Chapter 10 The Little Adventure of Nuel : Tidak Ada Orang Percaya Aku Pernah Dapat 100 di Ulangan Matematika

0
0
Deskripsi

Sumber gambar dari sebuah grup Facebook. 

*****

Cerita ini bagian dari novel online “The Little Adventure of Nuel."

Biar makin menikmati, baca saja dulu chapter- chapter sebelumnya. 

31 Agustus 2002

Cuaca cerah 

Tadi ulangan Bahasa Sunda dibagikan. Puji Tuhan, aku dapat nilai 60. Tapi, aku sedih. Ini yang terakhir aku diajar oleh Bu Muiyah. Ke depannya Bu Muiyah lebih akan mengajar mata pelajaran Agama Islam. Tak ada lagi mata pelajaran Bahasa Sunda. Selamat tinggal, Bahasa Sunda, yang tadinya kukira itu sulit banget. 

Ternyata ada yang lebih sulit daripada Bahasa Sunda. Itu adalah Bahasa Mandarin. Seseorang yang lebih tua dari orangtua aku masuk ke dalam kelas. Bapak-bapak (walau lebih mirip kakek-kakek), dan mengenakan kacamata. Hingga aku lulus SMP, aku tidak pernah tahu nama aslinya. Aku dan teman-teman lebih sering memanggilnya Lao Tze. Lao Tze itu artinya guru. Itu satu kata dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Mandarin yang aku tahu, selain wo, ai, dan ni. Jangan tanya kenapa, karena saat hari pertama Lao Tze mengajar, yah, ini mungkin bisa dibilang tengah mengusili si Lao Tze. Beberapa anak nakal yang suka duduk di pojok kelas menjahili Lao Tze seperti. Terutama anak baru bernama Yohanes itu. Hadeh

Yohanes iseng berceletuk, “Lao Tze, kalau cinta itu bahasa Mandarin-nya apa? Saya punya pacar cewek Tionghoa, mau bikinin surat cinta buat dia.”

Untungnya Lao Tze tak marah, padahal dijahili seperti itu. Dia hanya tersenyum dan menjawab, “Coba bilang begini, wo ai ni,”

Timpal Erik sambil memukul Yohanes dengan buku tulis bertuliskan ‘Campus’, “Tionghoa apaan? Gebetan lu, kan, si Nozel. Batak dia, Nes, bukan Tionghoa. Mirip Tionghoa dari mananya?”

Seisi kelas melebur dalam lautan tawa. Yohanes membalas dengan sengit. Kentara sekali wajahnya memerah--sambil berkata, “Cadangan, Rik, lagian bukannya elo yang naksir sama Nozel kata anak-anak.”

Dari tertawa terbahak-bahak, kami seperti sepakat meng-huu-kan Erik. Erik malu dan sok ijin ke toilet. Sembari melengos pergi ke luar kelas, ujar Erik, “Syetan lo, Nes. Bangke!"

Aku ikut tertawa terbahak-bahak mendengarkan kisruh antara Yohanes (si anak baru) dan Erik (yang sejak kelas 1, sering digosipkan dengan Nozel). Kericuhan ini mengurangi ketegangan aku dalam usaha pertama mempelajari Bahasa Mandarin. Aku baru tahu ternyata menulis tulisan Mandarin tidak asal-asalan. Ada trik-triknya. Lao Tze berkali-kali memperbaiki cara menulis huruf mama (ibu dalam bahasa Mandarin). 

“Bukan seperti itu, Nuel, cara menulisnya.” Lao Tze langsung mengambil pulpen dan buku tulis yang aku pakai untuk belajar Bahasa Mandarin. “Begini cara menulis huruf mama.”

Selanjutnya Lao Tze menyarankan kami untuk membeli buku kotak-kotak. Setiap pelajaran Bahasa Mandarin, kami wajib membawa buku kotak-kotak. Kami dilatih untuk menghapal beberapa karakter lewat menuliskannya berulangkali seperti instruksi Lao Tze. Nanti, saat aku SMA, aku baru tahu pula, setiap pelajaran Bahasa Mandarin, cara pengajarannya seperti itu. Tak jauh berbeda dengan cara Lao Tze aku mengajarkan saat SMP. Bahkan Pak Sumanggala, guru Bahasa Mandarin aku saat SMA juga mengajarkan Bahasa Mandarin seperti itu. Dimulai dari rutin menuliskan huruf demi huruf sembari dihapalkan. 

Padahal ada beberapa ulangan yang aku dan teman-teman aku ikuti. Mulai dari Sejarah, Geografi, Agama Kristen, dan Fisika. Selama seminggu ini, aku sering tertawa di dalam kelas. Apalagi saat pelajaran Biologi. Aku selalu tertawa melihat bagaimana Yoshi diperlakukan oleh Pak Hadi. Sudah disuruh memijat bahu Pak Hadi, masih saja Yoshi diejek. Dan, Yoshi tanpa takut balas mengejek Pak Hadi. Pak Hadi tak benar-benar marah. Dia hanya berkata sembari memukul kepala Yoshi dengan buku tulis, “Ah, kamu ini, Yos, ngebantah mulu, sok tahu kamu, saya ini lebih tua dari kamu, mending kamu lanjutin mijit saya. Enak, enak.”

“Si Bapak juga lagian,” timpal Yoshi. “Sakit juga, Pak.”

Aku tertawa. Yang seperti itu, tentunya tidak akan pernah hilang dari kenangan aku, walau aku kelak tak lagi menjadi bagian dari SMP Markus. Kapan lagi aku bisa menemukan guru seunik Pak Hadi dalam mengajar. Aku dan teman-teman hanya disuruh membaca materi dalam buku paket Biologi, mendengarkan konflik ringan antara Pak Hadi dan Yoshi atau Erik, mencatat ulang materi yang dituliskan Erik di papan tulis, lalu ujiannya pun mudah. Boleh buka buku paket Biologi. Seharusnya dengan metode seperti itu, aku bisa sering mendapatkan nilai seratus di setiap ulangan Biologi. Kenyataannya tak seperti itu. Tak semudah itu. Walau tak ada hitung-hitungan seperti di Matematika, sejujurnya Biologi sulit dipelajari, khususnya jika menyangkut anatomi tubuh makhluk hidup. Aku saja butuh waktu sepuluh tahun lebih untuk lebih mengerti cara kerja pencernaan dan pernapasan manusia. Itu juga lewat komik. 

Eh, aku pernah bercerita mendapatkan nilai seratus di ulangan Matematika, kan. Ternyata bukan hanya Lausandi yang menjadi saksi matanya. Septeni dan Toni juga pernah melihat hasil ulangan Matematika aku yang entah berada di mana. Kata mereka berdua, aku memang mendapatkan nilai paling tinggi di ulangan Matematika tempo lalu. Sayangnya, karena ulah beberapa oknum, kertas ujian Matematika aku yang nilainya 100, itu hilang begitu saja. Apesnya lagi, Pak Nelson belum memasukkan nilai-nilainya ke dalam bukunya. Beberapa anak langsung disidang pada saat pelajaran Matematika. 

“Kamu ini bagaimana, Yoshi?” Pak Nelson berdecak-decak. “Harusnya jangan dibagikan waktu jam pulang. Dan, harusnya disimpan dulu. Ngapain dibagi-bagikan waktu jam pulang?”

“Ya, Pak, maaf.” Yoshi masih tertunduk. 

“Sekarang tidak ada di kamu kertas ujian anak-anak yang belum dibagikan?”

Yoshi menggeleng. “Sisanya saya taruh di atas meja guru, Pak. Besoknya, pas hari senin, eh, ilang, Pak. Eh, atau saya taruh di tangga, yah?"

Pak Nelson berdecak-decak sambil meng geleng-gelengkan kepala. “Aduh, bagaimana kamu ini? Tidak bisa jaga amanah saya.”

“Maaf, Pak.”

“Ada berapa orang yang tidak kebagian hasil ulangannya?"

Kurang lebih ada lima belas murid yang mengangkat tangan, dan itu termasuk aku. 

“Oh iya, yang sudah terima, masih kalian simpan, kan? Maaf, maaf, belum Bapak masukin ke buku nilai. Bisa tolong sebutkan nilai kalian?”

~ 31 Agustus 2002 ~

Satu persatu nama murid penghuni kelas 2-1 dipanggil oleh Pak Nelson, dan satu persatu menyebutkan nilai Matematika-nya. Hingga tiba giliran namaku dipanggil, dan terjadilah hal kurang menyenangkan. Anggi dan Mareta, aduh, mulutnya kok tak dijaga? Hei, hei, aku tidak seperti itu. Parahnya lagi, beberapa anak perempuan ikut-ikutan memojokkan aku. Lemahnya aku. Aku malah menangis di dalam kelas seperti anak TK saja. 

“Sudah, sudah, Nuel,” ujar Pak Nelson dengan nada bicara tegas. “Jangan nangis gitu. Malu, kamu sudah SMP. Dan, maksudnya Anggi dan Mareta itu juga baik. Jadi, berapa nilai Matematika kamu? Kata Lausandi, kamu dapet nilai 100. Yang Bapak inget juga gitu. Kamu yang paling tinggi di kelas ini.”

Aku tak menjawab dan tetap menangis sembari wajahku tertunduk ke bawah. 

“Kalau kamu masih nggak berhenti juga nangisnya, Bapak anggap nilai ulangan Matematika kamu itu nol. Dan, Yoshi, coba ambilkan buku kasusnya.”

Tangis aku berhenti sebentar, dan terhenyak. Ini apa-apaan sih, gerutuku dalam hati. Itu kan hanya masalah sepele dan terjadinya di jam Istirahat. Dasar ember, mulut Anggi dan Mareta ini, kesal aku dalam hati. 

“Bapak catet kamu melakukan pelanggaran. Mengata-ngatai nama ayah dan ibu teman-teman kamu, yang salah satunya Anggi dan Mareta.”

‘Yah, jangan, dong, Pak,’ protesku dalam hati. ‘Itu kan masalah sepele, dan di luar jam belajar.’

Tangisku makin menjadi-jadi. Suhandi yang duduk di samping aku, menepuk-nepuk punggung aku. Ujarnya yang coba menyemangati aku, “Sabar aja, Nuel. Udah, udah, jangan nangis.”

Septeni juga berusaha menyemangati. 

Kulihat secara samar-samar, tampaknya baik Anggi dan Mareta tak merasa sedikit pun. Makin kesal saja aku. Dan, ada satu cacat dalam sejarah aku sebagai alumni SMP aku kelak. Mungkin ke depannya, di beberapa tahun yang akan datang, catatan si Nuel yang hobi mengata-ngatai nama orangtua teman-temannya, termasuk nama ayah dan ibu Anggi dan Mareta, masih tercatat rapi di sekolah aku.  

Selain itu, aku harus pasrah ulangan Matematika aku tempo lalu diganjar nol. Hanya karena kecerobohan seorang teman. Sekarang dan entah sampai kapan, tak ada yang percaya aku pernah mendapatkan nilai seratus di ulangan Matematika. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya REKOMENDASI TEMPAT NGOPI SEKALIGUS NGABUBURIT, NIH!
1
0
Di Aming Coffee, dan tak jauh dari Starbucks, Summarecon Mall Serpong. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan