Pengagum Rahasia - [07. Sang Penguntit]

5
0
Deskripsi

Seketika, senyum Happy hilang ketika sebuah panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal muncul di layar. Kini, Happy tampak ragu untuk mengangkat panggilan tersebut. Cukup lama menimbang-nimbang, hingga akhirnya Happy menerimanya.

“Halo,” sambut Happy ketika mengangkat panggilannya.

Sesaat keheningan menyapa, sebelum sebuah suara berat seorang laki-laki terdengar menyahut dari seberang sana. “Jauhi dia!”

KLIK!

Deg! Happy bungkam. Keningnya terangkat. Siapa, batinnya tersengat. Ketakutan mulai mencuat....

07 - Sang Penguntit

Perfect!” pekik Teddi diiringi oleh gemuruh tepuk tangannya.

Laki-laki yang selalu berpenampilan rapi itu menghampiri dua modelnya. “Oke, pemotretan hari ini selesai. Good job buat kalian,” ungkapnya bangga sembari mengacungkan dua ibu jari.

“Makasih, Om.” Happy tersenyum dan menyahuti.

“Oh, ya. Besok kita ada meeting sama klien. Ada project baru buat kalian. Jadi, kalian harus datang,” beritahu Teddi.

Gavin mengangguk. “Kalo gitu gue permisi, Om,” pamitnya kemudian.

“Ya, silakan. Kalian berdua boleh istrirahat.” Teddi pun mempersilakan modelnya untuk meninggalkan arena pemotretan untuk duduk di kursinya masing-masing.

“Gila! Kalian itu best couple banget. Gue jadi iri sama elo, Py.” Rosa manyun, dia mulai berseloroh saat Happy datang menghampiri dan duduk di sampingnya.

Happy terkekeh melihat air muka sahabatnya itu. “Makannya, kamu ikutan jadi model. Om Teddi pasti maulah terima kamu. Kamu kan adiknya.”

“Enggak mau!” tegas Rosa sembari menggeleng. “Lagian, belum tentu juga gue dipasangin sama Gavin. Gue juga enggak mau diatur-atur sama bang Teddi yang segalanya harus terlihat sempurna.”

Happy mengerut bingung. “Loh, bukannya malah bagus, ya, kalau kita dituntut jadi sempurna? Kan, hasilnya juga pasti bakalan sempurna?”

Rosa kembali menggeleng sembari menggoyangkan jari telunjuk di hadapan Happy. “No. No. No. Karena bagi gue, hidup itu enggak ada yang sempurna,” protesnya, “tapi, kalau di mata gue, cuma Gavin yang sempurna,” lanjutnya.

Happy manggut-manggut sambil terkekeh geli. Tak ingin melanjutkan perdebatan kecil di antara keduanya. “Ya. Ya. Ya.”

Tangan Happy pun meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Berniat untuk menghubungi sang kekasih dan memberitahu jika kegiatannya telah selesai. Dengan begitu, Awes bisa datang menjemputnya, pikir Happy.

“Halo, kamu udah selesai pemotretannya?” Awes bertanya di ujung teleponnya.

“Iya,” jawab Happy. “Hmmm … kamu udah di rumah, ya, Wes?” tebaknya kemudian saat rungunya tak mendengar suara kendaraan yang berlalu-lalang di ujung sana.

“Iya, aku baru sampe rumah. Aku kira kamu masih lama pemotretannya. Jadi, aku pulang dulu. Ya, udah. Kamu tunggu aku, ya. Aku ke sana sekarang.”

Manik Happy menatap ke arah arloji di pergelangan tangannya. Pukul sembilan malam angka yang tertera pada jam berwarna putih itu. 

Cepat-cepat Happy menyahut, “Eh, enggak usah, Wes. Kamu enggak usah jemput aku. Aku cuma mau kasih tahu, kalau aku dijemput sama bunda,” dustanya. 

Happy menghela napasnya. Dia terpaksa berbohong. Sebab, ada perasaan tak tega jika harus membiarkan Awes tetap menjemputnya di jam malam seperti ini. Terlebih, pujaan hatinya itu sudah ada di rumah. Ditambah, Awes pasti sudah terlampau lelah, setelah seharian bekerja mengantar pelanggannya.

“Oh, ya udah. Kamu hati-hati di jalan, ya. Salam buat bunda kamu.”

Awes mematikan panggilannya saat telah mendapat respon dari lawan bicaranya. Lalu, membalikkan tubuh hendak membuka pintu. Namun, detik itu juga Awes terlonjak kaget saat mendapati seorang wanita paruh baya dengan gamis putih panjang serta rambut panjang berwarna putihnya yang dibiarkan terurai, sudah ada di ambang pintu masuk. 

“Astagfirullahal’azim ….” Jantung Awes sudah hampir copot saat menyadari jika wanita tua itu adalah neneknya.

“Nenek, kenapa berdiri di situ? Terus, itu kenapa pake baju kayak gitu malem-malem begini!” tanya Awes dengan mengelus dadanya. Masih terlalu syok dengan penampilan neneknya malam ini. 

“Tadi nenek denger suara motor kamu. Makannya, nenek bukain pintu buat kamu,” aku Gadis. Dia pun menyusuri penampilannya dari leher hingga sampai ke mata kaki. “Emangnya baju nenek kenapa? Bukannya cakep, ya? Ini dikasih Happy waktu main ke sini kemarin,” terangnya kemudian.

Awes tersenyum terpaksa. “I-ya, ca-cakep,” katanya, “tapi menyeramkan,” lanjutnya dalam hati.

***

Kedua netra Happy terus fokus menatap pemandangan di sekitarnya. Pemilik iris mata berwarna hitam pekat itu tak henti menatap hiruk-pikuk ramainya kendaraan dari balik kaca jendela taksi yang ditumpangi. Meski sebagian jalan tampak tergenang air selepas hujan, tetapi masih padat oleh orang-orang yang berlalu-lalang. Sementara, rungunya tengah dimanjakan oleh sebuah lagu yang berjudul Dealova milik Once, yang diputar melalui radio mobil. Namun, acara musik tiba-tiba berhenti dan memutar sekilas info berita malam.

“Sobat FM. Tercatat sepekan terakhir di kota Jakarta, rentetan kasus kriminalitas cukup meningkat. Mulai dari kasus pencurian dan pembunuhan. Dengan rentetan kejadian tersebut, Kombes Pol Adam selaku Satreskrim Polri menghimbau warga ibu kota untuk tetap waspada.”

IDN News, 2015

“Ayah,” gumam Happy saat mendengar nama sang ayah disebut dalam berita tersebut.

Selang tak beberapa lama, Happy mendapat beberapa notifikasi media dari ponselnya. Maniknya beralih pada tasnya untuk mengambil ponsel yang disimpan di dalam sana. Seulas senyum timbul saat matanya melihat akun instagramnya telah mendapat banyak like dan komentar pada foto yang diunggahnya tadi. Happy pun mulai membaca satu persatu komentar dari pengikutnya.

 

HappyLovers :

[Wah … congrat’s ya. Semoga hubungan kalian langgeng]

 

Raihanbaik :

[Yah, kok udah punya pacar, sih.]


Christine_sweet :

[Wkwkwk, udah kayak kopi sama susu, enggak cocok.]


HappyGavin_Lover :

[Enggak cocok banget. Kak Happy cocoknya cuma sama Gavin. Kenapa kalian gag pacaran aja, si?]


Berbagai macam komentar didapat Happy. Dia tersenyum riang dan membalas satu persatu komentar positif tentang fotonya saat sedang bersama Awes itu. Kemudian, mendengkus kesal saat membaca komentar yang menyindir hubungannya dengan sang kekasih. Dia pun memilih tak ambil pusing dengan mengabaikan komentar tersebut tanpa membalasnya. Namun, kini jidatnya terangkat saat membaca sebuah komentar yang baru saja muncul di bawah fotonya.


BöserWolf :

[Kenapa kamu mengkhianatiku, Py? Aku mau kamu jauhi dia! Dia enggak pantes buat kamu, karena kamu cuma milik aku!]


“Apa dia udah gila?” pikir Happy tersenyum meremehkan.

Happy merubah senyum di wajahnya menjadi sebuah garis lurus yang dibentuk oleh bibirnya. Mengerikan. Ya, itulah kesan yang didapat dari satu penggemarnya itu. Happy kembali tak menanggapi. Sebab, dia yakin jika BöserWolf hanyalah seorang penggemar fanatiknya yang sedang dalam kehaluan terhadap sang idola.

Happy baru akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tasnya, ketika sebuah notifikasi hadir. Sebuah pop-up pesan dari Awes tampak dengan jelas di layarnya. Segambar emoticon bergambar kecupan balasan dari kekasihnya itu serasa mendaratkan ciuman yang nyata di pipinya. Happy girang sendiri. Laki-laki itu tak pernah alpa mengirimkan pesan, membuat hatinya tak lagi kesepian. Happy jadi tak sabar menikmati keseruan demi keseruan yang esok akan terjadi.

Seketika, senyum Happy hilang ketika sebuah panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal muncul di layar. Kini, Happy tampak ragu untuk mengangkat panggilan tersebut. Cukup lama menimbang-nimbang, hingga akhirnya Happy menerimanya.

“Halo,” sambut Happy ketika mengangkat panggilannya.

Sesaat keheningan menyapa, sebelum sebuah suara berat seorang laki-laki terdengar menyahut dari seberang sana. “Jauhi dia!”


KLIK!


Deg! Happy bungkam. Keningnya terangkat. Siapa, batinnya tersengat. Ketakutan mulai mencuat. Benaknya langsung teringat dengan akun BöserWolf yang mengomentari fotonya tadi. Namun, cepat-cepat Happy menggeleng untuk mengusir kegelisahannya. “Cuma orang iseng,” gumamnya sembari mengangguk kecil. Berusaha menenangkan dirinya sendiri. 

“Mbak, kayaknya ada perbaikan jalan di depan komplek. Jadi, kita enggak bisa masuk.”

Atensi Happy langsung teralihkan saat sang supir mengangkat suaranya. Tatapan Happy pun melongok ke depan, lalu menemukan kemacetan di depan pintu masuk komplek-nya. 

“Ya, udah enggak apa-apa, Pak. Nanti saya turun di depan gerbang komplek aja,” sahut Happy kemudian.

***

Waktu kian malam. Meskipun langit dipenuhi bintang dan rembulan kian terang. Namun, hawa dingin selepas hujan masih menusuk ke tulang. 

Happy berjalan menyusuri jalan komplek yang sepi. Pandangannya menyapu sekitar, mencari tukang ojek yang bisa ditumpanginya untuk menuju ke rumah—yang jaraknya masih sekitar 100 meter di depan. Sayangnya, nihil. Happy mendesah pelan, itu artinya dia harus berjalan kaki untuk bisa sampai ke rumahnya.

Pohon-pohon rindang yang tumbuh hampir di setiap tepi jalan, membuat suasana komplek lebih terasa gelap, meski lampu-lampu jalan menyala terang. Berjalan seorang diri, entah kenapa membuat Happy gelisah. Tiba-tiba, Happy teringat tentang gosip keangkeran jalan komplek yang pernah didengarnya dari asisten rumah tangganya. Namun, Happy mencibir, bagaimana mungkin hantu bisa datang ke kompleknya? Memang semasa hidup mereka tak punya rumah? Lucu sekali ….

Mendadak deru angin malam yang dingin tiba-tiba saja berembus kencang, lalu menghempas sekujur tubuh Happy. Saat yang sama, suara derap langkah kaki seseorang mendekat ke arahnya. Siapa itu? Happy menggigil ketika kepungan rasa panik memompa irama jantungnya yang kini telah berpacu dengan cepat. 

Langkah kaki Happy melaju pelan. Pandangannya memperhatikan was-was ke arah sekitar. Emosi di dadanya masih dipenuhi kebingungan, tetapi seiring dengan itu dia diserang perasaan takut.

Derap langkah kaki itu semakin mendekat. Happy mempercepat langkah. Tiba-tiba saja dia merasa bahunya ditepuk dari belakang. Gadis itu hampir melompat tetapi kemudian mengelus dada saat menyadari yang berdiri di belakangnya ternyata Raja.

“Eh, Raja. Kamu ngagetin aja! Kamu ngapain di sini?” tanya Happy heran sambil mengelus dada. Menetralisir gemuruh jantungnya yang berdetak tak wajar. Kini, mereka berjalan beriringan. 

Laki-laki yang mengenakan jaket hitam bertudung itu menurunkan hoodie, hingga memperlihatkan wajahnya yang putih saat tersorot lampu jalan. “Oh, a-aku? Aku mau ke rumah temen,” jawabnya terdengar gugup.

Happy mengangguk. Kendati begitu, kehadiran Raja yang tiba-tiba, memunculkan spekulasi yang aneh di dalam benaknya. “Malam-malam kayak gini?” tanyanya meski terdengar ragu. 

Raja mengangguk. “Kenapa kamu sendirian? Emangnya kamu enggak takut? Gimana kalau ada orang yang mau berbuat jahat ke kamu? Semacem, penguntit atau begal. Apalagi udah malam kayak gini, mana jalanan juga sepi. Bahaya tau, buat cewek kayak kamu jalan sendirian.”

Happy terkekeh. “Ya, aku juga enggak mau jalan sendirian kayak gini. Tadi, taksiku enggak bisa masuk ke sini, karena ada perbaikan jalan di depan. Makannya, aku milih turun terus nyari ojek. Eh, enggak tahunya enggak ada ojek satu pun. Jadilah aku jalan kaki. Tadi, sih, sempet takut. Tapi, sekarang udah enggak. Kan, ada kamu yang nemenin aku,” ceritanya panjang lebar.

Mendengar itu, seulas senyum kecil muncul di sudut bibir Raja. Yang perlahan lenyap saat Happy telah sampai di depan rumahnya.

Happy menghentikan langkah di depan pintu gerbang rumahnya. “Ja, kamu mau mampir dulu?” tawarnya.

Langkah Raja pun turut terhenti. Dia menggeleng. “Enggak usah. Kamu masuk aja. Aku mau langsung jalan lagi.”

Happy mengangguk. “Ya udah, aku masuk, ya.” Raja pun mengangguk.


KLIK !

Happy menekan saklar lampu di kamarnya. Seketika, kamarnya yang sebelumnya gelap menjadi terang.

“Iya, aku baru sampe rumah, Wes,” beritahu Happy melalui ponsel.

Happy tertawa saat mendengar lelucon Awes di ujung teleponnya. Kakinya pun sembari melangkah ke arah kaca jendela yang gordennya masih terbuka lebar untuk menutupnya. Namun, Happy termangu saat maniknya menemukan seseorang yang masih ada di depan rumahnya. Laki-laki itu sedang berdiri di bawah pohon rindang sambil menatap ke arah rumahnya. Kening Happy mengerut bingung. Sedang apa dia ada di sana? Pertanyaan itu yang saat ini berkelindan di dalam kepala, hingga sampai tak fokus dengan obrolannya bersama Awes di ponsel.

“Py, kamu kenapa?” Pertanyaan itu berhasil lolos dari bibir Awes saat tak ada sahutan dari sang kekasih.

Happy pun menyahut dengan mata terus tertuju ke arah laki-laki bertudung hitam—yang sedang tampak menatapnya. Sorot mata orang itu berhasil menghujam jantung Happy dengan sebuah perasaan aneh. 

“Ada Raja di depan rumahku,” beritahu Happy, seiring dengan memorinya yang telah berkelana teringat ucapan Raja.

“Emangnya kamu enggak takut? Gimana kalau ada orang yang mau berbuat jahat ke kamu? Semacem, penguntit ….”

“Penguntit ….”

“Penguntit ….”

Suara-suara dipikiran Happy semakin banyak, timbul tenggelam sehingga semakin lama kian terdengar jelas. 

“Penguntit,” gumam Happy tak sadar.

***

Aku kembali membawakan cerita rekomendasi yang sayang buat kalian lewatkan.

Judul : Behind The Millford

Penulis : Maharin

SPOILER

Ada sesuatu yang tidak beres di agensi model Millford!

Lebih dari tiga model wanita ditemukan hilang mendadak tanpa keterangan yang jelas. Termasuk Amber, saudara kembar Alice.

Ikuti petualangan Alice mencari keberadaan Amber dan mengungkap siapa dalang dibalik agensi Millford di;

Karyakarsa : https://karyakarsa.com/maharin/behind-the-millford 

BLURB:

Amber menghilang.

Bagi Alice, meski saudara kembarnya sangat membencinya, tapi saat mendengar Amber tiba-tiba lenyap jelas membuat Alice panik.

Karena kasus hilangnya Amber tak kunjung menemukan titik terang, Alice nekat masuk ke dalam agensi model yang menaungi Amber. Alice mencurigai Josh, seorang petinggi di perusahaan agensi besar tersebut.

Alice menyamar, berbaur bersama model-model lainnya. Sampai seorang model wanita ditemukan gantung diri di asrama. Alice mengendus ada yang tidak beres di dalam agensi ini.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pengagum Rahasia - [08. Club Malam]
5
0
“Anjir, udah kebelet banget kayaknya,” ledek Leo diiringi kekehan di belakang. Laki-laki bertubuh tinggi itu sedang merekam adegan panas yang sebentar lagi akan dilakukan oleh temannya.“Berisik lo! Rekam yang bener!” gertak Adit. “Abis gue, baru giliran elo!” katanya.“Bangke! Ogah banget gue dapet sisahan elo, anying!” Keduanya pun tertawa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan