
Amber menghilang.
Bagi Alice, meski saudara kembarnya sangat membencinya, tapi saat mendengar Amber tiba-tiba lenyap jelas membuat Alice panik.
Karena kasus hilangnya Amber tak kunjung menemukan titik terang, Alice nekat masuk ke dalam agensi model yang menaungi Amber karena mencurigai salah satu petingginya.
Alice menyamar dan berbaur bersama model-model lainnya. Sampai seorang model wanita ditemukan gantung diri di dalam asrama, Alice mengendus ada yang tidak beres di dalam agensi ini.
[Alice : Ibu masuk rumah sakit, aku harap kau pulang.]
Alice memandangi layar ponselnya yang bergeming tanpa ada balasan apapun dari Amber. Pesan yang Alice kirimkan berjam-jam lalu sama sekali tidak digubris oleh saudara kembarnya. Seakan Amber tak lagi peduli dengan keadaan Elisabeth yang sekarat.
Alice membuang napas lelah, kepalanya terasa pening. Kondisi Elisabeth semakin memburuk sejak vonis kanker limfoma dua tahun lalu. Keluar masuk rumah sakit sudah menjadi agenda bulanan bahkan mingguan semenjak beberapa bulan terakhir.
“Dia tidak mau pulang?”
Alice mendongak saat mendengar suara serak Elisabeth. Wanita dengan rambut kecokelatan itu menghampiri Elisabeth yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. “Dia akan pulang sebentar lagi.”
“Lupakan saja dia, Alice. Aku tidak butuh belas kasihan dari anak tidak tahu diuntung itu.”
“Ayolah, jangan bicara seperti itu.” Alice menggenggam tangan sang ibu.
“Aku benar, ‘kan? Dia masih menyalahkanku atas kematian Peter.”
Alice bungkam tidak bisa menyanggah ucapan Elisabeth. Kejadian empat tahun silam kembali terputar di kepalanya. Kecelakaan tragis bertahun-tahun yang lalu itu harus merenggut nyawa sang ayah. Amber yang memang sangat dekat dengan Peter sempat mengalami depresi selama beberapa bulan. Lalu berujung menimpakan kesalahan pada Elisabeth dan Alice.
“Lebih baik kau istirahat, aku akan bicara dengan Amber.”
Alice menarik selimut untuk menutupi tubuh ringkih Elisabeth, kemudian melangkah keluar dari kamar perawatan. Alice merogoh ponselnya, mencoba untuk menghubungi Amber untuk kesekian kalinya.
Namun, nihil. Perempuan itu sengaja mematikan ponselnya agar Alice tidak bisa menghubungi Amber lagi. Alice berdecak, lalu segera menghambur ke mobilnya dan menginjak pedal gas dalam-dalam. Kemudian membelah jalanan menuju ke apartemen Amber.
Alice menekan bel pintu apartemen Alice berulang kali. Alice tahu Amber sedang berada di dalam. Sampai beberapa menit kemudian pintu mengayun terbuka dan Amber berdiri dengan wajah tidak suka. Rambut pirangnya kusut masai dan pakaiannya dipakai asal-asalan.
“Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?” cecar Alice.
“Untuk apa?”
“Kondisi Ibu memburuk, Amber. Setidaknya kunjungi dia sekali saja.”
“Sudah kukatakan aku tak memiliki hubungan apapun lagi dengannya,” decak Amber.
“Amber–”
“Siapa di luar, sayang?”
Alice berdecih ketika mendengar suara lelaki dari balik punggung Amber. Alice bisa melihat kepala seorang laki-laki dengan rambut hitam menyembul dari belakang. Elisabeth sedang sekarat dan Amber justu sedang bergumul dengan laki-laki!
Amber menoleh ke belakang. “Bukan siapa-siapa, tunggu saja di kamar, Josh.”
“Kau harus pulang, Amber,” tekan Alice sekali lagi, berusaha menghiraukan laki-laki yang ada di dalam apartemen saudara kembarnya.
Elisabeth tidak memiliki banyak waktu lagi. Meski Alice tahu Elsabeth tidak mengharapkan kehadiran Amber, tetapi dia tahu di dalam lubuk hati sang ibu, Elisabeth ingin menyampaikan sesuatu pada Amber.
“Harus kukatakan berapa kali kalau aku sudah tak memiliki hubungan apapun dengannya!” geram Amber.
“Ibu membutuhkanmu. Dia membutuhkan kita, Amber. Jadi, tolong pulanglah dan temui dia.”
“Aku tidak peduli!” Amber hendak menutup pintu, tetapi ditahan oleh Alice. “Pergilah! Aku muak melihat wajahmu!”
“Tidak sebelum kau mau pulang,” kekeh Alice.
Amber menepis kasar tangan Alice yang menahan pintunya. “Aku akan datang menemuinya kalau dia sudah membusuk di tanah!”
Lalu, pintu dibanting menutup di depan wajah Alice.
Kematian Peter berhasil mengubah Amber menjadi pribadi yang jauh berbeda. Kebencian Amber padanya dan Elisabeth semakin tidak terbendung. Membuat perempuan itu semakin menjauh bahkan tidak ingin mengakuinya lagi sebagai keluarga.
Alice kembali ke mobil dengan air mata menggenang di pelupuk. Ketika Alice hendak menyalakan mesin mobilnya, ponsel di dalam saku mendadak bergetar. Alice langsung menggeser tombol hijau ketika melihat sederet nomor tidak dikenal berpendar-pendar di layar.
[Dengan Nona Alice?]
“Ya, saya sendiri.”
[Mohon maaf, kami ingin mengabarkan kondisi Nyonya Liebert yang ditemukan sudah tidak bernyawa di ruang perawatannya. Apa anda bisa datang ke rumah sakit sekarang?]
Tanpa banyak bicara, Alice langsung menginjak pedal gas dan kembali ke rumah sakit secepat mungkin. Selang-selang perawatan milik Elisabet sudah dilepas begitu Alice sampai di sana. Alice langsung menghambur ke arah tubuh tak bernyawa Elisabeth dan menangis tersedu-sedu. Ada rasa sesal karena Alice tidak ada di samping Elisabeth ketika wanita itu hendak berpulang.
Elisabeth dimakamkan keesokan harinya. Tamu-tamu yang datang didominasi oleh kolega bisnis Elisabeth dan kerabat terdekat. Semua orang hadir di pemakaman itu, kecuali satu orang yang sulit sekali Alice hubungi.
[Alice : Ibu meninggal, Amber. ]
[Alice : Datanglah ke pemakaman pagi ini.]
[Alice : Kau sungguh tidak akan datang?]
[Alice : Tidak bisakah kau lupakan sebentar soal Ayah dan datang ke pemakaman ibumu sendiri?!]
Alice menghela napas kasar ketika pesan-pesannya sama sekali tak dibalas oleh Amber. Alice bahkan tidak tahu lagi bagaimana menjawab pertanyaan kerabat mereka yang menanyakan keberadaan Amber yang tak terlihat sejak tadi.
Alice menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Kepalanya terasa pening karena beberapa malam ini Alice tak mendapat waktu tidur yang cukup.
“Wajahmu terlihat mengerikan.”
Alice mendongak dan mendapati Ethan menghampiri dan mengulurkan sekaleng minuman dingin. Lelaki itu menarik kursi makan dan turut duduk di sebelah Alice. Sedangkan para tamu yang lain tengah berbincang di ruang depan dan tengah.
Alice menerima uluran minuman kaleng itu dan menenggaknya rakus. “Aku tak bisa tidur nyenyak beberapa hari ini.”
“Amber masih tidak ingin pulang?”
Alice menggeleng kecil.
“Yah … aku bisa paham dia masih tidak menerima kematian Peter, tapi tak datang ke pemakaman Elisabeth? Bukankah ini sudah keterlaluan?”
“Entahlah, rasanya aku ingin pergi tiap kali mereka bertanya ke mana Amber.” Alice melirik ke arah para kerabatnya berkumpul.
Saudara yang paling dekat dengan keluarga mereka hanyalah Dan, pamannya, karena neneknya hanya memiliki dua anak saja. Sementara yang lain Alice tak begitu akrab karena mereka saudara jauh dan dia hanya beberapa kali ketemu saja di malam natal.
“Kau tahu harus pergi ke mana kalau butuh hiburan, temanmu ini rela menari telanjang di depan banyak orang untuk membuatmu tertawa.” Ethan menepuk bahu Alice sekilas lalu pergi meninggalkan dapur.
Alice mendengkus dan tertawa kecil. Wanita itu kembali mengirimkan pesan dan menghubungi Amber berkali-kali. Tetapi, tak ada satu pun panggilan yang dijawab oleh perempuan itu sampai tiga hari kemudian Alice menerima sebuah pesan singkat dari nomor tidak dikenal.
[+1 213-876-4322 : 332 S Spring st. Tolong aku.]
Alice mengernyit. Lalu mengantongi ponselnya dan kembali fokus ke layar komputer, berusaha menepis kekesalannya terhadap Amber yang sama sekali tidak bisa dihubungi.
***
“Rupanya kau bersembunyi di dalam sana, Amber. Dan apa kau melihat ponselku? Atau justru kau yang mengambilnya?”
Amber membekap mulutnya sendiri.
“Lebih baik kau keluar sebelum aku menyeretmu dari sana, Amber.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
