Aku membuka matan, tetapi kembali memejam disebabkan sakit yang mendera di sekujur tubuh. Sayangnya, haus dan sakit tenggorokan yang mencekik membuatku terpaksa menyeret kaki ke dapur dengan mata setengah terbuka.

Tenggorokanku sedikit nyaman setelah menghabiskan segelas air putih. Setelah itu, aku berbalik ke kamar. Tiba-tiba dari pintu kamar sebelah muncul adik iparku dengan tatapan mencurigakan. Aku abai dan mempercepat langkahnya menuju kamar.

Tiba-tiba iparku bergegas menarik lenganku.

"Jangan sok jual mahal! Aku tau kamu masih mencintaiku," seru iparku, Arbain.

Aku menghentak tangan hingga pegangan Arbain terlepas. Aku menyungging sinis. "Dulu memang, tapi itu karena aku bodoh. Hanya perempuan bodoh yang mencintaimu. Aku sangat menyesal telah membuang waktu mencintai laki-laki sepertimu. Aku sangat bersyukur tidak berjodoh denganmu."

Aku bergegas masuk kamar. Terrnyata Arbain juga mempercepat langkah dan mendorong tubuhku ke dinding. Seketika tubuhku gemetaran. Di luar mulai gerimis, terdengar nyaring ketika jatuh ke atap seng rumahku.

"Perempuan dekil seperti kamu berani sombong padaku?! Sadar diri, di usiamu sekarang dan tubuh gosong begitu siapa yang suka denganmu hah?!"

"Aku tak butuh itu."

Arbain mendekatkan wajahnya. "Ayolah main bersamaku. Aku yakin cintamu masih ada untukku. Demi jasamu padaku, aku akan menyenangkanmu malam ini."

Aku mendorong dada Arbain sekuat tenaga. Gemetarku hilang, berganti dengan amarah tak terbendung. Aku merangsek maju. Terus mendorong Arbain hingga keluar kamar.

"Aku memang perempuan buruk rupa. APA HAKMU MENGHINAKU?!" teriakku.

"A … aku cuma ingin menyenangkanmu. Aku banyak hutang jasa padamu," sahut Arbain terbata-bata. Langkahnya semakin termundur.

"Begini caramu balas budi? B4jing4n!"

Ceklek.

Tiba-tiba handel pintu bergerak. Aku menoleh ke arah pintu. Kelengahanku dimanfaatkan oleh Arbain. Tiba-tiba Arbain menarik kerah bajuku. Tanpa sempat bertindak, keseimbanganku hilang. Aku terguling dan menindih badan Arbain.

"AAA …." teriak adikku, istri Arbain yang baru datang.

"Astaghfirullaah," pekik Ibu. "TERA!”

Tetangga yang tadinya datang barengan dengan Ibu dan Kembang mengurungkan niatnya masuk rumah, begitu mendengar teriakan ibuku dan Kembang.

Aku bangun dan mendekati ibu. "Bu, tidak seperti yang ibu bayangkan. Dia …." Ucapanku terhenti karena tersadar adikku akan terluka.

"Jelas-jelas kamu yang di atas, masih menuduh orang lain, hah?!" teriak Kembang.

"Dik, ini tidak seperti yang kamu lihat. Sungguh, aku …." Lagi-lagi aku tak kuasa membeberkan keburukan Arbain.

Kembang menangis. Arbain berdiri mendekatinya. "Sudah, Dek. Jangan nangis. Lagipula aku tidak apa-apa."

"Jadi benar Tera yang mulai?! ANAK TIDAK TAHU DIRI. BIKIN MALU SAJA!" Ibu berteriak sambil menyeretku.

“Ada apa, Tiah?” tanya tetangga yang tiba-tiba muncul.

Ternyata tetangga kiri kanan mendengar kegaduhan itu. Mereka ke halaman rumah kami dan ikutan menyaksikan drama itu.

"Bu, dengarkan aku. Sungguh itu fitnah." Aku menarik lengan sehingga terlepas dari pegangan ibu.

"Sekarang kamu memfitnah Mas Arbain? Jahatnya kamu, Kak! Pantesan kamu tadi diajak nggak mau. Rupanya kamu mau mengambil kesempatan ini,” teriak Kembang.

Tetangga satu sama lain mulai berbisik. Orang seberang rumah juga ikut menambah kerumunan. Satu persatu warga mulai berdatangan, tak terkecuali Bu RT.

"Itu karena aku sakit, Dek!"

Ibu kembali menyeretku.

"BU!"

Ibu menuli. Ibu mendorong kuat keluar rumah. Lantai yang licin akibat percikan air hujan membuatku kesulitan menjaga keseimbangan.

Bu Rt mendekat dan membantuku berdiri. “Bu, sebenarnya apa yang terjadi? Sebaiknya ini selesaikan secara kekeluargaan. Tidak baik jadi tontonan orang. Malu.”

“Kekeluargaan? Dia bukan anakku lagi. Haram mempunyai anak jadah seperti dia!" teriak Ibu.

“Bu?” Aku tersentak, tak terkecuali Bu Rt.

"Aku tak sudi punya anak sepertimu!" Ibu menutup pintu dan menguncinya.

"Bu, dengarkan aku dulu. Bu!"

Aku mengetuk pintu berkali-kali, tetapi tak kunjung dibuka.

Aku berhenti mengetuk. Aku tahu betul siapa ibu. Ibuku sering mengeluarkan dari rumah, lalu membiarkanku semalaman di luar.

“Nak, kamu ke rumah kami dulu. Mungkin ibumu hanya lagi emosi, besok-besok dia akan menyesalinya,” bujuk Bu Rt.

Aku terdiam. Bisik-bisik kerumunan terdengar jelas di telingaku, pasti juga di telinga Bu Rt.

“Kenapa?”

“Dia tertangkap basah dengan Arbain.”

“Pantesan. Siapapun pasti malu.”

Aku mendelik ke arah orang itu. Seketika mereka terdiam.

“Sekarang bubarlah!” perintah Bu Rt. Satu persatu orang-orang menjauh.

Bu Rt menengadah ke langit yang semakin pekat. Lalu ke jalanan yang diguyur gerimis.

“Sepertinya hujan akan lebat. Kamu ke rumah kami dulu, atau ke bibimu,” ucap Bu Rt.

“Apa Bu Rt percaya dengan omongan mereka?” tanyaku.

“Kalau soal itu ….” Ucapan Bu Rt terhenti. Ia memandangiku dari kepala sampai ujung kaki.

“Tak perlu Ibu jawab. Terima kasih! Ibu sebaiknya cepat kembali, sebelum hujan bertambah lebat. Saya pergi duluan!” ucapku, lalu bergegas ke samping rumah. Bertengger sebuah sepeda di dinding.

Hujan mulai lebat, aku mengayuh sepeda butut tanpa tahu harus ke mana.

Banyak rumah yang seharusnya bisa aku singgahi. Di rumah saudara ibu, Acil Nurul dan Rudi, anak buahku, warung-warung langgananku atau meminjam sebuah sampan untuk membawaku ke lanting.¹

Tatapan Bu Rt telah menghantam mentalku. Bu Rt yang selama ini memuji-mujiku sebagai gadis mandiri, kreatif, merawat sumber daya, juga telah mempekerjakan beberapa orang warga Bangkau.

Bisik-bisik tetangga juga membuatku tidak percaya diri untuk singgah kepada siapa pun. Aku yakin, beritanya telah tersebar cepat, melebihi kayuhan sepedaku.

Aku terus mengayuh sepeda di bawah hujan yang semakin lebat, disertai angin kencang. Meriang yang tadi terlupakan kini terasa kembali. Tubuhku makin menggigil. Kayuhanku makin sempoyongan.

Tiba di sebuah belokan lengkingan klakson mengejutkanku. Cahaya lampu menerpa penglihatanku. Aku hilang keseimbangan. Beberapa detik kemudian terdengar sebuah hantaman rongsokan dari sepeda yang kukendarai.

Sepeda oleng, badanku terhempas ke tanah. Aku mencoba bergerak, tapi sakit sekujur tubuh mengekangku. Sesaat aku sempat melihat lampu mobil, sebelum semuanya gelap.

***

Catatan.

¹Lanting : Rumah yang mengapung di atas air.

Disayang Anak CEO