DATE WITH BENEFIT | Part 24

0
0
Deskripsi

“Gimana? Mas suka ngga sama tempatnya?” 

Sambil melipat bibirnya, Nathan mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh wanita yang duduk di seberang meja. 

“Mas ngga suka ya?” tebak wanita itu kala melihat ekspresi Nathan yang sama sekali tak mencerminkan respon yang ia inginkan. “Kalo Mas ngga suka, kita bisa cari tempat lain lagi.”

“Ngga, Nad, di sini juga udah bagus kok. Mas suka,” elak Nathan cepat-cepat.

Dua insan yang baru saja mengelilingi sudut kota Bandung...

“Gimana? Mas suka ngga sama tempatnya?” 

Sambil melipat bibirnya, Nathan mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh wanita yang duduk di seberang meja. 

“Mas ngga suka ya?” tebak wanita itu kala melihat ekspresi Nathan yang sama sekali tak mencerminkan respon yang ia inginkan. “Kalo Mas ngga suka, kita bisa cari tempat lain lagi.”

“Ngga, Nad, di sini juga udah bagus kok. Mas suka,” elak Nathan cepat-cepat.

Dua insan yang baru saja mengelilingi sudut kota Bandung itu memang baru saja singgah di sebuah kafe. Keduanya memang merencanakan hal itu sejak dua hari lalu, tentunya dengan sedikit paksaan dari sang wanita.

“Beneran?”

“Iya beneran, Nad. Ngga perlu cari tempat lain lagi. Lagian Mas juga udah capek dari tadi jalan terus.”

Mendengar penuturan Nathan barusan, wanita bernama lengkap Nadindra Diajeng Asmarini itu pun tersenyum. “Baru jalan-jalan segitu aja udah ngeluh capek kamu Mas,” ejeknya. “Tapi giliran disuruh main voli, mau seharian pasti Mas jabanin,” ucapnya menceritakan sekilas tentang kejadian sewaktu mereka masih berstatus sebagai sepasang kekasih.

“Hahaha… kamu masih inget aja.”

“Ya gimana aku ngga inget. Dulu waktu kita jalan-jalan ke kebun teh, kan Mas ngeluh terus di sepanjang jalan. Mana waktu itu kita ke sana naik motor, tambah pegel kan jadinya.”

Nathan tersenyum setelah menyeruput kopi espresso pesanannya. “Iya maaf, itu Mas pegel emang gara-gara abis main voli malemnya. Kalo naik motornya sebenenya sih ngga pegel. Lagian kalo ke puncak Bogor naik mobil tuh ngga enak, macet.”

“Iya juga sih, apalagi waktu itu kita ke sana pas weekend,” ujar Nadin menyetujui. “Tapi walaupun Mas ngedumel terus, aku seneng banget karena akhirnya bisa jalan-jalan sama Mas.”

“Jadi biasanya ngga seneng?”

“Enggak gitu maksud aku,” elak Nadin. “Dulu kan kita jarang banget jalan-jalan berdua, kalaupun jalan pun pasti yang deket-deket doang, kalo ngga jalan paling kita cuma kita ke kafe buat ngerjain tugas.” Nadin memanyunkan bibirnya setelah menceritakan sepenggal kisah percintaannya dengan Nathan dulu.

Nathan kembali menyeruput kopi espressonya. “Jadi kamu nyesel pacaran sama Mas?” tanya Nathan sambil meletakan cangkirnya di atas meja.

“Ck, apaan sih Mas. Bukan gitu maksud aku.” Nadin mencebik, kesal karena pria di depannya tak kunjung peka dengan maksud ucapannya. “Maksud aku tuh gini, emang Mas ngga nyadar kalo gaya pacaran kita dulu itu flat banget?”

Nathan mengernyitkan dahinya, “Maksudnya?”

“Ya maksud aku, dulu kita ngga ngapa-ngapain gitu.”

“Emang kita harus ngapain?” 

Nadin menghentakan kakinya ke lantai karena Nathan belum juga maksud dengan ucapannya. “Tau ah, Mas mah ngga peka.” Nadin meletakan kedua tangannya di atas meja sembari mengalihkan tatapannya ke arah lain. 

Sorry… sorry.” Nathan reflek ingin meraih tangan Nadin, namun diurungkannya setelah menyadari wanita di depannya kini sudah berbeda dari yang dulu. Selain bukan sebagai pasangan kekasih lagi, wanita itu juga berpenampilan lebih tertutup dengan hijab di kepalanya hingga membuatnya merasa sungkan untuk memegangnya. “Maksudnya gimana? Mas bener-bener ngga maksud apa yang kamu omongin.” Nathan bermaksud meminta Nadin untuk menjelaskan lebih rinci maksud dari ucapannya. “Maaf, Mas emang kurang peka,” lanjutnya lagi dengan perasaan bersalah.

Mendegar hal itu, Nadin menghembuskan napasnya kasar. “Maksud aku gini, dulu tuh gaya pacaran kita terlalu cupu. Kita cuma ketemuan-ketemuan-ngobrol bentar-pulang, kaya gitu terus selama tujuh tahun kita pacaran. Jalan-jalan pun bisa dihitung jari.”

Nathan berusaha mencerna maksud perkataan Nadin berharap dirinya bisa mengerti keinginan sang mantan. Dan lagi-lagi pria itu membuat sang wanita kesal bukan main karena responnya yang terkesan datar. “Tapi Mas suka, kita lebih sering bertukar pikiran, ngomongin hal yang berguna terutama soal seni dan menggambar,” ucapnya ragu ketika menyadari ekspresi Nadin yang terlihat makin kesal. “Apalagi kamu juga sering bantuin Mas belajar menggambar. Mas pikir gaya pacaran kita dulu bukan cupu, tapi lebih ke pacaran sehat.”

“Tapi kan…,” Nadin memberi jeda pada kalimatnya karena tiba-tiba saja ia ragu untuk melanjutkannya. “Aslinya Mas itu bosen, kan? Buktinya dulu Mas pernah minta ciuman sama aku, tapi aku-nya malah nolak.”

“Ya bagus dong, itu artinya kamu ngingetin Mas, biar kita ngga kelewat batas,” ujar Nathan. 

“Iya tapi aku nyesel,” balas Nadin cepat.

Sontak, Nathan menaikkan salah satu alisnya. “Kenapa nyesel?”

“Ya nyesel aja,” jawabnya sambil mengedikkan bahunya. “Kenapa dulu ciuman pertama aku ngga aku kasih ke Mas aja yang aku cinta, malah aku kasih ke suami aku yang sama sekali ngga aku suka,” lanjutnya.

“Nadin, kamu ngomong apa sih. Jangan kaya gitu, ngga baik.”

“Tapi beneran Mas, aku emang ngga cinta sama dia. Mas tau sendiri, kan kalo aku nikah sama suami aku gara-gara dijodohin sama Abi. Kalo engga kaya gitu mah, aku mending milih nikah sama Mas, orang yang jelas-jelas aku cinta.”

Nathan menghela. “Nad, Mas tau kamu emang lagi ada masalah sama suamimu. Tapi Mas mohon jangan jadiin masa lalu kita sebagai alasan buat makin ngebenci suami kamu.”

“Aku ngga benci sama dia, aku cuma benci sama cara dia memperlakukan aku.” Suara Nadin mulai meninggi. “Kalo Mas berpikiran aku ngga bisa nerima dia karena aku masih cinta sama Mas, itu bener. Sampai sekarang aku masih cinta sama Mas. Bahkan dengan kejadian yang menimpa aku sekarang ini pun aku sempat berpikir kalo ini rencana Alloh biar bisa balik lagi sama Mas.”

“Nad…,” lirih Nathan seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Tapi asal Mas tau aja, aku juga udah berusaha menerima dia, Aku nerima suami aku apa adanya. Aku bahkan berusaha menjadi istri yang baik buat dia. Tapi apa balasan dia sama aku? Dia bahkan tega poligami cuma gara-gara aku ngga bisa kasih anak.” 

Nadin mengungkapkan kekecewaannya dengan mata yang berkaca-kaca, sedangkan Nathan hanya bisa diam menatap wanita di depannya dengan pandangan iba. Kedua terdiam untuk beberapa saat hingga akhirnnya Nathan bersuara untuk meminta maaf karena sudah membuatnya bersedih.

“Maaf, Mas ngga bermaksud–”

“Ngga usah minta maaf, ini emang bukan salah Mas.” Nadin menghela napas dalam. Tangannya terlurur untuk menghapus air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya. “Ini salah aku karena dulu ngga berani berontak dan nolak perjodohan Abi.”

“Ngga, Nad, jangan salahin diri kamu sendiri kaya gitu,” ujar Nathan sembari menahan diri untuk berpindah tempat dan merengkuh wanita di depannya. Kejadian di mana ia kepergok memeluk Hera untuk menenangkan wanita itu kembali berputar di otaknya hingga membuat Nathan berpikir ulang untuk melakukannya. Ia tak mau menyakiti Anindita untuk kedua kalinya hanya karena rasa ibanya yang lebih besar kepada orang lain.

“Semua ini udah takdir Tuhan, Nad. Apa yang terjadi sama kamu sekarang itu sudah digariskan sama yang kuasa. Bisa jadi, permasalahan antara kamu sama suami kamu sekarang itu, merupakan ujian dari yang di atas.”

“Tapi kenapa harus poligami? Kenapa?” Air mata Nadin kembali turun membasahi pipinya setelah mengucapkan alasan dibalik permasalahannya dengan sang suami. “Kamu tau kan, aku benci poligami. Aku benci liat Umi sedih gara-gara di madu sama Abi.”

Nathan makin iba ketika Nadin kembali mengingatkannya soal rumah tangga orang tuanya yang juga melakukan praktik poligami. Saat itu, ayah Nadin yang kerap dipanggil Abi itu meminta izin untuk menikahi seorang janda anak empat dengan alasan ingin membantunya. Dan dengan keluasan hati sang istri, akhirnya pernikahan itu berhasil dilangsungkan walaupun tanpa restu sang anak –Nadin dan tangisan pilu sang istri yang menyaksikan pernikahan suaminya sendiri dengan orang lain. Alasan di mana ia pernah melakukan poligami itulah, yang membuat ayah Nadin memberi restu kepada sang menantu untuk menikah lagi dan memberi madu untuk putrinya. 

“Nad… kamu yang sabar ya. Mas yakin masalah kamu pasti ketemu titik temunya. Besok aku anterin pulang ya, kita ketemu sama suami kamu buat bicarain ini baik-baik.”

Nadin menggeleng, “Ngga, Mas. Aku udah bertekad buat cerai. Aku ngga sekuat Umi, aku capek.” 

“Masih banyak cara buat nyelesain masalah kamu, jangan gegabah. Mas yakin rumah tangga kamu bisa diselamatin.

“Nggak, aku ngga mau balik lagi sama dia. Aku mau cerai aja.” Sepertinya tekad Nadin untuk bercerai dengan sang suami sudah bulat. “Mas bantuin aku ya,” pintanya sambil menarik kedua tangan Nathan, lalu menggenggamnya. 

Awalnya Nathan hendak menarik tangannya kembali, namun ia akhirnya pasrah ketika dirasakan genggaman itu makin menguat. “Kalau untuk itu, maaf, Mas ngga bisa. Bukan ranah Mas buat ikut campur masalah rumah tangga kamu. Tapi tenang, Mas tetep akan anterin kamu kok.”

“Mas jahat!”

“Nad, maaf, Mas ngga bisa.”

“Mas udah berubah, Mas udah ngga kaya dulu lagi, hiks.” Penolakan Nathan membuat Nadin terisak, merasa kecewa dengan respon Nathan yang sudah tak peduli lagi seperti dulu. 

Hal itu membuat Nathan bingun sekaligus frustasi harus bagaimana lagi ia menjelaskannya kepada Nadin. Ia menghembuskan napasnya kasar dan mengalihkan wajahnya ke luar jendela kafe. Dan di situlah kedua netra Nathan menangkap sosok yang sangat familiar di matanya. “Bukan begitu, Nad. Mas cuma….” Nathan menjeda kalimatnya sejenak, “Tunggu, Mas harus pergi sekarang,” pamitnya buru-buru tanpa mempedulikan Nadin yang berteriak memanggilnya.

“Sialan! Kenapa pake lampu ijo segala sih,” umpatnya ketika lampu lalu lintas di depannya berganti agar para pengendara leluasa melajukan kendaraan mereka masing-masing. Ia menghembuskan napasnya kasar sembari menatap tajam wanita di seberang sana. Selang beberapa detik, akhirnya pandangan keduanya pun bertemu hingga menciptakan sebuah desisan keluar dari mulut Nathan. “Dita… sejak kapan lo di sana huh!”

Sadar sudah tertangkap basah, Nathan yang hendak menjelaskan kejadian yang sebenarnya pun dibuat kesal karena wanita di seberang sana tiba-tiba pergi, seolah sengaja menghindar dari dirinya. “Ditaaa!” teriaknya beberapa kali memanggil sang kekasih yang berjalan cepat sambil menyeret koper.

Melihat Anindita yang semakin jauh dari jarak pandangnya, Nathan hampir saja menerobos lampu merah demi sang kekasih. Beruntungnya, ia tak sampai melakukan itu karena selang beberapa detik kemudian, lampu lalu lintas itu berganti hingga membuat dirinya leluasa untuk menyeberang jalan.

“Dita… lo kemana sih?” Nathan berhenti sejenak untuk menetralkan napasnya yang ngos-ngosan setelah kehilangan jejak Anindita. Kedua matanya ke sana ke mari mencari keberadaan sang kekasih yang kabur entah kemana. “Dia pasti salah paham liat gue jalan sama Nadin.”

Tak hanya mencari ke sana ke mari, pria itu juga tak berhenti menelepon Anindita walaupun berakhir dengan keinginan untuk membanting benda persegi di tangannya. “Fuck! Fuck! Fuck!” Nathan tak henti-hentinya mengumpat ketika nomor yang dituju tidak menujukkan tanda-tanda kehidupannya.

Walaupun begitu, ia sama sekali tak menyerah. Ia melanjutkan langkahnya sembari menatap sekeliling untuk mencari keberadaan sang kekasih. Kedua matanya tak henti-hentinya menyapu jalanan hingga akhirnya ia pun menemukannya. 

Nathan sangat yakin kalau wanita dengan jacket, celana jeans, serta topi berwana hitam itu memanglah Anindita walaupun wajahnya tertutup masker berwarna senada. Setengah berlari,Nathan akhirnya menyusul sang kekasih yang nampak kebingungan mencari jalan itu.

Dan benar saja, ketika ia sampai di sana, Nathan melihat Anindita sedang berjongkok sambil terisak memanggil-manggil namanya. 

“Nathan… lo di mana? Kenapa ngga cariin gue?” Walaupun jarak keduanya masih terbilang lumayan jauh, tetapi Nathan masih mendengar rintihan Anindita. Hal itu membuat Nathan tak bisa menahan senyum di bibirnya. 

“Nathan… gue takut sendirian,” lirih Anindita hingga membuat Nathan melangkah pelan untuk mendekatinya.

“Jangan takut… gue di sini.”

 Anindita mendongak begitu suara Nathan mengalun lembut di gendang telinganya. “Nathan!” serunya sambil berdiri dan langsung memeluk sang kekasih yang entah sejak kapan berada di depannya.

“Nathan… kenapa lo baru dateng. Gue takut banget.”

Nathan tersenyum, “Iya maaf, abisnya lo cepet banget tadi jalannya.” 

Seolah melupakan kejadian beberapa saat lalu, keduanya saling berpelukan erat layaknya sepasang kekasih yang sudah lama tak bertemu. Anindita yang mengalungkan tangannya di leher Nathan, sedangkan kedua tangan Nathan mengalung di pinggang wanita itu. Tubuh keduanya saling menempel, kepala mereka pun saling bertengger di bahu hingga membuat jarak keduanya habis terkikis. 

“Maaf,” bisik Nathan memulai percakapan di antara keduanya.

“Maaf, maaf, maaf,” ucapnya berulang-ulang lalu mengecup pipi Anindita berulang kali.

 Anindita nampaknya masih enggan untuk memaafkan walaupun keduanya sudah berpelukan dengan sangat erat. 

“Maaf, Ta, gue udah buat kesalahan.” Nathan memundurkan tubuhnya, wajahnya kini menatap lekat Anindita yang tertunduk dengan kedua tangan yang menangkup wajah wanita di depannya. “Kita ke hotel ya, nanti kita bicara baik-baik,” ajaknya lalu mengeluarkan ponsel pintarnya dari dalam saku untuk memesan taxi online untuk mengantar keduanya ke hotel.

“Gue gendong ya, Ta?” 

Berulang kali Nathan menawarkan untuk menggendong Anindita yang berjalan tertatih. Namun tawaran itu terus ditolak oleh Anindita dengan menepis tangan Nathan kala pria itu ingin menggendongnya, bahkan wanita itu senggaja mempercepat langkahnya dan meninggalkan Nathan yang menghela di belakang.

“Maaf, Pak, tapi untuk hari ini kamar sudah full booking,” ucap seorang resepsionis ketika Nathan hendak memesankan kamar lagi untuk Anindita. “Kalau Bapak mau, Bapak bisa memesan layanan extra bed untuk menambah kapasitas kamar yang Bapak tempati sekarang. Untuk layanan ini akan dikenakan biaya tambahan.”

Nathan melirik Anindita sejenak. Nathan memaksa wanita itu untuk duduk menunggu di sebuh kursi selama Nathan memesankan kamar untuknya. “Yaudah, saya pesan layanan extra bed buat kamar saya,” putusnya.

Sembari menunggu, Nathan mengobati luka di kaki Anindita setelah ia pamit sebentar untuk membeli obat untuk mengobati beberapa luka di kaki dan wajah wanita itu. Dengan telaten, pria itu membersihkan darah di jempol kaki Anindita dengan alkohol hingga membuat wanita itu sedikit meringis. “Kalo sakit lampiasin ke gue aja.” Bukannya melakukannya, Anindita justru lebih memilih meremas pahanya sendiri untuk melampiaskan rasa perih di kakinya.

Sadar akan hal itu, Nathan yang tengah berjongkok di depan Anindita meraih salah satu tangan wanita itu, lalu meletakannya di pundak lebarnya. “Gue udah bikin hati lo sakit, jadi jangan nyakitin tubuh lo buat ngelampiasin sakit di kaki lo,” ucapnya tanpa menatap Anindita yang tengah tertunduk dan memilih meneruskan aktivitasnya mengobati kaki Anindita yang berdarah akibat tersandung. Tak hanya mengobati luka Anindita, Nathan juga sempat mengajak Anindita untuk makan malam dan kembali ke kamar setelahnya. 

“Kita sekamar?”

Kalimat pertama Anindita akhirnya keluar setelah beberapa jam menjalani mode bungkamnya. Seakan meminta penjelasan lebih, wanita itu menatap Nathan tajam. 

“Kamarnya udah penuh,” jawab Nathan. “Lo tenang aja, gue udah pesen layanan extra bed kok.” Nathan membukakan pintu agar Anindita masuk terlebih dulu. “Masuk,” titahnya.

Dengan ragu, Anindita pun masuk dan berhenti ketika baru beberapa langkah memasuki kamar hotel yang Nathan tempati. “Gue pulang aja,” ucapnya tiba-tiba. Ia membalikkan tubuhnya dan hampir menabrak tubuh tinggi Nathan yang sedari tadi membuntutinya di belakang sambil menyeret koper milik wanita itu. 

Dan ketika tangannya hendak merebut koper miliknya, Nathan dengan sigap menyembunyikannya di belakang tubuhnya. “Nggak! Udah malem. Lo mau pulang ke mana?” 

“Bukan urusan lo. Urusin aja tuh mantan lo!” ketus Anindita dengan tangan yang masih berusaha merebut. “Siniin ngga,” pinta Anindita sembari kedua tangannya berusaha merebut di kanan kiri pinggang Nathan. 

Hal tersebut justru menguntungkan Nathan karena pria itu mencuri kesempatan untuk memeluk tubuh Anindita dengan erat. Tentu saja hal itu membuat Anindita memberontak, namun karena kekuatan Nathan lebih besar, akhirnya Anindita pun pasrah. “Lepasin gue,” lirihnya kemudian terisak di pelukan Nathan.

“Maaf, Ta. Maafin gue. Gue emang salah udah jalan sama Nadin, tapi itu semua ngga kaya yang lo pikirin. Gue sama dia–”

Dengan sisa kekuatannya, Anindita mendorong tubuh Nathan lalu mendongakkan kepalanya hingga membuat pandangan keduanya bertemu. “Tau apa lo soal gue? Tau apa lo soal apa yang gue pikirin selama ini. Lo ngga tau apa-apa, tau nggak!”

“Maksud lo apa, Ta?” Nathan mencoba menahan tangan Anindita yang sedari tadi memukuli dadanya. “Ta, stop it! Bilang sama gue apa maksud lo?”

“Lo jahat! Lo udah nyelingkuhin gue–”

 “Gue ngga selingkuh,” potong Nathan. “Terserah lo mau ngannggep gue apa, tapi yang jelas, gue cuma berniat buat bantuin Nadin.”

“Bantuin apa, brengsek! Mana ada cowok yang mau bantuin mantannya di saat dia udah punya cewek. Bilang aja lo mau nyelingkuhin gue, abis itu ninggalin gue, kan? Udah ngaku aja, lo emang ngga cinta kan sama gue, aslinya lo masih cinta kan sama Nadin.”

“Ta, please jangan kaya gini. Lo cuma salah paham.” Nathan akhirnya berhasil mencengkram kedua tangan Anindita hingga membuatnya berada di samping kanan kiri wajah wanita itu. “Lo salah paham, Ta. Gue sama sekali ngga kepikiran buat nyelingkuhin lo apalagi ninggalin lo. Please percaya sama gue.”

Anindita menggeleng sembari terisak. “Ngga, lo bohong. Lo ngga cinta sama gue, lo belum move on dari Nadin. Selama ini gue salah, gue salah karena udah jadiin lo rumah padahal hati lo masih buat Nadin.”

Mendengar hal itu Nathan kembali memeluknya. Kali ini bahkan lebih erat dari sebelumnya hingga membuat Anindita merasa sedikit sesak. “Itu ngga bener, gue sayang sama lo,Ta. Please kali ini percaya sama gue.” Nathan memundurkan tubuhnya, kedua tangannya menangkup wajah Anindita yang sudah banjir air mata. “Kita duduk, ya? Kita bicarain baik-baik, nanti gue jelasin semuanya sama lo tanpa ada yang gue tutup-tutupin.”

Anindita menurut, di dudukkannya ia di tepian salah satu ranjang dengan Nathan yang bejongkok di depannya. “Tapi kenapa harus lo yang bantuin masalah rumah tangga dia?” tanya Anindita setelah Nathan menceritakan kejadian yang menimpa Nadin. “Emang dengan lo yang ‘cuma’ berniat bantuin doang, dia bisa mengartikan kebaikan lo ‘pure’ sebagai bantuan?”

Lidah Nathan tiba-tiba kelu. “Ya-ya ngga tau juga. Gue cuma kasihan aja sama dia.”

“Lo itu ngga kasihan, tapi emang masih ada rasa sama dia,” balas Anindita cepat. Raut kesalnya pun terlihat sangat jelas hingga membuat Nathan dengan cepat mengelak.

“Nggak, gue udah ikhlas dia sama pria lain. Makanya gue mau bantuin biar Nadin mempertahanin rumah tangga dia.”

“Yang bener aja, dia udah dipoligami gitu mana mau mempertahanin. Gila lo!” Walaupun Anindita tidak suka dengan Nadin, tapi untuk masalah selingkuh, poligami atau hal-hal yang berbau dengan mendua, Anindita akan tetap berpihak pada wanita itu. “Amit-amit nih ya, kalo gue jadi dia juga, ngga bakalan mau gue dipoligami. Mending gue hidup sendirian sampai akhir hayat, dari pada harus berbagi orang yang gue cinta sama orang lain.”

Nathan menghela. “Ya terus, gue harus gimana sekarang?”

“Ya mana gue tau, pikir aja sendiri. Kalo kata gue, gue sih dukung dia buat cerai, tapi gue ngga suka lo pake sok-sokan bantuin dia segala. Caper banget tau ngga.”

“Gue ngga caper, Ta. Gue beneran cuma pengen bantuin doang, ngga ada maksud lain,” elak Nathan.

Rolling eyes yang Anindita lakukan menandakan kalo wanita itu sudah muak dengan alasan Nathan tersebut. Walaupun berniat membantu, tapi menurut Anindita apa yang dilakukan Nathan itu salah. Apalagi dengan Nathan yang saat ini berstatus sebagai kekasihnya. “Tau ah, gue capek, mau tidur.”

“Ngga cuci muka dulu?”

Bukannya berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri, Anindita justru langsung naik ke atas kasur setelah bangkit dari duduk nya sambil menghentakkan kakinya dengan kasar. “Nggak,” ketusnya.

“Yakin ngga mau bersih-bersih dulu? Lo abis perjalanan jauh loh, setidaknya lo bersih-bersih dulu biar muka lo ngga jerawatan.”

“Bodo amat,” balas Anindita tak peduli sambil membalikkan tubuhnya hingga tertidur dengan posisi terlungkup dan membelakangi Nathan.

“Yaudah, tapi kalo entar muka lo jerawatan, jangan heboh kaya yang udah-udah ya.” Nathan mengingatkan kembali kejadian di mana kekasihnya itu selalu heboh hingga merasa insecure hanya karena masalah jerawat. Padahal hal itu wajar karena saat itu Anindita tengah dalam masa periodenya.

Karena tak ada jawaban lagi dari Anindita, Nathan mengira kalau kekasihnya itu sudah tertidur karena kelelahan. Nathan pun membiarkannya dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun sebelum itu, ia membenahi selimut Anindita sembari berbisik, “Mimpi indah, sayang.”

Malam itu, Nathan sama sekali tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar sambil memikirkan cara untuk membantu Nadin. Apalagi setelah ia membaca spam chat dari mantan kekasihnya beberapa saat lalu yang meminta Nathan untukpenjelasan kenapa tiba-tiba dia pergi begitu saja. Wanita itu juga bilang kalau ia akan nekat mendatangi Nathan jika pria itu tak kunjung membalas pesan dan juga panggilannya. Namun Nathan berhasil menahannya dan bilang kalau ia tengah bersama kekasihnya. 

Tentu hal itu tak membuat Nadin langsung percaya begitu saja, bahkan setelah Nathan mengirimi foto Anindita yang tengah tertidur membelakanginya, wanita itu malah menuduh Nathan mengambil foto tersebut di sosial media.

Maaf, tapi Mas udah punya cewek sekarang. Kita ngga bisa kaya dulu lagi, ada hati yang harus Mas jaga.

Begitulah pengakuan Nathan setelah Nadin bersikeras untuk mendatangi pria itu ke hotelnya. Namun lagi-lagi Nadin tak percaya jika Nathan tak membawa kekasihnya itu ke hadapannya. 

“Baik, kalau kamu masih belum percaya juga. Kita ketemu besok. Nanti Mas bawa pacar Mas ke sana.” Nathan mengakhiri percakapan via chatnya bersama Nadin, lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. 

“Nathan?”

Nathan yang hendak menarik selimutnya untuk tidur, tertahan oleh panggilan Anindita barusan. 

“Ya, Ta? Lo belum tidur?” Pria itu bangun dari posisinya hingga membuatnya terduduk menatap tubuh sang kekasih yang bergerak membalikkan tubuhnya menjadi menghadap pria itu.

“Gue ngga bisa tidur.”

“Mau makan?” tawar Nathan. Pria itu berpikir kalau Anindita masih lapar karena wanita itu hanya makan sedikit saat ia ajak makan tadi.

“Mau dipeluk.” 

Mendengar permintaan tersebut, Nathan pun tersenyum. “Lo udah ngga marah lagi?”

“Masih. Tapi gue pengen dipeluk lo.”

“Yaudah sini gue peluk.” Nathan bangkit dari kasurnya, lalu pindah ke kasur Anindita yang berada di sebelahnya. “Ngga papa, kita tidur bareng kaya gini?”

“Bukannya kita udah sering tidur bareng kaya gini?”  Bukannya menjawab, Anindita malah balik bertanya sekaligus mengingatkan Nathan kalau ‘tidur bersama’ dalam artian yang sebenarnya bukanlah hal baru untuk mereka. 

“Iya, gue tau. Tapi maksud gue, emang lo ngga ngerasa kasur ini kekecilan buat kita berdua?” Layanan extra bed yang Nathan pesan memang memberikan tambahan kasur single bed untuk keduanya, hal itu membuat Nathan khawatir kalau Anindita tak nyaman jika harus tidur berdua dalam satu kasur yang sama karena merasa sesak. “Kasur gue di pepetin aja, mau?” tawarnya. “Biar agak legaan.

“Ngga usah, muat kok. Lagian gue juga ngga gendut-gendut banget,” tolak Anindita sambil merapatkan pelukannya.

“Yaudah terserah lo aja, yang penting lo nyaman.”

“Gue selalu nyaman sama lo,” gumam Anindita. “Bahkan saking nyamannya gue ngga bisa marah, walaupun tau lo baru aja jalan sama mantan lo,” lanjutnya di dalam hati.

Berbeda dengan Anindita yang langsung memejamkan matanya, malam itu Nathan terjaga hingga jam dua pagi. Ia memikirkan cara membujuk Anindita agar mau bertemu dengan Nadin sambil memastikan kalau kekasihnya itu tidur dengan nyaman. Tak hanya itu saja, sambil menatap lekat wajah yang sang kekasih, pikiran Nathan pun berkelana ke mana-mana ketika melihat dari dekat luka lebam di wajah Anindita yang sempat ia tanyakan kepada empunya, namun sama sekali tak diberi tahu walaupun ia sudah berulang kali menanyakannya.

“Sebenernya apa yang baru aja terjadi sama lo, Ta?”

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DATE WITH BENEFIT | Part 25
0
0
Nathan meraba-raba tempat di sampingnya ketika menyadari salah satu tangannya sudah tak seberat tadi malam di mana Anindita yang menjadikanya sebagai bantal tidur.  Pria berusaha bangkit di tengah rasa kantuknya yang masih sangat terasa dengan mengerjapkan kedua matanya beberapa kali.“Ta?” panggil pria itu ketika tak menemukan sang kekasih di sampingnya. Kedua matanya menyapu sekeliling kamar mencari-cari keberadaan Anindita yang belum kelihatan batang hidungnya. Kakinya melangkah ke berbagai penjuru ruangan termasuk juga balkon hingga kamar mandi, namun satu pun tak ada yang menunjukkan tanda-tanda keberadaan Anindita.“Ta? Lo di mana?” seru Nathan ketika tak juga menemukan Anindita. “Lagi ke bawah kali ya?” gumam Nathan menebak-nebak sambil melihat jalanan dari balkon. “Coba deh gue telfon.”Barulah, ketika ia hendak mengambil ponselnya di atas nakas, pria itu menemukan secarik kertas di sampingnya. Jantungnya pun sontak berdebar tak karuan ketika tak mendapati benda-benda milik kekasihnya itu tertinggal di sana, termasuk koper hitam milik Anindita yang semalam ia taruh di sudut ruangan.“Dita…,” lirihnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan