Deskripsi
Alexander Nitimanta Le Maire
Dokter baru saja menyampaikan kabar duka. Setelah perjalanan panjang kanker paru-paru di tubuh Opa kini tubuh nya terbaring tenang. Opa meninggal dunia. Satu satu anggota keluarga dihidupku sudah pergi. Saat ini aku sendiri. Sekarang aku harus memenuhi permintaan terakhir Opa untuk menaburkan abunya di Indonesia. Tepatnya di Kota Semarang. Membicarakan Indonesia selalu memunculkan rasa rindu dan bahagia bagi Opa. Masakan, suasana, orang- orang yang dikenal, romansa...
Tanya Jawab
Perempuan selalu menakjubkan. Bagaimana tidak mulutnya membicarakan banyak hal sembari matanya menonton televisi dan tangannya terus mengaduk di wajan penggorengan yang panas. Bahkan mereka masih dengan santai bisa memberi perintah ini dan itu. Siapa lagi perempuan tersebut kalau bukan Tante ku. Mari kita panggil “Tante K”.
Sudah sejak pukul 1 dini hari Tante berdiri di dapur dan bergulat dengan berbagai macam bahan. Saat ini tepat adzan subuh berkumandang dan akan dimulai perang yang sesungguhnya.
Tolong ini sutil jangan taruh sembarangan, api yang ada dikompor nomor 4 bisa dikecilkan sedikit, telur yang ada di teflon bisa dibalik, nasi kuning yang ada didandang sudah bisa dipindah ke baskom, beberapa masakan yang sudah matang taruh di meja dan siap untuk di display di etalase depan, dan masih banyak lagi perintahnya!
"Yaya sudah solat?"
“Sudah Te. Ada perintah apa?”
“Tolong lauk yang sudah jadi ini bisa langsung didisplay kedepan ya!”
“Siap Juragan."
Diluar masih sepi dan udaranya segar tapi tak berselang lama sembari menata lauk di etalase datang beberapa Ibu-Ibu membawa tepak makan berwarna warni. Ada yang menyapaku ada yang hanya mengangguk dan ada yang hanya menaruh tepak makan tersebut. Mereka tidak meninggalkan pesan apapun. Setelah semua masakan terpajang aku segera masuk.
“Te sudah ada 15 tepak makan lucu-lucu didepan. Orangnya naruh begitu aja.”
“Oh belum semua.”
“Berapa banyak biasanya? Tante hapal itu anak-anak sekolah maunya gimana?”
“Biasanya hampir 30 tepak dan lebih mudah ini hapalnya daripada sekolah dulu.”
Kalo urusan pesanan orang dan tagihan bayar membayar Tante K bukan orang sembarangan. Nangis dah kalau tau rincian pembayaran dan susunan menu serta rekomendasi yang tepat untuk pesanan acara-acara dibuat oleh seorang perempuan yang bahkan hanya lulus SD. Tidak berhenti hanya disini, Tante memiliki pegawai, jumlahnya ada 10. Bayangkan.! Semua pasti bertanya hanya usaha masakan biasa kok bisa punya pegawai sampai 10. Emang selaku apa? Itu yang selalu ditanya orang. Tapi namanya rezeki dan keuletan si empunya bisnis akhirnya malah jadi ladang penghasilan buat orang lain juga. Pagi ini aku menjadi salah satu pegawai Tante (untuk sementara).
“Mandi Ya!, jangan sampe nanti bantu Tante jualin orang masih penguk.”
“Lah tadi sebelum subuhan sudah mandi Te. Ampun dah emang aku sekuprus itu dan bau.?”
“Yowes kalau sudah. Wong Tante cuman mastiin.!”
"Ini namanya ngece Te. Jelas-jelas ponakan Tante ini kalo urusan mandi gak pernah skip. Masih aja kena roasting. Dikata aku Nana yang mandi kalo sudah kena amuk Mama."
“Ganti Kaos sana itu tadi sempet kena tumpahan kuah sup ayam yang dibawa Parti kan?"
“Iya ini ganti terus langsung kedepan.”
Cepat-cepat aku mengganti kaos dan memasukkannya ke keranjang baju kotor dibelakang. Sebelum kedepan aku lihat di lengkong sudah ada 4 orang membawa snack jualan yang akan dititipkan disini. Mitro selaku divisi snack sudah siap sedia. Jelas aku tidak bisa lepas dari titipan snack ini. Segera kukeluarkan beberapa lembar ribuan dari kantong untuk membeli jajan. Kenapa bisa begini.? salah satu pegawai Tante ini betul-betul orang yang jujur dan meniru ketaatan mencatat Tanteku. Semua yang masuk dan keluar tercatat sempurna. Dulu saat pertama kali datang Mitro tidak bisa baca tulis. Tapi dia bisa berhitung dengan baik. Saat tiba dirumah ini Mitro masih berumur 13 Tahun. Hanya sampe kelas 1 SMP dia sekolah dan memilih bekerja. Dia kata lebih enak kerja dan langsung pegang uang daripada sekolah butuh banyak uang yang dikeluarkan. Sekarang dia menjadi salah satu pegawai kepercayaan Tante.
Salah satu pembawa keranjang snack yang menggunakan helm hijau itu menggendong anaknya yang masih berusia sekitar 2 tahun. Ini masih pagi dan anaknya benar benar rapi mengikuti Ayahnya bekerja. Cukup menarik. Sekilas kulihat anaknya masih sambil memegang mainannya berupa action figure Kung Fu Panda. Lekas aku dekati.
“Pak snacknya apa hari ini?”
“Mbak pegawai baru ya. Saya baru lihat. Sama seperti biasa kok ini ada sosis solo."
“Iya nih, baru banget hari ini terjun lapangan pak."
“Semangat mbak kerja bareng Mas Mitro.”
Belum juga aku nimpalin jawaban ke bapak helm hijau, Mitro sudah berucap “Ini ponakannya yang punya Pak! Saya yang harus semangat kalo partnernya modelan begini. Kalau gesrek hitungan saya lebih serem ini daripada Ibuk."
Tawa dari pedagang snack lain membahana di lengkong. Bener - bener si Mitro. Mau nyamar malah diungkap.
“Tro kalo partnermu cantik begini ya tetep semangat," yo ndak Yu Jen ucap bapak berhelm hijau.
Seorang perempuan yang mengenakan jarik coklat kemeja putih dan bertubuh sintal menimpali “Iyo Tro mesem terus seharian kamu.”
Tiba-tiba dari arah belakang pedagang snack pria berucap. “Loh perempuan, saya kira tadi mas mas la wong rambutnya cepak tapi kok cantik cuman ada gantengnya juga.”
“Oalah…” begitu suara yang keluar dari pedagang perempuan berkaos merah sembari memperhatikan ku dengan seksama.
Lantas memecah keraguan semuanya Bapak berhelm hijau yang akhirnya diketahui bernama Pak Adi memberikan statement yang membuatku senang. “Dilihat dari manapun ini perempuan cantik. Mau dipotong rambut model apapun ya tetap cantik!”
"Hmmm ya begitulah Pak Buk." Mitro hanya memberikan jawaban datar.
“Kamu gak seneng banget kalo ada yang bilang aku cantik Tro! Aku cantik kan Tro?
“Ya gimana ya mbak. Saya kan tau keseharian Mbak Yaya jadi kalo saya komen macem macem takutnya kena banting lagi sama situ."
“Ya elah Tro kebanting sekali juga diungkit sampe udah berapa tahun ini.”
“Saya masih inget rasa sakitnya mba. Daripada ambil risiko mending saya menghindar."
“Cemen."
Langsung saja aku bertanya dengan Pak Adi. “Berapa lama jualan ini Pak? Bareng sama adik juga? Namanya siapa? Umurnya berapa? …
“Mbak nanya tu satu satu. Kebiasaan kok langsung diberondong padahal baru kenal.” Sekarang Pak Adi dan yang lain tau kan kenapa saya lebih semangat kerja sendiri."
“Wo nimbrung aja.” Sambil mengibaskan tangan ke arah Mitro.
“Hehe ya ndak papa Tro, namanya juga penasaran. Saya jualan sudah lama mbak cuman sekarang ya buat sendiri terus anter sendiri juga. Ini namanya Deni umurnya 18 bulan dan betul selalu ikut saya."
“Wes jan bocah pinter. Melu Pakne ra tau rewel. Malah ngawe happy terus.” Ucap Yu Jen.
Merasa dibicarakan bocah perempuan berusia 18 bulan itu menatapku dan kemudian merentangkan tangan mau ikut denganku. Langsung saja aku sambut dan berganti gendongan.
“Loh mbak nanti gak mau lepas malah ikut disini. Saya masih harus anter ketempat lain.”
“Tenang Pak Adi biar Deni ikut saya. Aman lah. Perlengkapannya mana Pak? Saya bawa sekalian atau malah gak usah. Saya ada baju anak anak juga kok.”
“Aduh repot mbak nanti. Saya juga enggak tenang.”
“Saya suka direpotin dan saya yakin Bapak lebih tenang kalau tau Deni disini.” Lagian gak bakal hilang kok. Kalau hilang jelas nanti Bapak tau harus pergi kemana juga. Sudah mana pak perlengkapan Deni.?"
Pak Adi masih berpikir ketika Yu Jen dan Bu Menik bilang “ Wes gak popo Pak. Aman, jaminane Mitro iki. Deni lo sekali sekali ora melu panas panasan kalih njenengan."
“Betul Itu.” Suara dari arah belakang."
"Ya sudah kalo begitu. Saya nitip Deni njih Mbak. Ini Tro 35 biji buat hari ini. Lombok dan tas Kresek sudah ada didalam. Den Bapak antar dagangan dulu kamu disini ya. Jangan nakal."
Dengan begitu Pak Adi pamit dan secara bergantian pedagang lain meninggalkan dagangan serta akan kembali siang nanti jam 12. Sembari membantu Mitro menghitung dagangan dan menaruhnya pada wadah sebelum dibawa kedepan aku bertanya?
“Tro itu single atau gimana?"
“Ditinggal Mbak. Lebih milih yang lain daripada hidup begini. Hebat lo mbak. sejak awal yang urus semua Si Bapak. Sedang si Ibuk ndak pegang sama sekali."
“Ntar aku tanya kamu lagi. Sekarang aku harus bawa ini kedepan dan ajak Deni.”
“Deni disini sama aku juga oke. Lagian didepan Mbak Yaya mau bantu Ibuk jualan kan. Ati-ati pagi ini bakal rame apalagi Bu Mira baru balik dari rumah mantunya.”
“Emang dia masih nyinyir.?”
“Saya lebih khawatir kalo Deni denger mbak Yaya misuh apalagi berantem sama Ibuk-Ibuk. Makannya Deni biar disini aja. Bentar lagi Tinah juga datang aman lah semua."
“Dasar orang kok doanya gak baik. Mikirnya tu semua aman tentram. Malah bayangin aku ribut.” Aku berjalan sembari Mitro dan Deni mengikuti ku kedepan membawa snack titipan tadi.
Sekarang pukul 06.00 WIB dan antrian pembeli sudah mengular. Tepak berwarna warni itu sudah terbuka tutupnya dan bersiap diisi nasi kuning oleh Tante. Jumlah awal tepak yang kuterima kini sudah bertambah dan sesuai info Tante yaitu tiga puluh. Bayangkan selezat apa masakan Tante hingga anak - anak TK sudah menjadikan makanan ini sebagai patokan bekal sekolah. Sekian banyak tepak yang sudah ada di sini hanya 3 tepak yang menginginkan topping lengkap (Nasi Kuning, ayam goreng, kering tempe, telur dadar iris, potongan timun, selada, sambal [yang jarang dimakan tapi tetap diberi], bihun,kerupuk udang). Selebihnya sesuai permintaan yang bagiku harus diingat dengan seksama. Apabila tidak sesuai orderan maka bocil - bocil itu akan ngereog. Bahkan bocil - bocil itu sudah bisa mengetahui jika nasi yang diisi pada tepaknya bukan "Nasi Kuning L" semisal warung Tante libur.
Setelah tepak terisi dan sudah tersusun rapi satu persatu pemiliknya datang mengambil dan membayar. Tante sudah memiliki pegawai yang berada di kasir. Sehingga tugasku saat ini tepat berada disamping Tante untuk membantu mengemas pesanan orang sesuai permintaannya. Hingga pukul 07.00 WIB datanglah rombongan Primadona Nyinyir.
“Loh Mbak Yaya sudah pulang dari Sumba." Ucap Bu Mirna yang saat ini mengenakan Daster berwarna Kuning dan terihat sudah mandi saat meninggalkan rumah.
Bahkan keberadaanku dimana mereka juga tahu. Apa mereka pernah bekerja di BIN.?
“Kok rambutnya makin pendek aja sih. Panjangin lah! Kayak anak cowok. Sudah saatnya menjadi cewek seutuhnya. Nanti enggak ada lo yang mau deketin” Siapa lagi kalau bukan Bu Maya yang menucapkan racun dipagi hari. Mungkin setiap malam dia mendapat instruksi untuk meminum bisa ular nah pagi harinya harus disemburkan.
"Makin gelap ya kulitnya Mb yaya. Emang selama di Sumba gak pernah pake pelindung. Kulitnya dijaga dong masak anak gadis jadi dekil. Mamamu lo usia sudah hampir kepala enam masih kayak Gadis dan kulitnya terjaga. Bagusan yang dulu kulitnya.! Ini Ibu Marto janda yang masih eksis mengikuti senam sana sini agar mendapat suami baru yang bisa memenuhi kehidupan mewahnya. Memang sih peninggalan almarhum suaminya belum habis. tapi kalau bisa dapat suami kaya lagi kenapa tidak.
“Sudah enggak ada kerjaan ya makannya balik ke Semarang.?” Bu Mira biar sedikit pertanyaannya tapi merendahkan banget. Sejak aku lulus kuliah secara tak sengaja aku mendengar kalau dia selalu bertanya kepada siapa saja yang dia kenal mengenai pekerjaan apa yang aku tekuni. Iri memang tak bisa dihindari.
Satu lagi punchline yang kutunggu. “Gimana disana sudah ketemu belum sama yang bisa diajak duduk dipelaminan? Bawalah calon untuk Mama Papamu.! Ucap Bu Manto sambil tertawa dan diiyakan oleh tiga ibu lainnya.
Aku pikir mereka memang datang untuk interogasi karena tidak bisa setiap saat bertemu denganku. Tak urung orang lain yang masih mengantri nasi ikut memperhatikan dan seperti mendapat tontonan gratis. Pasti setelah ini berita akan segera tersebar. Yang kutakutkan adalah ibu - ibu ini melakukannya sembari live di Tik Tok. Nyatanya mereka bahkan tak mengetahui cara membalas WA melalui VN.
Akhirnya tiba kesempatanku menjawab setelah terlalu banyak tersenyum.
“Wah buk ibuk ini kok tau banget saya di Sumba. Iya nih saking gerahnya hampir aja kepikir buat di pangkas lagi. Lagian gelap enggak gelap yang penting saya sehat dan cantik. Pekerjaan aman, karena makin banyak pekerjaannya saya harus Balik ke Semarang Bu Mira. Kalau soal duduk di pelaminan bisa diatur memang. Apa ada calon laki - laki yang mau dikenalkan ke saya atau Bu Manto mau saya jadi mantu masih ada Mas Bari kan ya di rumah." Kujawab saja dengan santai.
Pagi yang seharusnya menyenangkan menjadi tegang. Setelah kalimat terakhirku hampir saja serangan baru didaratkan. Kenapa tidak. Semua tetangga sudah mengetahui bahwa Mas Bari adalah anak lelaki Bu Manto yang ditinggal istrinya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri dan anak hasil perselingkuhan tersebut diberikan ke Mas Bari untuk dirawat. Alih-alih menolak Mas Bari tetap menerima anak tersebut. Sayang eyangnya a.k.a Bu Manto tidak mau mengenalnya dan merasa jijik kepada bocah tak berdosa tersebut. Usut punya usut sang mantan Menantu merasa marah dengan perlakuan mertuanya hingga berbuat seperti itu. Sekarang bisa dikatakan Mas Bari adalah duda idaman. Jangan khawatir selanjutnya akan kuceritakan tentang Mas Bari. Tapi saat ini kita hadapi dulu Club Nyinyir ini!
Bergerak cepat Tante mengambil alih suasana. “Mau bungkus apa nih bu.? Hari ini saya masak oseng jantung pisang dan ada lodeh rebung. Lauknya ada pepes ikan kakap daun kemangi lo.
“Jarang-jarang lo ada itu, saya mau bungkus deh." Bu Maya
"Samakan saja Bu, tambah juga nasi uduk seporsi tanpa lauk. Ini permintaan Bu Marto.
Sedang Bu Mira dan Bu Manto hanya membeli pepes saja masing masing empat bungkus. Sembari meladeni yang lain lain ternyata tidak berhenti Ibuk - Ibuk ini beraksi. Sudah dapat satu mangsa yaitu aku masih saja mencari yang lain. Ternyata mereka menunggu Mbak Kalya.
Mbak Kalya ini wanita muda korban pemerkosaan saat pulang malam setelah bekerja. Dia ini guru les privat. Pintar, cantik, muda, dan sopan. Sayang seribu sayang, saat pulang mengajar dia dikepung segerombolan lelaki mabuk dan digilir. Pada akhirnya dia hamil. Awalnya dia depresi dan berusaha bunuh diri hingga akhirnya mamaku mendampingi untuk menguatkan mentalnya dan dia menerima untuk melahirkan bayi tersebut. Sekarang bayi tersebut sudah sekolah hingga SD kelas empat. Parasnya persis seperti Ibunya, tidak ada sedikit pun kemiripannya dengan lelaki yang sudah membuatnya hamil. Yang paling pernting anaknya pintar.
“Itu dia cewek yang gak punya suami, hamil, dan melahirkan”
“Gimana itu nasib anaknya? Makin gede apa ya enggak malu?”
“Sudahlah sekarang dekat dengan laki-laki. Kenapa enggak segera nikah.”
“Iya tiap sore dianter pulang dan kesana kesini berdua eh malah bertiga seperti sudah berkeluarga."
Mendengar empat orang itu bergunjing langsung saja aku menyahut. “Begini nih kalau tiap hari tontonannya berita gosip. Nyinyir gak ketulungan. Lagian salahnya Mbak Kalya apa sampe Ibuk - Ibuk obrolin.?"
“Eh Yaya kamu gak tau aja si Kalya ini sok polos aslinya mah engga. Keluarganya aja ruwet pantas aja kalo dia begitu. Bu Manto berucap.
Sasaran empuk bagiku. Memang seharusnya kena balas ini Ibuk!
Mbak Kalya semakin dekat dan tiba sembari tersenyum kearahku dan Tante K. “Loh Ya sudah balik to kamu. Wah bakal rame ini."
"Sudah dari kemarin. Mau bungkus apa nih.? Oh ya sehat kan Mbak trus Nara gimana kabarnya.?
“Sehat Alhamdulillah. Nara juga ini. Aku mau pepes aja Ya. Kemarin ketemu Tante dan info masak itu. 2 aja cukup.”
“Siap segera dibungkuskan. Nanti sore tak jemput Mbak, ikut aku mau gak sama Nara sekalian?"
“Bisa Ya. Mumpung aku ada info baru.”
“Oke siap deh kalo begitu.”
Ditengah Obrolanku Bu Manto menyela “Loh kalau sore nanti pergi trus mas mas yang biasanya dateng kena anggur. Bukannya itu klienmu ya. Apa enggak rugi itu.?"
"Itu namanya Mas Arya, teman saya mengajar kebetulan dia ahli bahasa isyarat, karena rumahnya searah ya sudah sekalian bareng. Lagi pula beliau tuna rungu jadi sembari saya bantu dan arahkan."
Kenapa bisa Mbak Kalya masih sabar dan sopan menjawab. Rasanya aku sudah mau menyela sedari tadi tapi harus kutunggu momen yang pas untuk mengulti orang - orang macam ini.
“Loh temenan kok sama orang cacat. Mau kemana arahnya. Pantas saja hidupmu masih disini sini saja.”
Ini momennya. “Wah ternyata disini juga ada yang cacat." Sembari mengucap aku mengemas pesanan dari orang - orang yang masih dalam antrian. "Lagi pula kalau bisa berbuat baik kenapa enggak sih Bu. Malah menurut saya Bu Manto yang cacat pikir. Pantas saja kok enggak bisa sinkron dengan sikon."
Tante mengkode ku untuk menyudahi jawabanku. Sayang aku tidak mau mundur. Harus kuladeni orang tua model begini.
“Maksudmu apa Ya. Jelas-jelas berteman itu harus pilih - pilih.!"
“Kalau saya ogah punya temen model Bu Manto.” Cukup tau aja. Gak banyak faedahnya yang ada kena damprat terus. Pantas aja ditinggal sama Mantunya. La wong mertuanya model mercon begini. Meledak setiap saat yang bikin luka sana sini." Aku berkata itu sembari langsung menatap ke mata Bu Manto. Tak perlu waktu lama beliau langsung berkemas dan membayar belanjaan. Masih ada 3 lawan lagi.
“Kamu itu tidak sopan Yaya!”
“Baru juga pulang sudah seperti ini. Lagian yang dikatakan tadi memang benar. Memang kamu mau punya teman yang tidak berguna?”
“Jangan sampe kamu seperti itu lo Ya!”
Masih belum mundur juga ini Ibu - Ibu. “Sopan itu berperilaku benar secara sosisal serta tidak kasar terhadap orang lain. Nah disini saya mau menghindari kekasaran yang nyata. Sedang Ibuk - Ibuk disini sudah berumur dan bahkan sekolah puluhan tahun lalu tapi belum juga paham budi bahasan dan kelakuan yang baik. Sayang sekali dulu gurunya dapat murid model begini. Kalau saya selama bisa dapat teman dan itu berpengaruh positif untuk keduanya lanjut terus. Namanya temenan itu selalu ada plus minusnya. La wong panjenengan berpasangan ya ndelalah suami suaminya dapat istri yang konslet begini. Nyatanya tetap diterima kan. Oh ya buat yang sudah kasih saya wejangan kesopanan pagi ini terima kasih lo.”
Baru saja jawabanku berhenti eh Eyang Budi datang sambil membawa tepak. Kalau saja sesepuh ini tidak datang bisa kulibas habis tiga perempuan didepanku. Sebagai info Eyang ini pensiunan istri tentara. Betul yang menjalani perang suaminya tapi beliau lebih sadis. Bayangkan diusianya yang sudah kepala 8 beliau masih kuat berjalan jauh, sepedaan, serta berenang. Oh ya jangan lupakan beladirinya.
“Lo kok rame. Wes podo tuku kabeh iki?" Eyang betanya sambil memperhatikan kita semua.
“Sampun Eyang.”
“La nek wes bar tuku kenopo rak do balik? Kowe ora gawe geger ning kene to?” ini tepatnya ditanyakan ke tiga ibuk-ibuk tadi.
“Mboten Eyang. Niki nenggo sekul tasih disiapaken kalih Yaya.”
“Lelet men kowe Ya.! Ora biasane lo.”
“Gimana engga lelet Eyang, kalau musti jawab dulu pertanyaan pertanyaan absurd dari Buk - Ibuk ini.”
“La ngopo tanya jawab iki warung dudu panggonan les. Ora mbok jawab yo rapopo kok. Wes durung anggenmu madahi. Ben ndang digowo balik."
“Iya ini sudah lo Eyang.” Langsung saja pesanan kuserahkan ke Trio Kwek - Kwek. Selesai membayar mereka segera bubar. Kupikir mereka juga tidak nyaman harus beradu mulut dengan Eyang. Dijamin kalah.
“Wes ndak usah didengerin yang tadi. Kowe kowe ki kudu ngerti sejatine umur rak ono sing ngerti. Dadi nek isih nduwe umur kudu agawe apik. Kowe yo La, sedilit meneh ngadepi Nara sing wes meh mlebu umur sewelas (Nduwe roso welas). Piye Piye Nara kuwi ayu dadi kudu siap nek deknen nduwe roso kalo bocah lanang utowo akeh sing nyenengi."
Kowe barang Tro, saiki wes selikur (Seneng linggih kursi) saiki wes nduwe gawean lungguh mu yo kepenak. Kudu seneng lan tanggung jawab. Tinah kae yo wes selawe (seneng senenge lanang lan wedok) wayahe pas kanggo omah-omah. Iki si K sing nduwe usaha saiki wes seket (seneng ketunan) kudu luwih nyedak marang Gusti Allah. La karoanne aku puncul sewidak (sejatining wis wayahe tindak) kudu bener bener nrimo karo pasrah. Kudu tetep syukur mergo wes dikei puncul nganti akeh ngene."
"Petuah pagi ini" Celetukku.
Tiba-Tiba Papa datang dan langsung bertanya pada Tante dimana Om ku saat ini. Langsung saja dijawab dan segera masuk kedalam rumah Papa. Sembari menangani pelanggan aku sangat penasaran apa yang sebenernya membuat papa sampai kesini dipagi hari. Untung Tinah peka dan segera menggantikan posisiku. Setelah masuk kedalam rumah kudengar Papa dan Om terlibat obrolan serius. Samar samar aku mendengar bahwa ada yang meninggal. Siapa tapi?
Tak berselang lama Papa dan Om keluar. Segera Tante bertanya dan dijawab oleh Om secara lirih tepat didekat telinga Tante.
“Sebenernya ada apa? Kok bisik - bisik."
“Ya, pagi ini Papa baru dapat kabar duka. Opa R meninggal. Nanti siap siap ya satu atau dua bulan lagi kita kedatangan tamu. Nanti kamu yang bakal handle semuanya buat Tamu."
“Lah kenapa jadi Yaya yang siap-siap bukannya yang punya rumah Eyang. Papa anaknya disini kan sedang Yaya itu cucu.”
“Karena kamu cucu, masih masih muda dan waras makannnya dapat tugas ini dari Eyang.”
Ekspresi wajahku sudah tidak terkontrol. Sebenarnya siapa orang yang meninggal ini? Setelah ini akan kutanyakan dengan detail kepada Eyang. Tugas negara apa lagi yang aku dapat. Haduh.
“Loh sopo sing sedo (siksane wis ba'do)?” Tanya Eyang Budi kepada Papa dari depan pintu.
“Opa J niki Eyang. Sampun tuntas tugas ipun.”
“Ya Allah Gusti. Yowes nek ngono aku tak bali trus mengko ketemu karo ibumu ya."
Mitro mendeketaiku. “Emang siapa mbak yang mau datang.? Barusan Tante info aku bakal bantu Mbak Yaya juga ini.”
“Habis ini aku bakal tau jawabannya.”
“Tak tunggu Mbak. Kita harus jadi partner kerja yang baik.”
Aku tidak menjawab Mitro dan hanya melihatnya sekilas kemudian pamit untuk bertemu dengan Eyang sembari menggandeng Mbak Kalya pergi.
Sejatinya “Fungsi manusia itu untuk hidup, bukan untuk ada.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰