
Part 3, 4 dan 5
● Part 3
● Kedatangan Bu Wijaya
POV Author
Di kota, di mana Rayhan mencari rezeqi, ia berpikir keras untuk bisa kembali bersama Naira. Wanita yang amat ia cintai sejak lama. Tiga tahun berpisah, tak sedikit pun mengikis rasa itu. Ia bahkan tumbuh kian membesar, seperti rindu yang kian memuncak.
Sejak menikahi Laras, Rayhan tak pernah menyentuh Laras seujung kuku pun. Secara fisik, Rayhan masih perjaka. Rayhan bahkan enggan memakan atau meminum apapun yang Laras berikan untuknya.
Di dalam hati Rayhan, hanya ada Naira seorang. Kehadiran Laras di hidupnya, hanya sebuah bencana besar yang harus ia hadapi seorang diri.
Terkadang Rayhan menertawakan kebodohannya. Sebagai lelaki normal yang sudah ngebet menikah, justeru malah menyia-nyiakan kehadiran Istri sirrinya, Laras. Itu semua karena ulah Laras yang licik untuk mendapatkan cintanya.
Selain menertawakan diri, Rayhan juga kerap menangisi nasibnya yang harus berjauhan dengan wanita pujaannya.
Rayhan pernah berupaya menjelaskan kebenaran yang ada. Namun Ayah Naira tetap tidak mengijinkannya bertemu Naira.
Andai kata 'tidak' itu keluar dari bibir Naira langsung, Rayhan mungkin akan menerima. Ia masih penasaran, apakah Naira masih mau menerimanya atau tidak. Tapi bagaimana cara mengetehui itu.
Rayhan berkali-kali mencari nomor yang bisa dihubungi, namun tak kunjung dapat.
Kini dirinya merasa frustasi. Cinta yang tumbuh membesar, justeru menyiksa sebab tak terbalas.
'Naira, Kakak selalu mencintaimu. Entah bagaimana lagi caranya untuk bisa kembali bersamamu,' gumamnya sambil merebahkan tubuh di atas lantai, tempat di mana dulu Naira beristirahat saat bekerja.
**
Di tempat lain, di desa nan sejuk, Naira sedang membereskan piring bekas makannya dengan sang Ayah.
Terdengar suara orang mengucap salam dari luar rumah. Dirinya abai, hanya menjawab dengan gumaman, sebab sudah ada sang Ayah yang menyambut tamunya. Naira tentu tahu siapa yang datang.
Naira mendengar suara orang berbincang sambil berkelakar di ruang tamu. Namun dirinya enggan menghampiri, karena masih merasa tak rela melepaskan Ayahnya untuk menikah lagi.
Hingga sebuah tepukan di bahunya membuatnya terperanjat.
"Ayah! Astaghfirullah, ngagetin aja." Naira mengusap dada. Dirinya sedang mencuci piring ketika sang Ayah datang.
"Ada tamu. Tolong buatkan minum, tiga ya, Nak." Pak Karim meminta Naira membuatkan minum. Sementara Naira hanya mengangguk tanpa berucap.
Naira membuatkan minum sesuai yang diminta Ayahnya. Sedang Pak Karim kembali menemani tamunya.
Dengan tangan gemetar, Naira membawa sebuah baki berisi tiga gelas teh manis hangat untuk tamu Ayahnya.
Ada sesak di dalam dada. Wanita setengah baya yang tadi pagi sempat mencuri perhatiannya, kini justeru membuatnya malas bertemu lagi.
"Silakan diminum, Bu." Naira menaruh tiga gelas itu dan menawarkan dengan sopan. Ia menoleh sejenak pada dua orang tamu sang Ayah.
Alisnya bertaut, kala pandangannya berhenti pada wajah seseorang yang ia kenal.
"Pak?" Tegur Naira.
"Kamu?" Jawab lelaki itu dengan datar. Tak ada senyum yang nampak di wajah tampannya.
"Lho! Kalian sudah saling kenal?" Tanya Pak Karim.
Naira menggeleng, begitu pun Pak Sekdes yang ada di hadapannya.
"Neng Naira," sapa Bu Wijaya dengan ramah.
"Bu." Naira mengangguk dengan senyum kakunya. Ia lantas berbalik hendak kembali ke dapur.
"Neng! Mau ke mana?" Tanya Pak Karim.
"Sini, duduk!" Pak Karim meminta Naira untuk duduk di sebelahnya.
Naira menurut, tidak ingin membantah. Ia sudah tahu apa yang akan Ayahnya bicarakan. 'Pasti lah meminta restu, apa lagi,' bathin Naira.
"Ayah mau kenalkan Ibu dan Anak yang ada di hadapan kita." Naira nampak mengangguk mendengarkan Ayahnya bicara.
"Ini Bu Arin, teman kecil Ayah," kata Pak Karim.
Naira mengangguk lagi. Sebetulnya ia tak sabar menunggu kata selanjutnya.
"Dan ini anaknya, Nak Shaka. Bu Arin memang sangat dikenal dengan panggilan Bu Wijaya. Karena mendiang suaminya, Pak Wijaya." Pak Karim menjelaskan nama Bu Wijaya.
"Sebetulnya, Bu Arin asli warga sini, Nak. Neneknya itu Nini Tasih, yang tinggal di sebelah rumah Mak Toha. Tapi beliau sudah lama meninggal. Anak Nini Tasih--Ayahnya Bu Arin, menikah dengan orang Surabaya dan dikaruniai dua orang anak, salah satunya Bu Arin. Dulu Ayah sama Ibumu sering main sama Bu Arin waktu kecil. Namun setelah dewasa, Bu Arin menikah dengan anak kerabat Ibunya dari Surabaya. Namanya Pak Wijaya.
Sekarang Bu Arin kembali ke desa ini, setelah Sumaminya meninggal. Sebetulnya, Nak Shaka sendiri sudah lama di sini menjabat sebagai sekertaris desa. Sudah hampir dua tahun, ya, Nak?" Pak Karim menjelaskan secara rinci, lalu bertanya pada pemuda yang sudah menolong Naira.
Shaka mengangguk, "betul, Pak." Begitu pun dengan Bu Arin.
"Kok, Naira baru lihat, ya?" Tanya Naira heran.
"Neng jarang ke luar main. Shaka juga sama, sukanya ndekem di kamar kalo udah pulang kerja. Ya, wajar kalo kalian gak pernah ketemu," kata Bu Arin alias Bu Wijaya.
Naira tersenyum menanggapi. Sementara Shaka hanya diam tanpa ekspresi apapun.
"Langsung saja, ya, Pak Karim. Soalnya Shaka harus kembali ke kantor desa sebentar lagi." Bu Arin meminta persetujuan Pak Karim--Ayah Naira.
"Monggo, Rin." Pak Karim pun mempersilakan.
"Jadi begini, Neng. Ibu ke sini dengan maksud baik. Jujur, sejak kenal kamu di saat kamu remaja, Ibu sudah suka sama kamu. Tapi apa daya, saat itu kami sangat sulit datang ke sini. Hingga akhirnya Shaka bertemu tambatan hatinya di tempat mereka menimba ilmu. Empat tahun lalu Shaka menikah, namun nasib berkata lain. Istrinya meninggal dalam kecelakaan, setelah satu minggu menikah. Dan kedatangan Ibu ke sini, ingin melamarmu untuk Putra tunggal Ibu--Shaka. Kiranya Neng Naira mau menerima, Ibu sangat berterima kasih yang sebesar-besarnya."
Bu Arin merasa plong sudah mengungkapkan maksud tujuannya datang ke rumah Pak Karim.
Naira diam terpaku. Rupaya dugaan Naira salah. Ia pikir, Bu Arin akan melamar untuk menjadi Ibu sambungnya. Namun ternyata malah melamarkan sang Putra--Shaka.
Selain terkejut dengan kenyataan yang sebenarnya, Naira juga kaget mendengar nasib buruk yang menimpa Shaka. Satu minggu menikah, Istrinya harus pergi untuk selama-lamanya.
Naira berpikir keras, bagaimana menyusun kata untuk menjawab lamaran Bu Arin.
"Bu, kok, langsung lamar gini, sih," protes Shaka. Sebab rencana awalnya, Bu Arin bilang hendak menjodohkan keduanya dan membiarkan keduanya untuk saling mengenal.
"Gak apa-apa, Nak. Niat baik harus segera diutarakan," jawab Pak Karim. Bu Arin tersenyum senang mendapat pembelaan dari Pak Karim, teman kecilnya.
"Naira belum bisa jawab, Bu. Kami baru saja bertemu hari ini," ungkap Naira dengan ragu.
"Tidak apa-apa, Neng. Ibu hanya mengutarakan keinginan Ibu. Kalau Shaka, sudah pasti menerima. Dia sudah capek menduda, katanya. Dan meminta Ibu untuk mencarikan calon yang tepat. Ibu rasa, kamu yang terbaik untuk Shaka." Sambil berkelar, Bu Arin mengatakan itu.
Naira sontak menoleh pada Pak Sekdes yang tadi menolongnya. 'Jadi dia duda. Ganteng padahal, kenapa gak nyari calon sendiri,' tanya Naira di dalam hati.
Sebetulnya, Shaka tidak pernah meminta Ibunya untuk mencarikan jodoh. Dia hanya bosan dengan pertanyaan sang Ibu yang terus-terusan bertanya soal jodoh. Hingga akhirnya dia pasrah, ketika sang Ibu bilang hendak menjodohkannya dengan gadis di desa ini.
Shaka tidak pernah tahu jika gadis yang Ibunya maksud adalah Naira--wanita yang ada di rumah Pak Lurah tadi. Yang bahkan ia tolong, tanpa tahu akan dijodohkan.
"Kalau begitu, Ayah mohon sama Neng, mau, ya, mengenal Nak Shaka. Dia laki-laki yang baik, bertanggung jawab dan sabar. Inshaa Allah Ayah setuju dan memberi restu untuk kalian." Pak Karim meminta dengan sangat pada Putri semata wayangnya. Sebab ketiga Anak lainnya laki-laki.
"Naira, sih, tergantung Pak Shaka. Kalau dia mau kenal Naira, ya, silakan. Tapi Naira gak bisa menjanjikan apapun untuk kedepannya, Yah, Bu," ujar Naira.
"Bagaimana, Nak Shaka?" Tanya Pak Karim pada pemuda yang datang ditemani Ibunya itu.
"Saya setuju, Pak," kata Shaka.
"Syukur lah. Kalo gitu, kalian sering-sering ketemu, biar akrab. Betul, gak, Pak?" Tutur Bu Arin antusias.
"Inshaa Allah, Bu," jawab Shaka.
Naira diam, lalu menunduk lesu. Entah kenapa, hatinya terasa hampa. Naira tidak menyangka, sang Ayah sampai harus menjodohkannya dengan seorang duda.
Padahal menurut Naira, dia hanya butuh waktu sebentar lagi untuk mengumpulkan keyakinan, untuk kembali menjalin hubungan serius dengan laki-laki.
Bukan tak ada yang menarik, Naira hanya menyaring beberapa pemuda yang pernah datang mengungkapkan isi hatinya. Naira hanya butuh sedikit waktu, untuk menguji keseriusan pemuda itu.
Jika bicara soal cinta, tentu Naira tidak punya. Sebab cintanya sudah ia habiskan untuk Tuhannya, Allah. Juga sedikit cinta yang masih bersemayang di dalam hati untuk Rayhan.
Meski harapan untuk kembali bersama Rayhan telah kandas, namun bukan berarti cintanya harus berlabuh pada lelaki yang tidak ia inginkan.
"Kalau begitu, kami permisi pulang, ya, Pak, Neng." Bu Arin berpamitan hendak pulang.
"Permisi pulang dulu, ya, Pak, Naira. Kebetulan sudah jam masuk kerja lagi," pamit Shaka yang saat ini mengenakan setelan kasual.
"Iya, Bu. Monggo, Nak." Pak Karim menjawab.
"Iya, Bu, Pak," jawab Naira. Pak Karim menatap sang Putri yang memanggil Shaka dengan sebutan 'Pak.'
**
"Deuh, langsung jatuh cinta, nih," ledek Pak Karim.
"Jatuh cinta dari hongkong! Ayah kenapa, sih, pake acara jodoh-jodohin segala? Sama duda lagi," Protes Naira saat tamunya pulang.
"Lah, itu, manggilnya Bapak. Seolah-olah berharap, Shaka akan menjadi Bapak untuk Anak-anak Neng." Pak Karim tertawa usai menggoda Putrinya.
"Emang udah Bapak-bapak aja, sih, Pak Shaka, tuh. Gak ada maksud lain. Apa lagi, tadi Naira ketemu dia di rumah Pak Lurah pake baju dinas. Keliatan banget udah Bapak-bapaknya. Makanya Naira panggilnya Pak," jelas Naira.
"Masa, sih? Masih muda, lho, Nak Shaka. Umurnya di atas kamu enam tahun doang," kata Pak Karim. Naira menganga mendengar ucapan Ayahnya.
"Atuh, tua, Yah enam tahun mah," cibir Naira. "Naira aja udah mau dua tiga, berati Pak Shaka udah dua sembilan, atuh?" Tanyanya kemudian.
Pak Karim mengangguk membenarkan.
"Yang mateng lebih dewasa dalam berpikir, Neng," kata Pak Karim.
"Dewasa bukan selalu soal umur, Yah," balas Naira.
"Tapi dia memang matang pemikirannya," tutur Pak Karim.
"Emang Ayah udah kenal lama?" Tanya Naira sengit.
"Iya dong. Kita sering berjamaah bareng masjid," jawab Ayah Naira.
Naira hanya membulatkan bibir. Sementara Pak Karim menatapnya tanpa ekspresi.
"Apa, Yah?" Tanya Naira.
"Kamu ketemu Shaka di rumah Pak Lurah tadi?" Tanya Pak Karim. Naira mengangguk membenarkan.
"Kok, bisa? Ngapain ke Neng ke rumah Pak Lurah?" Selidik Pak Karim. Ia penasaran dengan sikap Anaknya mendadak murung.
Naira menghela napas panjang, lalu menceritakan kejadian tadi pagi pada Ayahnya. Ia juga bercerita bahwa sebelumnya, Lukman sering menemuinya di konter, saat Pak Karim tak ada di rumah.
"Astaghfirullah ... beruntung ada Nak Shaka, kalau tidak, gak tau apa yang akan terjadi sama kamu Neng." Pak Karim memeluk putri semata wayangnya itu.
Keduanya hanyut dalam syukur tak terkira.
● Part 4
● Jalan Berdua
POV Naira
Malam ini kuhidangkan makan malam untuk Ayah dan Adik-adik. Biasanya, mereka akan mengajakku makan setelah pulang dari masjid, selepas sholat maghrib.
Karena dekatnya jarak rumah kami dengan masjid, jadi, seperti itu lah kebiasaan Ayah dan Adik-adik setiap malamnya.
Kalau menunggu lepas isya, Ayah sudah tak tahan dengan perih di lambungnya.
"Assalamu'alaikum," salam ketiga lelaki beda usia di depan sana. Kujawab salamnya, lalu kuhampiri serta menyalami ketiganya.
Aku terpaku kala netraku menangkap sosok seorang pria yang kemarin siang datang ke rumah. Lelaki yang paginya sempat menolongku, lalu siang datang bersama Ibunya untuk melamarku.
"Pak Sekdes?" Gumamku.
"Assalamu'alaikum, Nai," sapanya mengucap salam.
"Wa'alaikumussalam," jawabku gugup.
"Duduk, Nak Shaka. Anggap saja seperti rumah sendiri," titah Ayah ramah.
Aku masih diam menunggu Ayah berbicara padaku. Saat ini, hanya aku perempuan satu-satunya di rumah.
"Neng, buatkan minum untuk Nak Shaka," pinta Ayah.
Aku mengangguk, lalu berbalik ke dalam rumah.
"Gak usah, Pak, Nai. Emm, kalo boleh, saya mau minta ijin sama Bapak." Ucapan Pak Sekdes menghentikan langkahku. Mataku memicing, namun tubuh menolak untuk kembali menghadapnya.
"Minta ijin apa, Nak?" Tanya Ayah yang kini bangun dari kursi, lalu mendekat pada Pak Sekdes.
"Boleh, gak, saya ajak Naira jalan-jalan? Gak jauh, kok, Pak. Cuma ke pasar malam yang ada di desa Sukamandi," kata Pak Sekdes meminta ijin.
Aku sontak menoleh, lalu menautkan alis. Kutatap wajahnya sengit, seperti musuh yang menantang.
Berani sekali dia mau mengajak anak gadis orang malam-malam begini.
"Gak jadi, deh, Pak. Di sini saja," sambung Pak Sekdes setelah bersitatap denganku. Aku melanjutkan langkah, masuk ke dalam rumah sambil menahan tawa.
Dan saat di dalam, aku tak kuasa melepaskan tawa dengan pelan. Lucu sekali melihat ekspresi wajahnya seperti ketakutan. Padahal, kemarin dia yang sok cool. Apa aku terlihat galak?
Kuhela napas sejenak, lalu kembali merapikan meja makan. Seharusnya Ayah, Nanda dan Wahyu sudah makan. Mereka harus menemani Pak Sekdes yang bertandang.
"Teh, dipanggil Ayah," seru Wayhu yang kini sudah remaja. Tingginya bahkan sudah sama denganku.
Aku mengangguk, "iya." Lalu kembali ke luar, menemui tiga lelaki yang masih di luar. Karena Wahyu tanpa segan menggeser kursi meja makan, lalu mengisi piringnya dengan nasi.
"Kenapa, Yah?" Tanyaku saat di luar.
"Nak Shaka mau ajak kamu ke pasar malam di desa sebelah. Sana kamu siap-siap," ujar Ayah.
"Lho! Emang Ayah ijinin?" Tanyaku heran. Karena biasanya Ayah akan melarang ketika ada lelaki yang mengajakku pergi berdua.
"Iya. Itung-itung, kalian saling mengenal satu sama lain. Kalo gak ada waktu untuk saling mengenal, mana bisa cinta itu tumbuh? Bukan begitu, Nak?" Papar Ayah, lalu beralih pada Pak Sekdes. Yang ditoleh hanya mengangguk disertai senyum tipis.
"Lagian, Ayah percaya sama Nak Shaka. Ya, kalo pun dia berani macem-macem, Ayah sendiri yang turun tangan," sambung Ayah sambil mengangkat kepalan tangan di udara.
Aku terkikik melihat lelucon Ayah. Bisa saja, Ayahku ini.
"Haha ... Ayah betul. Nanda sama Wahyu ikut andil dalam babak belurnya seorang lelaki yang berani macem-macem sama Teteh. Bang Andi udah balik ke Istrinya, bukan berarti gak ada yang bisa jagain Teteh," kelakar Nanda.
Aku kembali terkekeh. Lelucon ini, sekarang lebih mirip pada sebuah ancaman menurutku. Aku menoleh pada Pak Sekdes, ingin tahu reaksinya. Siapa sangka, dia malah tersenyum hangat menatap kami bergantian.
"Kalo gitu, Naira siap-siap," kataku. Lalu masuk ke dalam kamar.
Dari kamar, aku masih bisa mendengar obrolan mereka. Kembali sebuah lelucon Nanda lontarkan, mencairkan suasana yang tadi nampak bagai ancaman.
Pak Sekdes memutuskan untuk kami pergi setelah sholat isya, karena waktunya sudah nanggung.
Benar saja, saat aku keluar, adzan isya berkumandang. Dan keempat pria berbeda usia itu pamit pergi ke masjid.
Ya, nasib. Aku sudah siap pergi, malah ditinggal. Ya sudah, lebih baik sholat dulu. Lagi pun, menghadap Allah adalah kewajiban yang harus menjadi sebuah kesenangan dalam diri ini. Sesuatu yang paling penting dari segala hal.
Usai sholat, Ayah, Nanda dan Wayhu kembali ke rumah. Tak kulihat Pak Sekdes di antara ketiganya. Kata Ayah, dia pulang dulu untuk mengambil motor.
Ayah bilang lambungnya perih, karena terlambat makan.
"Harusnya Ayah tadi makan aja. Tinggal ijin, mau makan dulu. Ayah, kan, gak boleh telat makan," omelku sambil menyiapkan makan.
"Gak enak, atuh, Neng. Masa ada tamu ditinggal," jawab Ayah.
Ayah dan Nanda mulai makan, sementara aku ke luar melihat siapa yang datang. Karena ada suara motor berhenti di depan teras. Sebenarnya kami tahu siapa yang datang. Pasti Pak Sekdes.
"Ayah anter kamu ke depan dulu, ya." Ayah hendak bangun dari kursi meja makan.
Namun segera kularang, karena aku tidak mau acara makan Ayah terganggu.
"Gak usah. Ayah makan aja. Nanti Neng ke sini, pamitan kalo memang itu Pak Sekdes," kataku.
"Mas Shaka, Neng!" teriak Ayah.
Ish, Ayah! Kesalku dalam hati. Kenapa juga harus berteriak, bagaimana jika dia mendengar.
"Assalamu'alaikum, Nai," sapanya.
"Wa'alaikumussalam," jawabku singkat.
"Aku ijin sama Ayah dulu, ya," lanjutku sambil berbalik hendak masuk lagi.
"Bentar, Nai. Boleh saya pamitan juga ke Pak Karim?" Tanyanya.
Aku mengangguk, lalu mempersilakan Pak Sekdes untuk masuk.
"Pak," sapanya dengan sopan.
"Eh. Makan, Nak. Ayo, makan dulu sama-sama! Maaf, nih, Bapak makan duluan. Maklum punya asam lambung gak boleh telat makan," kata Ayah mengajak serta Pak Sekdes untuk makan.
"Gak usah, Pak. Takutnya nanti kemalaman. Naira juga belum makan, kan?" Tanya Pak Sekdes menoleh padaku.
"Hah? Aku? Iya, aku belum makan," kataku. Aku sendiri hampir lupa kalau diriku belum makan.
"Nanti kita makan di luar aja, Pak. Sekalian pendekatan," katanya dengan percaya diri. Aku hanya memutar bola mata malas.
"Ya sudah." Ayah pun menerima uluran tangan Pak Sekdes untuk bersalaman.
"Pamit, ya, Pak. Pinjam Naira sebentar," katanya lagi.
"Hati-hati. Jangan ngebut," ingat Ayah.
Kami pun pergi berdua setelah menyalami Ayah.
Sebetulnya, aku sangat canggung jika harus dibonceng oleh laki-laki yang bukan keluarga sendiri.
Aku duduk sampai mentok ke besi belakang, menghindari tempelan yang terkadang terjadi saat berkendara.
Jalanan berbatu, sangat membuatku kesulitan menjaga jarak.
Tak ada suara antara aku dan dirinya sepanjang perjalanan. Kami hanya saling diam dengan berbagai pikiran masing-masing.
"Sudah sampai," kata Pak Sekdes. Ternyata memang tidak jauh. Hanya sekitar lima belas menit perjalanan. Itu pun karena jalanan aspal di desa sebelah sudah rusak.
Kupandangi satu persatu wahana yang ada di dalam pasar malam. Kerlap kerlip lampu menghiasi dengan begitu indahnya. Gemerlap seperti dihinggapi jutaan kunang-kunang.
"Mau naik apa?" Tanyanya sok akrab. Enak saja, emangnya aku anak kecil, bathinku.
"Enggak usah naik apa-apa, Pak. Itu, kan, buat anak-anak," kataku datar.
"Siapa bilang? Tuh, lihat, banyak muda-mudi yang duduk di dalam kurungan biang lala itu," tunjuknya pada wahana yang tengah berputar pelan.
"Bapak yakin masih muda?" Tanyaku tanpa menoleh.
"Kamu ngejek saya? Ngatain saya tua?" Tanyanya sengit. Waduh, apa aku salah ngomong? Bathinku.
"Bukan gitu maksudnya, Pak. Ya, kan, mereka memang muda-mudi kata Bapak. Bapak itu udah dewasa," kilahku. Meski dalam hati tak menampik jika dirinya mendekati tua.
"Kita makan aja! Dari pada ribut di sini," ajaknya yang tiba-tiba menarik lenganku.
Aku berusaha keras melepaskan diri. Enak saja main tarik, bukan muhrim! Umpatku di dalam hati.
"Duduk. Mau makan apa, Nai?" Tanyanya setelah memerintahku untuk duduk.
Duh, apa iya aku harus nikah sama duda jutek macam ini? Bisikku dalam hati.
"Apa aja, asal kenyang!" Jawabku malas.
"Makan itu jangan asal kenyang. Harus yang bergizi biar sehat," katanya sambil menatap buku menu.
"Makanan rumahan, jelas lebih sehat, lebih higienis," bisikku yang duduk di sampingnya.
Menyebalkan. Ngajak sehat, tapi makan makanan yang dijual di pasar malam.
"Gak semua makanan pinggir jalan itu gak sehat," katanya tanpa menoleh.
"Terserah Bapak," ucapku. Kutopang dagu dengan kedua tepalak tangan, dengan meletakan siku di atas meja.
"Jangan panggil saya Bapak. Usia kita gak jauh beda," katanya sinis. Kali ini mata elangnya menatapku sekilas.
"Jangan panggil aku Nai juga. Aku gak biasa dipanggil Nai. Aneh, tau!" Sinisku.
Lalu dia memanggil pelayan dan memesan dua menu makan malam untuk kami. Entah apa itu.
Oh, Allah ... seperti ini kah awal mula perkenalan kami? Apa kami harus berjodoh setelah ini? Keluhku di dalam hati.
"Terus, apa? Darling? Nama kamu, kan Naira," jawabnya dengan senyum mengejek.
"Ambil suku kata yang belakang. Jangan Nai!" Sinisku lagi.
"Ra?" Tanyanya.
Aku menoleh dan menjawab, "apa?"
"Panggilnya Ra aja?" Tanyanya lagi.
"Oh, iya. Itu aja." Tadi itu, aku sempat merasa dipanggil saat dia menyebut Ra.
"Oke. Kalo mau saya panggil Ra, kamu juga gak boleh panggil Bapak. Terserah apa aja, yang terdengar lebih akrab. Gimana, sepakat?" Tawarnya. Kali ini kami saling menatap tanpa senyum satu sama lain.
"Oke! Aa? Akang? Abang?" Tanyaku.
"Saya lahir di Surabaya, Nai," katanya dengan menyebutku Nai lagi.
"Tuh, kan, Nai lagi." Aku mendengus. Entah kenapa mendengarnya aku tak suka.
"Eh, maaf. Kamu juga belum manggil saya yang benar." Dia terkekeh. Aku ingin lihat seperti apa wajahnya saat tersenyum tulus padaku. Dua hari bertemu, dia selalu dingin.
"Apa, dong? Bapak yang tentuin, deh," kataku.
"Mas aja, ya. Seperti tadi Pak Karim bilang ke kamu. Mas Shaka, Neng!" katanya lalu menirukan teriakan Ayah saat di meja makan tadi.
Aku tersipu mengingatnya. Ternyata dia benar-benar dengar hal itu.
"Oke, Mas Shaka!" ucapku gugup. Tapi aku berusaha menekan kegugupan itu.
Berbicara dengan Mas Shaka, sepertinya memang jangan terlalu baper. Atau di ambil hati. Dari yang kulihat dua hari ini, selain dingin, Mas Shaka juga bersikap semaunya.
"Gitu, kan, enak. Gak ilfeel dengernya," sindirnya halus.
Ilfeel dia bilang? Dih, udah bagus aku panggil Bapak. Dari pada kupanggil 'hey,' kan, gak sopan, cibirku dalam hati.
Makanan datang, lalu kami makan tanpa banyak bicara.
Setelah makan, Mas Shaka mengajakku duduk di kursi taman yang ada di tengah pasar malam. Sambil menikmati kembang gula, pop corn dan makanan lainnya.
"Mas, apa aku boleh tahu masalalu Mas? Maksudnya, siapa Istri Mas dulu dan apa penyebab dia meninggal?" Tanyaku langsung. Sepertinya, orang kayak Mas Shaka gak bisa banyak basa basi.
"Namanya Fitri. Cantik, berhijab, taat beribadah, lembut dan penyayang," jelasnya.
Padahal aku cuma tanya namanya. Bukan fisik dan sikapnya.
"Bukannya Ibu kemarin udah bilang? Dia meninggal karena kecelakaan." Mas Shaka kembali mengingatkan.
"Iya, sih. Tapi kurang jelas," jawabku.
Mas Shaka menatapku sendu, lalu menghembuskan napas berat. Sepertinya berat untuk menceritakan hal yang membuatnya mengalami trauma mendalam. Sama halnya denganku, sulit untukku mengulang cerita masalaluku. Semoga kejadian di masa lalu kami, tidak akan terulang lagi.
●Part 5
● Dikejar Nikah
POV Naira
Satu minggu berlalu.
Beberapa kali Mas Shaka bertandang ke rumah, sekadar untuk berbincang dengan Ayah. Aku pun sesekali turut serta menemani, menghidangkan sedikit kudapan untuk untuk teman ngobrol.
Dua hari lalu, Bu Wijaya bahkan datang menemuiku. Beliau menanyakan persetujuan serta kesiapanku untuk dinikahkan dengan Putra semata wayangnya.
"Assalamu'alaikum, Neng ... sedang apa?" Sapa Bu Wijaya siang itu, kala Ayah sedang tak di rumah.
"Wa'alaikumussalam, Bu. Eh, biasa, duduk-duduk aja sambil ngerekap penjualan pulsa. Mari masuk, Bu," jawabku masih gugup, lalu menawarkan beliau untuk masuk.
"Gak usah, Neng. Di sini saja. Ayahmu ke sawah?" Tanya Bu Wijaya lagi. Aku sontak mengangguk, karena memang Ayah sedang di sawah.
"Adik-adik sekolah, ya?" Tanyanya lagi.
"Iya, Bu. Biasa kalo jam segini rumah sepi. Duduk, Bu," kataku dengan senyum yang, entah. Aku masih sangat canggung pada beliau, meski hati merasa dekat.
"Ini, Ibu bawa makanan untuk kamu dan semuanya," tukas beliau sambil menyodorkan sebuah kotak makanan bersusun.
"Eh, Bu, kok repot-repot." Aku semakin merasa tak enak. Umumnya, gadis yang hendak menjadi menantu yang mengantar makanan untuk calon mertuanya. Ini terbalik.
"Enggak. Ibu sengaja masak banyak," sanggahnya seraya tersenyum ramah. Aku terpesona dengan sosok ke-Ibu-annya.
"Makasih banyak, ya, Bu," ucapku dengan senyum tulus. Jujur saja, melihat Bu Wijaya, aku seolah bertemu dengan almarhumah Ibuku.
"Sama-sama, Geulis." Beliau mengucapkannya dengan logat jawa. Aku sedikit tersenyum lucu mendengarnya.
"Naira buatkan minum dulu, ya, Bu. Sebentar." Lantas aku melesat ke dalam dapur sesegera mungkin, sebelum beliau menolak. Tak lupa kubawa serta kotak pemberiannya.
"Silakan diminum, Bu," tawarku. Segelas es teh manis kutaruh di atas etalase konter. Sebab beliau duduk bersampingan denganku, di kursi depan konter.
"Repot-repot segala, Neng."
"Enggak, Bu. Cuma teh manis. Ibu aja udah repot-repot masakin itu," kataku tak mau kalah. Berikutnya kami tertawa bersama, entah apa yang lucu.
"Sebetulnya, Ibu ke sini mau menanyakan sesuatu sama Neng Naira," jujurnya.
"Apa, ya, Bu?" Tanyaku dengan jantung yang mulai berdegub tak berirama.
"Maaf, ya, Neng kalo Ibu terkesan memaksa. Jujur, Ibu sangat berharap kamu mau jadi menantu Ibu. Bagaimana kesiapanmu, Neng? Apa kamu mau jadi Istri Shaka--Anak Ibu?" Tanya beliau beriringan dengan harapannya.
Siang itu aku hanya diam tertunduk. Jujur dari hati paling dalam, aku belum punya alasan kuat untuk menerimanya.
Hati ini masih enggan terbuka untuk laki-laki yang baru saja kukenal itu. Terlebih, sikapnya sangat sulit kutebak. Lelaki itu bahkan tak nampak sedikitpun menginginkanku.
Apa alasanku harus menerimanya? Cinta? Tentu tidak. Perhatiannya? Tidak sama sekai. Romantis? Tak pernah. Dia hanya laki-laki yang terlihat begitu tulus ketika bercengkrama dengan Ayah. Kebaikannya terhadap Ayah dan Adik-adik, tidak diragukan lagi.
"Neng," sapa Bu Wijaya kala itu yang melihatku melamun.
"I-iya, Bu, maaf," kataku. Aku jadi merasa tak enak mengabaikan beliau.
"Kalo belum siap, Ibu gak maksa. Lanjutkan perkenalan kalian. Semoga, kedepannya ada secercah harapan untuk Ibu dan Shaka bisa membina keluarga bersama keluargamu, Neng," tutur Bu Wijaya membuatku merasa terenyuh. Segitu besarkah harapannya untuk menjadikanku menantu.
"Maafkan Naira, ya, Bu. Sampe hari ini, Naira masih belum bisa menjawab permintaan Ibu." Meski ragu, kupaksakan bibir ini untuk menjawab.
"Tidak apa-apa, Neng. Kalau begitu, Ibu pulang dulu, ya. Sebentar lagi jam istirahat Shaka, dia pasti pulang untuk makan siang," pamit Bu Wijaya.
"Sekali lagi terima kasih banyak, Bu. Dan, maaf ..." ucapku sambil menunduk.
"Terima kasih kembali. Ibu pulang, ya," pamitnya lagi. Beliau mengusap lenganku sambil tersenyum begitu tulus.
Ya Allah, tak sanggup rasanya jika nanti aku harus mengecewakan beliau.
Beliau berlalu setelah mengucap salam, yang segera kujawab.
**
"Sedang apa, Neng?" Tanya Ayah yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.
Aku tengah merapikan kasur, setelah selesai melaksanakan sholat isya.
"Shaka malam ini gak ke sini, ya?" Tanya Ayah, membuatku menghentikan aktivitas.
Malam ini memang malam minggu, malam yang umumnya berkesan untuk muda-mudi.
"Gak tau, Yah. Emang gak ketemu di masjid?" Tanyaku malu. Karena ini kali pertama aku menanyakan keberadaannya.
"Gak ada, Neng. Ayah gak ketemu. Makanya Ayah tanya kamu, siapa tahu dia ngabarin kamu." Ayah duduk di kasur yang baru selesai kurapikan.
'Tumben. Ayah bilang, dia hampir gak pernah absen berjamaah di masjid,' pikirku dalam hati.
"Gak ada ngabarin apa-apa, Yah. Lagian, Mas Shaka itu emang jarang banget hubungi Naira," tukasku.
"Masa, sih, Neng? Kelihatannya, Shaka selalu terpesona sama kamu." Ayah menggodaku. Sudah jelas Pak Duda itu dingin banget sama aku.
"Terpesona, kok, dingin," sanggahku. Biarlah kukatakan saja. Siapa tahu, Ayah bisa mengajarinya untuk tidak terlalu dingin. Ya, kalau tidak terlalu dingin, siapa tahu aku bisa terpesona.
"Hmm ... ke mana, ya, dia? Ayah jadi kepikiran. Soalnya, dari sholat subuh gak lihat dia," kata Ayah sambil berpikir.
"Ayah kangen?" Ledekku.
Lucu saja. Yang mau dijodohin aku, tapi Ayah yang gak mau jauh. Aku terkekeh melihat Ayah seperti orang kasmaran.
"Sekarang ngeledekin Ayah. Sebentar lagi, kamu yang Ayah ledekin karena gak bisa jauh dari Shaka." Ayah membalas ledekanku sambil berlalu ke ruang tamu.
"Dih." Aku terheran melihat Ayah. Ada-ada saja Pak Duda tua ini.
Kupasangkan headset di telinga, kuputar murotal di handphoneku. Sambil mendengarkan merdunya sang pembaca Al qur'an, aku juga sedikit-sedikit belajar membetulkan bacaanku.
"Neng!" Panggil Ayah. Segera kumatikan murotal. Lagi-lagi aku tak tahu Ayah masuk.
"Apa, Yah?" Tanyaku.
"Bikin minum, gih! Ada tamu spesial," suruh Ayah sambil menunjuk ke ruang tamu.
Aku mengernyit. Siapa tamu spesial yang Ayah maksud?
Tanpa bertanya, aku beranjak dari kasur. Biar nanti kulihat sendiri siapa orang yang bertamu malam-malam begini. Kebetulan kamarku bersampingan dengan ruang tamu.
Kuayunkan langkah, menyusul Ayah yang sudah kembali ke ruang tamu lebih dulu.
Mataku membulat, kala pandanganku terfokus pada seseorang. Ternyata tamu spesial yang Ayah bilang adalah Mas Shaka.
Kututup kembali pintu kamar, setelah menahan gugup berhadapan dengan Mas Shaka, meski jarak kami berjauhan.
"Naira ke dapur dulu," kataku. Gegas kuberjalan menuju dapur.
**
"Silakan, Yah, Mas," tawarku sambil menaruh dua gelas coklat panas. Malam yang dingin, kusuguhkan minuman yang pas untuk menghangatkan tubuh.
"Terima kasih," ucap Mas Shaka. Aku hanya mengangguk dengan senyum tipis.
"Padahal gak usah repot-repot, lho. Tadi Mas sudah bilang sama Ayah, gak usah ganggu Naira lagi ngaji," sambung Mas Shaka.
'Ayah? Sejak kapan Mas Shaka panggil Ayah? Biasanya Pak Karim,' bathinku.
'Tunggu, jadi, tadi Mas Shaka dengar aku mengaji? Aduh, padahal aku cuma lagi ngikutin murotal,' keluhku dalam hati.
"Gak apa-apa, Mas," kataku canggung.
Kulirik Ayah yang ternyata sedang melirik ke arahku dengan senyumnya. His, Ayah!
"Saking fokusnya, Naira sampe gak denger ada orang ngobrol, ya?" sindir Ayah.
"Maaf, Yah. Tadi Naira pakai headset, dengerin murotal, belajar ngaji," kataku. Kutundukan wajah yang sedang dilirik oleh Mas Shaka.
'Jangan ge-er! Dia pasti ngelirik, lah, orang aku yang lagi ngomong!' Ingatku dalam hati sambil kembali tegap.
"Pantes," kata Ayah singkat.
"Jadi, Nak Shaka ini ternyata baru pulang dari Surabaya. Berangkat dari rumah jam tiga subuh katanya," jelas Ayah tanpa kutanya.
Aku lantas menoleh pada Mas Shaka. Hanya heran, kenapa dia tidak menginap di sana. Perjalanan dari kampungku ke Surabaya itu jauh, sekitar delapan setengah jam.
"Kok, udah di sini aja, Mas. Bawa mobilnya gimana, tuh?" Tanyaku penasaran.
Pria tampan nan dingin itu terkekeh. Mungkin lucu mendengar pertanyaanku.
"Ya, biasa aja. Kan lewat tol, cepet." Mas Shaka kembali tersenyum setelahnya.
Ini tidak biasa. Pak Duda itu biasanya, hanya sibuk ngobrol sama Ayah dan Nanda. Jarang sekali ngobrol denganku, apa lagi senyum mulu.
"Gak capek, gitu? Terus, di sana cuma bentar banget, ya? Kok, gak nginep?" Cecarku. Sungguh aku penasaran, karena sekarang saja baru jam sembilan malam. Sementara dirinya pergi dari rumah jam tiga subuh. Rasanya tidak mungkin.
"Capek, sih. Tapi Mas mau anter ini sekarang," katanya sambil menunjuk sebuah dus yang teronggok di pojok ruang tamu.
'Hah! Sejak kapan dus itu ada di sana?' Bathinku bertanya.
"Oleh-oleh, Neng. Buat kita kata Nak Shaka," ujar Ayah yang melihatku kebingungan.
Bukan oleh-olehnya yang kupikirkan, tapi waktunya. Kenapa bisa secepat itu, dan bisa belanja oleh-oleh.
"Jalanan hari ini sepi. Jadi Mas bisa lebih cepet sampe. Ya, rada ngebut dikit, sih. Mampir-mampir buat sholat juga. Di sana juga cuma ambil berkas, terus beliin oleh-oleh pesenan Ibu. Sampe rumah jam delapan tadi. Langsung mandi, sholat, terus ke sini," jelas Mas Shaka seolah paham akan kebingunganku.
Bibirku membulat. Terjawab sudah kebingunganku. Secepat kilat dirinya pergi dan kembali. Apa tidak kelelahan? Sampai rumah bukannya istirahat, malah bertandang ke rumah gadis orang.
"Kenapa gak istirahat aja, Mas? Kan, bisa anter oleh-olehnya besok," kataku.
Mumpung ada Ayah, aku berani banyak bertanya. Karena Mas Shaka selalu baik jika ada Ayah.
Di belakang Ayah, dia bukannya tidak baik. Hanya dingin dan semaunya, yang terkadang membuatku malas.
"Nanti, habis ini istirahat," katanya sambil tersenyum tipis.
"Kangen, ya, pengen ketemu Naira?" Ledek Ayah yang diakhiri gelak tawa.
"Ayah bisa aja," pungkas Mas Shaka malu-malu. Aku, bagaimana? Malu banget, lah. Rasanya ingin lari dan bersembunyi saja.
"Cepet halalin, lah. Ayah gemes liat kalian malu-malu gini," tutur Ayah masih dengan kelakarnya.
'Ya Allah, Ayah. Bikin malu Anak gadisnya aja,' keluhku membathin.
"Inshaa Allah saya siap kapan pun. Tinggal Nairanya aja, Yah. Siapnya kapan?" Tanya Mas Shaka menoleh padaku, sejenak setelah berbicara pada Ayah.
Aku sontak melotot, tubuhku diam terpaku, dan jantungku berdebar hebat. Berikutnya, tubuhku mulai bergetar merasakan kejutan teramat kuat.
"Neng! Kok, diem aja?" Tanya Ayah menyadarkanku. Aku terkesiap, menoleh ke sembarang arah, gelagapan.
"Kenapa, Yah?" Tanyaku cepat.
"Ditanyain, lho, sama Nak Shaka. Neng siapnya kapan?" Tanya Ayah mengulang pertanyaan Mas Shaka.
"Emm ... apa gak terlalu cepat, Yah?" Tanyaku usai menjeda beberapa saat. Kugaruk kepala tanpa rasa gatal sedikitpun.
"Lebih cepat lebih baik," sambung Mas Shaka. Aku lantas menoleh masih dengan perasaan tak menentu.
Apa yang harus kukatakan. Hatiku masih ragu, sebab dirinya tak jarang mengabaiakanku.
Perasaanku berkata, aku tak boleh menolaknya. Sebab akan ada hati seorang Ibu dan Ayah yang kecewa.
'Andai kamu bisa lebih manis, mungkin aku tak akan sedilema ini, Mas,' bathinku mengeluh.
Bersambung ...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
