
- Bab 1 & 2 dapat diakses secara gratis, sedangkan bab 3 sampai tamat berbayar.
- Pembelian kakoin di KaryaKarsa lebih hemat menggunakan web (bukan aplikasi ya), atau transaksi tanpa koin bisa menggunakan e-wallet (ovo, dana, shopeepay, dkk) juga melalui web.
- Genre cerita pure romens, tapi ada sedikit sensasi gerinjulan seperti naik odong-odong di jalan bolong. Detailnya bisa dicek melalui blurb :")
- Saat ini belum ada jadwal upload tetap, tapi akan diusahakan upload dengan jeda yang tidak terlalu jauh...
Now Playing :
(Aruna - Muak)
*
*
*
"MBAK AYANG! Akhirnya dirimu datang, ayok Mbak duduk sini, aku nggak sabar mau operan."
Senyumku kandas di balik masker saat Arimbi dengan wajah ceria melambaikan tangan. Belum apa-apa hawa kelam dari perjuanganku sepuluh jam ke depan dinas di IGD sudah terasa. Rasanya ingin putar balik dan rebahan di kamar saja.
"Salaman dulu sih, Mbi. Minal aidzin wal faidzin, maaf ya aku banyak salah selama kerja maupun di luar jam kerja."
"Minal aidzin wal faidizin juga Mbakku sayang. Mohon maaf lahir batin kalau Ari suka repotin Mbak Ayang. Ih, seneng deh hari ini aku cuman dapet pas—"
"Ssssst!" tanganku refleks mencubit seragam yang kuyakin mengenai kulit Arimbi. "Jangan bilang apa-apa, aku belum ada setengah jam loh jaga."
"Hehehe, maaf Mbak. Saking senengnya siftku udah selesai hampir kebablasan."
"Nggak ada case aneh-aneh, kan? Ruangan bangsal aman?"
Arimbi mengangguk antusias, sembari mendengar penjelasannya mengoper tugas yang akan dikerjakan saat dinas malam, aku memantau layar komputer dan menatap jumlah bed IGD yang kosong. Alhamdulillah, pasien-pasien sift sore sudah dimutasi, begitu pun ketersediaan ruangan yang membuatku bernapas lega karena tersisa banyak.
Cukup untuk pasien malam yang nggak bisa ditebak, apalagi hari pertama lebaran. Biasanya rawan pasien kecelakaan lalu lintas atau mengeluh sakit perut hingga diare karena terlalu banyak mengonsumsi santan.
"Paling ini sih, Mbak, follow up perawat bangsal karena tadi ada pasien mau pindah kelas. Aku udah suruh keluarga ke frontliner tapi belum ke sini juga."
"Oke. Berarti yang di grup udah clear ya? Tinggal operan kemarin yang banyak data bermasalah. Paling besok baru bisa dieksekusi, tapi aku nggak yakin juga karena masih cuti."
Arimbi si paling ceria mengangguk. "Yuhuuuu, Mbak. Pokoknya aku wariskan tugas-tugas ini padamu. Silakan duduk di kursi kebesaran, bismillah Mbak Ayang semangat! Aku mau finger dulu dan cus pulang."
"Hati-hati bawa motornya, Mbi. Jalanan rame banget."
"Aman Mbak! Makasih ya."
Selepas kepergian Arimbi suasana IGD menjadi hampa. Jujur, aku sangat memilih padanan kata yang pas karena takut mengucap kata keramat yang jelas-jelas terlarang. Ditambah eksistensiku yang satu unit kompak menyebut wangi, entah ada magnet apa menempel dalam tubuhku, tapi dari yang sudah-sudah setiap dinas di IGD pasti berakhir rungkad.
Banyak yang mengatakan aku adalah pembawa berkah. Tapi bagiku malah menjadi beban karena menghadapi pasien dengan beragam masalah sungguh menyentil mental dan kewarasan. Meski bukan tenaga kesehatan, pekerjaanku di rumah sakit bisa dibilang rumit. Saking rumitnya aku bercita-cita risen dalam waktu dekat.
Tapi sadar mencari pekerjaan yang sesuai sangatlah sulit, apalagi pernah menjadi korban pandemi Covid-19 yang terkena layoff dari kantor sebelumnya. Nggak cuma satu bulan, namun hampir dua tahun aku menganggur tanpa sepeser pun pemasukkan. Lowongan pekerjaan sebagai customer service atau petugas admisi tanpa pikir panjang aku ambil meski banyak tersangkut cobaan.
Nggak cuma tugas yang harus diselesaikan di lapangan, namun tuntutan dan punishment yang dibebankan cukup membuatku yang miskin menjadi gelandangan. Memang pekerjaan yang menyangkut jaminan pembayaran pasien sudah menjadi tanggung jawab kami bila ada kesalahan. Dengan gaji yang nggak seberapa, dengan jadwal yang nggak kenal kata libur, kemungkinan nombok billingan pasien lebih sering terjadi daripada panen lemburan atau jasa pelayanan.
Aku lupa sudah menghabiskan berapa rupiah untuk menebus kesalahanku. Bahkan mungkin lebih besar dari gajiku yang hanya UMK di kota kecil ini. Belum atasan yang kejamnya melebihi ibu tiri, bisa tidur pulas tanpa diteror telepon atau rapat evaluasi dadakan saja sebuah hal mewah yang jarang terjadi.
Nggak heran kalau aku ditumbalkan jaga di malam pertama lebaran. Meski mendapat lemburan, dari melangkahkan kaki keluar gerbang rumah saja, aku sudah dzikiran dan berdoa agar semua orang di muka bumi, khususnya di sekitar rumah sakit diberikan kesehatan.
Karena demi Tuhan, aku paling benci jaga malam. Ada trauma mendalam yang kalau boleh rikues aku ingin segera pulang.
"Mbak Rindu serius banget, nggak mau maaf-maafan sama saya?"
"E-eh, Dokter," haduh ... kalau begini sih aku tarik keluhanku barusan. "Mohon maaf lahir batin, Dok. Maafkan saya yang setiap jaga sama dokter nggak pernah baik-baik aja. Ada aja masalahnya. Maaf juga saya sering repotin dokter nanya-nanya diagnosa."
Beliau adalah dr. Sekala Ruby Prasoedjo, S.Ked, salah satu dokter umum yang masyaallah tersertifikasi spek dewa. Karena selain tampan, beliau yang pintar dan baik hati ini masihlah jomblo. Bahkan usia kami hanya terpaut satu tahun. Nggak ya, bukan berarti aku berniat daftar menjadi calon istrinya. Aku cukup tahu diri karena pasti selera dr. Sekala bukan perempuan madesu sepertiku.
Jangan halu deh, Layang Rindu. Tolong sadar akan posisimu!
"Haha, saya juga minta maaf ya, Mbak. Kadang saya membudeg-kan diri karena hectic di tengah tindakan dan konsul. Tapi mulai malam ini kita satu sama, dimulai lagi dari 0. Semangat Mbak Rindu, walau orang lain libur, kita harus tetap jaga dan mengemban tugas menyelamatkan dunia!"
"Semangat Dokter!"
Dasar payah, disemangati begitu saja aku nggak bisa berhenti senyum. Untung tertutupi masker, kalau nggak pasti habis diledek yang kebetulannya malam ini jaga dengan 2 perawat laki-laki dan 1 bidan VK. Singkatnya, hanya aku sendirian yang perempuan di IGD mengingat Mbak bidan sedang memantau pasien partus lebih sering stay di ruangannya.
Dan karena hari lebaran banyak dokter spesialis yang cuti, harapannya malam ini nggak begitu mengundang pasien. Meski aku tahu, harapan ini nggak mungkin digubris begitu pintu IGD terbuka menampilkan security bersama wanita dewasa yang menggendong bayi. Oh benar juga, salah satu DSA masih ada yang praktek dan menerima rawat inap. Mungkin pasienku malam ini isinya anak-anak.
"Rin, kayaknya mau rawat jalan. Si ibu bilang minta obat aja."
"Oke, tak input dulu, Mas." Wanita dewasa itu sudah duduk di hadapanku. "Selamat malam Ibu, adeknya ada identitas tidak nggih? Atau sudah pernah berobat ke sini sebelumnya?"
"Belum pernah, Mbak, ini pertama kali. Kalau KIA gimana? Kartu Keluarganya ada di rumah."
Aku mengangguk ramah. "Nggak apa-apa. Boleh saya pinjam untuk melengkapi data adeknya, Bu? Terima kasih."
Memang sebenci apa pun pada pekerjaan, aku nggak bisa berbohong sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Terutama di rumah sakit yang mayoritas pasien maupun penunggu pasien datang dalam kondisi panik kebingungan. Meski hal itu membuatku ikutan bingung, percayalah selalu ada cara untuk menyelesaikannya.
Di tengah isu yang memperdebatkan petugas rumah sakit jutek dan judes, aku yang terjun langsung di lapangan nggak bisa menyalahkan ketidaktahuan mereka atau semudah itu mengiyakan. Pekerjaan yang terlihat mudah sebenarnya harus melibatkan kesabaran ekstra. Bekerja di pelayanan kesehatan memosisikan petugas untuk memprioritaskan pasien. Sehingga mengalah dan meminta maaf jauh lebih menyelesaikan daripada harus menghadapi dengan amarah.
Meski kenyataannya ada yang memiliki kesabaran setipis tisu dibagi tujuh, bagiku upaya melawan akan menyulitkanku ke depannya. Bukan ingin dianggap sok keren, aku cuma nggak mau pekerjaan yang melelahkan ini semakin menguras tenaga. Sehingga lebih baik bersikap seperlunya dengan fokus meminimalisir kesalahan.
Prinsipku; berangkat - kerja - pulang - gajian.
Meski sering aku menangis termehek-mehek saking lelahnya. Karena bekerja di rumah sakit nggak semudah itu, nggak semua orang berbakat dalam hal itu. Salah satunya aku.
"Terima kasih banyak, Mbak. Saya pamit dulu ... mari Dok, Mas."
"Hati-hati di jalan, Bu. Sehat-sehat nggih."
Kadang sesederhana mendengar kata terima kasih bisa meringankan kecemasan. Meski peranku nggak berpengaruh besar, dengan memastikan pasien fokus pada penyembuhan dan membantu wali menyelesaikan prosedur administrasi adalah tugas yang cukup membantu.
Hal ini yang membuatku nggak ada waktu untuk menengok status asmara yang mengenaskan. Aku nggak diizinkan mengalihkan pandangan selain fokus pada pekerjaan. Kadang aku iri pada karyawan lain yang dalam setahun masa kerja sudah berganti pasangan, sedangkan aku yang begini-begini saja semakin jalan di tempat.
Sembilan tahun sendiri, aku sudah lupa bagaimana rasanya dicintai dan mencintai. Bahkan memiliki ketertarikan pada lawan jenis menjadi hal paling nggak memungkinkan di usiaku saat ini. Seringkali aku mempertanyakan; apakah aku betul-betul membutuhkan pasangan sedangkan kenyataannya aku nggak bisa membahagiakan diri sendiri?
Kata Ibu, jika ingin membahagiakan orang bukankah harus dimulai diri kita dulu? Sedangkan dalam konsep bahagia, orang sepertiku memilih alternatif memusuhi diri dan pikiran negatifnya. Perkataan Bayu siang tadi membuatku kepikiran, mulai goyah pada kalimat yang aku lontarkan jika ikhlas nggak menikah. Apakah suatu hari nanti saat aku menjadi perawan tua rasa bahagia itu akan selalu ada?
Tapi menikah pun bukan hal sederhana. Nggak semudah membeli sayur di pasar, memilih mana yang segar lalu pergi membayar. Transaksi dalam pernikahan bukan mengenai untung rugi, melainkan sehidup semati. Bahagia susah bersama. Suka duka bersama.
"Mbak Rin, saya ikut ngeprint hasil lab punya pasien boleh ya?"
"Boleh, Dok. Biar saya bantu."
"Sip. Sudah saya kirim ke WA pendaftaran."
Bertepatan dengan masuknya file yang dikirim via WhatsApp, terdengar bunyi aneh dari mesin printer yang membuatku panik. Konon, masalah teknis selalu menyumbang stres tertinggi karena aku si manusia gaptek mustahil bisa membenahi.
Benar saja, pesan dari Arimbi dikirim dua puluh menit lalu memberitahu ada masalah dengan printer, tanpa pikir panjang aku mengirim pesan di grup IT & CS. Apalagi kalau bukan meminta pertolongan, meski aku yakin nggak akan ada yang datang ke rumah sakit di jam semalam ini. Apalagi hari pertama lebaran.
Tiga menit berlalu, chat sudah centang dua, nggak ada satu pun yang nimbrung di grup. Kecuali nomor yang belum aku save muncul di pop up notifikasi.
+62 812xxxxxx07
Printernya masih error, Mbak?
Me
Masih, Mas.
Ini saya nggak paham gimana betulinnya, udah dicek nggak ada barang nyangkut. Tapi kertasnya gak mau keluar
+62 812xxxxxx07
Oke, otw
Kurang dari sepuluh menit, Mas-mas IT yang menghubungiku tiba dengan pakaian super santai. Kaus hitam dibalut celana jeans pendek membuatku merasa asing seperti belum pernah melihatnya.
"Wah, Mas Bro, mohon maaf lahir batin Mas. Ujarku njenengan mudik Semarang?"
"Nggak, Mas Restu. Kebetulan orang tua yang mudik ke sini, jadinya lebaran di sini."
"Oalah, Eyang orang sini sih ya. Oke deh, kalau begitu saya izin bertugas dulu."
"Oh iya, ini saya bawa makanan dari rumah. Mama masak banyak katanya pengin bagi-bagi sama temen yang dines malam. Maaf ya ala kadarnya, tadi buru-buru ke sini."
"Mas Sabiru tahu saja saya lagi laper, hampir mau DO nih chatnya mau saya enter."
"Nggak perlu DO, Dok. Warungnya juga banyak yang tutup. Mending makan masakan Mama saya aja. Dijamin ketagihan."
"Alhamdulillah, makasih banyak ya! Mungkin ini yang dinamakan rezeki wong sholeh di day one lebaran. Titip salam buat Mamanya Mas Sabiru. Sehat-sehat selalu."
"Aamiin, aamiin. Semoga dinas malamnya lancar sampai besok ya, Dok."
Aku baru ingat ada IT bernama Sabiru di rumah sakit ini. Saking kurang update menghapal nama karyawan apalagi bukan unit yang bersinggungan. Sebab setiap aku jaga bukan Mas-mas ini perwakilan IT yang sering membantu ke lapangan. Mungkin karena bulan ini aku sedang sibuk-sibuknya digempur penumpukan pasien. Seringkali gagal fokus pada siapa yang memanggil atau mengajak bicara.
"Masih belum bisa ya, Mbak? Sewaktu ngeprint muncul suara aneh nggak?"
"Iya, Mas. Sempet ada suara saya langsung pencet tombol off. Nggak otak-atik apa-apa lagi, takut salah."
"Oke, saya cek dulu ya."
Entah cuma perasaanku atau bagaimana tapi di tengah malam yang dingin tercium parfum darinya. Apa laki-laki memang selalu seharum ini ya? Seingatku Ardilan hanya berdandan saat jalan dengan Sabina. Mengingat jam menunjuk pukul 23.40 dan Sabiru datang ke rumah sakit tanpa mengenakan jaket. Aku juga yakin dia membawa motor karena kuncinya ada di meja kerjaku.
Aku yang kepo hanya memerhatikan seksama, hitung-hitung mengantisipasi jaga malam selanjutnya agar bisa menyelesaikan setiap permasalahan sendiri. Meski sangsi karena hal begini sungguhan rumit. Sudah cukup pekerjaanku yang rumit, jangan ditambah beban lainnya lagi.
"Maaf Mbak, boleh saya pinjam komputernya sebentar?"
"Boleh, Mas. Boleh banget," aku bangkit mempersilakan untuk duduk namun ditahan olehnya.
"Mbak Rindu sambil duduk aja nggak apa-apa. Saya nggak lama kok."
Cukup mengejutkan telapak tangan Sabiru yang besar terasa dingin, aku juga bisa merasakan napas hangat di atas kuping. Padahal dia menggunakan masker, saking dekatnya jarak kami, aku juga bisa mendengar gumaman nada yang entah apa judul lagunya. Untung nggak ada pasien, saking fokus pada bunyi klik kursor, aku terkejut ketika kertas berhasil keluar.
"Sudah bisa ya. Ternyata ada kabel yang longgar, tapi sudah saya betulkan. Sekarang bisa Mbak Rindu pakai untuk print dan fotokopi lagi."
"Makasih banyak, Mas. Maaf udah ngerepotin sampe dateng ke rumah sakit malem-malem gini."
"Hehe, nggak apa-apa. Deket kok tempat tinggal saya. Kasian kalau printer error kerjaan Mbak Rindu terhambat."
Sebenernya bisa pakai printer di bagian rawat jalan, namun tempatnya sepi dan harus melewati lorong panjang yang sunyi, aku nggak berani.
"Iya, Mas. Oh iya, minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir batin."
Laki-laki itu mengangguk, ajaibnya aku bisa menemukan sudut mata Sabiru menyipit tanda tersenyum di balik masker. Dilihat seksama, rupanya laki-laki ini dulu sesekali seliweran di sekitarku, namun dengan gaya berbeda, mungkin sebelum potong rambut. Pantas aku nggak begitu mengenalinya.
"Mohon maaf lahir batin juga, Mbak. Oh iya, ini saya ada cemilan buat nemenin dines malam. Semoga Mbak Rindu suka. Semangat!"
"Ini ... serius buat saya?"
Kresek putih berisi tupperware yang entah apa isinya ditaruh di meja.
"Iya, buat Mbak Rindu. Yang lain juga dapat kok satu-satu. Nanti dibukanya kalau Mbak lagi senggang. Saya pulang dulu ya. Kalau ada apa-apa tinggal japri saja. Insyaallah saya fast respons."
"Makasih loh, Mas Sabiru. Sudah saya repotin malah dikasih makanan."
Setelah mengangguk dan berterima kasih, sosok Sabiru yang menghilang di balik exit door membuatku semakin penasaran dengan apa yang ada di balik kresek. Rupanya salad buah yang langsung membuat air liur banjir karena tampak lezat. Lantas aku melihat Mas Restu dan Zaki yang juga menyantap makanan di balik lemari, termasuk dr. Sekala yang masih berkutat dengan rekam medis, membiarkan kresek yang sama ada di samping mejanya.
"Loh, Mbak Rindu dapet salad buah?"
"Iya, Mas Zaki. Enak nggak salad buahnya?"
"Waduh, punya saya dan Mas Restu opor ayam plus ketupat, Mbak. Jadi nggak tahu gimana rasa salad buahnya."
"Saya juga sama kayak Mas Zaki dapat opor ayam," dr. Sekala nimbrung. "Hm, menarik. Ada sesuatu menarik di malam lebaran ini."
"Mencurigakan banget nggak sih, Dok?" lanjut Mas Restu yang terkekeh melihat isian cemilanku.
"Kita doakan saja yang terbaik buat Mbak Rindu. Siapa tahu ada kabar baik bulan depan."
"Pokok e pajak jadian ya, Rin! Aja kelalen batir-batir pada diundang. Insyaallah siap rewang."
Hei, hei, memang kenapa kalau aku dapat salad buah? Ada sesuatu yang salah?
Bisa saja Sabiru lupa mengambil wadah. Meski aku ragu karena saat mengintip ternyata makanan mereka dibungkus sterofoam. Ya sudah lah, aku nggak mau ambil pusing mengabaikan tatapan jahil Mas Restu dan dr. Sekala.
Anggap ini rezeki atas kesabaranku menghadapi Bayu siang tadi. Karena begitu masuk suapan pertama, dinas malamku berubah ceria. Spontan masalah hidupku terlupakan begitu saja.
Tahu-tahu aku sudah menghabiskan separuh isinya. Benar-benar rezeki nomplok. Kunobatkan salad buah ini jadi yang terenak di dunia!
***
DO : Delivery Order
DSA : Dokter Spesialis Anak (Sp.A)
Aja kelalen batir-batir pada diundang : Jangan lupa temen-temen pada diundang
Rewang : Bantu
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
