
Sempak! adalah kisah tentang empat anak muda yang dipertemukan di sebuah SD Inpres. Bukan, bukan... ini kampus, tapi lebih mirip SD Inpres! Acik adalah pemuda yang punya cita-cita mulia; nikah muda! Asyhar si pendiam yang sukanya memendam segala rasa. Bram, pemuda oportunis yang mencoba segala cara agar bisa terus makan, dan Heri, si anak petani bawang yang punya cita-cita jadi guru Matematika tapi malah masuk jurusan Sastra Indonesia.
Sempak! merupakan replikasi dari kisah-kisah yang terjadi pada...
Aku Ingin Sekolah Tinggi
“ASSALAMUALAIKUM! SELAMAT, SORE!!!”
Sekitar enam belas orang yang berdiri tepat di hadapanku itu tak langsung menjawab. Mereka saling pandang satu sama lain, saling kikuk, saling penuh keraguan. Bola-bola mata yang terhimpit kelopak atas dan kelopak bawah itu coba saling menransferkan berbagai pesan. Saat aku menyadari sasmita yang kutangkap dari semerbak bau anyep, bau bawang putih, juga dari narasi yang terukir pada kaca patri, aku sesegera mungkin berusaha menghentikan alunan nada sumbang yang kikuk, penuh keraguan, rasa takut, cemas, penyesalan, dan dosa yang hendak keluar dari mulut bau kamper mereka itu.
“Eh.. enggak..” belum tuntas kalimatku, satu-satu terdengar jawaban atas gemuruh salam yang kuucap.
“Wa’alaikum salaam, Kaaak!” terucap sudah.
Lapangan yang luasnya sekitar 100 meter persegi itu seketika hening. Semua orang, sungguh, semua orang seperti murid lain yang sedang berolahraga juga, guru atau pelatih yang menemani mereka, satpam, tukang parkir, bahkan Yesus yang tadi kulirik pada kaca patri seolah ikut menatapku. Kalau Dia bisa ngomong, mungkin Dia akan menyungut, “HEI! APAAPAAN KAU?!!! ISLAMISASI BERKEDOK LATIHAN FUTSAL???! Ooo… JADI BEGINI CARA KALIAN? HAH???!
Tuhaan… Aku beneran lupa kalau ini di sekolah Kristen Regina Pisces! Sebelumnya, sekitar pukul 13.00, pekikkan salam hangat penuh semangat serupa itu sungguh sampai energinya, ke anak didikku saat melatih di SMA 6. Teriakkan salamku dijawab dengan lantang meski pada ujungnya tetap kujawab kurang semangat dan terlihat letoy kayak ayam sayur.
“Lari!!!! Pokoknya kalian harus lari tour the SMA 6!”
Kan, kurang ajar. Semangat jawab salam cuma karena takut disuruh lari.
----*----
Rutinitas menjadi pelatih futsal dadakan sudah kujalani sekitar 4 bulan belakangan. Modal koneksi sewaktu masih aktif sekolah setahun lalu, setidaknya ada variasi aktivitas yang bisa kukerjakan untuk mengisi hari-hari. Iya, selepas SMA aku tak langsung masuk kuliah. Panjang ceritanya.
Begini…
Kisah pilunya dimulai ketika keponakan almarhmum Bapak, rutin bolak-balik datang ke rumah. Jangan tanya namanya, namanya tidak bisa menempel di telingaku. Paham kan ketika ada saudara jauh getol menyambangi rumah, apa tujuannya? Tepat… pinjam uang!
Secara ekonomi, kala itu finansial keluarga kami sedang dalam top performanya. Menjadi agen minyak tanah sejak tahun 2001, membuat dunia seolah berputar ke arah kiblat yang benar. Tentu ini berkat Umi, karena warung kami dialah yang memotori. Maklum, almarhum Bapak cuma lulusan SR (Sekolah Rakyat). Dulu kerjanya jadi montir bengkel khusus mobil Volkswagen di Jakarta. Kabarnya, bengkelnya itu adalah salah satu bengkel VW tertua yang ada di Indonesia. Tapi sejak tahun 1984 bengkel itu tutup. Karir bapak juga, tamat sudah. Hari-hari berikutnya diisi dengan mengharap panggilan, kalau-kalau ada orang yang membutuuhkan kehaliannya. Prestasi terbesarnya dalam pekerjaan, adalah menjadi montir panggilan pemilik Ragunan. Kalau secara empiris, aku pernah melihatnya menyalakan kembali mobil yang sudah seharian mogok dan gagal dibetulkan montir-montir lain, dalam waktu tidak lebih dari 10 menit. Jago, emang.
Bapak itu orang yang tempramen. Kesan galak dan tidak ada yang berani kepadanya ini kutangkap dari orang-orang di kampung. Banyak yang bercerita tentang betapa menyeramkannya, kalau dia sudah marah. walaupun seumur hidup tak pernah kulihat Bapak marah-marah sama orang lain. Meski begitu, Bapak juga terkenal dermawan. Pernah suatu hari Bapak melucuti baju koko dan sarung plus sandal baru yang dipakainya selepas salat Ied, untuk diberikan kepada seorang kakek renta yang terang-terangan memintanya. Kontradiktif sekali gambaran profilnya.
Sifat gampang mengiba ini juga yang akhirnya meluluhkan hati Bapak. Dua minggu lamanya Bapak dan Umi terus bertahan dari teror si ponakkan bajingan. Beragam metode pertahanan yang selama ini diterapkan akhirnya lumat tepat di minggu ke dua. Bukan tak mau membantu, tapi memang peruntukkan uangnya yang tidak ada. Apalagi besarannya hingga ratusan juta. Entah janji manis serta mantra serupa apa, yang dirapalkan oleh ponakkan kurang ajar, yang kabarnya berprofesi sebagai ustaz di tempat tinggalnya itu.
Satu-satunya kalimat yang kudengar dari mulutnya adalah, “Pasti, Mang… Paling dua-tiga hari uang sudah balik lagi.”
Dua tiga hari jadi dua tiga bulan. Dua tiga bulan jadi dua tiga tahun.
Boro-boro uang pengembalian, bahkan batang hidung si ponakkan bajingan tidak pernah nongol.
Usaha yang tadinya baik-baik saja mulai limbung. Semua modal usaha ludes tak bersisa. Belum lagi kala itu, isu konversi minyak tanah ke gas yang santer sejak bertahun-tahun lamanya benar-benar mulai direalisasi Jusuf Kalla. Sekali lagi, kiblat kehidupan seolah bergerak tak jelas juntrungannya. Semua yang dilakukan jadi serba salah. Bapak kerjanya cuma marah-marah. Umi? Kadang, cuma kulihat duduk di pojokkan warung sambil pasrah.
Aku tahu, Umi itu orang yang tabah. Meski sebetulnya Umilah yang paling pantas marah karena semua jerih payahnya lenyap tak lagi berbuah, ia hanya diam sambil terus menggumam istigfar kepada gusti Allah. Kudekati Umi. Aku duduk di sebelahnya. Pandangan kosongnya mulai nanar hingga tak lama, ketabahan itu pecah tumpah ruah.
Aku tahu apa yang ada dalam benak Umi saat itu. Aku tahu bagaimana sedihnya dia yang sangat ingin sekolah tapi harus putus karena kakek (Bapaknya Umi) sudah memberi titah, “Perempuan buat apa sekolah. Besok ikut Bapak saja ke pasar jual nasi uduk.” Begitu kiranya sikap primordial sebagian besar manusia di Indonesia kala itu dalam memandang gender; tak peduli punya seberapa puluh hektar tanah dan puluhan domba di kandang.
Besoknya, Umi benar-benar tak lagi rebutan bangku sekolah dengan teman-teman sekelasnya. Rebutan karena kapasitas meja dan bangku cuma untuk 30 anak sedang dalam satu kelas manusianya ada 60. Umi tak bisa lagi merasakan serunya rebutan Sabak dan bagus-bagusan mengukirkan nama di atasnya menggunakan paku. Impiannya punya ijazah SD, terkubur 3 tahun sebelum waktunya. Berganti dengan ijazah lain; berupa keras dan harus bersabarnya menjalani kehidupan nyata.
Beda dengan kakak lelakinya yang tertua; kelak bisa tamat SMA, dipanggil guru orang sekampung hingga menjadi kepala sekolah di sebuah SD. Kelak pula ketika wafat, jenazah Wa’ Umar ditakziahi ratusan orang.
Sebetulnya aku juga ingin menangis. Tetapi ada dorongan dari dalam diri yang begitu keras dan berkata ‘jangan!’ Aku tahu apa yang Umi pusingkan; aku. Iya, aku yang sedang duduk di kelas 3 SMA. Aku akhirnya pilih diam saja. Entahlah, mungkin seperti itu sebagian besar anak laki-laki di depan induknya; tak punya kuasa untuk berkata-kata.
----*----
Tekad. Kata itu mungkin jadi modal dasar dan paling besar yang aku punya. Tekad jugalah yang mungkin salah satu hal besar yang Umi wariskan kepadaku. Umi memang gagal menyelesaikan sekolahnya. Umi yang berlangganan majalah Mangle dan aktif berkegiatan di PKK itu pernah bilang betapa sedihnya ketika menjawab, “tidak punya.” saat ada famili yang menanyakan Ijazah SMP dan ingin memasukkannya menjadi pegawai Pemda. Dada Umi selalu terlihat bergetar manakala ceritanya sampai pada bagian ini. Iya, Umi bilang, “Umi bertekad. Cukup Umi yang tak bisa mendapatkan pekerjaan yang baik karena tak punya Ijazah, anak Umi jangan.”
Tekad itu mengalir padaku. Setiap kali ulang tahun (meski tidak dirayakan), aku selalu berdoa minta agar bisa sekolah yang tinggi. Tekad itu, lalu menemukan motif terbesarnya; kakak ketiga. Kakak ketigaku, Cu Pat Kay, a Babay, adalah motif yang terus mendorong tekad ini tetap hidup. Bayangkan, anak kelas 1 SD, baru hari kedua masuk sekolah, aku yang jadi wakil ketua kelas diuji oleh 2 orang guru sekaligus, saat dapat tugas mulia untuk mengambil kapur ke kantor.
“Oh ini, adeknya si Babay?”
“Muter coba.”
“Pinter enggak, nih, kayak kakaknya?”
“Ingusan gini, tapi.”
Mereka tertawa sambil menyerahkan kapur dan menyuruhku balik ke kelas. Aku tidak paham apa maksud dari ucapan 2 guru laki-laki tersebut. Yang jelas, motivasiku membuncah setelahnya.
Setibanya di rumah, kucek raport a Babay. Kuhitung berapa kali dia dapat rangking 1 selama SD. Berhasil kulampaui. Saat kelulusan, dia tak mendapat NEM tertinggi; aku berhasil jadi yang tertinggi. SMP & SMA-ku berada jauh di atas peringkat SMP & SMA yang dia bisa masuki. A Babay baru lulus kuliah dari universitas swasta di Bogor, aku? Masa aku gagal kuliah? Masa kali ini harus kalah?
Aku paham betul situasinya kala itu. Masuk kuliah berarti sejumlah uang yang tidak sedikit. Kecuali kau cukup beruntung sehingga bisa dapat beasiswa karena kadang pintar saja tidak cukup. SNMPTN yang kuikuti gagal semua. Jalur ini sebetulnya jalan paling gila untuk memotong biaya kuliah. Rebutan 1-2 kursi dengan ratusan hingga ribuan orang dan jadi pemenang adalah sesuatu yang wah. PMDK yang kuajukan sebetulnya berhasil membuatku diterima di sebuah Sekolah Tinggi jurusan Perminyakan. Tapi beasiswa yang kuterima tidak penuh, belum biaya kost dan sehari-hari. Membayangkannya saja rasanya rumit. Kalau kuambil bukan memudahkan tapi malah bikin orang tua tambah pusing bukan kepalang.
Lalu jawaban yang paling membahagiakan adalah ketika tahu tentang adanya sekolah tinggi ikatan dinas. Maha Besar Allah dengan segala kemudahan yang Dia sediakan bagi orang-orang yang mau berjuang. Bagaimana tak akan berbinar hati ini kala dapat informasi jika bukan hanya bebas biaya pendidikan, kau juga akan diberi uang saku selama pendidikan. Seingatku ada belasan bidang sekolah yang bisa dimasukki. Mulai dari STPDN, STSN, dan sebagianya.
Kesukaanku akan bahasa membuatku memilih bidang keimigrasian. Tesnya semi militer. Mulai dari urusan otak hingga fisik semua diujikan satu per satu dan berbulan-bulan. Saat itu jumlah peserta yang mendaftar sebanyak 6000-an orang. Iya, 6000 anak berjuang untuk 60 kursi yang tersedia. Aku sampai di wawancara ke 2, di mana kala itu tinggal 120 orang tersisa. Sampai pada tahap ini, isu tentang harus menyediakan sejumlah uang mulai santer di telinga. Kabarnya juga, hanya 1 banding 10 orang yang bisa lolos murni tanpa dititipkan pada orang dalam. Ya Allah… Bapak cuma montir, sedang Umi pedagang warung. Aku mau dititipkan pada siapa? Supir angkot?!
La haula wala quwwata illa billah… Aku langkahkan kaki menuju ruang interviewer.
Disuruh perkenalan padahal si Bapak pegang berkasku lengkap. Ditanya macam-macam sampai disuruh praktikan kalau jadi bek yang mengawal striker lawan seperti apa. Satu jam lamanya aku dikerjai sampai akhirnya si Bapak tiba pada 2 pertanyaan pamungkas;
“Kamu… ke sini sama siapa?”
Pertanyaan ini kujawab dengan sangat luar biasa, “Siap! Sama si Bagus, pak!”
Si bapak mengernyitkan dahi, “Siap! Bagus adalah teman satu sekolah yang lolos sampai tahap ini juga!”
Iya, Bagus adalah teman seperjuangan dari SMA. Sama-sama lolos sampai tahap wawancara ini. Setiap hari tes aku selalu nebeng naik motornya.
Si Bapak nyengir tanda lega. Dia memperjelas pertanyaanya,
“Maksud saya, adakah di sini Papa kamu? atau Om kamu? atau saudara kamu yang jadi pejabat di lingkungan Imigrasi?”
“Siap! tidak ada!” tegas kujawab tak ada.
Si bapak lalu mengangguk-angguk. Tangannya cekatan membolak-balikkan kertas berisi data lengkapku. Sambil membenarkan posisi kacamata, dia melancarkan pertanyaan pamungkas yang kedua,
“Siap menyediakan 1 Inova?”
BLAARRRR!!!!!!!!!!
Serasa petir menyambar tepat di atas ubun-ubun. Pandanganku langsung gelap, nafasku jadi pendek-pendek tak karuan. Benakku berkata, sampai juga di akhir, ya.
Aku kumpulkan keberanian dan coba kuingat kembali tekad yang membawaku sejauh ini, “Siap! Tidak siap! Saya mengikuti tes di sini dengan tujuan ingin membantu orang tua, agar tidak pusing memikirkan biaya sekolah!”
Hening seketika yang muncul dari pandanganku dan pandangan bapak interviewer pecah ketika si bapak menutup lembaran berkasku. Dia menganggukkan kepala, “Terimakasih,” katanya.
Tiga hari kemudian aku dapat informasi jika langkahku benar-benar terhenti.
----*----
Tekadku buyar? Tidak.
Atas semua yang terjadi dalam kurun waktu 6 bulan ke belakang, tekad untuk bisa sekolah tinggi ini tidak buyar. Entahlah… aku mantapkan diri untuk tetap melangkah maju. Sementara teman-teman lain mulai ospek di kampusnya, aku duduk di meja wartel sambil baca buku soal-soal SNMPTN. Rabu dan Jumat siang hingga sore kupakai untuk melatih futsal sambil kumpul-kumpul uang. Iya, aku siap untuk SNMPTN tahun depan. Hingga waktunya tiba, kubeli formulir pendaftaran SNMPTN dari hasil melatih futsal.
Semua kulakukan dalam senyap, sampai pada suatu senja, aku minta segenap keluarga untuk berkumpul di ruang tengah. Kukeluarkan lembar pengumuman jika aku lolos dan diterima di PTN sambil berusaha memaklumi,
“Aku sudah berjuang. Setidaknya, aku sudah menunjukkan jika aku mampu diterima di universitas negeri. Inginku adalah bisa sekolah setinggi-tingginya. Tapi aku tahu, semua sedang tidak baik-baik saja. Jika aku bisa dibantu, aku ingin dibantu. Jika memang belum memungkinkan, aku ikhlas. Besok kubuat lamaran kerja.”
----*----
Lalu hutan pinus berganti lumbung-lumbung padi. Kabel-kabel menjuntai di antara tiang demi tiang yang saling terhubung satu sama lain. Semua muncul kembali bergantian di “layar bioskop” seukuran dua kali satu. Suara deru si ular baja memekak telinga. Kesadaranku kembali. kulihat jam digital di tangan, sebentar lagi Cirebon, gumamku.
Lalu kupandangi lagi 'layar bioskop' seukuran dua kali satu itu. Kali ini, yang tersirat adalah wajah segenap keluargaku. Aku tersenyum haru;
Memang begitu... Saat seisi dunia seolah tak berpihak, ada keluarga yang tegak berdiri sebagai tempat berpijak; aku bisa sekolah lagii.
Manglé adalah salah satu majalah berbahasa Sunda yang terbit sekali sebulan, didirikan di Bogor, 21 November 1957. mangle sendiri berarti untaian bunga.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
