahir, usianya sekitar pertengahan 30 tahun. Sawo matang dan manis, seperti pria Indonesia pada umumnya. Aku lumayan kagum karena di usia relatif muda, Gilang punya saldo dua digit di rekening. Miliar ya, bukan juta. Dari fotonya, Gilang nggak buncit seperti nasabah prioritas lainnya.

Sebagai orang yang nggak buta fashion walaupun nggak jago amat, aku suka penampilan Pak Gilang hanya dari fotonya. Potongan rambut comma hair layaknya aktor Korea, menunjukkan orang ini bukan tipe cowok membosankan seperti... Yah, You Know Who.

"Pak Gilang ini pengacara di sebuah firma hukum, tapi punya usaha jual beli mobil mewah. Pak Gilang sudah enam tahun menjadi nasabah prioritas kita. Sejak awal di-handle sama Rossa, tapi awal bulan ini beliau minta ganti PA," jelas Bu Hanifah.

"Alasannya?" tanyaku hati-hati.

"Lebih ke soal penyegaran."

Aku mengangguk mengerti. Paham kan kenapa syarat lowongan kerja di Indonesia mencantumkan 'Berpenampilan Menarik'. Ya, ini salah satu alasannya, agar nasabah atau customer hidung belang senang melihat pemandangan bagus.

Aku nggak pernah meragukan profesionalisme Mbak Rossa. Justru dia sudah malang melintang sebagai personal assistant. Namun sejak menikah, hamil, dan melahirkan, memang dia sedikit berisi. Terlebih katanya bobot tubuhnya sempat naik 20 kilo. Mbak Rossa yang sejak gadis termasuk berisi, walau nggak overweight, jadi semakin berisi. Suaminya pun nggak mengizinkan diet karena sekarang tengah mengASIhi anak pertama mereka. Itulah sebabnya bobot tubuh Mbak Rossa susah turun.

"Pak Gilang suka sama kamu," kata Bu Hanifah.

"Eh?" Aku kaget. Aku nggak ingat pernah ketemu dia, gimana ceritanya dia bisa suka aku? 

"Dia duda, Shan." Mbak Rossa yang sejak tadi diam, mulai angkat bicara. "Memang pernah bilang kalau cari pasangan perempuan keturunan Tionghoa."

Aku melirik data nasabah dan mataku langsung tertuju pada kolom agama. Bukan pemakan babi. Aku berdeham kikuk.

"Mungkin kamu nggak ngeh. Bulan lalu beliau datang, menyimpan logam mulia di SDB (safe deposit box). Beliau melihat kamu, lalu bertanya sama Rossa."

Sebagai keturunan China, penampilanku memang disukai banyak laki-laki. Kulit putih, badan ramping, dan untungnya aku cukup semampai.

Walaupun alasannya jauh dari kesan profesional, tapi pihak bank tentu saja nggak mungkin menolak permintaannya. Hei, banyak bank di luar sana yang berebutan nasabah sultan. Kalau Pak Gilang sampai kecewa, dia bisa memindahkan uangnya ke bank lain.

"Mulai hari ini, kamu yang handle Pak Gilang ya. Saya serah terimakan dokumen beliau dari Rossa kepada kamu."

"Siap, Bu," ucapku tanpa ekspektasi apa-apa. 

 

Next… GILANG DAN SHANIA Bab 2 klik link di bawah ini:

https://karyakarsa.com/BelladonnaTossici/cumbuan-mantan-bab-2

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya GILANG DAN SHANIA BAB 2
2
0
CUMBUAN MANTAN BAB 1https://karyakarsa.com/BelladonnaTossici/cumbuan-mantan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan