01 | Hal Indah Butuh Waktu

2
0
Deskripsi
  • Bab 1 & 2 dapat diakses secara gratis, sedangkan bab 3 sampai tamat berbayar.
  • Pembelian kakoin di KaryaKarsa lebih hemat menggunakan web (bukan aplikasi ya), atau transaksi tanpa koin bisa menggunakan e-wallet (ovo, dana, shopeepay, dkk) juga melalui web.
  • Genre cerita pure romens, tapi ada sedikit sensasi gerinjulan seperti naik odong-odong di jalan bolong. Detailnya bisa dicek melalui blurb :")
  • Saat ini belum ada jadwal upload tetap, tapi akan diusahakan upload dengan jeda yang tidak terlalu jauh...

Now Playing :

(Idgitaf - Hal Indah Butuh Waktu Untuk Datang)

*

*

*

KIRA-KIRA apa hukum mengabaikan semangkuk opor ayam dan lebih memilih segelas sop buah?

Apakah sebuah kejahatan? Atau mungkin melawan realitas yang berarti kurang khusuk dalam menikmati jamuan? Sedangkan takbir semalam masih basah berkumandang di tengah suasana kental akan sukacita hari kemenangan. Di mana pertemuan dari wajah-wajah yang terpaut jarak kembali mendekat. Di mana kesalahan yang luput maupun tak luput dari ingatan diucapkan dalam permohonan maaf.

Sayangnya, ini bukan tentang opor ayam dan sop buah. Melainkan sesuatu yang lebih dalam dan selalu menghantuiku ketika momentum lebaran datang.

"Tahun ini kamu 27, kan?" ucap lelaki di kursi sebrang. "Tiga tahun lagi 30 loh, perempuan kalau ketuaan ndak nikah-nikah repot juga. Paling ndak dapat calon suami yang usianya di atas 30an atau 40an."

"Tua amat, Mas," sanggah suara lain yang membuat aku ingin segera melarikan diri dari obrolan sialan ini. "Siapa tahu jodohnya Mbak Rindu umurnya nggak jauh. Paling minimal 30 tahun deh, insyaallah cocok."

"Oalaaah, aja ngawur toh. Laki-laki umur segitu nyarinya yang lebih muda juga. Sekarang gini aja deh, kalau laki-laki sudah mapan, tentunya ndak akan menunggu lama. Sama seperti perempuan, makanya stok laki-laki seumuran Rindu banyak yang udah punya pasangan."

"Aku sih ikut rencana Gusti Allah aja, Om."

Bersyukur di sini mulutku yang gatal untuk membela diri, bukan tanganku yang juga gatal ingin membalik meja berisi kue kering tapi kutahan sedari tadi.

"Ikut sih ikut, tapi kalau kamunya pasrah, piye toh? Mau jadi perawan tua?"

Oke, aku menyerah. Aku nggak mau terlibat dalam obrolan gila ini memilih berhenti meladeni. Memang bukan salah kalender yang menentukan hari lebaran tahun 2023 jatuh di tanggal 22 April—di mana aku baru menjalani hari ke tiga belas di umur 27 tahun. Aku juga nggak bisa menyalahkan kepedulian orang-orang di sekitar, terutama yang menganggap dirinya keluarga bisa mengomentari kejombloanku yang mengenaskan. Buktinya, sudah lima tahun terakhir pertanyaan yang kudapatkan setiap lebaran adalah kapan menikah, kapan mengenalkan calon pasangan, kapan menyebar undangan.

Sampai mereka lupa pertanyaan kapan malaikat mencabut nyawa bisa datang dalam waktu dekat.

Terserah dianggap nggak bermoral bila aku membenci momen kumpul keluarga di hari lebaran. Karena selain menjadi ajang bertukar nasib dan pencapaian, menjadi ajang menyakiti yang membuat lembar baru di hari fitri tercoret tinta hitam. Kaum-kaum sepertiku yang kalah dalam segala hal pasti akan jadi bahan perbandingan. Menjadi objek yang pantas diberi rasa kasihan. Menjadi bulan-bulanan mereka yang lebih dulu mencapai puncak kesuksesan.

Maka, upaya yang bisa kulakukan setelah menyalami satu per satu manusia di rumah ini dengan melipir ke tempat sepi. Mengandalkan segelas sop buah di tangan, mengabaikan perut keroncongan karena sengaja nggak mengambil piring untuk menikmati sajian rendang daging, sambal ati, opor ayam, dan makanan berat lainnya.

Aku memilih mencari tempat persembunyian. Meski gagal karena sepupu ikut berdatangan, membawa setumpuk bahan obrolan dari pengalaman melahirkan, sampai rencana pernikahan yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Jangan lupakan fakta di bulan syawal pasti ada yang menggelar hajatan besar. Momen yang lagi-lagi membuatku malas karena harus memberi amplop atau hadiah pernikahan.

Memang apa yang mereka harapkan dariku? Jika bukan menghormati Ibu yang sangat mencintai adiknya—di mana rumah ini adalah rumah adik nenekku, sudah dipastikan memilih diam menjaga rumah. Sialnya agenda halal bi halal nggak bisa dilewatkan, kalian lihat saja seberapa rumpi lelaki yang tadi mengomentari masalah asmaraku.

Ya, dia adalah anak dari adik nenekku. Singkat cerita, dia adalah pamanku. Rata-rata umur yang nggak berjauhan denganku. Ibu yang kupanggil Ibu pun bukan berarti wanita yang melahirkanku, melainkan nenek yang sudah lama membesarkanku. Entah harus bersyukur atau sebaliknya karena dilahirkan saat usia Mama baru 17 tahun, sehingga secara kedudukan aku merupakan cucu pertama dan tertua di keluarga besar. Mungkin karena hal itu lahirlah tuntutan agar bisa mengikuti tradisi mereka.

Untuk menikah muda.

Sebetulnya nggak begitu kaget dengan kebiasaan warga desa yang menganggap usia di atas 25 terlalu tua untuk membina rumah tangga. Bagi mereka, aku adalah bug yang membuat error sebuah sistem. Aku juga dianggap hama yang mengganggu tumbuhnya padi. Hanya karena aku yang berusia 27 tahun ini masih sendiri, lantas dianggap mengidap penyakit menular yang menjijikan. Benar-benar sialan.

"Kalau Om kasih nomormu ke seseorang, kamu keberatan ndak, Rin?"

"Siapa? Temen Om?"

Bayu tersenyum penuh maksud, diikuti riuh sepupu yang juga hadir mengerubungi seolah ada hal seru. Bisa-bisanya kengenesanku dijadikan sebuah guyonan.

"Ada lah orang sini. Lumayan anak orang berada, nanti kalau nikah kamu ndak usah kerja. Cukup bantu-bantu di rumahnya yang punya toko besar. Cuma ya itu tahun ini umurnya 39. Ndak usah pusing mikirin rumah, sekarang tinggal berdua sama ibunya, bapaknya sudah meninggal waktu covid."

"Wih, lumayan tuh Mbak. Warisannya pasti banyak," Winda, satu dari saudariku ikut mengompori.

"Hush! Kok mikirnya warisan? Yang paling penting sekarang kamu punya calon dulu, kasian Budhe pasti pengin nyaksiin cucunya nikah. Jangan sampe jadi perawan tua, malu sama tetangga. Tapi serius, kalau kamu mau nanti Om Bayu coba kenalin. Gimana? Boleh ndak?"

Semua pasang mata menatap penuh harap, semakin membuatku terpojok dan ingin lari sejauh mungkin. Memang salah bila aku nggak nyaman dengan situasi ini? Memang apa yang memalukan dari usia 27 tahun? Apakah sebuah kejahatan jika masih sendiri? Kenapa orang-orang merasa harus peduli? Toh ini urusanku, masalah hidup dan matiku. Siapa suamiku kelak bukan sesuatu yang bisa dipaksa dan ditentukan oleh belas kasihan semata.

"Oalah, gue cari-cari ternyata ada di sini," berterima kasih pada Ardilan yang datang di saat yang tepat. "Pulang sekarang yuk? Kata Ibu, lo hari ini jaga malem, kan?"

"Bentar, pamit sama yang lain dulu."

Entah seperti apa ekspresi Bayu yang aku abaikan. Sama seperti sajian makanan khas lebaran yang nggak aku cicipi, hatiku yang sedari awal berat melangkah ke acara keluarga ternyata membawa luka baru sebagai cendramatanya. Aku nggak mengerti apa karena aku yang nggak bisa berdamai dengan hal-hal yang sering muncul seiring beranjak dewasa. Namun lebaran kali ini membuatku berpikir keras dan meyakini betapa mengenaskan juga menjijikannya nasibku yang nggak seberuntung wanita lain.

Bohong jika alasan belum tertarik menikah karena aku takut menjalaninya. Bagiku, dalam kondisi yang masih jauh dari kata siap, menikah bukan lagi prioritas utama. Tentu aku akan menikah, namun entah kapan. Sebab semakin dipikirkan, semakin dijauhkan dari keinginan.

Jangankan untuk bercita-cita membangun keluarga, aku saja ragu apakah di dunia ini ada lelaki yang sudi menikahi perempuan dengan kekurangan plus permasalahan super kompleks sepertiku? Aku cukup sadar diri, maka sengaja nggak mencari. Apa yang terjadi di sekitar sudah cukup membuka mata untuk nggak terjatuh di pilihan yang salah. Bukan hanya perceraian, namun pengkhianatan dan hal menyakitkan lain terlanjur tertanam dalam otak kecilku yang menganggap pernikahan bukanlah jawaban satu-satunya.

Apalagi menjadi jaminan untuk bahagia.

"Nggak usah dipikirin omongan si Bayu, kayak hidup dia paling bener aja."

"Nggak mau dipikir tapi kepikiran, nggak mau denger tapi kedengeran."

Ardilan mendengus panjang saat mengklakson motor yang tiba-tiba menyalip dan hampir menyerempet mobil kami. Aku tahu dia terbawa emosi mendengar keponakannya dipermalukan di depan banyak orang. Sabina yang duduk di sebelahnya sampai mengelus bahu. Hal itu membuatku tersenyum tipis karena di balik hidup yang dark komedi ini masih ada keluarga yang mendukungku.

"Halah, dia juga nggak bener kok kerjanya. Risen masuk terus, padahal punya anak berkebutuhan khusus. Emang nggak malu hidup ngandelin gaji istri yang nggak seberapa? Menurut gue nggak etis aja orang yang harusnya benerin hidup sendiri sok-sokan ngurusin hidup orang lain."

"Pantesan aja ya, Sayang, tadi di belakang Bulik kayak yang pusing ceritain masalah Mas Bayu."

"Gimana nggak pusing sih, Yang? Seumur hidup dimanja terus dia. Giliran ada masalah rumah tangga lari ke orang tua. Makanya dia langsung kabur nggak ada ngumpul sama yang lain di belakang. Nggak tahu dirinya malah recokin Rindu. Emang agak-agak tuh si Bayu."

"Tapi ada benernya sih," hatiku berdesir melihat jalanan yang seramai pikiranku. "Di usia segini udah nggak bisa pilih-pilih lagi, nggak bisa juga nyalahin orang-orang yang kasihan bahkan niat jodohin dengan laki-laki jomblo berumur 39 tahun. Emang umur 27 nggak usah sok jual mahal. Nggak usah sok pede, kayak yakin bakal laku aja."

"Rindu, jangan bilang gitu. Jodoh itu rahasia Allah, pasti di saat yang tepat Allah akan mempertemukan dengan seseorang yang Rindu semogakan. Sekarang fokus memperbaiki diri dulu aja. Betul kata Mas Ardi, jangan dibawa ke hati omongan Mas Bayu. Anjing menggonggong kafilah berlalu."

"Tuh denger kata bini gue, lo nikmatin aja masa-masa sendiri lo. Omongan sampah Bayu jangan diambil pusing. Urusan nikah nggak gampang, lo sendiri tahu gimana gue dan Sabina sehari-hari. Bukan mau nakutin, tapi kalau nggak pilih-pilih dan asal nyomot belum tentu dapet yang bener bibit, bebet, dan bobotnya. Yang namanya rezeki, jodoh, maut semuanya rahasia Allah. Sekarang fokus sama kebahagiaan lo dulu. Sabar."

Masalah ini sudah sering aku temukan dan selalu membuatku menyerah dalam hidup. Berharap dengan mengeluh bisa membebaskan rasa sesak karena nggak senasib dengan wanita lain. Tapi semakin dijalani, semakin tercekik oleh ekspektasi yang terbentuk atas persepsi orang-orang terhadapku.

Kegagalan, perbedaan, dan kekhawatiran. Aku yang posisinya menginjak kubangan air keruh tentu semakin ragu untuk melangkah. Termasuk bersabar menunggu hal indah yang membutuhkan waktu untuk datang. Sebagaimana yang dilantunkan oleh Idgitaf sepanjang perjalanan pulang.

Solekmu bukan kurang cukup
(Hatimu bukan kurang hangat)
Tak ada yang kurang darimu
(Kau sempurna, kau harus tau)

Sewaktu ia tiba
Kau tak akan menduga
Bahwa hal indah
Butuh waktu untuk datang

Tapi, bagaimana jika dalam kasusku hal indah itu nggak akan datang?

Bagaimana jika ternyata aku adalah 1 dari 1000 orang yang mustahil menyecap indahnya sebuah pernikahan?

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 02 | Jalan di Tempat
2
0
Bab 1 & 2 dapat diakses secara gratis, sedangkan bab 3 sampai tamat berbayar.Pembelian kakoin di KaryaKarsa lebih hemat menggunakan web (bukan aplikasi ya), atau transaksi tanpa koin bisa menggunakan e-wallet (ovo, dana, shopeepay, dkk) juga melalui web.Genre cerita pure romens, tapi ada sedikit sensasi gerinjulan seperti naik odong-odong di jalan bolong. Detailnya bisa dicek melalui blurb :")Saat ini belum ada jadwal upload tetap, tapi akan diusahakan upload dengan jeda yang tidak terlalu jauh dari bab sebelumnya.Maaf bila ada misstypos, gramatical error, atau substansi yang sekiranya mengganggu. Akan selalu direvisi secara berkala.Please welcome and enjoy. Likes, komen, dan share adalah semangat untuk terus produktif. Selamat menikmati kisah Layang Rindu ❤
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan