Tahajud Untuk Aina - Bab 01 #UnlockNow

2
4
Deskripsi

TENTANG BAB 01↴

Kenalan sama Bagas, yuk! Cowok, bengal, kuliah belum kelar, suka balapan liar, sangat sayang Ibu. Rajin salat tahajud-kah? Boro-boro. Salat lima waktu sehari-harinya aja susah banget disuruhnya. 

Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!
 

▶▶ Sinopsis Tahajud Untuk Aina ◀◀

Saat ini sudah tengah malam. Langit luas membentang berwarna hitam. Cuaca cerah. Penuh bintang. Angin sepoi-sepoi pas – tak panas tak dingin. Sejuk. Udara yang enak untuk balapan motor!

Di sebelah utara suara motor yang akan berlomba menderu-deru kencang. Para pengendara di atas motornya masing-masing menunggu berjajar dalam satu garis lurus. Menanti aba-aba. Rute balapan kali ini pendek saja. Hanya perlu memutar sekali. Titik berangkat akan sama dengan titik akhir. Jalan sepi di pinggir kota ini terlalu sayang kalau tidak digunakan balapan. 

Kaca pelindung helm sudah diturunkan. Mata tajam Bagas menatap fokus ke arah depan. Ia memblayer gas, dan melirik ke kiri. Mem-blayer lagi, dan melirik ke kanan. Angga dan Budi, lawan tandingnya, sedang menatap ke arah depan dengan serius. 

Joko berdiri di trotoar. Meski suaranya kalah tertelan derum motir, ia tetao berteriak keras menghitung mundur. Sepuluh sampai satu. Teman-teman yang lain berdiri berjajar di dekat Joko, menonton sambil terus bersorak. 

”Tiga! Dua! Satu!“ Joko mengangkat bendera dan meniup peluit keras-keras. 

Tiga motor balap itu menyalak galak. 

Ngeng! Ngeng! Ngeng! 

Serempak melesat cepat.

Seperti batu lepas dari ketapel, Bagas melaju kencang. Membelah jalan. Membelah angin. Tatapannya terus ke depan. 

80 km/jam. Bagus! 

90 km/jam. Tambah! 

100 km/jam!

Angin menampar keras jaket kulit yang membungkus rapat tubuh Bagas. Cahaya lampu di sepanjang jalan membentuk alur panjang. Kuning tak putus-putus. 

Bagas dan Angga berdampingan saat menikung. Ketika motor sudah kembali tegak, Angga menambah kecepatan dan menyalip cepat. 

Bagas mengumpat. 

Tunggu pembalasanku, Bung!

Bagas melejit menambah kecepatan. 110 km/jam. Semua bayangan tampak kabur. Hanya satu titik di depan yang menjadi fokus. Punggung Angga. Garis finis. 

Sambil menggertakkan gigi, Bagas menikung dan balas menyalip Angga. 

Di belakang, Angga dengan panas balas mengejar. Bagas menambah kecepatan. 130 km/jam! Honda CBR itu melesat. Secepat kilat. Meninggalkan suara menderu hebat di telinga Angga yang mulai tertinggal jauh.

Sedikit lagi!

Bagas melaju melewati Joko yang melambaikan bendera dari celana komprang butut. Bagas mengurangi kecepatan. Meluncur menepi memberi jalan bagi dua motor yang masih tertinggal di belakang. Angga menyusul. Ia juga mengurangi kecepatan dan menjajari Bagas. Tak lama tampak Budi. Masih mengebut dan mengurangi kecepatan setelah melewati garis akhir. 

Tiba-tiba terdengar sirene kendaraan meraung. 

”Polisi!“ Joko berteriak panik. Para penonton panik. Mereka cepat-cepat melompat naik ke motor masing-masing. Malam menjadi demikian berisik. Belasan motor digeber bersamaan. Suara sember knalpot modifikasi saling bersahut-sahutan. Joko melomat ke salah satu boncengan motor temannya. Mereka melesat pergi kemudian. 

Mobil patroli polisi bernguing-nguing semakin mendekat. 

Bagas tersenyum lebar. Nyali membalapnya semakin tertantang. Bagas, Angga, dan Budi kembali menyalakan motor. Bertiga melesat secepat-cepatnya. Di depan tampak sebuah perempatan jalan. 

Bagas mengangkat tangan. Memberi tanda. 

Berpencar! 

Bagas membelok kiri. Budi terus saja. Angga membelok kanan. 

Bagas membelok sekali lagi. Ke sebuah jalan kecil. Gelap. Agak pesing. Ia mematikan motor. Menunggu diam. Suara sirine sayup menjauh. Lalu menghilang. 

Bagas menyalakan motor dan melaju keluar. Kembali ke jalan besar. Kali ini Bagas mengurangi kecepatan. Membuka kaca pelindung helm. Udara malam terasa lembap. Pohon-pohon berdiri gelap. Kabel panjang hitam di puncak tiang tampak seperti sulur. Langit sebelah utara berwarna biru tua. 

Motor berhenti di depan pintu gerbang tinggi. Bagas yang merogohkan tangan ke balik pagar, hendak membuka kunci, mundur kaget. Pagar tiba-tiba terbuka sendiri. Pak Jiman dalam sarung dan kaus yang dikenakan terbalik menarik pagar susah payah. Matanya setengah merem. Jempol kakinya terantuk ujung pagar. Laki-laki paruh baya itu mengaduh pelan. 

”Kata siapa Pak Jiman harus membukakan pintu!?“ Bagas sengaja memasang intonasi marah. 

Laki-laki tua itu tahu Bagas tidak sedang bersungguh-sungguh. Tubuh tua itu telah terprogram otomatis. Ketika mendengar deru motor yang dimatikan dan atau deru mobil, yang kebetulan dikendarai bapaknya Bagas sendiri, ia bergegas membukakan pintu pagar. Bagas tidak dapat mengubah kebiasaan orang tua tersebut. Tidak ada yang salah dengan sikap hormat yang ditunjukkan Pak Jiman. Hanya Bagas merasa tidak enak jika harus merepotkan. Seperti kejadian lalu. 

 

***

Di tepi jalan, tak seberapa jauh dari sekolah, sebuah sedan hitam mengilap menepi. Bagas segera membuka pintu dan masuk. 

”Pak Jiman seharusnya enggak usah repot-repot menjemput. Saya sudah akan pulang naik bus.”

Sopir yang dipanggil Pak Jiman tersenyum. Raut tua sabar terpancar di wajahnya. “Tidak apa-apa, Mas Bagas. Ini perintah Ibu.”

”Sudah SMA kok masih antar jemput!“

”Ibunya Mas Bagas khawatir. Pokoknya sampai motor Mas Bagas bener, Pak Jiman yang akan antar jemput.”

Mobil kembali meluncur halus. 

 

***

Bagas menuntun motor masuk ke dalam halaman rumah. ”Bapak itu sudah tua. Bangun malam-malam! Nanti encok! Rasakan!“

”Ya, gampang. Besok bapak titip remason sama koyok cabe sepulang mas Bagas dari balapan. Buat obat encok.”

Rhuemason, biasa dieja remason, itu satu jenis balsam gosok. Panasnya luar biasa. Baunya menyengat. Biasa digunakan kerokan orang-orang jaman dulu. 

Bagas terbahak. Ia membayangkan dirinya bermotor besar, jaket kulit hitam, sepatu bot, tengah malam mampir apotek 24 jam untuk beli remason dan koyok cabe. Tidak cadas! 

“Besok tidak usah dibukakan lagi, Pak. Saya bisa buka sendiri! Bapak enak-enak saja ngorok! Sudah! Habis perkara!”

Pak Jiman diam. Tidak mau berjanji. Setengah membungkuk ia berjalan menutup dan mengunci kembali pintu gerbang.

”Terima kasih, Pak,“ kata Bagas. Setelah memarkir motor, ia menghampiri pak Jiman. M menyelipkan selembar uang dalam genggaman orang tua itu. ”Buat beli rokok.”

“Mesti kok lupa. Saya tidak merokok, Mas Bagas.”

“Rokoknya buat saya saja kalau begitu.” Bagas kembali terbahak. Ini bercandaan larut malam khas mereka. 

”Ibu.“ Bagas melepas helm dan menyapa perempuan paruh baya yang kebetulan sedang lewat. Wajah dan tangannya bekas basah. Baru saja berwudu. Bagas sudah mengelak, badannya kotor terpapar banyak debu, tapi ibunya tetap memaksa. Perempuan itu mendekat dan kemudian mengecup kening Bagas. Lalu, mundur memerhatikan penampilan anak laki-laki satunya. Rambut ikal sebahu. Jaket kulit hitam. Helm hitam yang ditenteng dengan tangan terbungkus sarung tangan kulit. ”Baru pulang kuliah?“ 

Bagas tertawa. ”Tentu saja.“ 

”Kuliah di jalan.“ Ibu mengelus pipi putranya yang kotor. Lengket kena debu dan keringat. ”Pantas saja kuliahnya yang di kampus tidak lulus-lulus.“

Bagas nyengir. 

”Salat isya, Gas. Baru pukul dua. Masih sempat. Ya?“

”Enggak. Bagas lapar. Susah konsentrasi. Salat tidak khusyuk itu tidak baik.” Bagas segera nyelonong ke dapur. Di sana sudah ada setangkup roti isi. Ia membawa kudapan itu dan sebotol air mineral dingin ke dalam kamar. Setelah menghabiskan makan dini hari, Bagas langsung terlelap. Ia sempat tersentak kaget karena kakinya tidak sengaja menendang helm. Bergelodak keras jatuh ke atas lantai. Lalu, tidur lagi. [dps]


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tahajud Untuk Aina - Bab 02 #UnlockNow
2
0
TENTANG BAB 02↴Bagas bikin tindik di telinga! Asoy! Mana setelah itu ia malah bolos kuliah – hedeh! Tapi, ada kejadian menarik. Saat ia membantu seorang ibu yang kecopetan, Bagas ketemu si cantik Aina. Teman sekolahnya dulu. Teman sekolah yang dulu bikin ia deg-degan dan keringat dingin.Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa! ▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan