Kitab Wasiat MAKTAL (#6)

0
0
Deskripsi

Nikmati secara gratis untuk pasal 6

Tetapi cerita akan lengkap jika membaca urut dari awal…

#6

Medangkungan Timur terbagi menjadi dua wilayah, yakni Medangkungan Timur Utara biasa disebut Medangkungan Timur, sepertiganya Medangkungan Timur bagian Selatan yang secara administrasi disebut Medangkungan Selatan. Gunung Geger menjadi pembatas kedua wialayah tersebut, sisi utara gunung ikut wilayah Watugunung, sisi selatan gunung sampai ke samudra  ikut wilayah Medangkungan Selatan, penduduknya lebih suka disebut Toren. Toren tidak tersentuh dunia modern sama sekali, untuk mencapai wilayah ini melewati gunung Geger atau samudera selatan. Limaratus tahun silam, saat Kerajaan Selogiri runtuh sebagian rakyat yang tetap setia tak mau tunduk kepada Kerajaan Baru di pesisir utara yang didirikan oleh putra selir. Putra mahkota lari ke selatan gunung Geger dan mendirikan kerajaan kecil, hingga saat ini sistem kerajaan masih berlaku dengan raja sebagai gubernur. Mereka, memiliki hukum sendiri. Sebagian besar tak mau besentuhan dengan dunia luar, ada beberapa yang sekolah diluar wilayah tetapi mereka membuat kelompok khusus di perantauan.

Bus patas antar kota antar provinsi meninggalkan kota, memasuki hutan jati yang gelap gulita. Sebagian besar penumpang tidur, kecuali dua orang.

"Ternyata enak ya bus patas. Tidak terasa goyang saat ada lubang." Kata Galang.

"Selama ini kamu naik apa kalau bepergian antar provinsi?" Tanya Jipang.

"Ekonomi. Kamu?" 

"Aku baru kali ini keluar dari Medangkungan Timur. Oh ya, menurutmu kenapa pak Mat membagi kita menjadi dua kelompok? Padahal pergi berempat kan lebih menyenangkan. Kalau begini kita sama-sama buta, kan repot."

"Mungkin pertimbangan keamanan. Kamu dengar sendirikan penjelasan pak Mat, Medangkungan Selatan atau yang sering menyebut dirinya orang-orang Toren tidak berhubungan dengan luar. Jadi, menurutku berdua lebih aman daripada rombongan menghadapi orang Toren."

"Atau kalau mati dua lebih baik daripada empat."

"Hus.. jangan berfikir yang aneh-aneh.  Yang aku fikirkan justru, kenapa kita tidak menerobos lewat Gunung Geger saja, kan lebih dekat dengan laboratorium kita, kenapa harus ke Medangkungan Tengah dulu, cari jalan melingkar lewat sisi barat."

Hutan terlewati, kanan kiri sudah tampak warung-warung, Bus berhenti di restoran.

"Selamat malam, kita akan makan di sini lima belas menit, harap barang berharga dibawa. Tunjukan tiket saat mengambil makan. Terimakasih." Kondektur mengumumkan. Merekapun ikut turun, Galang langsung ke toilet Jipang langsung ambil makan. 

Setelah mengambil makanan, Galang mencari meja Jipang, ia terkejut melihat Pahang dan pak Mat duduk di sana. "Bukankah kalian tiga bus jaraknya dari kami? Apa busnya mogok?"

"Bukan, kita berhenti di sini. Setelah makan ambil barang kalian, katakan ke kondektur jika kalian tidak lanjut sampai ke Medangkungan Tengah. Aku sudah menyewa mobil sekaligus sopirnya, ia bersedia mengantar kita ke arah selatan. Kita akan masuk lewat sisi barat gunung Geger." Pak Mat menjelaskan.

"Yah, tiket kita hangus dong." Jipang mengeluh. "Kapan aku bisa jalan-jalan keluar provinsi."

"Kita kerja bukan jalan-jalan. Lagipula tiket dibayar perusahaan." Jawab pak Mat.

Duapuluh menit kemudian, mereka sudah di dalam mobil. Melintasi kota yang cukup sepi, hanya beberapa penjual sate dan nasi goreng yang terlihat. Mobil belok ke kiri, dari kejauhan tampak gunung Geger berdiri gagah disinari rembulan, semakin mendekat jalanan semakin menanjak, jalan aspalpun habis berganti jalan dari tanah hingga meninggalkan debu di belakang.

“Saya hanya bisa mengantar sampai di sini.” Kata sopir, “Lihat jalan setapak itu, ikuti saja sampai kalian menemukan gapura bentar yaitu gapura dari bata merah tanpa atap setinggi 15 meter, itu adalah perbatasan Watugunung Timur dan Selatan di sisi barat. Saya sarankan kalian menunggu fajar menyingsing saat melintasi perbatasan.”

“Terimakasih pak.” Kata Galang yang diikuti oleh semuanya. 

Setelah hari terang tanah pak Mat memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, “Galang, kamu yang pimpin, gunakan kemampuanmu ketika di hutan saat kecil.” Semua setuju.

Hamparan ilalang membentang hingga ke lereng gunung. Galang mengeluarkan hp lalu memasukannya lagi setelah melihat tak ada sinyal. Suara ilalang yang saling bergesekan ditiup sang bayu, nyanyian burung, mendadak menjadi sunyi. Mereka berhenti sejenak, setelah mengamati sekitar dan tak ada yang janggal mereka melangkah lagi. Tak ada suara lain selain langkah kaki dan gesekan celana. Sunyi tanpa suara, bahkan angin mendadak berhenti bertiup. Hingga tiba di persimpangan ke kanan ladang jagung ke kiri ladang wortel, namun sejauh mata memandang tak nampak aktivitas petani. Galang diam, mata dan telinganya dipertajam. Sementara Jipang dan Pahang tak berani mengganggu, mereka tidak tahu bagaimana cara Galang berfikir, tetapi mereka menghargai tanpa perlu diskusi. Tiga belas menit kemudian Galang melangkah ke arah kebun jagung, tanpa pertanyaan atau pertimbangan apapun Pak Mat, Jipang dan Pahang mengikuti. Tak seberapa jauh mereka berjalan tiba-tiba angin bertiup kencang menggoyangkan bunga-bunga jagung, hal ini sangat menguntungkan karena angin membantu pembuahan pada tanaman jagung. 

Sebuah sungai membentang memisahkan dua ladang jagung, airnya begitu jernih sehingga nampak ikan-ikan yang berenang mencari makan. Sungai seperti ini tak bisa lagi ditemui di kota yang telah tercemar limbah manusia. Sebatang pohon tumbang terlentang diatas sungai, mereka melewatinya dengan mudah. Setelah melalui jalanan menanjak mereka berhenti pada sebuah bukit. Galang menunjuk lembah subur dengan gubuk-gubuk yang tersusun rapi bagai perumahan.

Kedai kopi berbahan anyaman bambu beratapkan ilalang begitu ramai. Cangkul, sabit, golok, tampah, beberapa onggok kayu bakar tertata rapi di depan kedai bagaikan sepeda motor yang diparkir di depan kafe.  Kedai ini seolah pintu gerbang menuju perkampungan karena terletak di pinggir jalan antara kampung dan ladang. Merekapun memberi salam pada pengunjung kedai. Penduduk di situ begitu ramah dalam menyambut orang asing.

Setelah beramah tamah, tak lama kemudian pesanan datang, jagung rebus, tiwul, nasi jagung, sayur rebung, buntil, ikan asin sambal, susu jahe, wedang sinom. Sesudah berdoa mengucap syukur pada sang pencipta atas makanan yang tersedia mereka langsung melahapnya.

“Kalian tahu kalau di film silat, pas enak-enak makan datang gerombolan perampok, tidak sopan, makan tidak bayar.” Kata Galang.

“Kalau film horror, yang kamu makan cacing.” Pak Mat menimpali.

Jipang hampir saja memuntahkan makanannya, “Berhenti pak Mat, jangan turuti Galang.” 

Pahang dan pak Mat mentertawakan Jipang.

“Maaf, kalau boleh tahu apakah kalian hendak ke Toren?” Kata pemilik kedai.

“Bagaimana bapak tahu tujuan kami?” Jawab pak Mat. “Benar kami ingin ke Medangkungan Selatan alias Toren melalui sisi barat gunung Geger, apakah jalan yang kami lalui sudah tepat?”

“Tentu saja tepat, dan bagaimana saya tahu tujuan kalian itu mudah. Tempat ini sangat terpencil, dusun terakhir di Medangkungan Timur dan merupakan satu-satunya jalan ke Toren. Tidak mungkin orang iseng tersesat ke sini, kebanyakan orang bersusah payah pasti tujuannya ke Toren.” Pemilik warung menjelaskan. “Kalian terus saja, hingga ketemu gapura bentar, disanalah perbatasannya. Jika boleh tahu apa tujuan kalian ke sana?”

“Mencari Kitab Wasiat Maktal.” Jawab Pak Mat, Galang dan kawan-kawan terkejut demi mendengar pak Mat bicara tujuan sebenarnya, kenapa tidak menjawab penelitian atau tamasya pikir mereka. Tetapi ketiganya tak berani mengungkapkan.

“Kalian bukan orang pertama yang mencari kitab itu di Toren. Bahkan banyak yang mencari artefak di sana, sayangnya seandainya kalian menemukan kalian tidak bisa membawanya keluar.”

“Sebab apa pak?” Pahang penasaran.

“Sebab hukum adat Toren mengijinkan orang asing yang sudah lolos ujian untuk mengkonsumsi dan menggunakan fasilitas apapun di sana, akan tetapi tidak boleh membawa benda apapun bahkan dengan alasan cindera mata keluar daerah. Jangankan cindera mata, selembar daun yang kering yang telah jatuhpun tidak diijinkan keluar.”

“Saya bisa memahami hal tersebut, tujuannya pasti untuk melindungi tanaman dan hewan langka juga artefak. Mengenai lolos ujian, maksudnya apa ya?”

“Tidak semua orang bisa masuk wilayah Toren, kalian pasti sudah tahu aturan itu. Beberapa orang yang ingin masuk diuji dulu, nanti ada dewan yang memberi keputusan apakah orang tersebut layak atau tidak. Ujiannya tiap orang berbeda-beda, jika lolos kalian bisa keluar masuk kapan saja dengan mematuhi hukum adat yang cukup banyak tentunya.”

“Saya paham. Terimakasih atas informasinya, kami mohon pamit.” Setelah membayar makanan dan minuman merekapun melanjutkan perjalanan.

“Kenapa pak Mat mengatakan tujuan kita sebenarnya?” Jipang protes setelah berjalan agak jauh dari warung.

“Memang itu tujuan kita, kenapa harus ditutupi?”

“Apa tidak berbahaya, bisa saja orang membuntuti kita, bisa saja orang menggagalkan perjalanan kita, atau orang menyesatkan kita.”

“Apa yang kamu takutkan itulah yang akan terjadi, jika kamu tidak takut apa-apa ya tidak akan terjadi apa-apa. Sederhana saja, ketika kita bicara jujur kita tidak perlu mikir, otak kita bisa dipakai untuk mikir hal lain. Akan tetapi jika kita bicara rekayasa maka perlu mikir sebab akibat, berlanjut memikirkan agar terlihat konsisten. Capek Jipang, tenang saja lagipula ratusan tahun, ratusan manusia berusaha mencari kitab Maktal belum ada yang berhasil bukan.”

Jipang hanya mengangguk. Perkampungan sudah terlewati, kini mereka memasuki semak-semak yang cukup rimbun. Setelah beberapa belokan, tampak di depan mereka bangunan kembar bagaikan gunungan yang terbelah dua, terbuat dari bata merah. 

“Selamat siang. Apakah ada penjaga di sini?” Pak Mat teriak ketika berhenti di depan gapura.
“Selamat siang, tidak perlu teriak.” Seorang anak kecil tiba-tiba muncul.

“Selamat siang adik.” Pak Mat melembutkan suaranya. “Ayahnya ada?”

“Jangan menilai orang dari penampilan, meski tubuh dan wajahku seperti anak SD tetapi umurku 34 tahun.” Kata si anak kecil.

“Ma’af kakak.” Galang memotong pembicaran. “Apa kakak yang menjaga perbatasan?”

“Kami berdua.” Seorang pria dengan tinggi 3 meter keluar dari semak-semak. “Mana yang Namanya Galang dan Jipang.”

“Kalian tahu nama kami?” Jipang terkejut. 

“Panjang ceritanya, sehingga aku malas menceritakan. Kamu yang Namanya Galang.”

“Bukan, aku Jipang.”

“Biar kutebak yang bernama Galang.” Kata si kecil. “Kamu yang gendut?”

“Bukan, namaku Pahang.”

“Kalau begitu kamu, karena tidak mungkin paman ini kan?”

Galangpun mengangguk.

“Meskipun kalian datang rombongan tetapi kalian harus diuji satu per satu, karena dewan hanya memutuskan pribadi lepas pribadi. Kami yang menentukan siapa yang masuk duluan, ikuti saja jalan setapak ini. Lima menit kemudian orang berikutnya.”

Pak Matpun ditunjuk masuk duluan, Jipang, Pahang, dan terakhir Galang. Pohon di lereng gunung Geger besar-besar, rata-rata kelilingnya dipeluk 5 sampai 6 orang dewasa. Sebatang sungai kecil mengalirkan air yang jernih, ikan-ikan terlihat jelas. Tidak ada jembatan tidak ada bebatuan. Galang mengamati akar-akar pohon beringin yang menggantung bebas, iapun mundur beberapa meter, berlari, melompat memegang salah satu akar yang diincarnya, berayun dan mendarat tepat di seberang sungai. Jalan mulai menanjak dan berbatu, di depan tampak sebuah batu raksasa, Galang harus mengitari batu. Sesampainya di balik batu mata Galang terpesona dengan mahakarya yang luar biasa. Gapura paduraksa yaitu gapura yang memiliki atap sangat besar, terukir kalamakara yaitu perwujudan Dewa Siwa ketika marah, kanan kiri terdapat sepasang arca dwarapala yakni raksasa yang memegang gada, semua terbuat dari batu andesit. 

“Selamat siang, apakah ada orang di sini?” Galang memelankan suaranya, tidak teriak seperti sebelumnya.

“Selamat siang.” Seorang kakek menyambut. “Silakan masuk, ini adalah tempat Sembah Hyang Akarya Jagad, berdoalah di altar sesuai kepercayaanmu.”

Galangpun masuk, di sana terdapat banyak altar dengan arca dewa berukuran rata-rata dua meter. Siwa, Ganesa, Wisnu, Agastya, Budha, Durga, dan masih banyak. Jaraknya antar altar sekitar 20 meter, sehingga setiap altar bisa menampung kira-kira 100 orang yang berdoa bersamaan.

Galang yang terbiasa berdoa di mana saja mengajukan pernyataan, "Ma’af aku berdoa dengan caraku sendiri."

"Kami tahu, kami menempatkan altar sendiri."

Sang Kakek menuntun Galang ke sebuah altar dari batu, tanpa arca. Di batu tersebut tertulis : Kepada Dewa yang tak diketahui nama-Nya. "Di sini altarmu Galang."

 

"Bagaimana bisa bedoa kepada yang tak diketahui nama-Nya."

"Sejak Islam masuk ke tanah air kita, nenek moyang kita mengenal Dewa lain yang mereka panggil Allah, ketika Kristen masuk ada yang baru lagi Tuhan Yesus. Maka dari itu leluhur Toren membuat Altar ini, siapa tahu masih ada Dewa lain. Dan dua puluh tahun belakangan ini rupanya ada kelompok baru, mereka menyembah dewa mereka dengan sebutan Tuan kami atau Nama itu, sebab nama-Nya tidak boleh sebutkan.”

“YHWH?” Galang langsung mengenali.

“Benar, nak Galang berdoa kepada siapa?”

“TYME.”

“Tuhan Yang Maha Esa? Itu kan umum, sebagai kesepakatan pendiri bangsa kita. Bisa yang lebih sepesifik.”

“TYME.” Galang tetap santai. “Tuhan Yesus Maha Enjoy.” Ia mengutip perkataan Deni.

Sang kakekpun tersenyum, “Silakan berdoa.”

Galangpun menutup mata, melipat tangan, tetap posisi berdiri dan tidak menghadap ke Altar. Ia berdoa meminta perlindungan selama melaksanakan tugas, ia juga berdoa untuk keselamatan teamnya, juga berdoa agar setiap orang yang ditemuinya mendapat kebahagiaan, mendoakan kakek penjaga altar supaya diberi Kesehatan, hikmat, akal budi serta kebijaksanaan. Setelah selesai, sang kakek mepersilakan Galang melanjutkan perjalanan. 

Pahang berhenti pada sebuah pondok kayu, di sana ada seorang pria tua yang tersenyum ke arahnya. 

“Istirahtalah sejenak anak muda, dan ijinkan aku meramal nasibmu.”

“Terimakasih kek, saya sangat menghargai maksut baik kakek, namun alangkah lebih baik jika kakek sudi memberi nasehat hidup kepada saya yang muda dari pada meramal masa depan. Karena saya memilih tidak mengetahui masa depan agar selalu berhati-hati dalam setiap melangkah.” Pahang berusaha menolak ramalan sebab dia tidak mempercayainya.

“Tentu saja aku sudi memberi nasehat padamu, tetapi biarkan aku menjalankan kewajibanku sebagai peramal. Sangat tidak sopan jika seorang asing melewati tempat tinggalku tetapi tidak menghargai tugas dan tanggung jawabku.” Si Kakek marah

Pahang terdiam, dalam hati berkata jika kakek ini bebar-benar sakti pasti tahu apa yang ada dalam pikiranku. Dasar kakek sok tahu, coba tebak apa yang kupikirkan.

“Kenapa bengong.” Si Kakek menegur Pahang. “Kamu tidak percaya dengan ramalanku? Kamu meragukan kemampuanku.”

Ah ternyata dia tidak sakti pikir Pahang, “Bukan begitu Kek, kakek mau meramal pakai metode apa? Kartu, garis tangan, tanggal lahir atau apa?”

“Hari lahirmu.”

“Coba tebak, kakek pasti bisa menebak dong.”

“Kurang ajar, kamu pasti akan mati.”

“Tentu saja kek, semua yang lahir pasti akan mati, hanya jadwalnya berbeda-beda.”

“Sudahlah, percuma bicara denganmu. Lanjutkan perjalanmu, tadinya ingin kuajak minum kopi di gubukku, tetapi sepertinya tidak perlu.”

“Baik kek, selamat menikmati kopinya sendiri. Saya permisi dulu ya.” Pahangpun berlalu meninggalkan si Kakek peramal sendirian.

Seekor harimau menghadang langkah Jipang. Lari kalah cepat, melawan kalah kuat. Jipang diam dengan tenang, ini ilusi pikirnya. Ia menatap mata harimau di depannya dengan tatapan santai, dalam hati ia berkata jika ini akhir hidupku biarlah aku mati dengan tenang tanpa rasa takut tetapi jika hariku masih panjang kuharap harimau ini menyingkir. Jipangpun duduk bersila, pasrah. Sang harimaupun rebahan, jarak mereka sekitar dua meter jadi cukup satu lompatan saja untuk menerkam Jipang. Detak jantung yang berdebar dan nafas Jipang yang terengah-engah perlahan mulai turun menjadi normal, suasana tenang. Ia berusaha berusaha bersatu dengan alam. Tiga jam berlalu, harimau berdiri meninggalkan jalan setapak masuk ke dalam rimba. Sesat kemudian Jipang melanjutkan langkahnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kitab Wasial MAKTAL (#4-5)
0
0
Dargom Kencana tak hanya mengincar kitab Maktal tetapi juga artefak Kerajaan Selogiri lainnya. Edisi khusus pasal 4 & 5
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan