Surat Annisa Fitri - Bab 01: Tugas Mengarang #UnlockNow

2
2
Deskripsi

TENTANG BAB 01↴

Ada tugas menulis tentang ibu, padahal Annisa, kan, nggak punya ibu. Ibunya meninggal dunia saat ia berumur 2 tahun. Kira-kira apa yang ditulis Annisa untuk tugas pelajaran Bahasa Indonesia, ya?

Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!
 

▶▶ Sinopsis Surat Annisa Fitri ◀◀

“Tugas pelajaran mengarang Bahasa Indonesia. Cerita tentang ibuku.” 

Annisa membacakan tulisannya di depan kelas. 

“Aku nggak tahu banyak tentang ibuku. Eyang Uti bilang ibuku dulu adalah seorang penari. Tariannya bagus sekali. Gerakannya sangat berhati-hati. Kalau teman-teman melihat ibuku menari, pasti akan mengira sedang melihat bidadari. Bukan bidadari yang mandi di sungai, lho, tapi bidadari yang turun dari khayangan. Berjalan turun meniti pelangi. Selendangnya diayunkan ke kanan dan ke kiri.”

Murid-murid kelas 5B tertawa terkikih-kikih. Cerita Annisa tentang ibunya yang seperti bidadari lucu sekali. 

“Cerita tentang ibu? Oh – Ibu! Oh, Nisa... astaga.” 

Ibu Wali Kelas seperti tersadar akan sesuatu. Ia benar-benar teledor. Kepalanya menggeleng-geleng kecil memberi tanda agar muridnya berhenti, tapi bocah perempuan berseragam putih merah tak melihatnya. 

Kali ini Annisa meneruskan bacaannya dengan gaya deklamasi yang dilebih-lebihkan. “Rambut indahmu hitam panjang seperti jalan tol basah kena hujan. Senyummu indah seperti lengkung bulan sabit telentang.”

“Wow, tulisannya aneh. Rambut kok kayak jalan tol.”

“Otaknya Nisa mungkin sudah miring.”

“Nisa jalannya miring kayak undur-undur – eh, kepiting.”

Ibu Wali Kelas mengingatkan murid-murid untuk kembali tenang. 

Sekarang Annisa mengganti cara baca deklamasinya ke cara membaca biasa. “Ibuku suka menari. Bapakku senang menulis puisi. Puisi bapak terinspirasi dari tarian ibu. Tarian ibu terinspirasi dari puisi bapak.”

“Apa tarian ibumu dan puisi bapakmu pernah berciuman?” 

Murid-murid di kelas kembali terpingkal-pingkal. Pertanyaan Bobi lucu sekali. 

“Apa kesepakatan kita untuk saling menghormati teman yang membacakan tugas di depan kelas, Anak-anak?” tanya Ibu Wali Kelas. 

Bocah-bocah kelas 5 itu menjawab serempak, “Diam dan mendengarkan sampai selesai.”

Ibu Wali Kelas mengangkat dua jempol ke udara. Lalu, meminta Annisa kembali duduk. 

Bocah perempuan itu tak tahu maksud ibu guru – kenapa ia tiba-tiba diminta mundur? Tugas membacanya belum selesai. Lagian, kan, bukan salahnya kalau teman-teman sekelas riuh membikin onar?

Annisa tak mau berhenti di tengah jalan. Kalau sudah begitu, biasanya ia akan nekat. 

“Eyang sering memaksaku tekun belajar menari.” Annisa melanjutkan bacaannya. “Apa Eyang ingin aku jadi penari seperti ibu? Tidak, jawab Eyang. Eyang cuma ingin memberiku banyak bekal pengalaman. Ia tidak ingin aku tumbuh dewasa tanpa bekal pengalaman yang cukup. Ia juga berharap –“

“Annisa –” Ibu Wali Kelas mencoba berbisik memanggil.

Seorang murid – tak tahu siapa – berkomentar usil dengan suara samar, “Anak-anaak, apa kesepakatan kita untuk tidak memotong omongan teman yang sedang tarik tambang?” 

Terdengar cekikikan di beberapa arah bangku. 

Ibu Wali Kelas tak menanggapi. Beliau hanya menghela napas. 

Sementara itu Annisa sudah siap akan merengut sejadi-jadinya saat namanya dipanggil-panggil lagi. Ternyata Ibu Wali Kelas hanya hendak membetulkan pilihan katanya. “Untuk Eyang Uti jangan gunakan kata ganti ‘ia’ –tapi ‘beliau’.”

“Baik, Bu. Terima kasih, Bu.” Wajah Annisa kembali cerah. “Eyang cuma ingin memberiku banyak bekal pengalaman. Ia... eh, beliau tidak ingin aku seperti Ibu. Ibu yang pergi saat menari. Eh... Ibu hilang karena menari. Maksudku, eh....” Anak perempuan itu merasa tidak pas dengan kalimat yang ditulisnya sendiri. Sementara ia sibuk meralat, teman-temannya malah berseru-seru takjub.

“Ibumu bisa menghilang saat menari?”

“Apa ibumu bisa sulap?”

“Setelah hilang bisa muncul lagi, kan?”

“Apa sebelum hilang ibumu masuk lemari lalu ditusuk-tusuk pedang?”

Ibu Wali Kelas memilih membiarkan saja pertanyaan-pertanyaan itu. Janji untuk tak menyela teman yang sedang membaca di depan kelas sudah berkali-kali dilanggar. Sekarang baiknya agak longgar saja. Lagipula, tulisan Annisa selalu menarik. Tak bisa dimungkiri, kemampuan berbahasa anak didik yang bandel itu lebih dari rata-rata. Ibu Wali Kelas pernah memuji, yang kemudian malah ditanggapi, “Asyik. Kebetulan saya ingin jadi tentara pelindung kucing.” 

Perkataan itu keluar untuk menganggu gurunya, tapi Annisa mengatakannya dengan raut muka begitu serius. 

Eyang Uti meminta maaf berkali-kali saat menerima rapot. Padahal Ibu Wali Kelas bercerita bukan untuk mengadu, tapi sungguh-sungguh ingin memuji kemampuan literasi anak didiknya. 

“Cucu saya memang bandel. Sulit sekali memaksanya belajar menari, atau membatik, atau yang lainnya. Bocah itu lebih senang memanjat pohon atau berkelahi dengan temannya yang laki-laki. Tapi anehnya, Annisa sangat suka membaca. Betah sekali membaca,” jelas Eyang Uti.

Tak ada yang bisa mengganggu Annisa saat asik membaca. Sama seperti tak ada yang bisa mneyela saat ia membacakan tugas tulisan di depan kelas. 

“Ibu menghilang saat sore hari,” lanjutnya tanpa memedulikan celotehan teman-teman sekelasnya. “Waktu itu Ibu menari diiringi musik gending Jawa. Sampur tari Ibu dilempar ke kanan, dilempar ke kiri. Tiba-tiba sampur itu naik ke atas. Semakin ke atas. Sampur memanjang. Tambah panjang. Terus panjang.”

Semalam bocah perempuan itu bersemangat sekali saat menulis bagian sampur.

“Angin besar datang. Sampur turun. Menggulung tubuh Ibu, membawa ke langit. Musik gending Jawa terus berbunyi, tapi Ibu sudah pergi. Begitulah cara ibuku menghilang pergi. Tidak kembali.”

Ketika murid-murid di kelas mendengarkan dengan mulut terbuka dan berkomentar, “Woow, ibumu digondol alien”, salah satu murid perempuan mengernyitkan kening. “Ibumu menghilang pergi tidak kembali... ibumu meninggal dunia?”

“Tidak. Ibuku berubah menjadi makhluk luar angkasa. Alien mengubahnya menjadi manusia berkulit ungu, berbintik-bintik, bernapas dengan insang, tubuhnya totol-totol besar berwarna hijau kodok –“

“Terima kasih, Annisa!” Ibu Wali Kelas menghentikan celotehan anak didiknya dengan tegas. Keisengan hari ini sudah saatnya dihentikan. “Sebenarnya kamu tak harus menulis tentang ibu. Ibu minta maaf, aku lupa kalau –“

“Saya bisa menulis cerita tentang bapak, tapi cuma pendek saja. Bapak sering pentas teater di luar negeri.” Bocah perempuan itu mengangkat kedua bahu kerempengnya. “Kami cuma bertemu lewat kartu pos.”

“Cerita, dong, tentang bapakmu dan kartu pos!” seru Martina – teman sebangku Annisa. Annisa meringis. Ia tahu temannya sengaja berteriak begitu hanya untuk mengganggu ibu guru.

“Bapakmu berkulit ungu terong juga?” tanya teman yang lain.

“Kulitnya totol-totol, ya! Hiii... kayak kodok.”

“Tetap tenang, Anak-anak!” tegur Ibu Wali Kelas.

“Bapakku seorang bajak laut,” kata Annisa pura-pura membacakan tulisannya. Padahal tak ada tambahan tulisan apa-apa di sana. “Dia sering berlayar ke luar negeri, merampok kapal-kapal pesiar, berpesta pora di tengah laut – jarang pulang. Itu kenapa bapak sering mengirim kartu pos untukku.”

Uban Ibu Wali Kelas setiap tahun bisa bertambah helai-helainya kalau murid-muridnya seperti ini terus. “Silakan kembali duduk, Annisa. Terima kasih sudah menulis dan membacakan tugas dengan baik.”

Bocah itu nyengir. Ia kembali duduk. Setelah Annisa selesai membikin ‘onar’, bergantian anak-anak lain yang maju membacakan tulisan. 

Ibu-ibu mereka ada yang bekerja di kantor, berseragam blazer dan sepatu jinjitnya selalu bisa membuat ibu tampak cantik sekali. Ibu rumah tangga juga ada; bangun pagi sekali, salat, menyiapkan sarapan, membantu adik mandi, mengantar ayah dan anak-anaknya berangkat kerja dan sekolah, lalu sibuk mengurus rumah. 

Ada banyak macam ibu. Semua dengan pekerjaannya masing-masing, semua dengan pakaiannya yang berbeda-beda, semua dengan kelebihan dan kekurangan sebagai seorang manusia – ada ibu yang demen marah, doyan ngambek, atau tiba-tiba tidak mau masak saat hatinya kesal. 

“Ibu yang rambutnya keriting, lurus, berjilbab, disasak tinggi, mengenakan topi, semua tetaplah ibu. Ibu yang dipanggil ibu, mamak, emak, simbok, mami, mom, dan panggilan lainnya tetaplah seorang ibu. Ibu boleh marah, boleh ngambek, boleh uring-uringan, tapi perlu kalian ketahui, Anak-anak, cinta ibu kepada kalian sangatlah besar....”

Annisa tak mendengarkan penjelasan Ibu Wali Kelas. Tangannya sibuk membikin coretan bulat-bulat di buku pelajaran. Ia tak punya ibu. Ibunya meninggal dunia saat ia baru berumur dua tahun. 

“Bulan Ramadan sebentar lagi tiba. Kira-kira apa yang bisa kalian untuk membantu ibu, Anak-anak?” tanya Ibu Wali Kelas. 

“Membantu bikin kolak!” seru salah satu murid.

“Cepat bangun saat sahur!” seru murid yang lain.

Kemudian bersahut-sahutan tentang bagaimana membantu ibu saat bulan puasa tiba. “Kuat puasa sehari penuh!”

“Menabung uang jajan es krim!”

“Tidak berkelahi dengan adik – tidak rebutan pisang goreng!”

“Membantu ibu saat bulan Ramadan apaan?” gerutu Annisa. “Kalau boleh minta sama Tuhan, lebaran tahun ini aku ingin bertemu ibu – ingin ziarah ke makamnya, bareng bapak!”

“Memangnya kalau bulan puasa cuman bantuin ibu aja, ya? Aku malah biasanya bantuin bapak. Bantuin ibu juga. Ah, bantuin dua-duanya. Kalau kamu gimana, Nis?” Martina menyenggol-nyenggol lengan temannya.

Annisa berhenti mencoret-coret buku. Wajahnya masih merengut masam. Lalu, balas berbisik, “Nggak semua anak punya ibu. Punya bapak kalau nggak pernah ketemu kayak aku juga gimana bisa bantuinnya!?”

Ibu Wali Kelas dan murid-murid masih saja membahas tentang ibu dan bulan Ramadan. Hingga bel tanda pulang sekolah berdering. 

Annisa baru saja hendak keluar ketika dipanggil Ibu Wali Kelas. “Ibu ingin bicara sebentar, Nisa,” tahannya.

“Ibu saya sudah meninggal dunia, Bu. Wajahnya yang asli saja saya nggak ingat. Tugas mengarang tadi saya cuma mengarang-ngarang,” kata bocah itu begitu saja.

“Ibu tahu.” Ibu Wali Kelas memberi tanda supaya Annisa menahan diri. Anak didik Ibu Wali Kelas tak harus menjelaskan apa-apa – lagipula ia juga belum ditanya apa-apa juga, kok. 

“Bisa kau sampaikan pada Eyang Uti, Nisa? Ibu ingin bertemu dengan beliau besok siang.”

“Bu Guru mau mengadu,” tuduh Annisa.

“Mengadu apa, Nisa?” tanya Ibu Wali Kelas pura-pura tak tahu.

“Mengadu kalau saya gemar berbohong, mengada-ada saat menulis.” Anisa cemberut. Sorot matanya menunjukkan kekesalan hatinya. “Saya kan cuma mengerjakan tugas.”

“Bisakah kamu sampaikan saja pesan Ibu?” Ibu Wali Kelas mencengkeram lembut kedua bahu Anisa. “Ibu tidak akan marah – cuman ingin mengobrol dengan Eyang Utimu.”

Annisa mengangguk. Pesan itu benar disampaikan pada Eyang Uti tapi jamnya diubah. Seharusnya eyang menemui Ibu Wali Kelas esok sekitar pukul 10 pagi. Annisa membuatnya menjadi lebih cepat. Bocah itu bergegas menuju mobil yang menjemputnya di halaman depan sekolah.

“Eyang Uti, Eyang Uti...,” panggilnya. “Eyang Uti dipanggil Ibu Wali Kelas. Sekarang,” katanya sembari melongokkan kepala ke dalam mobil. 

Eyang Uti mengeluh panjang sebelum kemudian tergopoh-gopoh menuju ruang guru. “Ada apa lagi sekarang, Nisaaaa...?”

Annisa cuman mengangkat bahu – lalu diam-diam nyengir. [dps]


▶▶ Cerita ‘Surat Annisa Fitri’ Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Annisa Fitri - Bab 02: Dipanggil Ibu Wali Kelas #UnlockNow
2
0
TENTANG BAB 02↴Eyang Uti dipanggil menghadap Ibu Wali Kelas. Aduh, aduh, pasti Annisa membikin onar lagi. Cucu keturunan priyai ini kok senengnya bikin masalah terus, ta? Eyang sampai pusing dibuatnya. Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Surat Annisa Fitrii'  Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan