
Surat-surat Pakdhe yang membujuk Mama supaya pulang kampung menjenguk ibu yang sakit. Mama enggan pulang. Surat-surat itu aku puisikan dengan judul Ibu Menunggumu di Pantai.
Sudah kau coba putus masa lalu, tetapi waktu seperti sungai; mengalir di nadimu.
Ke hilir kau selalu berenang dalam keruh. Sementara di hulu, Ibu yang melahirkan sering memanggilmu. "Pulanglah, Nak, pulanglah. Ibu rindu...."
Masa lalu selalu membuatmu basah. Kau tak ingin pulang. Namun, bukahkah manusia punya matahari, angin, dan tanah; tempat istirah, menyembuhkan diri, lalu membuat diri kembali hangat untuk pulang? Tidakkah kau lelah menuju muara yang kau bayang itu surga?
Bukankah telah kau lihat, hidup ternyata masih menyajikan samudera dan kau ternyata masih membawa luka? Ke manakah luka harus disembuhkah jika tidak di hati Ibu?
Semraut dan kusut jalinan kasihmu dengan Ibu. Harap dan ingin yang beradu bertubruk. Namun, pada hulu hati, lihatlah sebenarnya cinta yang membuncah tak bisa merangkai kata.
Bukankah kau tahu bayang hidup Ibu berselimut debu? Setiap kata yang meruah
selalu membawa debu, melekat di hatimu.
Ia sendiri sebagaimana dirimu. Sesak.
Tambang yang datang di desa, mengeruk bahagia, menciptakan debu-debu. Tak lagi Ibu miliki kapal dan mengarungi mimpi. Hidup bagi Ibu adalah pantai tanpa kapal. Sementara kau adalah ambisi. Kau ciptakan sendiri kapalmu, membawa luka, menjemput pulau masa depan yang menjanjikan surga.
Lalu kau tak lagi mengenal cinta yang sesegar mata air, sehangat mentari pagi, sesemerbak bunga, dan selembut doa-doa.
Menepilah. Istirahatkan hati. Maafkanlah dan ikhlaskanlah masa lalu.
Lihatlah Ibu kini. Tubuh aus sudah. Tinggal mata berembun rindu. Padamu padamu mata itu merindu. Padamu padamu hati tertuju.
Peluk Ibumu yang rindu. Di dadanya akan kau temukan surga kembali. Akan basah tandusnya hati. Akan berbunga taman dengan semerbak. Akan kau dengar alun gemericik air. Akan kau lihat daun-daun berkilau dikecup mentari yang selalu belia.
Akan hanyut luka itu. Akan kau rasakan sebagian dirimu luruh. Kembali dirimu yang tenang dan kuat.
Pulanglah, Nak, pulanglah ke pantai Ibu. Istirahatlah sejenak. Akan membeku waktu di mana angin belum mengenal badai, musim belum mengenal kemarau, laut belum mengenal gelombang, sungai belum mengenal keruh, dan aroma tanah belum mengenal busuk
Menepilah. Sejenak saja. Sebelum kau tidak lagi mengenal pulang, sebelum Ibu tak lagi mengenal nafas. ***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
