
Bab 7 Separuh Jiwa Sanad
Bab 8 Melindungi
Bab 7 Separuh Jiwa Sanad
Di kantor Sanad memperhatikan video yang dikirim informannya.
“Rudi?”
Ia mengangkat teleponnya. “Lindungi dia. Sepertinya akan ada dua orang yang akan mencarinya. Kamu perlu cari tahu yang siapa yang namanya Rudi.”
***
Hari Minggu pagi, Evan bermain lempar bola dengan Tera. Evan sudah mandi dan mengenakan baju santainya. Tiba-tiba pandangan Evan tertuju pada Pak Agus, seorang pekerja khusus merawat halaman dan tanaman.
“Evan?” Tera menatap Evan heran yang tidak lagi melempar bola di tangannya. Ia mengikuti tatapan Evan. Terlihat Pak Agus sedang mengaduk tanah. Tak jauh dari situ ada beberapa buah pot tanaman.
“Evan mau mencoba itu?” pancing Tera.
Evan menoleh ke belakang, lalu mengangguk. Tera tersenyum lebar. Dari gelagat, Tera tahu kalau bocah itu tidak diizinkan main kotor. Namun, ia memilih pura-pura tidak tahu.
“Ayo!” Tera mengulurkan tangan, Evan menyambutnya, lalu ia membawa ke tempat Pak Agus yang lagi asik memasukkan tanah ke adalam pot. Tak jauh dari situ sebatang mawar yang sudah tinggi tergeletak di tanah.
“Tanahnya mau diganti, Pak?”
“Iya, Dik. Sudah lama, diganti lagi dengan tanah yang sudah dicampur pupuk.”
Tera mengangguk. Evan berjongkok. Ia mengulurkan tangan, tetapi segera dicegah Pak Agus. “Jangan, Den! Nanti dimarahin Tuan lo.”
Evan meringis, hendak menangis.
“Biarkan saja, Pak. Biarkan dia mencoba,” bela Tera.
“Tapi, Dik, kalau kenapa-kenapa gimana? Imun dia ‘kan beda dengan imun kita.”
“Justru itulah, Pak. Seharusnya dia dilatih biar dia kuat. Aku percaya mereka memberikan gizi yang lengkap untuk kesehatannya. Tetap saja, kebal terhadap bakteri secara alami itu juga penting.” dalih Tera.
Pak Agus mengakui lemahnya tubuhnya Evan, tapi apa hendak dikata, Evan anak majikannya. Ia pun tidak ingin mengundang risiko.
“Tenang saja, Pak. Kalau kenapa-napa saya yang bertanggung jawab.”
Evan tersenyum lebar, memamerkan gigi putihnya. Tera bertanya-tanya, apakah anak ini, tidak pernah kegirangan dengan meloncat-loncat sebagaimana anak umumnya?
“Bapak punya peralatan lainnya? Sekop lainnya?” tanya Tera.
“Ada?”
“Lebih kecil dari ini ada nggak?”
Pak Agus menggeleng.
“Ya sudah, Evan minjam ini dulu. Pak Agus bisa ambil yang lain. Maaf ya, Pak,” ucap Tera.
“Tidak apa, Dik.” Pak Agus berlalu ke gudang mengambil peralatan lainnya.
Evan langsung mengambil sekop yang tadi dipakai Pak Agus, sedang Tera mendekatkan pot besar. “Pelan-pelan. Sedikit-demi sedikit saja, biar tangan Evan nggak terlalu pegal.”
Namun beberapa kali Evan baru menyekop tanah, tiba-tiba terdengar pekikan Sanad yang baru datang dari olah raga jalan.
“Evan!!”
Sontak sekop yang dipegang Evan terlepas akibat teriakan bariton ayahnya, Tubuhnya menciut. Ia segera berlari, bersembunyi di belakang Tera.
“SIAPA YANG MENGIZINKANNYA MAIN TANAH?!”
“Aku. Memangnya kenapa?" sahut Tera santai. "Dia laki-laki, Bapak mau jadikan dia seorang putri?”
Pak Agus yang tadi baru datang dari gudang memundurkan diri.
“KAMU TAU APA SOAL DIA? CEPAT BERSIHKAN DIA! KALAU DIA KENAPA-NAPA, KAMU AKAN TANGGUNG AKIBATNYA!”
“Iya!” Tera berbalik.
"Bawel," omelnya pelan. Ia mengusap keringat yang membasahi wajah Evan. “Tidak apa. Jangan takut. Papa cuma khawatir sama Evan. Anak Papa kuat ‘kan?”
Evan mengangguk ragu.
“Pintar. Sekarang kita bersih-bersih dulu!”
Evan langsung menyambut uluran tangan Tera. Ia masih bersembunyi di balik rok yang dikenakan Tera.
“Bapak membuatnya takut!” desis Tera.
***
Siang itu Evan meminta jalan-jalan kepada Sanad. Sanad hanya membawanya ke wahana bermain yang berada di Transmart. Sore hari ketika sampai ke rumah, Sanad mendadak panik ketika melihat Evan menyusut hidungnya.
“Kamu kenapa?” tanya panik, sambil langsung menyentuh dahi Evan. “Panas.”
Tera langsung mendekat. Ia ikutan menyentuh dahi Evan. “Hangat begini dibilang panas. Sini”
Tera hendak menggenggam tangan Evan, tetapi langsung ditarik Sanad. “Kita ke rumah sakit!”
Tera mengerang frustasi. Ia menepuk jidatnya. “Astaga, Sanad. Hangat begitu langsung ke rumah sakit? Kalau begini istirahat saja sudah cukup.”
Namun Sanad, tidak menghiraukannya lagi. Sanad langsung mengangkat putranya, lalu membawa ke mobil.
“WOI!” teriak Tera sambil membuntuti Sanad. “Percaya dih padaku, dia cukup beri asupan gizi, lalu istirahat.”
Sanad memasukkan putranya ke mobil. “Mengapa kamu selalu terlihat meremehkannya?”
Tera tersentak. Mengapa Sanad menuduhnya seperti itu?
“Kalau dia kenapa-napa, aku tidak akan memaafkanmu!” ancam Sanad, lalu masuk ke mobil dan meninggalkan Tera yang memaku di halaman.
Meremehkannya?
Dari sudut mana pun, Tera tidak bisa memahaminya. Ia berbalik, Hayati berdiri di tengah pintu.
"Dia tuanmu, kenapa kamu masih memanggilnya nama?" tegur Hayati, lalu menjauh.
'Tera mengernyit. Situasi seperti ini, masih memikirkan panggilan?'
Ia masuk ke rumah, lalu ke dapur. Di sana Asih sedang sibuk merapikan sayuran di sebuah kulkas khusus sayur. Ini salah satu yang tidak bisa dimengerti Tera, mengapa mereka memiliki banyak kulkas. Ia paham, supaya tidak tercampur baunya. Namun, bukankah Asih hampir selang hari ke pasar? Mereka cukup membeli sekadarnya, hingga bau tidak sampai saling bertukar. Untuk apa stok banyak kalau sering ke pasar?
“Sudahlah! Bodo amat!” Tera membatin.
“Sih, Ibu sudah datang?” tanya Tera.
“Belum,” jawab Asih. Ia mengambil beberapa biji tomat lalu memasukkan ke sebuah toples persegi yang Tera prediksikan untuk besok pagi.
“Kamu sudah lama bekerja di sini?” tanyanya sambil duduk di kursi.
“Baru dua tahun.” Asih duduk di kursi yang satunya. Mengelilingi meja yang biasa mereka gunakan untuk mempersiapkan bahan makanan.
“Kamu tahu bagaimana perlakuan Tuan ke Evan?”
“Maksudmu?” Gerakan Asih terhenti.
“Tadi Evan kelihatan menyusut hidung. Tuan langsung membawa ke rumah sakit. Bukankah itu sangat berlebihan?!”
Asih tersenyum lebar. “Tuan memang sangat protektif sama Evan.”
“Aku mengerti kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Tapi kalau over begitu, kadang malah membuat anak jadi terkekang, atau malah kena tekanan mental duluan. Coba disikapi dengan santai dulu, jadi anak pun melewati dengan santai. Kalau begini, dia ikutan panik.”
Asih menghela napas. “Aku tidak tahu persis bagaimana kejadian waktu Tuan kecelakaan. Tapi, mengingat istrinya meninggal dan Evan yang selamat, tentu itu akan mempengaruhi psikis Tuan. Aku tahu, kamu ingin Evan menikmati sebagaimana seorang anak kecil. Bermain, beradaptasi dengan alam, jajan di pinggir jalan, flu dan pilek itu biasa. Tapi jangan terlalu sering membuat Tuan marah. Kalau Tuan marah akan merembet ke lainya. Ke kami, Pak Amin sopir pribadi Tuan pernah bilang, kadang sampai merembet ke kantor.”
Tera tersentak.
“Asal kamu tahu, Tuan tipe orang dingin dan cuek, nggak gampang marah, asal jangan mengusik putranya.”
Tera menghela napas. Tiba-tiba saja ia merasa kasihan dengan pria galak itu. Benarkah tuannya seorang dingin? Jika memang iya, berarti dirinya yang keterlaluan, sehingga membuat pria dingin itu marah.
“Pak Amin ada nggak?” tanya Tera.
“Kamu mau menyusul?” tanya Asih balik.
Tera menjawab dengan anggukan.
“Ada di belakang, di kamarnya. Coba cari saja ke sana.”
***
Sesaat Tera menengadah, memerhatikan rumah sakit yang akan ia masuki. Ia berpikir akan salah alamat, andai saja bukan Pak Amin yang langsung mengantarnya. Untuk flu dan pilek harus ke rumah sakit semewah ini? Namun, kini Tera memahami mengapa Sanad bersikap berlebihan jika menyangkut soal anaknya. Satu-satunya belahan jiwa yang masih tertinggal.
Tanpa ia sadari air matanya menetes. Sanad, pria dewasa yang kehilangan istri sudah begitu, bagaimana dengan Evan yang kehilangan ibunya? Hanya saja, anak itu tidak bisa mengekspresikan perasaan sepenuhnya. Tiba-tiba ia merasa bersyukur dengan apa yang terjadi dengannya, sehingga mempertemukannya dengan Evan. Tiba-tiba ia merasa berharga sebagai perempuan.
Evan telah tertidur saat Tera masuk ke kamar rawatnya. Sanad duduk di tepi ranjang sambil menatap wajah putranya.
“Aku minta maaf,” pinta Tera sambil berdiri dengan menundukkan wajah.
Sanad tak bersuara. Ia hanya menatap wajah Tera yang terlihat menyesal.
“Aku tidak bermaksud meremehkan Evan. Aku yang tidak sadar diri, kalau Evan bukanlah orang seperti yang dibesarkan di sembarang tempat. Tak seharusnya aku memperlakukan Evan sebagaimana anak-anak di kampungku. Maafkan aku. Aku janji, tidak akan melakukannya lagi.”
Sanad masih tak bersuara. Ia melihat sebutir bening dari mata itu. Tiba-tiba saja ia merasa bersalah. Tak seharusnya ia memperlakukan begitu terhadap perempuan yang disukai putranya. Seharusnya ia menyukai apa-apa yang disukai putranya.
“Sudahlah. Aku juga minta maaf bersikap kasar padamu.” Sanad menghela napas. “Entah kenapa bila bersinggungan dengannya, emosiku selalu tidak terkendali.”
“Aku mengerti.”
“Kamu benar. Sikapku bisa membuatnya takut, bahkan mungkin saat ini dia sakit karena tekanan psikisnya.”
Tera mengangkat kepalanya.
“Aku sering menyesali perbuatanku, tapi selalu terulang-ulang.”
Tera memilih diam. Berharap tuannya mau lebih terbuka. Barangkali dapat sedikit mencairkan sesak di dada yang selama ini mengendap.
“Ketika menatapnya, aku selalu teringat ibunya yang meninggal. Aku sangat mencintai ibunya. Evan satu-satunya peninggalan ibunya. Sehingga perasaanku pada Evan berkali-kali lipat. Ditambah jika mengingatnya tumbuh tanpa ibu kandung, ia yang tidak mampu mengungkapkan perasaanya, dan aku sering meninggalkannya. Keadaan ini membuatku selalu bertindak over padanya.”
Tiba-tiba Sanad tersadar telah curhat kepada perempuan yang masih tidak sepenuhnya dia percayai. Ia mengusap wajahnya yang tiba-tiba terasa basah. “Maafkan aku.”
Tera menggeleng. “Senang jika mendapatkan kepercayaan Bapak. Semoga bisa membuat perasaan Bapak sedikit lebih baik.”
Refleks Sanad mengangkat wajahnya. Menatap wajah Tera yang juga menatapnya. Mata Tera mengerjap. Sanad mendehem, guna menetralkan sikapnya.
“Kamu pulanglah, supaya bisa istirahat.”
Tera menggeleng. “Saya yang akan menjaga Evan. Bapak istirahatlah!”
Tiba-tiba emosinya mulai naik lagi. Berani-beraninya Tera membantahnya? Namun, ia memilih menghela napas, lalu berkata. “Kalau begitu, aku berbaring di sofa itu. Kau berbaringlah di samping Evan.”
***
“Kaayat!!” Sanad terlonjak dari tidurnya. Mimpi buruk kembali datang menghantuinya. Sampai sekarang ia tidak bisa melupakan kejadian buruk itu. Terlebih lagi jika melihat Evan, ia selalu teringat kejadian nahas yang merenggut nyawa Kaayat, istrinya. Separuh jiwanya telah pergi. Beruntung Evan selamat dari kecelakaan maut itu. Evan yang membuatnya kuat selama ini.
Ia mengalihkan pandangannya ke ranjang Evan. Tiba-tiba ia melihat suatu pemandangan yang membuatnya bangun dari sofa.
Bab 8 Melindungi
Hanya perlu beberapa detik, panggilan Hayati langsung terjawab. Seakan yang dipanggil sedang menunggunya.
"Dia ke mana?" tanya di seberang setelah mendengar desah napasnya.
"Ke rumah sakit, bawa anaknya."
"Oh."
"Oh?" protes Hayati.
Laki-laki di seberang tertawa. "Terus?"
"Iya, apa kek," rajuk Hayati.
Laki-laki di seberang kembali tertawa. "Kamu tau, aku selalu menunggu ceritamu, meski kamu tidak mau mendengarkan saranku."
"Kamu tau, aku sangat mencintainya. Aku lebih dulu mengenal Sanad dari Kaayat. Meski hanya mendapatkan jasadnya, inilah kesempatanku."
Terdengar helaan panjang dari seberang sana. "Terserah lah."
"Maaf. Aku serakah, Gilang. Dulu aku pikir dengan mendapatkan jasadnya, aku cukup bahagia. Ternyata tidak, aku menginginkan lebih. Aku menginginkan hatinya."
"Dan sampai sekarang kau belum mendapatkannya," tukas Gilang.
"Aku akan mendapatkannya."
"Selalu begitu. Kamu selalu mengeluh, tapi pada akhirnya tetap dengan pendirianmu."
"Menurutmu bagaimana lagi, supaya aku mendapatkan hatinya? Setiap hari membersamainya, sepertinya tidak mengubah perasaannya."
"Dekati anaknya," usul Gilang.
"Sudah kucoba. Tetapi anak itu selalu menjauh. Malah sekarang anaknya semakin jauh semenjak bertemu perempuan itu."
"Seharusnya kamu semakin aktif," cecar Gilang.
Hayati kembali mendesah. "Kamu tidak tau bbagaimana sikapnya. Aku sendiri tidak mengerti apa yang dimiliki perempuan itu?"
Gilang hanya tertawa.
"Tertawa lagi. Beri ide baru dong!" protes Hayati.
Sesaat hening.
"Gimana kalau kamu menjauh?!"
"Maksudmu?"
"Mungkin saja dia tipe nggak suka dibuntuti. Selama ini kamu selalu mengikutinya ke mana-mana, dia mulai terikat dengan kamu. Dengan menjauhnya kamu, siapa tau dia mulai menyadari berartinya kamu."
Kembali hening.
"Bagaimana kalau jarak kami semakin jauh? Kamu tau, aku paling takut kehilangannya."
Kembali terdengar desah napas. "Terserahmu lah. Aku tutup saja kalau begitu."
"Ee … tunggu … tunggu!"
***
“Kaayat!!” Sanad terlonjak dari tidurnya. Mimpi buruk kembali datang menghantuinya. Sampai sekarang ia tidak bisa melupakan kejadian buruk itu. Terlebih lagi jika melihat Evan, ia selalu teringat kejadian nahas yang merenggut nyawa Kaayat, istrinya. Separuh jiwanya telah pergi. Beruntung Evan selamat dari kecelakaan maut itu. Evan yang membuatnya kuat selama ini.
Ia mengalihkan pandangannya ke ranjang Evan. Tiba-tiba ia melihat suatu pemandangan yang membuatnya bangun dari sofa. Tanpa sadar bibirnya menyungging senyum melihat Tera dengan putranya tidur saling berpelukan. Evan tidur dengan posisi membelakangi Tera. Ia meletakkan kepalanya di tangan Tera. Tera memeluknya dari belakang.
Sanad mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.
Ia ingin mengabadikan momen itu.
***
Pagi hari Evan sudah bisa langsung pulang. Saat mereka sampai sudah di rumah, ada Arsa _sepupu Sanad, yang duduk di sofa ruang tengah.
"Arsa? Ngapain ke sini?" tanya Sanad.
"Assalamualaikum, Evan. Apa kabar? Lama tak jumpa."
Evan menjauh. Ia menempel ke kaki Tera.
Arsa memasang wajah sedih. "Padahal Om kangen sama Evan." Tiba-tiba ada hal yang menarik perhatian Arsa. “Masya Allah, Evan sudah punya teman. Alhamdulillah. Kenalkan, Mbak. Saya …."
"Kalian masuklah. Siap-siap sekolah,” potong Sanad.
Evan mengangguk. Tera membawanya menjauh.
Arsa tersenyum lebar "Perempuan itu siapa? Bagaimana Evan bisa dengan dekatnya?" tanyanya sambil duduk.
"Ceritanya panjang. Kamu ngapain ke sini?"
Arsa berdecak. "Basa-basi kek. Tanya kabar kek."
Sanad berdiri. "Aku tidak punya waktu."
"Iya … iya. Sabarlah. Ibumu menawariku bekerja di salah satu August Market."
"Jadi?"
"Ya, aku terima. Sambil cari-cari pekerjaan."
"Ya sudah. Selamat datang. Aku mau mandi dulu," ucap Sanad berdiri tanpa menunggu kawab Arsa.
Arsa berdecak. "Dasar, sepupu kejam."
***
“Yakin dia ada di sini?” tanya Rudi sambil memutar-mutar kepalanya. Mencari sosok yang dirindukan, sekaligus dikhawatirkannya. Ia mengusap keringatnya untuk kesekian kali.
“Tidak yakin sih. Tapi kemarin dia mendatangiku di minimarket itu. Jadi aku kira dia tidak jauh dari sini, atau setidaknya sering berkeliaran di sini,” jawab Rasid sambil mencari-cari sambil mengenali orang-orang yang ditangkap matanya.
“Nah itu dia, di depan sekolahan!” tunjuk Rasid.
“Benar! Ayo kita ke sana!”
“MAMA!”
Langkah Rasid dan Rudi seketika terhenti. “Mama?”
***
“Mama!” Evan berteriak ketika keluar dari gerbang sekolahan.
Tera berjongkok sambil merentangkan tangan. Ia menciumi pipi Evan begitu sampai dalam pelukannya. “Senang sekali? Dapat bintang lagi ya?”
Evan mengangguk.
“Alhamdulillah. Anak pintar. Nanti Mama lihat kalau sudah di rumah.” Tera berdiri. Lalu mengulurkan tangannya yang langsung disambut Evan.
Belum jauh mereka melangkah. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Sesaat mereka saling bersitatap. Keluar seorang laki-laki mengenakan setelan jas. Laki-laki itu menganggukkan kepala.
Tera termundur. Spontan ia mendorong Evan ke belakang, tetapi Evan malah merangsek ke depan.
“Saya disuruh Tuan menjemput kalian,” ucap laki-laki itu setelah membukakan pintu.
“Tuan?” tanya Tera.
“Tuan Sanad Gandaria.”
Meski laki-laki menyebut nama lengkap Sanad, tetap saja ia menaruh curiga.
“Ei, tunggua Evan! Jangan main tarik aja. Kamu kenal siapa dia?” Tiba-tiba Evan menarik lengannya.
Evan mengangguk. Ia kembali menarik lengan Tera, hingga masuk ke dalam mobil.
Meski Evan terlihat tenang, Tera tidak bisa membuang kekhawatirannya. Sesekali ia melirik laki-laki itu yang sudah duduk di kursi pengemudi.
***
“Ya?” Sanad setelah menyentuh ikon panggilan berwarna hijau, tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen.
“Tuan benar!”
Seketika Sanad tersentak. “Mereka sekarang di mana?”
“Mereka bersama saya,” jawab Keane.
“Bawa mereka ke sini!” perintah Sanad.
“Baik, Tuan!”
***
“Tuan menyuruh saya membawa kalian ke kantornya,” ucap Keane setelah mematikan panggilannya.
Sesaat Tera dan Evan saling bersitatap. Tera menatap cemas, tetapi Evan tersenyum lebar.
“Yakin dia anak buah Papamu?” Tera tidak bisa membuang kecemasannya. Sekali lagi Evan mengangguk. Tera memeluk badan mungil Evan. “Ya sudah! Sepertinya kamu sangat menyukainya? Kenapa?”
Evan melepaskan pelukannya. Ia mengambil kertas dalam tas lalu menulisnya.
{Aku suka kita main be ….] Tera menghentikan bacaannya mengingat ada orang lain di mobil.
Ia membisiki Evan. “Tak baik begitu. Nanti Papa sama Mama Hayati berantem.”
Evan kembali menulis di kertas dan menyerahkan ke Tera. Tera membacanya tak berani lagi bersuara.
[Dia bukan mamaku]
Tera menghela napas. Ia merengkuh kepala Evan. “Dengar, Papamu sudah bekerja keras untuk Evan dan masa depan Evan. Sukailah apa yang disukai Papa. Mama Hayati istri Papa. Papa pasti sangat senang kalau Evan juga menyukai Mama Hayati.”
Evan mengangkat wajahnya. Menatap Tera. Matanya mengerjap
“Dengar, kemarin malam Papa sangat mengkhawatirkan Evan. Papa sangat menyayangi Evan. Jadi buatlah Papa senang, ya?”
Mata Evan mengerjap. Seketika Tera tertawa. “Evan belum paham ya? Maafkan Mama.”
Evan kembali menulis di atas kertas. [Evan ngerti]
“Bagus. Bagaimana kalau Mama Hayati kita kasih hadiah?”
Evan mengangguk dengan ciri khasnya. Memamerkan gigi-gigi kecilnya.
“Mmm … apa ya? Evan ada ide?” pancing Tera.
Beberapa saat Evan hanya terdiam, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan satu permen kaki. Ia menyerahkan permen itu ke Tera.
“Ini? Mama Hayati mau dikasih permen kaki?” tanya Tera tidak percaya.
Evan mengangguk. Lalu menampilkan wajah sedih.
“Iya, baiklah. Ini juga bagus. Mama cuma khawatir, Evan dilarang makan permen nantinya. gimana ?”
Evan menggeleng.
“Ya sudah. Evan kasih ini saja.”
Evan mengangguk, tak ketinggalan dengan senyuman khasnya. Tera kembali meraih badan Evan. “Anak baik.”
Diam-diam Keane merekam percakapan mereka.
***
Di kantor Sanad tersenyum mendengar rekaman yang dikirim Keane. Tera rupanya bidadari yang dikirim Tuhan untuk anaknya. Tiba-tiba saja ia teringat Teratai Produksi. Ia bertanya-tanya, mungkinkah suatu saat Tera akan kembali ke Teratai Produksi dan meninggalkan anaknya. Membayangkannya saja sangat menakutkan baginya. Baginya Evan segala-galanya. Ia harus melindungi Tera sebagaimana kepada Evan, dan berusaha membuat Tera tidak pulang. Apa pun caranya.
***
Sanad dengan Hayati membicarakan sesuatu di sofa ketika pintu kantor diketuk.
“Masuk!” seru Sanad.
Hayati mengerutkan kening. Tidak seperti biasanya. Biasanya dia yang selalu membuka pintu, minimal Sanad bertanya siapa di luar.
Keane muncul di balik pintu. Ia menyingkir, lalu muncul Evan dengan berlari.
“Evan?” seru Hayati.
“Hei, Jagoan Papa!” Sanad merentangkan tangan. Evan tidak seperti anak umumnya. Dia hanya mengetahui suasana hati Evan dari matanya. Kali ini, Sanad melihat putranya berbinar sangat indah.
Tera berjalan di belakang, lalu berhenti di samping Keane.
“Sepertinya anak Papa bahagia sekali,” ucap Sanad sambil mendudukkan putranya.
“Tuan,” sela Keane.
“Tunggulah di sini dulu!” titah Sanad.
“Baik, Tuan.”
“Evan.” Hayati merentangkan tangannya. “Sini sama Mama, Sayang.”
Evan terdiam. Ia menatap ayahnya.
“Evan sudah besar. Ayo. Salim sama Mama,” suruh Sanad.
Evan meragu. Sesaat ia menoleh ke arah Tera. Tera yang sejak tadi memperhatikannya mengangguk.
Evan turun dari pangkuan Sanad. Ia mengambil permen kaki dalam tasnya, lalu menyerahkannya pada Hayati.
Mata Hayati memebelalak. “Ini buat Mama?” tanya Hayati tidak percaya.
Evan mengangguk. Ia kembali menggerakkan permen kaki itu. Hayati menyambutnya. “Wah, terima kasih, Evan. Mama senang sekali.”
Evan tersenyum malu, lalu kembali menoleh ke arah Tera. Tera memberikan jempol padanya.
“Mama bahagia sekali. Boleh Mama peluk?” tanya Hayati sambil merentangkan tangannya. Evan langsung berbalik, dan berlari ke arah Tera.
“Kenapa, Evan? Malu ya?” tanya Tera. Evan hanya menundukkan wajah. “Ya sudah nanti kita coba lagi, ya.”
Evan mengangguk.
“Anak pintar."
Sanad berdiri. Ia mengambil jas yang tersampir di sandaran kursi. “Hayati jam berapa kita meeting?”
“Jam sembilan malam, Pak.”
“Baiklah! Akan aku usahakan kembali sebelum jam itu. Aku pergi dulu,” ucap Sanad sambil mengenakan jasnya.
“Mau ke mana?” tanya Hayati heran, sedikit cemas. Terlebih lagi mengingat ada Tera di sana. Ia curiga, sebelumnya Tera dengan Sanad sudah ada janjian.
“Nanti aku beritahu,” sahutnya Sanad tanpa menoleh. “Keane, kita harus pergi ke suatu tempat. Evan, sini!”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
