[GRATIS] AHIMK | 1 - 4

21
3
Deskripsi

BAB 1 : Kemarahan Arez

BAB 2 : Berkunjung Ke Rumah Bibi

BAB 3 : Sikap Dingin Arez

BAB 4 : Istri Terpaksa

Sinopsis : 

[21+] Kehidupan bahagia sebuah pernikahan yang Sania bayangkan pupus seketika, saat dia harus menjadi pengantin pengganti untuk kembarannya— Sonya, menghilang tanpa kabar beberapa hari sebelum akad dilaksanakan, seperti tertelan bumi jejak Sonya nihil dicari.

Sania menanggung akibatnya, ia terpaksa menggantikan Sonya untuk menikah dengan Arez Alandio Mahendra—seorang direksi Mahakarya...

 

1 | Kemarahan Arez

Keesokan harinya mas Arez belum juga pulang, padahal ketika aku menatap jam dinding kamar, waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku tidak tahu dimana mas Arez berada, aku sangat khawatir. Bahkan sejak malam tadi aku menelponnya berulang kali tidak ada jawaban sama sekali. Ya memang seharusnya aku sadar bahwa mas Arez tidak mungkin mau mendengar suaraku.

Tapi setidaknya mas Arez harus memikirkan kondisi ibunya yang juga ibu mertuaku, Ibu Mira—yang sejak malam tadi gelisah akan kondisi mas Arez. Walau beliau juga menentang keputusan mas Arez dan memilih berada di pihakku, ibu Mira tetap mencemaskannya karena bagaimana pun, mas Arez adalah anak beliau satu-satunya. 

Di rumah mas Arez yang besar nan mewah ini pun hanya ada aku, Ibu Mira dan juga Bi Endang sebagai asisten rumah tangga. Bi Endang sangat baik, dia mengerti kerapuhanku dan menyuruhku untuk istirahat saja daripada melakukan pekerjaan rumah.

Alhasil, aku menuruti perkataan Bi Endang, tetapi tidak hanya diam di kamar yang lumayan berantakan oleh kado-kado pernikahan kami.

Aku lebih memilih membereskannya.

Seketika relung hatiku sakit melihat semua kado pernikahan itu, tidak satu pun yang terbuka. Aku pun tidak berniat membukanya karena untuk apa?

Terlebih jika mas Arez tau, dia mungkin menganggapku bahagia di atas penderitaannya. Maka kuputuskan menaruh semua kado-kado itu ke dalam kotak kardus yang lebih besar lalu kuselipkan kotak itu di bawah ranjang.

Ekspetasi membuka semua kado pernikahan dengan rasa bahagia bersama mas Arez kini hanya bisa bercokol di pikiranku saja. 

Usai kurasa semuanya rapi, aku pun duduk di tepi kasur bertepatan pintu kamar dibuka dengan kencang hingga menimbulkan suara yang membuat aku terpekik.

"Mas Arez." Spontan aku berdiri, ingin rasanya tersenyum meski mas Arez melirikku dengan sinis.

Akhirnya laki-laki itu masih ingat pulang.

"Kamu kemana aja, Mas? Ibu sangat khawatir sama kamu," Pertanyaan dan pernyataan itu kulontarkan saat mas Arez melepas jas hitamnya dan melemparnya sembarang ke kasur.

Dia masih terlihat marah.

Tanpa menjawab mas Arez melewatiku lalu masuk ke kamar mandi, mendiamkan pertanyaanku.

Aku hanya menghela napas sabar, bagiku itu tidak masalah, yang penting mas Arez kembali pulang. 

"Jangan sentuh barang-barangku Sania!" tegur mas Arez saat keluar dari kamar mandi. Aku lantas terkejut, heran kenapa mas Arez semarah itu saat aku hanya menyentuh jasnya. 

"Aku hanya ingin mencucinya Mas, kamu sudah pakai ini semalaman, kan?" tanyaku lebih lembut sebab tak ingin memancing amarah laki-laki itu lebih banyak.

"Nggak usah bertingkah sok baik," Mas Arez merebut jasnya dari tanganku dengan kesal, "Kamu nggak punya hak untuk itu. Lagipula jas ini kubeli bersama Sonya untuk pernikahan kami, kamu tidak boleh menyentuhnya." 

"Mas..." Lagi mataku sulit ditahan untuk tidak berkaca-kaca. 

Kudapati mas Arez berdecak, dia melipat jas hitam itu kemudian menyimpannya ke dalam lemari, "Sudahlah Sania. Seharusnya kamu sadar, nggak ada hubungan apa-apa diantara kita."

"Tapi mas... kamu sudah menikahiku di hadapan penghulu, kita juga punya buku nikah yang sah di mata hukum. Kita harus berusaha menjalani hubungan ini walau nggak berdasar perasaan apa pun." 

"Memang kamu tau apa soal perasaanku, hah?" bentak mas Arez, "Aku menikahimu karena terpaksa Sania, aku menikahimu karena ini permintaan ibuku. Tapi perasaanku? Akan tetap setia untuk Sonya. Paham?!" 

Tanpa mengangguk, alhasil setetes air mataku pun jatuh.

"Sekarang pergi dari kamarku, kamu tidak berhak tidur di sini. Aku muak melihatmu." 

"Baiklah, jika itu yang mas mau, aku akan tidur di kamar sebelah," jawabku patuh. Tidak ingin membuatnya terus marah.

"Bagus." Kulihat Mas Arez menarik satu sudut bibirnya. "Ternyata kamu masih punya rasa sadar diri, dan akan lebih bagus lagi kalau kamu sadar kamu tidak punya tempat di rumah ini."

Dadaku terasa sesak mendengarnya sedangkan bibirku bergetar menahan tangis. 

Namun, aku berusaha tersenyum tipis, "Aku tidak akan pergi dari rumah ini, Mas. Aku akan berusaha mendirikan rumah tangga kita walaupun rasanya mustahil." 

"Cepat pergi Sania!" bentaknya lagi. Bergegas aku melangkah keluar kamar tapi telingaku masih mendengar gumaman mas Arez. 

"Sonya, kamu dimana?" 

Aku mematung. Seketika kembali merasa bersalah, sebab sejak kemarin aku berbohong kepada mas Arez mengenai keberadaan Sonya.

"Maafkan aku, Mas," gumamku.

"Tunggu," Mas Arez menahan maka aku kembali berbalik menghadap laki-laki itu. "Aku ingin bertanya satu hal dan kamu harus menjawabnya dengan jujur!" 

"Akan kujawab jujur, Mas." 

"Dimana kamu menyembunyikan Sonya?" Tuduhan mas Arez menambah rasa sakit di hatiku.

"Enggak, Mas. Aku tidak mungkin menyembunyikan kembaranku sendiri, Mas. Sonyaa...” Sejenak aku menarik napas dalam karena ini begitu menyakitkan, “Sonya memang pergi sebelum pernikahan kalian.” 

"Lalu kenapa kamu tidak mencarinya hah?" 

"Dia pergi bersama pria lain, Mas." 

"Bohong!" Mas Arez meremas kedua lenganku dan rasanya sakit. Aku meringis dan meminta mas Arez melepaskan cengkramannya. 

"Sakit, mas..." 

"Arez! Jangan kasar lagi pada Sania!" tegur Ibu yang kebetulan lewat dan langsung menggerakan kursi rodanya menuju ambang pintu. Sontak mas Arez melepaskan cengkramannya dari lenganku. 

"Argh, ini urusanku bu. Ibu tidak perlu ikut campur," ungkap Mas Arez kemudian mengeluari kamar. 

Kulihat ibu menggelengkan kepalanya heran, ia menjalankan kursi roda ke arahku dan mengusap bahuku penuh kelembutan.

"Kamu yang sabar ya sayang." 

Aku mendongak berderai air mata, tidak tahu apakah rasa sabar ini akan bertahan lama.

2 | Berkunjung Ke Rumah Bibi

Keesokan harinya aku masih berbenah-benah kamar dan merapikan seluruh pakaianku ke dalam lemari.

"Cepat bersiap-siap, kita akan berkunjung ke rumah bibi," ungkap mas Arez tiba-tiba memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.

Ya, kami pisah kamar.

Aku yang saat ini sedang melipat pakaian lalu menaruhnya ke dalam lemari pun menoleh.

"Sekarang, mas?" Berjalan menghampirinya di ambang pintu.

"Tahun depan, ya sekaranglah! Bodoh sekali kamu."

Aku sontak menunduk malu, ya mas Arez benar aku bodoh, seharusnya tidak perlu tanya begitu. "Iya Mas, maaf."

Kudengar decakan lolos dari mulut laki-laki itu, "Sudah tinggalkan pekerjaan itu, awas saja kamu membuatku sampai terlambat," ancamnya. Aku mengangguk patuh.

"Dan yah, nggak perlu berdandan sok cantik, lagipula aku nggak tertarik memamerkan dirimu pada keluargaku nanti," lanjut mas Arez membuat hatiku mencelos. 

Aku juga tidak berharap seperti itu, Mas, batinku pahit.

"Iya, Mas. Aku pasti menurut apa kata kamu kok." 

Kulihat mas Arez tersenyum samar, sangat samar bahkan aku nyaris tidak menyadarinya, mungkin jika mas Arez tersenyum lebih lebar wajah pria itu pasti semakin tampan.

Astaga! Sadar Sania, mas Arez mana mau tersenyum padamu. Memandang saja dia jengah.

"Bagus, oh ya satu lagi, kamu harus berkelakuan sesuai batasanmu, jangan mencari perhatian keluargaku apalagi sampai ingin dipuji-puji sebagai istri yang baik. Cih. Aku akan sangat muak mendengarnya jika keluargaku menyanjungmu seperti itu," jelas mas Arez. Meski dadaku semakin sesak aku tetap mengangguk taat.

Sepertinya mas Arez sengaja hendak membuatku tidak betah di rumah ini, namun, aku harus tetap bertahan, akan kubuktikan kepada mas Arez bahwa aku adalah istri yang setia bagaimana pun sikapnya. 

"Aku mengerti, Mas." 

***

Mobil mas Arez berhenti di depan rumah bibi Maira—adik dari ibu mertuaku. Kami pun turun dan disambut dengan antusias oleh beliau.

"Mira, Arez, ayo masuk-masuk. Bibi sudah lama menunggu kalian," ajak bi Maira.

Kami pun memasuki rumah wanita itu dan duduk di sofa ruang tamunya.

Sesaat aku mengagumi dekorasi ruangan, mewah nan rapi.

"Wah, jadi kamu ya istrinya Arez? Cantik banget kamu, Nak," puji bi Maira membuatku sulit menahan senyum. Bertepatan setelah itu aku mendapat delikan sinis dari mas Arez. 

"Te-terima kasih, Bi," jawabku nervous.

"Ah, nggak perlu gugup gitu Nak. Santai aja kalau sama bibi mah."

Aku menyengir tipis. "Iya."

"Ngomong-ngomong nama kamu siapa?" 

"Sania, Tan."

"Loh bukannya Sonya ya?"

Pertanyaan bi Maira membuat semua orang terdiam, termasuk ibu dan terlebih mas Arez, kulihat dia sangat terganggu atas pertanyaan itu.

"Namanya Sania, Mai. Mungkin kamu salah denger," jawab ibu menetralisir kecanggungan sekaligus menyelamatkanku.

"Ah iya haha. Maklum ya Nak bibi udah tua. Pendengaran kadang udah kurang." 

"Nggak papa kok bi," jawabku tersenyum tipis.

"Oh ya, Mir. Gimana keadaan kamu? Masih rutin terapi, kan?" Sekarang bi Maira bertanya pada Ibu.

"Alhamdulillah, walaupun kelihatan tidak ada perubahan tapi aku merasa lebih baik setiap hari, Mai. Ini semua karena Arez yang selalu menjagaku." 

"Syukurlah, kamu beruntung memiliki anak seperti Arez, Mir. Sudah taat, sholeh, nggak salah pilih istri lagi. Ya kan, Nak Sania?"

Aku tergelak. "I-Insya Allah, Bi."

"Sebagai menantu, kamu mesti menjaga mertuamu juga dengan baik." 

"Iyaa. Aku sayang sama Ibu Mira seperti menyayangi almarhum ibu. Aku beruntung memiliki mertua sebaik ibu." Kemudian kulirik mas Arez, dia membuang pandangan, mungkin tidak suka akan jawabanku. 

"Arez kok diem aja? Sanjung dong istri kamu."

Mas Arez nampak tergelak, "Enghh iya, bi."

"Haha, kamu masih malu-malu kucing ya? Yaudah bibi maklumin toh pengantin baru,” Bi Maira tertawa sejenak lalu beranjak dari duduknya. "Tunggu sebentar bibi ambilin minum dulu yaa," ucap sambil hendak beranjak.

"Enggak usah repot-repot, Mai," tahan ibu.

"Bukan masalah repot Mir, yang datang kan anggota keluarga baru. Harus disambut dengan makanan dong." 

Aku menarik napas banyak-banyak dan menghembuskannya perlahan, perasaan sangat bersalah menggerogoti hatiku karena telah membohongi bi Maira mengenai pernikahan kami yang lebih cocok disebut pernikahan paksa.

"Adikku memang begitu," ujar ibu mengusap pundakku.

***

"Arez, coba ajak istrimu mengobrol dong. Masa diem-dieman aja kalian," kata bi Maira pada Mas Arez, setelah wanita berdaster biru itu membawakan minuman.

"Eh enggak papa bu. Kami udah puas kok ngobrol di rumah. Bukan begitu kan mas?" tanyaku pada mas Arez. Berakting seolah aku begitu akrab dengannya. 

"Iyaa, bi. Sania benar." Mas Arez mengusap rambutku. Sontak aku terkesiap, ini sentuhan pertama yang mas Arez lakukan. Dan tentu saja aku masih berpikir mas Arez hanya berpura-pura di hadapan bi Maira. 

“Wah bagus dong. Bibi jadi yakin kalau kalian bahagia dengan pernikahan ini." 

"Insya Allah, Bi."

"Oh ya, kalian udah rencana soal momongan? Mau punya anak berapa?" 

"Hah?" 

Dan lagi pertanyaan bi Maira membuatku dan mas Arez saling melirik. Bukan lirikan malu-malu. Tapi lirikan sinis yang kuterima dari pria itu.

"Jangan ditanya Mai, mereka pasti bingung. Biarkan dulu mereka menikmati masa-masa pernikahan." Dan lagi ibu menyelematkan kami. 

"Iya sih. Lagian kalian masih terlalu muda untuk punya anak." 

Atau mungkin, itu sangat mustahil bagi rumah tangga kami sebab Arez tidak mencintaiku.

3 | Sikap Dingin Arez


Sehabis berkunjung ke rumah bibi kami pun kembali pulang. Setelah Mas Arez memasukkan mobilnya ke garasi, barulah aku turun dan selanjutnya kulihat mas Arez menggendong ibu dan menurunkan wanita paruhbaya itu ke kursi roda.

Sejenak aku terenyuh dengan perlakuan mas Arez kepada ibu, bagaimana tidak? Dia adalah laki-laki yang sangat berbakti meskipun ibulah yang memaksanya menerima pernikahan ini. Tak ada sedikit pun kulihat kebencian di mata mas Arez terhadap ibu, justru kebencian yang paling besar mas Arez tunjukan kepadaku.

Aku pun bersyukur, setidaknya bukan mertuaku yang mendapat balasan atas kesalahanku.

Usai mendudukan ibu mas Arez langsung menjalakan kursi rodanya memasuki rumah, sementara aku ditinggal di garasi. Aku pun mempercepat langkah di belakang mereka menahan rasa kasihan pada diriku sendiri karena lagi-lagi kehadiranku dianggap abstrak oleh mas Arez.

***

"Kalian mandi saja dulu. Sebentar lagi adzan magrib, kita sholat bersama-sama," ujar ibu setelah mas Arez mengantarkannya ke kamar. Aku ada di sana untuk membawakan ibu segelas susu hangat.

"Iya, Bu," jawabku dan mas Arez bersamaan. Aku lantas menatap mas Arez dengan canggung sementara pria itu membuang pandangan.

***

Author POV

Bagi Arez perkataan sang ibu adalah sebuah perintah, oleh karenanya dia mau tidak mau menuruti perintah sang ibu untuk sholat bersama Sania.

Dengan mengenakan peci serta baju koko putih lengan panjang, sembari menyampirkan sajadahnya ke bahu Arez mengeluari kamar, dan secara bersamaan Sania juga mengeluari kamarnya yang melewati satu kamar dari kamar Arez. Atau pada perkataan lain, kamar mereka berdekatan tetapi terhalang satu, yaitu kamar tamu.

Sania sudah tampak mengenakan mukena bagian atas, sedangkan bagian roknya wanita itu sampirkan di pergelangan tangan.

Arez melirik Sania diam-diam untuk beberapa detik, namun tidak disadari oleh perempuan itu karena Sania langsung menunduk saat dia tau Arez hanya berjarak beberapa meter darinya. Itu Sania lakukan agar Arez tidak marah saat ditatap olehnya.

Arez pun meninggalkan perempuan itu sendirian dan menuruni tangga menuju kamar ibunya di lantai dasar, dan ketika itulah Sania hanya bisa mengekor di belakang dengan senyum tipis menatap punggung Arez. Membayangkan seandainya Arez bersedia jalan bersisian bersamanya layaknya suami istri.

"Aku akan setia menanti hari itu, Mas. Hari dimana kamu menganggapku sebagai istrimu," batin Sania.

Shalat pun berakhir saat Arez selesai memimpin doa. Pria itu lalu berbalik ke belakang menyalimi tangan ibunya yang duduk di kursi roda. Sementara Sania hanya bisa terdiam dilema, apakah Arez akan menerima jika dia ingin menyalimi tangan suaminya itu?

"Sania, ayo salim dengan Arez, kalian kan sudah jadi suami istri. Itu adalah kewajiban kamu," pinta ibu membuat Sania makin bimbang.

"I-iya, Bu." Namun ia tetap mengiyakan.

"Kayaknya nggak perlu, bu," sela Arez keberatan. Membuat Sania makin ragu melakukannya.

Wajah ibu lantas berubah kesal.

"Arez nggak boleh begitu, ini wajib, Nak. Selesai sholat seorang istri harus menyalimi tangan suaminya. Itu yang diajarkan agama kita," jelas ibu. Dia menatap Arez dengan sedikit marah. "Jangan hanya mengutamakan egomu Arez. Jangan membuat Sania semakin terpuruk dengan keadaan ini. Dia punya hak atas dirimu!"

"Iya... Arez minta maaf, bu." Arez pun mengalah, ia tidak ingin membuat sang ibu mengomel atau itu akan menganggu kesehatan beliau.

"Minta maaf juga pada Sania," perintah ibu.

Arez menatap malas Sania. "Maaf," ucapnya terkesan ogah.

"Nggak papa, Mas," Sania pun menyalimi tangan Arez dan mau tidak mau Arez menerimanya.

Barulah ibu tersenyum, dia mengusap dengan bangga bahu Arez. "Baguss. Kalo gini ibu senang lihatnya Arez. Ibu senang saat kamu bisa menerima kenyataan bahwa Sania sekarang adalah istrimu."

"Iya, Bu."

"Yasudah kalian sekarang boleh keluar, kita siap-siap buat makan malam."

***

Setelah makan malam dan sholat isya.

"Sania kamu mau tidur dimana? Itu bukan kamar Arez, Nak," tegur ibu yang lantas membuat Sania yang ingin memasuki kamar tamu terkejut. Dia menoleh menatap wanita paruhbaya yang duduk di kursi roda itu.

"Enghh kami memang pisah kamar, Bu," jawab Sania jujur.

Ibu sontak mengernyit heran.

"Pisah kamar? Kenapa?"

Sania menunduk, ia ragu-ragu menatap ibu, "Ini keputusanku, bu. Aku tidak ingin membuat mas Arez terganggu."

Ibu menggeleng dan berdecak pelan, "Ya ampun Sania, ibu tidak mengerti. Kenapa Arez mesti terganggu? Kalian suami istri, sudah seharusnya kalian tidur satu kamar. Yasudah sana kembali ke kamar Arez. Ibu tidak suka melihat kalian tidur di kamar yang berbeda."

"Bu, Sania-"

"Biar ibu yang kunci kamar ini." Dengan gerakan cepat ibu langsung merebut kunci di tangan Sania, dan mengunci pintu kamarnya dari luar. Sania hanya gigit bibir karena setelah ini dia bingung tidur dimana. Kamar mas Arez? Ah, pasti suaminya itu akan menolaknya.

"Ibu kenapa belum tidur?" Arez datang dari arah tangga dan berjalan mendekat. Ralat, mungkin hanya untuk mendekati sang Ibu terlihat dari wajahnya yang begitu enggan menatap Sania.

"Arez tega sekali ya kamu membiarkan Sania tidur sendiri, Sania itu istrimu," omel ibu pada Arez. Sania menunduk dalam diam, dia tidak ingin mencari pembelaan sebab dia tau Arez tak akan pernah membela dirinya.

"Hah? Aku tidak tau, Bu kalau Sania ingin tidur di kamar ini. Dia nggak bilang sama Arez," sahut Arez jujur.

"Iya Bu. Aku memang nggak bilang sama mas Arez. Maaf, bu," bohong Sania.

"Ya sudah ibu maafkan. Sekarang cepat sana kamu masuk kamar Arez. Ingat kalian harus satu ranjang."

"Iya, Bu." Sania pun pergi memasuki kamar Arez. Sedangkan Arez menatap Sania jenuh.

"Selamat malam, bu. Arez mau tidur."

"Kunci kamarnya," perintah Ibu.

"Iya." Arez pun pergi dari hadapan ibu, dia memasuki kamarnya diikuti oleh Sania. Sesaat setelah menutup pintu kamar Arez menatap bosan ke arah Sania yang masih berdiri seperti orang kebingungan.

"Mas biar aku tidur di bawah ya. Kamu di atas," saran Sania.

Arez menggidikan bahu dan langsung menaiki kasur lalu menyelimuti tubuhnya.

"Terserah. Saya nggak peduli kamu mau tidur dimana."

Sania menelan air liurnya dengan pahit. Daripada membuat Arez mengomel Ia pun menggelar karpet empuk berwarna coklat di samping ranjang Arez lalu menaruh sebuah bantal kemudian merebahkan diri.

Ia sangat lelah menghadapi setiap hari-hari yang dia lalui di rumah ini.

4 | Istri Terpaksa

Aku melenguh di sela-sela tidurku, rasanya sangat gelisah dan sulit untuk menutup mata, mungkin ini adalah efek dingin ruangan karena mas Arez juga menyalakan AC. Entah dengan suhu berapa derajat, yang pasti aku sangat merasa kedinginan apalagi kaki dan tanganku yang rasanya sudah mulai kaku.

Aku pun memindahkan posisi tidurku dari sebelah kanan hingga sebelah kiri berulang kali, ini kulakukan agar kulit tanganku menyentuh karpet, setidaknya dengan begitu dingin yang kurasakan berkurang. Ingin saja aku mematikan pendingin ruangan, tapi aku tidak berani melakukannya atau mas Arez akan kesal lalu memarahiku.

Sayangnya aku tidak menyadari kalau pergerakanku yang berulang kali ini menimbulkan suara hingga mas Arez terganggu, kudapati dia menoleh ke belakang menatap kesal ke arahku bersamaan dengan wajah mengantuknya. Mas Arez menyalakan lampu.

"Tidur aja nggak pakai berisik," tegur mas Arez yang membuatku gugup.

"Aku kedinginan, Mas." Namun, aku tetap menjawab jujur. Ya mana mungkin aku sanggup menahan hawa dinginnya semalaman. Rasanya begitu menyiksa.

"Kenapa nggak bilang dari tadi sih?!" kesalnya. Lalu kulihat mas Arez mengambil sesuatu dari nakas samping ranjangnya. Sebuah selimut biru lumayan tebal. Dia melemparnya ke arahku dan untung aku reflek menangkapnya sebelum benda itu mendarat ke wajahku.

Aku pun tersenyum, "Terima kasih, Mas. Tapi apa boleh pendingin ruangannya dimatikan juga?"

"Nggak! Saya nggak bisa tidur tanpa AC, kamu aja yang ngalah pakai selimut."

Mau tak mau aku mengangguk patuh, "Yaudah, Mas. Aku pakai selimut aja. Mas bisa lanjutin tidurnya. Maaf tidur mas jadi terganggu."

"Menyusahkan saja," gumam mas Arez.

Aku hanya menghela napas sabar kemudian melanjutkan tidurku juga.

Keesokan harinya...

"Heh bangun, ini sudah pagi," ucap mas Arez mengguncang lenganku.

Lantas aku terbangun, sambil berusaha mengumpulkan nyawa aku mengucek-ngucek mata hingga dapat kulihat dengan jelas mas Arez berdiri di hadapanku dengan tatapan datarnya.

"Maaf mas aku kesiangan, mungkin ini gara-gara malam tadi," ujarku dan mas Arez berdecak.

"Jadi kamu ingin menyalahkanku yang menyalakan AC?"

Aku sontak menggeleng cepat, "Enggak mas. Bukan begituu..."

Mas Arez menajamkan tatapannya, aku pun menunduk tak berani menatap kedua netra coklat itu, "Alasan. Sekarang cepat bangun bantu bibi dan ibu di dapur! Kamu hanya perlu mengurus rumah ini dan jangan pernah berpikir ingin mengurusku. Paham?"

"Memangnya kenapa mas? Aku kan istrimu," tanyaku yang sekali lagi membuat pria yang telah mengenakan jas kantor itu mendengus keras. Dia terlihat sangat tampan memakai jas hitam, hendak sekali aku memuji. Terlebih mengingat jabatannya di kantor adalah seorang direksi.

"Istri terpaksa baru benar. Aku tidak menginginkanmu sama sekali. Sadar diri bisa tidak sih hah?!" bentaknya.

Aku terkejut sesaat, lalu mas Arez mengeluari kamar dengan menahan amarah.

Meninggalkanku sendirian dengan rasa sedih yang harus kembali di tahan.

***

Siang ini aku berkunjung ke makam ibu, membersihkan makamnya dan menaburkan kelopak bunga di sana. Sesaat, hatiku terasa damai dan tentram setelah menceritakan semuanya pada beliau. Meski pun sekarang di depanku hanyalah sebuah makam, aku yakin ibu pasti mendengar semua keluhanku di surga sana.

Tentang mas Arez dan Sonya.

Tentang aku yang terpaksa menjadi istrinya.

Sejak berumur 16 tahun Aku dan Sonya memang sudah menyandang status sebagai anak yatim piatu, ayah meninggalkan ibuku dan memilih menikah bersama wanita lain. Hal itu membuat ibu kecewa lalu menderita sakit berat selama beberapa tahun, dan di umur kami yang ke 18, ibu ikut pergi meninggalkan kami ke sisi Tuhan.

Setelah itu aku dan Sonya berusaha keras membanting tulang untuk menafkahi diri, aku bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran di tengah kota, sedangkan Sonya melanjutkan kuliahnya sampai bisa bekerja sebagai sekretaris Mas Arez.

Namun, sebuah tragedi memilukan menimpa Sonya yang membuatnya terpaksa membatalkan pernikahan dengan mas Arez.

Tragedi itu terjadi malam hari, di sebuah club malam terpencil di sudut kota yang membuat Sonya harus menanggung beban seumur hidupnya.

***

Bersambungg… 

Jangan lupa tap love yaaa, see you in next chapter, papay

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [GRATIS] AHIMK | 5-6
18
0
BAB 5 > Fakta SonyaBAB 6 > Arez Tidak MencintaikuRasa Baper dan Sedih ditanggung oleh pembaca. Spoiler : Aku tidak mungkin menikahi Arez saat aku sedang mengandung darah daging Alex. Itu tidak adil bagi suamimu, San.Sayangnya kakak tidak adil padaku, kakak melupakan satu hal penting, ucap Sania parau, menahan isakan. Air mata terjun membasahi pipi putih nan mulusnya itu. Arez mencintaimu kak bukan mencintaiku meskipun kita kembar.Sinopsis: [21+] Kehidupan bahagia sebuah pernikahan yang Sania bayangkan pupus seketika, saat dia harus menjadi pengantin pengganti untuk kembarannya— Sonya, menghilang tanpa kabar beberapa hari sebelum akad dilaksanakan, seperti tertelan bumi jejak Sonya nihil dicari.Sania menanggung akibatnya, ia terpaksa menggantikan Sonya untuk menikah dengan Arez Alandio Mahendra—seorang direksi Mahakarya Group, perusahaan media massa terbesar yang sama sekali tidak dia kenali.Rumah tangga mereka berjalan, tanpa cinta, tanpa sentuhan. Dan kankah Sania tetap bertahan karena Arez sendiri masih mencintai Sonya dan menolak pernikahan mereka?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan